MENGAKHIRI
CHOICE OF COURT DALAM PERKARA PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK MUSLIM
Ahmad Z. Anam
Abstrak
Kenyataan memaksa kita untuk percaya bahwa choice
of court (pilihan pengadilan) dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim itu
benar-benar ada. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sama-sama menyatakan berwenang
secara absolut untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dualisme ini jelas
bukan kondisi ideal dalam sebuah negara hukum. Realitas ini bahkan membawa arah
hukum menjauh dari salah satu cita-cita hukum: kepastian. Penelitian ini
merumuskan dua masalah utama: 1) pengadilan mana yang memiliki kewenangan absolut
untuk memeriksa dan memutus
perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim? 2) Bagaimana langkah untuk mengakhiri choice of
court dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim?. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konseptual (conceptual
aproach). Sedangkan jenis
penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian: 1) Perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim mutlak
kewenangan Pengadilan Agama 2) Terdapat dua cara untuk mengakhiri choice of
court: pertama, Mahkamah Agung harus mengevaluasi dan merevisi Buku
II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, khususnya terkait kompetensi absolut perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim, kedua, Pengadilan
Negeri harus memberikan advis kepada pihak yang hendak mendaftarkan perkara
Permohonan Pengangkatan Anak Muslim untuk mengajukan permohonannya kepada
lembaga yang berwenang: Pengadilan Agama, jika perkara terlanjur didaftarkan,
maka hakim seyogyanya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaart).
Kata kunci: kompetensi, pengadilan, pengangkatan
anak muslim
Pendahuluan
a)
Latar
Belakang
Salah satu tujuan hukum adalah recht-secherheit (kepastian hukum).
Kepastian hukum secara normatif adalah kondisi ketika suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti; jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan multi-tafsir,
logis dalam artian tidak berbenturan dengan norma lain atau tidak menimbulkan
konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.
Salah satu instrumen untuk mewujudkan kepastian
hukum adalah adanya pembagian kewenangan peradilan. Pembagian kewenangan ini
dapat dipilah menjadi empat jenis:
1.
Pembagian
kewenangan level instansional (Tingkat Pertama, Banding, dan Kasasi). Perkara
yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah (inferior court),
tidak dapat diajukan langsung ke peradilan yang lebih tinggi (superior
court). Begitu juga sebaliknya.
2.
Pembagian
kewenangan berdasarkan lingkungan peradilan. Inilah yang disebut dengan
atribusi kekuasaan (atrributive competentie; attributive jurisdiction).Perkara yang telah dilimpahkan
kewenangan absolutnya terhadap sebuah lingkungan peradilan, tidak dapat
diajukan kepada
peradilan lainnya.
3.
Pembagian
kewenangan khusus (specific jurisdiction). Kewenangan ini merupakan
amanat konstitusi terhadap lembaga ekstra yudisial, seperti: Arbritase dan
Mahkamah Pelayaran.
4.
Pembagian
kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi. Ini adalah kewenangan relatif dalam
satu lingkungan peradilan. Faktor locality adalah pembatas kewenangan
ini.
Pembahasan
penelitian ini berfokus pada pembagian kewenangan berdasarkan lingkungan
peradilan (atrributive competentie).
Menurut
Pasal 24 UUD NRI dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki
kewenangan yang telah dibagi-terpisah berdasarkan yurisdiksi (sparation
court system based on jurisdiction).
Yahya
Harahap mengemukakan dasar-dasar sistem pemisahan yurisdiksi sebagai berikut:
1.
Didasarkan pada lingkungan kewenangan;
2.
Masing-masing
lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu (diversity jurisdiction);
3.
Kewenangan tertentu tersebut menciptakan
kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subject
matter of jurisdiction, dan;
4.
Masing-masing lingkungan peradilan hanya berwenang mengadili sebatas kasus
yang dilimpahkan aturan perundang-undangan kepadanya.
Berdasarkan
deskripsi di atas, dapat ditarik sebuah benang merah: setiap lingkungan
peradilan memiliki kompetensi absolut yang tidak dimiliki, bahkan tidak boleh dimiliki
oleh lingkungan peradilan lain. Inilah kondisi ideal dalam sebuah pembagian
atribusi kekuasaan.
Meski
atribusi kewenangan absolut telah dibagi oleh aturan perundang-undangan, dalam
praktikya masih
ada saja tumpang-tindih kewenangan antar peradilan. Salah satu bentuk tumpang-tindih kewenangan tersebut adalah adanya pilihan hukum (choice
of court) dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim. Maksud “Permohonan Pengangkatan Anak Muslim“ dalam konteks penelitian ini adalah sebuah perkara
Permohonan Pengangkatan anak, yang diajukan oleh Pemohon beragama Islam, dengan
calon anak yang diangkat juga beragama Islam. Realitas menunjukkan bahwa Peradilan
Umum (Pengadilan Negeri) dan
Peradilan Agama (Pengadilan Agama) sama-sama
menyatakan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dualitas kewenangan ini telah menjadi fakta umum
(notoire feiten). Hal ini dapat dilacak di Direktori Putusan Mahkamah
Agung. Terdapat banyak penetapan pengangkatan anak muslim yang dikeluarkan oleh dua lingkungan peradilan berbeda: Peradilan Umum dan Peradilan Agama.
Kondisi ini tentu merupakan penyimpangan dari idealitas penegakan hukum.
Penelitian ini berusaha untuk mengurai akar kusut permasalahan ini dan tujuan
tertingginya: mengakhiri choice of court dalam perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim.
b)
Rumusan
Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah
dideskripsikan di atas, penelitian ini merumuskan dua pokok masalah:
1.
Pengadilan
mana yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak
Muslim?
2.
Bagaimana
langkah untuk mengakhiri choice of court dalam perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim?
c)
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengkaji norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan.
Penelitian yuridis-normatif juga meneliti kaidah hukum dan filsafat hukum.
Penelitian ini mengkaji kompetensi Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan memutus perkara permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon yang
beragama Islam dan calon anak yang
diangkat juga beragama Islam.
Terdapat dua pendekatan dalam penelitian ini:
pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan
konseptual (conceptual aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk mengkaji masalah secara normatif—baik dari perspektif ius constitutum maupun
ius constituendum. Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji
kondisi ideal dan tujuan pokok adanya pembagian kewenangan absolut sebuah
pengadilan dalam sebuah perkara, dalam penelitian ini adalah perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), sehingga sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang telah tersedia, meliputi: dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian dan lain sebagainya.
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a)
Bahan
hukum primer
Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif. Bahan
hukum primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan objek penelitian ini, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
selanjutnya diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, selanjutnya diubah
lagi dengan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2006
tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
b)
Bahan
hukum sekunder
Bahan
hukum sekunder berupa semua kajian hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.
Bahan sekunder paling utama dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, artikel, dan
karya ilmiah lain seputar kewenangan pengadilan dalam memeriksa dan memutus
perkara Permohonan Pengangkatan Anak
Muslim.
c)
Bahan
hukum tersier
Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum,
kamus bahasa, kamus ilmiah, dan ensiklopedia.
Pembahasan
a.
Kompetensi
Absolut Pengadilan
Kewenangan
absolut (absolute competency) adalah the right in a court to exercise
jurisdiction in a particular case (kewenangan suatu badan peradilan untuk
mengadili perkara tertentu). Soeroso
mendefinisikan kewenangan absolut sebagai kewenangan badan peradilan untuk
memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan
peradilan lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, Natsir Asnawi memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kewenangan
badan peradilan adalah kewenangan untuk
memeriksa dan memutus perkara tertentu (specified matters);
2.
Pada
saat bersamaan, perkara-perkara tersebut mutlak tidak dapat diadili oleh badan
peradilan dalam lingkungan peradilan lainnya.
Kewenangan
absolut masing-masing lingkungan peradilan telah diatur secara terperinci dalam
aturan perundang-undangan: 1) Peradilan Umum kewenangannya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, 2) Peradilan Agama
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009, 3) Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, 4) Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Kompetensi
Peradilan Umum berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah
memeriksa dan memutus perkara: pidana (umum dan khusus) dan perdata (perdata
umum dan niaga).
Dalam
lingkungan Peradilan Umum, terdapat Pengadilan Negeri (menangani pidana dan
perdata umum) serta
pengadilan khusus, seperti: Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial,
Pengadilan Tipikor, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kompetensi
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Bunyi pasal tersebut
adalah:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum
Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kompetensi
Peradilan Militer sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer hanya berwenang mengadili perkara pidana yang
terdakwanya terdiri prajurit TNI berdasarkan pangkat tertentu.
b.
Pengangkatan
Anak Muslim Pasca UU Nomor 3 Tahun
2006
Meski Peradilan Agama telah diberi kewenangan
untuk memeriksa dan memutus perkara antara orang-orang Islam di bidang
perkawinan (beserta cabang-cabang perkara perkawinan) melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, namun kewenangan memeriksa dan memutus perkara Permohonan
Pengangkatan Anak belumlah diatur secara eksplisit dalam undang-undang
tersebut. Pasal 49 undang-undang tersebut hanya memberi batasan kewenangan
global sebagai berikut:
1)
Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam
di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
2)
Bidang perkawinan
sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) huruf
a ialah hal-hal yang
diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
3)
Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1)
huruf b ialah penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris,
dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut.
Artinya,
sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 hingga sesaat sebelum diundangkannya
UU Nomor 3 Tahun 2006, Peradilan Agama belum memiliki kompetensi yang jelas untuk
memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak, meskipun Pemohon
dan calon anak yang akan diangkat beragama Islam.
Tidak
adanya otomatisasi pelimpahan kewenangan ini disebabkan karena kompetensi absolut
dalam perkara
voluntair harus ditunjuk dan ditentukan oleh aturan perundang-undangan secara
tegas. Selama belum ada ketentuan yang menunjukkan, sebuah peradilan tidak
memiliki kompetensi untuk memeriksa dan memutus perkara voluntair.
Ini
tentunya berbeda dengan perkara kontensius. Dalam perkara kontensius, selama
induk perkara telah menjadi kewenangan suatu pengadilan, maka cabang-cabang
dari induk perkara tersebut secara otomatis juga menjadi kewenangan pengadilan
yang ditunjuk. Sebagai contoh: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
menyebut kewenangan Pengadilan Agama adalah perkara bidang perkawinan antar
orang-orang Islam. Meskipun tidak disebut tegas, namun seluruh cabang-cabang perkara
perkawinan antar orang Islam yang bersifat kontensius (misal: sengketa sah
tidaknya seorang anak, hadhanah, harta bersama, nafkah madhiyah, pembatalan
perkawinan, dll.) secara otomatis juga merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Singkat cerita, pada tanggal 20 Maret 2006,
lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1988 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini lahir dengan
alasan utama: Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang -Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peta kompetensi kemudian berubah sejak undang-undang
tersebut diberlakukan. Pasal 49 beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut dengan sangat tegas dan
gamblang memberikan kewenangan permohonan Pengangkatan Anak dengan subyeknya
orang-orang Islam kepada Pengadilan Agama. Pasal dan penjelasan tersebut
selengkapnya berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.
perkawinan;
b.
dst...;”
Penjalasan pasalnya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan "perkawinan"
adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. ....
2. ....
20. penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. dst...”
Undang-Undang inilah yang
menjadi jawaban atas penantian panjang bagi masyarakat Islam yang berkehendak
melakukan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, di pengadilan yang hukum
materiilnya berlandaskan syari’at Islam (baca: Pengadilan Agama). Undang-Undang
ini juga idealnya mampu memberi batasan yang sangat tegas terkait kewenangan
pengadilan dalam memeriksa perkara Permohonan Pengangkatan Anak: jika pemohon dan anak yang akan diangkat beragama selain Islam adalah kewenangan Pengadilan
Negeri, sedangkan
jika pemohon dan calon anak
yang akan diangkat beragama Islam maka adalah kewenangan
Pengadilan Agama.
c.
Prinsip-Prinsip
Pengangkatan Anak pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama
Terdapat
banyak kesamaan prinsip pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Agama. Di sisi lain, menurut beberapa
peneliti, ada juga perbedaan prinsip antara keduanya. Prinsip pengangkatan anak
pada Pengadilan Negeri adalah
sebagai berikut:
1.
Pengangkatan
anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak dan perlindungan anak;
2.
Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;
3.
Pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan hukum atau kekeluargaan dengan orangtua
kandungnya atau keduanya tidak memutus nasab antara anak angkat dengan orang
tua kandungnya;
4.
Motivasi
pengangkatan anak semata-mata untuk kebaikan bersama dan saling tolong-menolong;
5.
Anak
angkat dapat memperoleh hak waris selayaknya anak kandung;
Adapun
prinsip-prinsip pengangkatan anak Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut:
1.
Pengangkatan
anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak dan perlindungan anak;
2.
Pengangkatan
anak tidak boleh menjadikan anak angkat sebagai anak kandung;
3.
Pengangkatan
anak menurut Hukum Islam merupakan peralihan tanggung jawab dari orang tua
kandung kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan untuk biaya hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainnya;
4.
Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;
5.
Pengangkatan
anak tidak boleh memutus nasab dengan orang tua kandungnya;
6.
Anak
angkat dengan orang tua angkat tidak saling mewarisi, tetapi mereka mempunyai hubungan
keperdataan wasiat wajibah.
Jika
diperhatikan seksama, prinsip yang membedakan pengangkatan anak antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama—sebagaimana
dideskripsikan para peneliti di atas—hanyalah ada atau tidak
adanya hak waris. Pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri
mengenal hak waris, sedangkan di Pengadilan Agama
tidak ada hak waris, yang ada adalah wasiat wajibah. Namun juga perlu
diperhatikan kembali, bahwa ada atau tidaknya hak waris adalah sebuah akibat
hukum (konsekuensi) atas pengangkatan anak. Bukan bagian integral dari pemeriksaan perkara dan penetapannya.
Pemeriksaan perkara Permohonan Pengangkatan Anak tidak menjangkau soal kewarisan. Ada atau tidak adanya hak waris tidak pernah ada dalam
pertimbangan ataupun amar penetapan.
Sehingga menurut penulis, ada atau tidaknya hak waris
tidaklah tepat dimasukkan dalam kategori prinsip pengangkatan anak pada Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama. Ada atau tidak adanya hak waris lebih tepatnya
masuk dalam ranah prinsip pengangkatan anak dalam perspektif Staadblaat 1917 No.
129 dan perspektif Hukum Islam. Staadbllaat
1917 No. 129 menghukumi anak angkat sebagai anak kandung dan berhak mendapat
waris. Sedangkan Hukum Islam tidak mengenal hak waris anak angkat, namun digantikan
dengan wasiat wajibah.
Hukum
acara yang digunakan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam memeriksa
perkara Permohonan Pengangkatan Anak tidaklah berbeda. Aturan
perundang-undangan yang menjadi rujukan adalah:
1.
HIR
2.
RBg
3.
Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undnag Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
4.
Undang-undang Nomor
112 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
5.
Surat Edaran
MA-RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983, dan Nomor 3 Tahun 2005.
d.
Kenyataan
Choice of Court
Meski
kompetensi absolut telah dibatasi secara sangat tegas, nyatanya dualisme
kompetensi masih saja terjadi. Kita ambil contoh beberapa penetapan Permohonan
Pengangkatan Anak dengan subyek hukum
beragama Islam sebagai berikut:
Penetapan
dari lingkungan Peradilan Umum:
1.
Penetapan
Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 48/Pdt.P/2012/PN.Mtr., dan;
2.
Penetapan
Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 408/Pdt.P/2013/PN.WNS Penetapan dari
lingkungan Peradilan Agama:
1. Penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor
132/Pdt.P/2012/PA.Mr., dan;
2. Penetapan Pengadilan Agama Bantul Nomor
0168/Pdt.P/2015/PA.Btl.
Idealnya kenyataan ini tidak boleh terjadi. Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, kompetensi absolut adalah kewenangan tunggal: saat
Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut, maka tidak ada pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutus
perkara tersebut. Atas alasan inilah kemudian kewenangan tersebut disebut
sebagai kewenangan absolut (mutlak).
Alasan pihak yang mengajukan perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri adalah agar nantinya, setelah
pengangkatan anak dikabulkan, anak yang diangkat tersebut dapat mewarisi harta
yang ditinggalkan oleh orangtua angkatnya. Dasar dapatnya seorang anak angkat
mewarisi harta dari orangtua angkatnya adalah Yurisprudensi Nomor 102
K/Sip/1972. Yurisprudensi tersebut pada pokoknya menyatakan, “Menurut hukum
adat yang berlaku, seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang
tua, sehingga ia menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya”.
Yurisprudensi tersebut tampaknya
merupakan satu-satunya sumber hukum tertulis yang dijadikan rujukan hak waris
bagi anak angkat. Itupun berlaku umum, bukan diperuntukkan bagi mereka yang
beragama Islam. KUHPerdata pun menyatakan ahli waris hanyalah
terdiri dari empat golongan dan anak angkat tidak termasuk dalam golongan
tersebut. Ahli waris dalam
KUHPerdata adalah sebagai berikut:
-
Golongan
I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata)
-
Golongan
II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
-
Golongan
III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
-
Golongan
IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara
dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari
pewaris.
Sedangkan Staatblaad 1917 No. 129 yang pada pokoknya menyatakan akibat hukum dari pengangkatan
anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat,
dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan
menjadi ahli waris orang tua angkat, serta akibat pengangkatan tersebut maka
terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena
kelahiran (antara orang tua kandung dan anak tersebut), norma
dalam staatblaad tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 39
Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan “Pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang tua kandungnya”, sehingga norma yang
digaungkan oleh staatbllad tentang beralihnya nasab yang berimbas pada hak
waris tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diberlakukan lagi, karena bertentangan dengan undang-undang
yang lebih baru. Ini adalah konsekuensi asas lex
posterior derogat legi priori, undang-undang yang lebih
baru mengenyampingkan atau menghapus undang-undang yang lebih lama.
Adapun dasar Pengadilan Negeri untuk tetap
menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan memutus perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim adalah
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat
Lingkungan Peradilan (edisi 2007) yang menyatakan “bahwa permohonan
pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan
maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat
mewarisi, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri”.
e.
Mengakhiri
Choice of Court
Praktik pilihan pengadilan (choice of
court) yang selama ini terjadi jelas merupakan kekeliruan. Pilihan
pengadilan dapat membingungkan para pencari keadilan. Selain itu pilihan
pengadilan juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini wajib segera diakhiri.
Asas pemberlakuan hukum adalah lex specialist
derogat legi generali, undang-undang yang lebih khusus diberlakukan dengan mengesampingkan
undang-undang yang lebih umum.
Jika terjadi pertentangan norma antara peraturan perundang-undangan yang lebih
umum dan lebih khusus, maka yang diberlakukan adalah aturan perundang-undangan
yang lebih khusus.
Dalam konteks penelitian ini,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex
specialist) mengenai penetapan pengangkatan anak antar orang yang beragama
Islam. Sehingga undang-undang
tersebut harus menegasikan kewenangan Pengadilan Negeri yang digambarkan secara
sangat umum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum. Sehingga berdasarkan asas tersebut, pengangkatan anak yang subyek
hukumnya beragama Islam adalah kewenangan absolut Pengadilan Agama. Adapun yang
subyek hukumnya bukan beragama Islam, tetap dikembalikan pada norma umum:
kewenangan Pengadilan Negeri.
Seharusnya masalah telah selesai di sini. Namun nyatanya pilihan pengadilan masih saja terjadi.
Realitas ini sepertinya konsekuensi dari: Buku II Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan (edisi 2007)
menyatakan “bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh
pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut
sebagai anak kandung dan dapat mewarisi, maka permohonan diajukan ke Pengadilan
Negeri”. Buku II tersebut ditetapkan melaui Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor KMA/032/SK/IV/2007.
Artinya, ada lagi pertentangan norma.
Norma dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa perkara
Permohonan Pengangkatan Anak dengan subyek hukum beragama Islam adalah
kewenangan Pengadilan Agama, sedangkan norma dalam Buku II menyatakan jika
tujuan permohonannya adalah untuk dapat mewarisi, meskipun subyek hukumnya
beragana Islam, maka diajukan ke Pengadilan Negeri.
Untuk
menjawab pertentangan norma ini, asas keberlakuan hukum menyatakan: lex superior derogat
legi inferior, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan
peraturan yang
lebih rendah
(asas hierarki). Undang-Undang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Jika ada pertentangan norma,
undang-undanglah yang diberlakukan, bukan sebaliknya. Dalam
konteks ini, karena ada pertentangan norma antara Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Buku II (yang ditetapkan melaui Keputusan Ketua Mahkamah Agung
Nomor KMA/032/SK/IV/2007) maka Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang diberlakukan dengan mengesampingkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
Terlepas
dari adanya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007, sebenarnya subtansi
Buku II yang menyatakan bahwa “bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang
diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak
angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewarisi, maka permohonan
diajukan ke Pengadilan Negeri” adalah sebuah norma yang kontraproduktif.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa subtansi Buku II tersebut kontraproduktif:
Pertama: jelas keliru jika parameter yang
digunakan untuk menetapkan ada atau
tidaknya warisan bagi anak angkat diukur dari pengadilan mana yang mengeluarkan
penetapan. Penetapan Pengangkatan Anak tidak dapat menjangkau pembagian waris.
Pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Dari definisi tersebut, jelas bahwa pengangkatan anak
di pengadilan tidak menjangkau mekanisme pembagian waris. Ada atau tidaknya hak
waris adalah konsekuensi dari pengangkatan anak, dan hal itu mempunyai
ketentuan hukum tersendiri.
Kedua: kalaupun Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim benar-benar telah memperoleh penetapan dari Pengadilan
Negeri dan nantinya terdapat masalah (sengketa) dalam pembagian waris, maka
satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
tersebut adalah Pengadilan Agama.
Penjelasan umum Undang-undang No. 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pilihan hukum (choice of forum) dalam perkara waris
Islam sebagaimana diisyaratkan oleh penjelasan Undang-undang No. 7 tahun 1989 secara tegas telah dihapus. Artinya, karena perkara
waris anak angkat tersebut pada akhirnya juga merupakan kewenangan Pengadilan
Agama, maka pastinya hukum meteriil yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa
tersebut adalah Hukum Waris Islam (fara’id),
sehingga penetapan Pengadilan Negeri yang konon katanya ampuh dan dapat
berkonsekuensi memberi hak waris bagi anak angkat akan sia-sia, mangkrak, dan tak berarti apa-apa. Fara’id tidak menghukumi anak angkat
sebagai anak kandung. Tidak ada hak waris bagi anak angkat dalam fara’id.
Ketiga: jika goal
pengangkatan anak adalah agar anak angkat mendapat harta yang ditinggalkan oleh
orangtuanya, maka dalam syari’at Islam pun telah ada lembaga tersendiri,
namanya: wasiat wajibah. Lembaga tersebut diatur dalam Pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan
orang tua angkatnya”. Tidak perlu ada kekhawatiran anak angkat akan sengsara
jika segala ketentuan keperdataannya tunduk pada hukum agama anak yang diangkat
dan agama orang tua angkatnya (Islam).
Selain bertentangan
dengan norma yang lebih tinggi dan kontraproduktif, penetapan kompetensi yang
didasarkan pada tujuan berperkara seperti yang terjadi dalam perkara Permohonan
Pengangkatan Anak ini adalah di luar kelaziman. Kompetensi absolut lazimnya
didasarkan pada: 1) klasifikasi subyek hukum 2) bidang perkara, dan 3) dasar perjanjian
(akad) yang dibangun dalam sebuah transaksi. Bukan pada tujuan berperkara.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum. Dalam sistem negara
hukum, kewenangan absolut badan peradilan (atrributive
competentie; attributive jurisdiction) diatur dan dibagi terpisah. Kewenangan absolut adalah kewenangan
suatu badan peradilan untuk mengadili perkara-perkara tertentu. Pada saat bersamaan, perkara-perkara tertentu tersebut mutlak
tidak dapat diperiksa dan diputus oleh
badan peradilan lainnya.
Dalam kenyataan, terdapat penyimpangan praktik: terdapat choice of court dalam
perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim. Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Agama sama-sama menyatakan berwenang secara absolut untuk memeriksa dan memutus
perkara tersebut. Ini sangat berpotensi memantik ketidakpastian hukum.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1988 tentang Peradilan
Agama, perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Adapun
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan yang memberi pilihan
pengadilan jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, maka harus dikesampingkan keberlakuannya.
Selain bertentangan
dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pengajuan perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri juga kontraproduktif. Alasannya: pertama:
Penetapan Pengangkatan Anak tidak menjangkau pembagian waris, kedua: seandainya
pun telah ada penetapan dari Pengadilan Negeri, jika nantinya terdapat sengketa
dalam pembagian waris, maka satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus sengketa tersebut adalah Pengadilan Agama, sedangkan hukum
materiil kewarisan
yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Hukum Islam, dalam Hukum Islam anak angkat
tidak dapat dihukumi sebagai anak kandung yang diberi hak waris, ketiga: jika goal pengangkatan anak adalah agar anak angkat
mendapat harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya, maka dalam Hukum Islam pun
telah ada lembaga tersendiri: wasiat wajibah, anak angkat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.
Ada
dua langkah yang harus ditempuh oleh para pemangku kebijakan untuk mengakhiri choice of court ini: pertama, Mahkamah Agung harus mengevaluasi
dan merevisi Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, pilihan pengadilan
sebagaimana dimaktub dalam Buku II tersebut jelas bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kedua, Pengadilan
Negeri harus memberi saran, arahan, atau advis kepada justiciabelen yang hendak mengajukan perkara Permohonan
Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri agar mengajukannya ke Pengadilan
Agama, jika perkara terlanjur didaftarkan, seyogyanya hakim menyatakan
permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaart).
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor
112 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 1979.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983.
Surat Edara Mahkamah Agung RI Nomor 3
Tahun 2005.
Ali, Z. Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amiruddin
& Asikin, Z. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Marzuki,
P.M. Penelitian Hukum, Jakarta:
Prenamedia Group, 2014.
Z. Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
hlm. 105.
Amiruddin
& Z. Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali
Press, 2010) hlm. 30.
P.M. Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenamedia Group, 2014)
hlm. 181.