Rabu, 26 Maret 2014

Analisis Sastra Al-Qur'an

Analisis Sastra Terhadap al-Quran, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough
(Telaah Artikel Andrew Rippin)

Oleh: Ahmad Z. Anam

·   Pendahuluan 
John Wansbraugh,—selanjutnya disebut Wansbrough—seorang orientalis yang tergabung dalam School of Oriental and African Studies (SOAS), menyajikan sebuah framework yang memprioritaskan metode-metode analisa sastra terhadap al-Qur'an seperti bacaan antropologi-historis, akan menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang tidak terbayangkan kaum fundamentalis era sekarang. Pemikiran Wansbrough kemudian dijadikan referensi pokok dalam artikel Andrew Rippin, salah satu muridnya.
Kegelisahan yang melatari Wansbraugh berangkat dari pertanyaan mendasar "Dapatkah teks-teks yang tersedia—teks-teks Arab komunitas muslim—yang terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua abad setelah fakta terjadi digunakan untuk menjelaskan bahkan menafsirkan perkembangan lahiriyyah, pemikiran, bahkan spiritual dengan netral?
Pada kelanjutannya, kajian Wansbrough akan menampakkan urgensinya sebagai pencetus upaya sistemik dalam rangka memotret problem-problem Islam masa awal, sebagai pondasi bangunan ke-Islaman.
Dikarenakan "sejarah penyelamatan" atau "sejarah suci" yakni proses pengarahan Tuhan dalam urusan-urausan manusia pada masa Nabi Muhammad sampai pada kita dalam bentuk sastra, maka, metode yang dianggap layak oleh  Wansbrough adalah analisa sastra. Gagasan ini selanjutnya mengantarkannya pada fokus gaya: referensial al-Qur'an.
Kontribusi yang mengedepan dari apa yang disajikan Wansbrough adalah memberikan arah baru dalam kajian Islam, agar islam mampu merevitalisasi dirinya sendiri, sekaligus memberi rambu isyarat atas jalan panjang untuk mencapai hal tersebut.
·         Kegelisahan Akademik
Bertolak dari sedikitnya data-data yang dapat memberikan kesaksian ”netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal—baik kuantitas data arkeologi, bukti numismatic, bahkan dokumen-dokumen yang sangat dibutuhkan—mengusik kegelisahan Wansbrough untuk merancang sebuah metode yang mampu membaca Islam pada masa awal dengan senetral mungkin.
Tafsir, dengan asbab an-nuzul-nya, yang selama ini dianggap mapan, ternyata justru membatasi pemahaman al-Qur’an itu sendiri. Materi-materi yang termuat dalam tafsir bukan nilai sejarahnya, tetapi nilai tafsirnya.
Disisi lain, diakui maupun tidak, ilmu modern mendekati Islam dengan cara yang sama seperti cara tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yakni agama yang terpancang oleh sejarah.
Hal inilah kemudian menginspirasi Wansbrough untuk menjawab beberapa persoalan yang tidak biasa dipaparkan dalam kajian Islam. Wansbrough berusaha menyelami “sejarah penyelamatan” yang terangkum dalam al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh tafsir, sirah dan teologi, yang sampai pada kita dalam bentuk sastra dengan pendekatan yang layak dan semestinya diaplikasikan: analisis sastra.
·         Pentingnya Topik Penelitian
Urgensi dari penelitian Wansbrough adalah menyajikan upaya sistemik untuk mengatasi problem yang terlibat dalam pengkajian masa awal. Kritik terhadap sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan melepaskan pandangan teologis dari sejarah pada masa awal, merupakan “misi” utama sekaligus embrio atas karya-karyanya: Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation dan Sectorian Mileu: Conten and Compotition of Islamic Salvation.
Metodologi Wansbrough membuka pikiran kita akan penyikapan yang equal terhadap semua peristiwa yang terjadi pada masa awal: semua data yang terdokumentasi oleh Islam pada masa awal harus dipandang sebagai “sejarah penyelamatan”. Seluruh komponen sejarah penyelamatan Islam adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia.
·         Hasil Penelitian Terdahulu
Dalam kajian ini, Andrew Rippin menghadirkan telaah yang disajikan para peneliti pendahulu Wansbrough, yang sedikit banyak memiliki singgungan pemikiran dengan gurunya tersebut. Diantaranya: Goldziher, Schats, Harry A. Wolfson, Charles J. Adam, dan Ricard Bell.
Goldziher, terlebih Schats memahami bahwa sabda-sabda yang disandarkan pada Nabi Muhammad dan yang digunakan untuk mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarrnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan doktrin sedang mencari dukungan dari suatu kekuatan yang bernama sunnah.
Adalah Harry A. Wolfson, peneliti yang memiliki titik kesamaan dengan Wansbroaugh, dengan mengajukan praduga metodologis, untuk menguji pertanyaan, “jika kita berasumsi demikian, apakah datanya tepat?”. Wolfson menggunakan metode ilmiah untuk memperkirakan dan memverifikasi.
Sementara Charles J. Adam mengemukakan pernyataan, ”Materi-materi sebagai pembentuk teks al-Qur’an telah tersusun dalam teks, sejarah teks, uraian bacaan, dan hubungan al-Qur’an dengan literatur yang telah diteliti sepenuhnya. Namun pernyataan ini ditepis oleh Wansbrough. Menurutnya, kita baru mengupas permukaan kajian ini. Hal ini dikarenakan semua kajian terdahulu bersepakat atas data normatif yang berasal dari tradisi dan kajian-kajian dengan menggunakan model positivistik: perhatian yang menyingkap dan menjelaskan keadaan setelah munculnya Islam dikalangan orang Arab.
Richard Bell, meskipun ia menggunakan metode injili yang konsekuen dengan dengan hipotesis dokumenter, hal ini tidak menmbuat kemajuan untuk memecahkan maksud-maksud implisit mengenai pemahaman al-Qur’an.
·         Metodologi Penelitian
Berangkat dari pernyataan Wansbrough “Semua korpus dokumentasi Islam pada masa awal harus dipandang sebagai “sejarah penyelamatan” --apa yang dicoba dibuktikan oleh al-Qur’an dan apa yang dijelaskan oleh kaya-karya tafsir, sirah dan teologi adalah bagaimana rangkaian peristiwa yang terpusat pada nabi muhammad yang diarahkan oleh Tuhan. Seluruh peristiwa ”sejarah penyelamatan Islam” adalah sarana untuk melihat peran Tuhan dalam mengarahkan manusia. Kemudian, sampailah rekaman sejarah penyelamatan tersebut kehadapan kita dalam bentuk sastra. Hal ini meniscayakan pendekatan analisis sastra untuk memahaminya, sebagai suatu keharusan dan upaya yang sangat layak untuk diaplikasikan.
Wansbrough berusaha untuk membebaskan studi al-Qura’an dari kecenderungan fundamentalis dari mayoritas perlakuan modern, dimana gagasan tentang makna/maksud asli diburu tanpa kenal lelah, tetapi secara ultim tidak bermakna. Menurut Wansbrough, kondisi seperti ini dipicu oleh dua faktor yang telah ada dalam metodologi studi Islam: pertama, Pendekatan historis-filologis terjebak oleh spesialisasi pada sebagian penganjurnya. Bahkan, saat ini, sangat sedikit sarjana yang aktif begerak dengan kecerdasan yang sama melingkupi seluruh kerangka keagamaan dan istilah-istilah pentingnya. Kedua, pendekatan irenic, yang menurut Charles J. Adam bertujuan menuju penghargaan yang lebih besar atas keberagamaan Islam, telah melahirkan keengganan sarjana untuk mengikuti semua proses penyelesaian melalui pandangan dan hasil-hasil mereka.
Wansbrough memilah empat motif utama dalam al-Qur’an, semuanya berasal dari “bahan tamsil monoiteistik tradisional, yaitu”: ganjaran Tuhan, Ibrah, pengasingan, dan janji. Rangkaian item tersebut kemudian membawanya untuk memfokuskan pandangannya terhadap al-Qur’an dalam hal gaya referensial al-Qur’an. Audien al-Qur’an dipandang mampu mengisi detil-detil yang hilang dari narasi. Hanya saja, ketika Islam telah hadir sebagai entitas  yang mempunyai identitas yang mapan dan stabil—berdasarkan struktur politik—-kemudian melakukan ekspansi keluar negeri, maka materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan intelektualitas aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis—eksplikasi yang tersedia adalah tafsir dan sirah.
Contoh yang dihadirkan Wansbrough untuk mejelaskan tentang karakter referensial al-Qur’an adalah kisah Yusuf dan saudara-saudaranya yang lain. Dalam surat 12.59 paralel dengan kisah Injil dalam genesis 42.3-13. Pengetahuan tentang kisah dalam genesis diterima oleh sebagian audien al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah yang disebabkan kekhawatiran Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an “Bawalah padaku saudara laki-laki dari ayahmu”  tidak muncul dalam konteks al-Qur’an.
Karakter referensial al-Qur’an dipandang cukup signifikan untuk memecahkan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap al-Qur’an yang melihat karakter “Arabia secara khusus” dengan menafikan latar belakang Judeo-Kristiani secara menyeluruh.
Berkenaan dengan tafsir, Wansbrough merujuk Geza Vermes dan Raphael Loewe, mereka menekankan kajian yang menyeluruh dengan memperhatikan konteks historis tulisan itu dan pada konteks sastranya. Analisis terhadap tafsir akan menyusun pandangan mendasar bagi pengkajinya. Disamping itu, ”penjarahan tafsir” dengan tujuan mendukung kepentingan kelompok harus segera direm laju perjalanannya.
Sirah, yang oleh Wansbrough dipandang sebagai penafsiran, memiliki peran yang begitu besar dalam Islam. Sirah merupakan kesaksian narasi terhadap versi “sejarah penyalamatan Islam”. yang paling menonjol dalam konteks ini adalah analisis Wansbrough tentang muatan sirah yang terelaborasi menjadi beberapa motif polemik tradisional bagi lingkungan sekterian timur dekat. Item-itemnya seperti prognosis (ramalan) Nabi Muhammad dalam kitab suci Yahudi dan penolakan Yahudi terhadap prognosis tersebut.
·          Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Ruang lingkup kajian Wansbrough adalah sumber-sumber data yang tersedia dari rangkaian "sejarah penyelamatan", sebagai sarana menjelaskan pondasi-pondasi historis agama. Cakupannya: kitab suci, tafsir, dan sirah.
Sementara kata kunci yang digunakan adalah: salvation history (sejarah penyelamatan), sacret history (sejarah suci), literary analysis (analisis sastra), dan referential (model referensi).
·          Kontribusi Dalam Ilmu-ilmu Keislaman
Kontribusi yang dimiliki kajian ini diantaranya: pertama, memberikan arah baru kajian Islam agar dapat merevitalisasi dirinya sendiri, Wansbrough telah memberi rambu isyarat yang terlukis pada perjalanan panjang, meskipun jalan ini masih membutuhkan penyibakan dikemudiannya. Kedua, memberikan pemahaman baru tentang cara pandang terhadap semua korpus dokumentasi masa Islam awal, kesemuanya dipandang sebagai  “sejarah penyelamatan”.
·         Logika dan Sistematika Penulisan
Dalam tulisannya, Andrew Rippin memulai dengan kegelisahan yang ada pada Wansbrough, kemudian dilanjutkan dengan menelusur hakikat "sumber", sebagai pondasi yang membentuk bangunan sejarah Islam. Pasca kesemuanya terdeskripsi dengan detail, Andrew Rippin lantas menyajikan pendekatan yang digunakan Wansbrough dalam mengkaji al-Qur'an: metode analisa sastra.





1 komentar: