Analisis
Sastra Terhadap al-Quran, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough
(Telaah Artikel Andrew Rippin)
Oleh: Ahmad Z. Anam
·
Pendahuluan
John Wansbraugh,—selanjutnya disebut Wansbrough—seorang
orientalis yang tergabung dalam School of Oriental and African Studies
(SOAS), menyajikan sebuah framework yang memprioritaskan
metode-metode analisa sastra terhadap al-Qur'an seperti bacaan antropologi-historis,
akan menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan sebuah refleksi yang tidak
terbayangkan kaum fundamentalis era sekarang. Pemikiran Wansbrough kemudian
dijadikan referensi pokok dalam artikel Andrew Rippin, salah satu muridnya.
Kegelisahan yang melatari Wansbraugh berangkat dari
pertanyaan mendasar "Dapatkah teks-teks yang tersedia—teks-teks Arab
komunitas muslim—yang terdiri dari sejumlah literatur yang berasal dari dua
abad setelah fakta terjadi digunakan untuk menjelaskan bahkan menafsirkan
perkembangan lahiriyyah, pemikiran, bahkan spiritual dengan netral?
Pada kelanjutannya, kajian Wansbrough akan menampakkan
urgensinya sebagai pencetus upaya sistemik dalam rangka memotret
problem-problem Islam masa awal, sebagai pondasi bangunan ke-Islaman.
Dikarenakan "sejarah penyelamatan" atau
"sejarah suci" yakni proses pengarahan Tuhan dalam urusan-urausan
manusia pada masa Nabi Muhammad sampai pada kita dalam bentuk sastra, maka,
metode yang dianggap layak oleh
Wansbrough adalah analisa sastra. Gagasan ini selanjutnya mengantarkannya pada fokus gaya: referensial
al-Qur'an.
Kontribusi yang mengedepan
dari apa yang disajikan Wansbrough adalah memberikan arah baru dalam kajian
Islam, agar islam mampu merevitalisasi dirinya sendiri, sekaligus memberi rambu
isyarat atas jalan panjang untuk mencapai hal tersebut.
·
Kegelisahan
Akademik
Bertolak dari
sedikitnya data-data yang dapat memberikan kesaksian ”netral” untuk mengkaji
Islam pada masa awal—baik kuantitas data arkeologi, bukti numismatic, bahkan
dokumen-dokumen yang sangat dibutuhkan—mengusik kegelisahan Wansbrough untuk
merancang sebuah metode yang mampu membaca Islam pada masa awal dengan senetral
mungkin.
Tafsir, dengan asbab
an-nuzul-nya, yang selama ini dianggap mapan, ternyata justru
membatasi pemahaman al-Qur’an itu sendiri. Materi-materi yang termuat dalam
tafsir bukan nilai sejarahnya, tetapi nilai tafsirnya.
Disisi lain, diakui
maupun tidak, ilmu modern mendekati Islam dengan cara yang sama seperti cara
tradisional memperlakukan Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yakni agama
yang terpancang oleh sejarah.
Hal inilah kemudian
menginspirasi Wansbrough untuk menjawab beberapa persoalan yang tidak biasa
dipaparkan dalam kajian Islam. Wansbrough berusaha menyelami “sejarah
penyelamatan” yang terangkum dalam al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh tafsir,
sirah dan teologi, yang sampai pada kita dalam bentuk sastra dengan pendekatan
yang layak
dan semestinya diaplikasikan: analisis sastra.
·
Pentingnya
Topik
Penelitian
Urgensi dari
penelitian Wansbrough adalah menyajikan upaya sistemik untuk mengatasi problem
yang terlibat dalam pengkajian masa awal. Kritik terhadap sumber dari sudut
pandang sastra, dengan tujuan melepaskan pandangan teologis dari sejarah pada
masa awal, merupakan “misi” utama
sekaligus embrio atas karya-karyanya: Qur’anic Studies: Sources and Method
of Scriptural Interpretation dan Sectorian Mileu: Conten and Compotition
of Islamic Salvation.
Metodologi Wansbrough membuka pikiran kita akan
penyikapan yang
equal terhadap semua
peristiwa yang terjadi pada masa awal: semua data yang terdokumentasi oleh
Islam pada masa awal harus dipandang sebagai “sejarah penyelamatan”. Seluruh
komponen sejarah penyelamatan Islam
adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama, yaitu pemahaman sejarah
yang melihat peran tuhan dalam mengarahkan urusan-urusan manusia.
·
Hasil
Penelitian Terdahulu
Dalam kajian ini, Andrew Rippin menghadirkan telaah
yang disajikan para peneliti pendahulu Wansbrough, yang sedikit banyak memiliki
singgungan pemikiran dengan gurunya tersebut. Diantaranya: Goldziher, Schats,
Harry A. Wolfson, Charles J. Adam, dan Ricard Bell.
Goldziher, terlebih Schats memahami bahwa
sabda-sabda yang disandarkan pada Nabi Muhammad dan yang digunakan untuk
mendukung posisi hukum atau doktrin dalam Islam sebenarrnya berasal
dari periode kemudian, dari masa-masa ketika posisi hukum dan
doktrin sedang mencari dukungan dari suatu kekuatan yang bernama sunnah.
Adalah Harry A. Wolfson, peneliti yang memiliki
titik kesamaan dengan Wansbroaugh, dengan mengajukan praduga metodologis, untuk
menguji pertanyaan, “jika kita berasumsi demikian, apakah datanya tepat?”. Wolfson
menggunakan metode ilmiah untuk memperkirakan dan memverifikasi.
Sementara Charles J. Adam mengemukakan pernyataan, ”Materi-materi sebagai pembentuk teks al-Qur’an telah tersusun dalam
teks, sejarah teks, uraian bacaan, dan hubungan al-Qur’an dengan literatur yang
telah diteliti sepenuhnya. Namun pernyataan ini ditepis oleh Wansbrough.
Menurutnya, kita baru mengupas permukaan kajian ini. Hal ini dikarenakan semua
kajian terdahulu bersepakat atas data normatif yang berasal dari tradisi dan
kajian-kajian dengan menggunakan model positivistik:
perhatian yang menyingkap dan menjelaskan keadaan
setelah munculnya Islam dikalangan orang Arab.
Richard Bell, meskipun ia menggunakan metode injili
yang konsekuen dengan dengan hipotesis dokumenter, hal ini tidak menmbuat kemajuan untuk
memecahkan maksud-maksud implisit mengenai pemahaman al-Qur’an.
·
Metodologi Penelitian
Berangkat dari pernyataan Wansbrough “Semua
korpus dokumentasi Islam pada masa awal harus dipandang sebagai “sejarah
penyelamatan” --apa yang dicoba dibuktikan oleh al-Qur’an dan apa yang
dijelaskan oleh kaya-karya tafsir, sirah dan teologi adalah bagaimana rangkaian
peristiwa yang terpusat pada nabi muhammad yang diarahkan oleh Tuhan. Seluruh
peristiwa ”sejarah penyelamatan Islam” adalah sarana untuk melihat peran Tuhan
dalam mengarahkan manusia. Kemudian, sampailah rekaman sejarah penyelamatan
tersebut kehadapan kita dalam bentuk sastra. Hal ini meniscayakan pendekatan
analisis sastra untuk memahaminya, sebagai suatu keharusan dan upaya yang
sangat layak untuk diaplikasikan.
Wansbrough berusaha untuk membebaskan studi
al-Qura’an dari kecenderungan fundamentalis dari mayoritas perlakuan modern,
dimana gagasan tentang makna/maksud asli diburu tanpa kenal lelah, tetapi
secara ultim tidak bermakna. Menurut Wansbrough, kondisi seperti ini dipicu
oleh dua faktor yang telah ada dalam metodologi studi Islam: pertama, Pendekatan
historis-filologis terjebak oleh spesialisasi pada sebagian penganjurnya.
Bahkan, saat ini, sangat sedikit sarjana yang aktif begerak dengan kecerdasan
yang sama melingkupi seluruh kerangka keagamaan dan istilah-istilah pentingnya.
Kedua, pendekatan irenic, yang menurut Charles J. Adam bertujuan
menuju penghargaan yang lebih besar atas keberagamaan Islam, telah melahirkan
keengganan sarjana untuk mengikuti semua proses penyelesaian melalui pandangan
dan hasil-hasil mereka.
Wansbrough memilah empat motif utama dalam
al-Qur’an, semuanya berasal dari “bahan tamsil monoiteistik tradisional,
yaitu”: ganjaran Tuhan, Ibrah, pengasingan, dan janji. Rangkaian item
tersebut kemudian membawanya untuk memfokuskan pandangannya terhadap al-Qur’an
dalam hal gaya referensial al-Qur’an. Audien al-Qur’an dipandang mampu mengisi
detil-detil yang hilang dari narasi. Hanya saja, ketika Islam telah hadir
sebagai entitas yang mempunyai identitas
yang mapan dan stabil—berdasarkan struktur politik—-kemudian melakukan ekspansi
keluar negeri, maka materi al-Qur’an menjadi jauh dari lingkungan
intelektualitas aslinya dan membutuhkan eksplikasi tertulis—eksplikasi yang
tersedia adalah tafsir dan sirah.
Contoh yang dihadirkan Wansbrough untuk
mejelaskan tentang karakter referensial al-Qur’an adalah kisah Yusuf dan
saudara-saudaranya yang lain. Dalam surat 12.59 paralel dengan kisah Injil
dalam genesis 42.3-13. Pengetahuan tentang kisah dalam genesis diterima oleh
sebagian audien al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an tidak disebutkan sebelumnya
tentang Benjamin dan kepergiannya dari rumah yang disebabkan kekhawatiran
Ya’kub atas keselamatannya. Pernyataan Yusuf dalam al-Qur’an “Bawalah padaku
saudara laki-laki dari ayahmu” tidak
muncul dalam konteks al-Qur’an.
Karakter referensial al-Qur’an dipandang
cukup signifikan untuk memecahkan ketidakcukupan satu pendekatan terhadap
al-Qur’an yang melihat karakter “Arabia secara khusus” dengan menafikan latar
belakang Judeo-Kristiani secara menyeluruh.
Berkenaan dengan tafsir, Wansbrough merujuk
Geza Vermes dan Raphael Loewe, mereka menekankan kajian yang menyeluruh dengan
memperhatikan konteks historis tulisan itu dan pada konteks sastranya. Analisis
terhadap tafsir akan menyusun pandangan mendasar bagi pengkajinya. Disamping
itu, ”penjarahan tafsir” dengan tujuan mendukung kepentingan kelompok harus
segera direm laju perjalanannya.
Sirah, yang oleh Wansbrough dipandang sebagai
penafsiran, memiliki peran yang begitu besar dalam Islam. Sirah merupakan
kesaksian narasi terhadap versi “sejarah penyalamatan Islam”. yang paling
menonjol dalam konteks ini adalah analisis Wansbrough tentang muatan sirah yang
terelaborasi menjadi beberapa motif polemik tradisional bagi lingkungan
sekterian timur dekat. Item-itemnya seperti prognosis (ramalan) Nabi Muhammad
dalam kitab suci Yahudi dan penolakan Yahudi terhadap prognosis tersebut.
·
Ruang Lingkup dan
Istilah Kunci Penelitian
Ruang lingkup kajian Wansbrough adalah
sumber-sumber data yang tersedia dari rangkaian "sejarah
penyelamatan", sebagai sarana menjelaskan pondasi-pondasi historis agama.
Cakupannya: kitab suci, tafsir, dan sirah.
Sementara kata kunci yang digunakan adalah: salvation
history (sejarah penyelamatan), sacret history (sejarah suci), literary
analysis (analisis sastra), dan referential (model referensi).
·
Kontribusi Dalam
Ilmu-ilmu Keislaman
Kontribusi yang dimiliki kajian ini
diantaranya: pertama, memberikan arah baru kajian Islam agar dapat
merevitalisasi dirinya sendiri, Wansbrough telah memberi rambu isyarat yang
terlukis pada perjalanan panjang, meskipun jalan ini masih membutuhkan penyibakan
dikemudiannya. Kedua, memberikan pemahaman baru tentang cara pandang
terhadap semua korpus dokumentasi masa Islam awal, kesemuanya dipandang sebagai
“sejarah penyelamatan”.
·
Logika dan Sistematika Penulisan
Dalam tulisannya, Andrew Rippin
memulai dengan kegelisahan yang ada pada Wansbrough, kemudian dilanjutkan
dengan menelusur hakikat "sumber", sebagai pondasi yang membentuk
bangunan sejarah Islam. Pasca kesemuanya terdeskripsi dengan detail, Andrew
Rippin lantas menyajikan pendekatan yang digunakan Wansbrough dalam mengkaji
al-Qur'an: metode analisa sastra.
Makasih ya atas postingannya, semoga bermanfaat
BalasHapus