Ngaji Online: Embrio Pondok Pesantren Virtual
Saya pernah merasa khawatir atas masa depan kajian turats (baca: kitab kuning). Kekhawatiran saya dipicu dua hal:
Pertama: pada tahun 2014-an, kajian Islam--khususnya di dunia maya--dipenuhi dengan materi-materi dakwah yang mengusung tema besar "kembali ke [terjemah] Qur'an dan Sunnah". Pada saat itu kajian turats hampir tidak mendapat tempat di ruang maya.
Kedua: di saat yang bersamaan, pesantren salafiyah masih saja terperangkap dalam stigma: kuno; ketinggalan zaman; kemproh, dan alumninya dipandang tidak kompetitif untuk mengambil bagian dalam pembangunan kehidupan berbangsa.
Namun kekhawatiran saya mulai sirna sejak Ramadhan 1438 Hijriyyah. Alasannya: sejak saat itu ngaji kitab kuning mulai diperkenalkan di dunia maya. Kajian turats livestreaming via facebook yang pertama kali saya jumpai adalah: ngaji Ihya'; dibalah oleh Gus Ulil Abshar Abdalla; disiarkan secara langsung Ning Ienas Tsuroiya binti Musthofa Bisri.
Awalnya saya memang tidak terlalu optimis:
1. Apakah pengajian tersebut akan dapat istiqomah seperti pengajian di pesantren?
2. Apakah generasi millenial tertarik dengan kajian kitab kuning?
Seiring berjalannya waktu optimisme saya semakin menebal. Kenyataan menunjukkan pengajian kitab online tersebut makin hari makin istiqomah dan diminati netizen (santri online), bahkan hingga saat ini (Ramadhan 1441 Hijriyyah). Kitab yang dikaji juga makin beragam: hingga ke Bidayatul Mujtahid dan Al-Munqid min adh-Dholal.
Puncak dari optimisme saya atas cerahnya masa depan kajian turats adalah saat Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Sejak saat itu, pesantren diakui sebagai penyelenggara pendidikan Nasional. Tentu ini menjadi sebuah garansi bagi kelestarian pengajian turats.
Apakah dengan populernya pengajian kitab kuning dan juga dengan telah adanya garansi konstitusi (aturan perundang-undangan) telah menjamin pengajian turats akan terus digandrungi dan tetap lestari? Belum tentu. Jaman terus melesat. Strategi ke depan perlu disiapkan.
Saya teringat pepatah "al-haqqu bila nidzomin yaghlibuhu al-bathilu binidzomin". Semua bentuk kegiatan baik--termasuk pengajian online, harus terorganisasi dengan baik. Demi eksistensi pengajian itu sendiri.
Saya menyebut pengajian online yang selama ini berjalan barulah sebuah embrio. Embrio idealnya harus terus tumbuh dan berkembang menjadi "wujud kamil"-nya.
Pada nihayah tulisan saya ini membesitkan harapan besar: agar embrio yang telah ada ini dapat diorganisasi dan diejawantahkan menjadi Pondok Pesantren Virtual. "Pondok Pesantren" dikenal sebagai laboratorium kajian Islam terbaik. Sedangkan "Virtual" adalah jawaban atas tuntutan zaman.
Selain alasan an-nidzom, urgensi pembentukan Pondok Pesantren Virtual tentu juga diilhami dari kebutuhan kejelasan sanad keilmuan, yang merupakan ciri khas Islamic Studies.
Pada Pondok Pesantren Virtual tersebut, Gus Ulil dan Ning Ienas Tsuroiya sebagai muassisnya. Saya dan kawan-kawan lain siap menjadi santri online-nya. Semoga terijabah.