MENGAKHIRI CHOICE OF COURT DALAM PERKARA PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK MUSLIM
Ahmad Z. Anam
Kenyataan memaksa kita untuk percaya bahwa choice of court (pilihan pengadilan) dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim itu benar-benar ada. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sama-sama menyatakan berwenang secara absolut untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dualisme ini jelas bukan kondisi ideal dalam sebuah negara hukum. Realitas ini bahkan membawa arah hukum menjauh dari salah satu cita-cita hukum: kepastian. Penelitian ini merumuskan dua masalah utama: 1) pengadilan mana yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim? 2) Bagaimana langkah untuk mengakhiri choice of court dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konseptual (conceptual aproach). Sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian: 1) Perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim mutlak kewenangan Pengadilan Agama 2) Terdapat dua cara untuk mengakhiri choice of court: pertama, Mahkamah Agung harus mengevaluasi dan merevisi Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, khususnya terkait kompetensi absolut perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim, kedua, Pengadilan Negeri harus memberikan advis kepada pihak yang hendak mendaftarkan perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim untuk mengajukan permohonannya kepada lembaga yang berwenang: Pengadilan Agama, jika perkara terlanjur didaftarkan, maka hakim seyogyanya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaart).
Kata kunci: kompetensi, pengadilan, pengangkatan anak muslim
Pendahuluan
a) Latar Belakang
Salah satu tujuan hukum adalah recht-secherheit (kepastian hukum).[1] Kepastian hukum secara normatif adalah kondisi ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti; jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan multi-tafsir, logis dalam artian tidak berbenturan dengan norma lain atau tidak menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.
Salah satu instrumen untuk mewujudkan kepastian hukum adalah adanya pembagian kewenangan peradilan. Pembagian kewenangan ini dapat dipilah menjadi empat jenis:
1. Pembagian kewenangan level instansional (Tingkat Pertama, Banding, dan Kasasi). Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih rendah (inferior court), tidak dapat diajukan langsung ke peradilan yang lebih tinggi (superior court). Begitu juga sebaliknya.
2. Pembagian kewenangan berdasarkan lingkungan peradilan. Inilah yang disebut dengan atribusi kekuasaan (atrributive competentie; attributive jurisdiction). [2] Perkara yang telah dilimpahkan kewenangan absolutnya terhadap sebuah lingkungan peradilan, tidak dapat diajukan kepada peradilan lainnya.
3. Pembagian kewenangan khusus (specific jurisdiction). Kewenangan ini merupakan amanat konstitusi terhadap lembaga ekstra yudisial, seperti: Arbritase dan Mahkamah Pelayaran.
4. Pembagian kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi. Ini adalah kewenangan relatif dalam satu lingkungan peradilan. Faktor locality adalah pembatas kewenangan ini.[3]
Pembahasan penelitian ini berfokus pada pembagian kewenangan berdasarkan lingkungan peradilan (atrributive competentie).
Menurut Pasal 24 UUD NRI dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kewenangan yang telah dibagi-terpisah berdasarkan yurisdiksi (sparation court system based on jurisdiction).
Yahya Harahap mengemukakan dasar-dasar sistem pemisahan yurisdiksi sebagai berikut:
1. Didasarkan pada lingkungan kewenangan;
2. Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu (diversity jurisdiction);
3. Kewenangan tertentu tersebut menciptakan kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction, dan;
4. Masing-masing lingkungan peradilan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan aturan perundang-undangan kepadanya.[4]
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat ditarik sebuah benang merah: setiap lingkungan peradilan memiliki kompetensi absolut yang tidak dimiliki, bahkan tidak boleh dimiliki oleh lingkungan peradilan lain. Inilah kondisi ideal dalam sebuah pembagian atribusi kekuasaan.
Meski atribusi kewenangan absolut telah dibagi oleh aturan perundang-undangan, dalam praktikya masih ada saja tumpang-tindih kewenangan antar peradilan. Salah satu bentuk tumpang-tindih kewenangan tersebut adalah adanya pilihan hukum (choice of court) dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim. Maksud “Permohonan Pengangkatan Anak Muslim“ dalam konteks penelitian ini adalah sebuah perkara Permohonan Pengangkatan anak, yang diajukan oleh Pemohon beragama Islam, dengan calon anak yang diangkat juga beragama Islam. Realitas menunjukkan bahwa Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) dan Peradilan Agama (Pengadilan Agama) sama-sama menyatakan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dualitas kewenangan ini telah menjadi fakta umum (notoire feiten). Hal ini dapat dilacak di Direktori Putusan Mahkamah Agung. Terdapat banyak penetapan pengangkatan anak muslim yang dikeluarkan oleh dua lingkungan peradilan berbeda: Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Kondisi ini tentu merupakan penyimpangan dari idealitas penegakan hukum. Penelitian ini berusaha untuk mengurai akar kusut permasalahan ini dan tujuan tertingginya: mengakhiri choice of court dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim.
b) Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah dideskripsikan di atas, penelitian ini merumuskan dua pokok masalah:
1. Pengadilan mana yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim?
2. Bagaimana langkah untuk mengakhiri choice of court dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim?
c) Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengkaji norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.[5] Penelitian yuridis-normatif juga meneliti kaidah hukum dan filsafat hukum. Penelitian ini mengkaji kompetensi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon yang beragama Islam dan calon anak yang diangkat juga beragama Islam.
Terdapat dua pendekatan dalam penelitian ini: pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konseptual (conceptual aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji masalah secara normatif—baik dari perspektif ius constitutum maupun ius constituendum. Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji kondisi ideal dan tujuan pokok adanya pembagian kewenangan absolut sebuah pengadilan dalam sebuah perkara, dalam penelitian ini adalah perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sehingga sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah tersedia, meliputi: dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian dan lain sebagainya.[6]
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif.[7] Bahan hukum primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selanjutnya diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, selanjutnya diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua kajian hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Bahan sekunder paling utama dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lain seputar kewenangan pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim.
c) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, kamus bahasa, kamus ilmiah, dan ensiklopedia.
Pembahasan
a. Kompetensi Absolut Pengadilan
Kewenangan absolut (absolute competency) adalah the right in a court to exercise jurisdiction in a particular case (kewenangan suatu badan peradilan untuk mengadili perkara tertentu).[8] Soeroso mendefinisikan kewenangan absolut sebagai kewenangan badan peradilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan peradilan lainnya.[9] Berdasarkan definisi tersebut, Natsir Asnawi memberikan kesimpulan sebagai berikut:[10]
1. Kewenangan badan peradilan adalah kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu (specified matters);
2. Pada saat bersamaan, perkara-perkara tersebut mutlak tidak dapat diadili oleh badan peradilan dalam lingkungan peradilan lainnya.
Kewenangan absolut masing-masing lingkungan peradilan telah diatur secara terperinci dalam aturan perundang-undangan: 1) Peradilan Umum kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, 2) Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, 3) Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, 4) Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Kompetensi Peradilan Umum berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah memeriksa dan memutus perkara: pidana (umum dan khusus) dan perdata (perdata umum dan niaga).[11]
Dalam lingkungan Peradilan Umum, terdapat Pengadilan Negeri (menangani pidana dan perdata umum) serta pengadilan khusus, seperti: Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Tipikor, dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kompetensi Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Bunyi pasal tersebut adalah:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kompetensi Peradilan Militer sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri prajurit TNI berdasarkan pangkat tertentu.
b. Pengangkatan Anak Muslim Pasca UU Nomor 3 Tahun 2006
Meski Peradilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara antara orang-orang Islam di bidang perkawinan (beserta cabang-cabang perkara perkawinan) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, namun kewenangan memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak belumlah diatur secara eksplisit dalam undang-undang tersebut. Pasal 49 undang-undang tersebut hanya memberi batasan kewenangan global sebagai berikut:
1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Artinya, sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 hingga sesaat sebelum diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006, Peradilan Agama belum memiliki kompetensi yang jelas untuk memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak, meskipun Pemohon dan calon anak yang akan diangkat beragama Islam.
Tidak adanya otomatisasi pelimpahan kewenangan ini disebabkan karena kompetensi absolut dalam perkara voluntair harus ditunjuk dan ditentukan oleh aturan perundang-undangan secara tegas. Selama belum ada ketentuan yang menunjukkan, sebuah peradilan tidak memiliki kompetensi untuk memeriksa dan memutus perkara voluntair.
Ini tentunya berbeda dengan perkara kontensius. Dalam perkara kontensius, selama induk perkara telah menjadi kewenangan suatu pengadilan, maka cabang-cabang dari induk perkara tersebut secara otomatis juga menjadi kewenangan pengadilan yang ditunjuk. Sebagai contoh: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebut kewenangan Pengadilan Agama adalah perkara bidang perkawinan antar orang-orang Islam. Meskipun tidak disebut tegas, namun seluruh cabang-cabang perkara perkawinan antar orang Islam yang bersifat kontensius (misal: sengketa sah tidaknya seorang anak, hadhanah, harta bersama, nafkah madhiyah, pembatalan perkawinan, dll.) secara otomatis juga merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Singkat cerita, pada tanggal 20 Maret 2006, lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1988 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini lahir dengan alasan utama: Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[12]
Peta kompetensi kemudian berubah sejak undang-undang tersebut diberlakukan. Pasal 49 beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut dengan sangat tegas dan gamblang memberikan kewenangan permohonan Pengangkatan Anak dengan subyeknya orang-orang Islam kepada Pengadilan Agama. Pasal dan penjelasan tersebut selengkapnya berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. dst...;”
Penjalasan pasalnya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. ....
2. ....
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. dst...”
Undang-Undang inilah yang menjadi jawaban atas penantian panjang bagi masyarakat Islam yang berkehendak melakukan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, di pengadilan yang hukum materiilnya berlandaskan syari’at Islam (baca: Pengadilan Agama). Undang-Undang ini juga idealnya mampu memberi batasan yang sangat tegas terkait kewenangan pengadilan dalam memeriksa perkara Permohonan Pengangkatan Anak: jika pemohon dan anak yang akan diangkat beragama selain Islam adalah kewenangan Pengadilan Negeri, sedangkan jika pemohon dan calon anak yang akan diangkat beragama Islam maka adalah kewenangan Pengadilan Agama.
c. Prinsip-Prinsip Pengangkatan Anak pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
Terdapat banyak kesamaan prinsip pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Di sisi lain, menurut beberapa peneliti, ada juga perbedaan prinsip antara keduanya. Prinsip pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut: [13]
1. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak;
2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;
3. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan hukum atau kekeluargaan dengan orangtua kandungnya atau keduanya tidak memutus nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya;
4. Motivasi pengangkatan anak semata-mata untuk kebaikan bersama dan saling tolong-menolong;
5. Anak angkat dapat memperoleh hak waris selayaknya anak kandung;
Adapun prinsip-prinsip pengangkatan anak Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:[14]
1. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak;
2. Pengangkatan anak tidak boleh menjadikan anak angkat sebagai anak kandung;
3. Pengangkatan anak menurut Hukum Islam merupakan peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan untuk biaya hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainnya;
4. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;
5. Pengangkatan anak tidak boleh memutus nasab dengan orang tua kandungnya;
6. Anak angkat dengan orang tua angkat tidak saling mewarisi, tetapi mereka mempunyai hubungan keperdataan wasiat wajibah.
Jika diperhatikan seksama, prinsip yang membedakan pengangkatan anak antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama—sebagaimana dideskripsikan para peneliti di atas—hanyalah ada atau tidak adanya hak waris. Pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri mengenal hak waris, sedangkan di Pengadilan Agama tidak ada hak waris, yang ada adalah wasiat wajibah. Namun juga perlu diperhatikan kembali, bahwa ada atau tidaknya hak waris adalah sebuah akibat hukum (konsekuensi) atas pengangkatan anak. Bukan bagian integral dari pemeriksaan perkara dan penetapannya. Pemeriksaan perkara Permohonan Pengangkatan Anak tidak menjangkau soal kewarisan. Ada atau tidak adanya hak waris tidak pernah ada dalam pertimbangan ataupun amar penetapan.
Sehingga menurut penulis, ada atau tidaknya hak waris tidaklah tepat dimasukkan dalam kategori prinsip pengangkatan anak pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Ada atau tidak adanya hak waris lebih tepatnya masuk dalam ranah prinsip pengangkatan anak dalam perspektif Staadblaat 1917 No. 129 dan perspektif Hukum Islam. Staadbllaat 1917 No. 129 menghukumi anak angkat sebagai anak kandung dan berhak mendapat waris. Sedangkan Hukum Islam tidak mengenal hak waris anak angkat, namun digantikan dengan wasiat wajibah.
Hukum acara yang digunakan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara Permohonan Pengangkatan Anak tidaklah berbeda. Aturan perundang-undangan yang menjadi rujukan adalah:
1. HIR
2. RBg
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undnag Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
4. Undang-undang Nomor 112 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
5. Surat Edaran MA-RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983, dan Nomor 3 Tahun 2005.
d. Kenyataan Choice of Court
Meski kompetensi absolut telah dibatasi secara sangat tegas, nyatanya dualisme kompetensi masih saja terjadi. Kita ambil contoh beberapa penetapan Permohonan Pengangkatan Anak dengan subyek hukum beragama Islam sebagai berikut:
Penetapan dari lingkungan Peradilan Umum:
1. Penetapan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 48/Pdt.P/2012/PN.Mtr., dan;
2. Penetapan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor 408/Pdt.P/2013/PN.WNS Penetapan dari lingkungan Peradilan Agama:
1. Penetapan Pengadilan Agama Mojokerto Nomor 132/Pdt.P/2012/PA.Mr., dan;
2. Penetapan Pengadilan Agama Bantul Nomor 0168/Pdt.P/2015/PA.Btl.
Idealnya kenyataan ini tidak boleh terjadi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kompetensi absolut adalah kewenangan tunggal: saat Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut, maka tidak ada pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Atas alasan inilah kemudian kewenangan tersebut disebut sebagai kewenangan absolut (mutlak).
Alasan pihak yang mengajukan perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri adalah agar nantinya, setelah pengangkatan anak dikabulkan, anak yang diangkat tersebut dapat mewarisi harta yang ditinggalkan oleh orangtua angkatnya. Dasar dapatnya seorang anak angkat mewarisi harta dari orangtua angkatnya adalah Yurisprudensi Nomor 102 K/Sip/1972. Yurisprudensi tersebut pada pokoknya menyatakan, “Menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua, sehingga ia menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya”.
Yurisprudensi tersebut tampaknya merupakan satu-satunya sumber hukum tertulis yang dijadikan rujukan hak waris bagi anak angkat. Itupun berlaku umum, bukan diperuntukkan bagi mereka yang beragama Islam. KUHPerdata pun menyatakan ahli waris hanyalah terdiri dari empat golongan dan anak angkat tidak termasuk dalam golongan tersebut. Ahli waris dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut:[15]
- Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata)
- Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
- Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
- Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Sedangkan Staatblaad 1917 No. 129 yang pada pokoknya menyatakan akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat, serta akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara orang tua kandung dan anak tersebut),[16] norma dalam staatblaad tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan “Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya”, sehingga norma yang digaungkan oleh staatbllad tentang beralihnya nasab yang berimbas pada hak waris tersebut harus dinyatakan tidak dapat diberlakukan lagi, karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih baru. Ini adalah konsekuensi asas lex posterior derogat legi priori, undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan atau menghapus undang-undang yang lebih lama.
Adapun dasar Pengadilan Negeri untuk tetap menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan memutus perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim adalah Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan (edisi 2007) yang menyatakan “bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewarisi, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri”.
e. Mengakhiri Choice of Court
Praktik pilihan pengadilan (choice of court) yang selama ini terjadi jelas merupakan kekeliruan. Pilihan pengadilan dapat membingungkan para pencari keadilan. Selain itu pilihan pengadilan juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini wajib segera diakhiri.
Asas pemberlakuan hukum adalah lex specialist derogat legi generali, undang-undang yang lebih khusus diberlakukan dengan mengesampingkan undang-undang yang lebih umum. Jika terjadi pertentangan norma antara peraturan perundang-undangan yang lebih umum dan lebih khusus, maka yang diberlakukan adalah aturan perundang-undangan yang lebih khusus.
Dalam konteks penelitian ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan ketentuan yang lebih khusus (lex specialist) mengenai penetapan pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam. Sehingga undang-undang tersebut harus menegasikan kewenangan Pengadilan Negeri yang digambarkan secara sangat umum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sehingga berdasarkan asas tersebut, pengangkatan anak yang subyek hukumnya beragama Islam adalah kewenangan absolut Pengadilan Agama. Adapun yang subyek hukumnya bukan beragama Islam, tetap dikembalikan pada norma umum: kewenangan Pengadilan Negeri.
Seharusnya masalah telah selesai di sini. Namun nyatanya pilihan pengadilan masih saja terjadi. Realitas ini sepertinya konsekuensi dari: Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan (edisi 2007) menyatakan “bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewarisi, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri”. Buku II tersebut ditetapkan melaui Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007.
Artinya, ada lagi pertentangan norma. Norma dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa perkara Permohonan Pengangkatan Anak dengan subyek hukum beragama Islam adalah kewenangan Pengadilan Agama, sedangkan norma dalam Buku II menyatakan jika tujuan permohonannya adalah untuk dapat mewarisi, meskipun subyek hukumnya beragana Islam, maka diajukan ke Pengadilan Negeri.
Untuk menjawab pertentangan norma ini, asas keberlakuan hukum menyatakan: lex superior derogat legi inferior, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (asas hierarki). Undang-Undang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Jika ada pertentangan norma, undang-undanglah yang diberlakukan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, karena ada pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Buku II (yang ditetapkan melaui Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007) maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diberlakukan dengan mengesampingkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Terlepas dari adanya pertentangan norma antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007, sebenarnya subtansi Buku II yang menyatakan bahwa “bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewarisi, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri” adalah sebuah norma yang kontraproduktif.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa subtansi Buku II tersebut kontraproduktif:
Pertama: jelas keliru jika parameter yang digunakan untuk menetapkan ada atau tidaknya warisan bagi anak angkat diukur dari pengadilan mana yang mengeluarkan penetapan. Penetapan Pengangkatan Anak tidak dapat menjangkau pembagian waris. Pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Dari definisi tersebut, jelas bahwa pengangkatan anak di pengadilan tidak menjangkau mekanisme pembagian waris. Ada atau tidaknya hak waris adalah konsekuensi dari pengangkatan anak, dan hal itu mempunyai ketentuan hukum tersendiri.
Kedua: kalaupun Permohonan Pengangkatan Anak Muslim benar-benar telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri dan nantinya terdapat masalah (sengketa) dalam pembagian waris, maka satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tersebut adalah Pengadilan Agama. Penjelasan umum Undang-undang No. 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pilihan hukum (choice of forum) dalam perkara waris Islam sebagaimana diisyaratkan oleh penjelasan Undang-undang No. 7 tahun 1989 secara tegas telah dihapus. Artinya, karena perkara waris anak angkat tersebut pada akhirnya juga merupakan kewenangan Pengadilan Agama, maka pastinya hukum meteriil yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Hukum Waris Islam (fara’id), sehingga penetapan Pengadilan Negeri yang konon katanya ampuh dan dapat berkonsekuensi memberi hak waris bagi anak angkat akan sia-sia, mangkrak, dan tak berarti apa-apa. Fara’id tidak menghukumi anak angkat sebagai anak kandung. Tidak ada hak waris bagi anak angkat dalam fara’id.
Ketiga: jika goal pengangkatan anak adalah agar anak angkat mendapat harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya, maka dalam syari’at Islam pun telah ada lembaga tersendiri, namanya: wasiat wajibah. Lembaga tersebut diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya”. Tidak perlu ada kekhawatiran anak angkat akan sengsara jika segala ketentuan keperdataannya tunduk pada hukum agama anak yang diangkat dan agama orang tua angkatnya (Islam).
Selain bertentangan dengan norma yang lebih tinggi dan kontraproduktif, penetapan kompetensi yang didasarkan pada tujuan berperkara seperti yang terjadi dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak ini adalah di luar kelaziman. Kompetensi absolut lazimnya didasarkan pada: 1) klasifikasi subyek hukum 2) bidang perkara, dan 3) dasar perjanjian (akad) yang dibangun dalam sebuah transaksi. Bukan pada tujuan berperkara.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum. Dalam sistem negara hukum, kewenangan absolut badan peradilan (atrributive competentie; attributive jurisdiction) diatur dan dibagi terpisah. Kewenangan absolut adalah kewenangan suatu badan peradilan untuk mengadili perkara-perkara tertentu. Pada saat bersamaan, perkara-perkara tertentu tersebut mutlak tidak dapat diperiksa dan diputus oleh badan peradilan lainnya.
Dalam kenyataan, terdapat penyimpangan praktik: terdapat choice of court dalam perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sama-sama menyatakan berwenang secara absolut untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Ini sangat berpotensi memantik ketidakpastian hukum.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1988 tentang Peradilan Agama, perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Adapun Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang memberi pilihan pengadilan jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka harus dikesampingkan keberlakuannya.
Selain bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pengajuan perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri juga kontraproduktif. Alasannya: pertama: Penetapan Pengangkatan Anak tidak menjangkau pembagian waris, kedua: seandainya pun telah ada penetapan dari Pengadilan Negeri, jika nantinya terdapat sengketa dalam pembagian waris, maka satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tersebut adalah Pengadilan Agama, sedangkan hukum materiil kewarisan yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Hukum Islam, dalam Hukum Islam anak angkat tidak dapat dihukumi sebagai anak kandung yang diberi hak waris, ketiga: jika goal pengangkatan anak adalah agar anak angkat mendapat harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya, maka dalam Hukum Islam pun telah ada lembaga tersendiri: wasiat wajibah, anak angkat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.
Ada dua langkah yang harus ditempuh oleh para pemangku kebijakan untuk mengakhiri choice of court ini: pertama, Mahkamah Agung harus mengevaluasi dan merevisi Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, pilihan pengadilan sebagaimana dimaktub dalam Buku II tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kedua, Pengadilan Negeri harus memberi saran, arahan, atau advis kepada justiciabelen yang hendak mengajukan perkara Permohonan Pengangkatan Anak Muslim ke Pengadilan Negeri agar mengajukannya ke Pengadilan Agama, jika perkara terlanjur didaftarkan, seyogyanya hakim menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaart).
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 112 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983.
Surat Edara Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ali, Z. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Amiruddin & Asikin, Z. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Henry Campbell, Black’s Law Dictionory, Revised Fourth edition, Minnesota: West Publising.
Kharisma Galu Gerhastuti, Yunanto, Herni Widanarti, Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam Pengangkatan Anak yang Dilakukan oleh Orang-Orang yang Beragama Islam, Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017.
M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2016.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-12, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Marzuki, P.M. Penelitian Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, 2014.
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Terence Ingman, The English Legal Process, London: Blackstone, 1996.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ecc7cf50640b/empat-golongan-ahli-waris-menurut-kuh-perdata, diakses pada tanggal 05 November 2018.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl107/anak-angkat,-prosedur-dan-hak-warisnya, diakses tanggal 09/11/2018.
[1] Terdapat tiga tujuan hukum: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 290.
[2] Terence Ingman, The English Legal Process, (London: Blackstone, 1996) hlm. 1.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-12 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm. 179-180.
[4] Ibid, hlm. 181.
[5] Z. Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm. 105.
[6] Amiruddin & Z. Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2010) hlm. 30.
[7] P.M. Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenamedia Group, 2014) hlm. 181.
[8] Henry Campbell, Black’s Law Dictionory, Revised Fourth edition (Minnesota: West Publising, 1968) hlm. 355.
[9] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 6.
[10] M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama (Yogyakarta: UII Press, 2016) hlm. 46.
[11] Yahya harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Op. Cit. Hlm. 181.
[12] Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1988 tentang Peradilan Agama.
[13] Kharisma Galu Gerhastuti, Yunanto, Herni Widanarti, Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam Pengangkatan Anak yang Dilakukan oleh Orang-orang yang Beragama Islam, Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017.
[14] Ibid.
[15] https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ecc7cf50640b/empat-golongan-ahli-waris-menurut-kuh-perdata, diakses pada tanggal 05 November 2018.
[16] https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl107/anak-angkat,-prosedur-dan-hak-warisnya, diakses tanggal 09/11/2018.