Minggu, 24 Januari 2016

Hukum

MENGAWINKAN KEPASTIAN HUKUM DENGAN KEADILAN
Oleh:
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pratama Muda PA Mentok)
            Hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya perkembangan zaman. Terlebih lagi, pada negara yang menganut sistem civil law, seperti Indonesia. Kitab hukum selengkap apapun, ia akan terlindas waktu, terseok-seok di terjalnya tebing peradaban. Kitab hukum merupakan buah politik. Butuh waktu begitu panjang (mungkin juga berat) untuk mencipta atau mengamandemen sebuah kitab hukum. Sedangkan laju perubahan, nyaris tak dapat dihentikan.
            Di sisi lain, aturan perundangan mutlak diperlukan demi kepastian hukum. Negara butuh kepastian hukum untuk mengawal stabilitas nasional. Rakyat butuh kepastian hukum untuk berlindung dari arogansi penguasa. Bahkan hukum pun butuh kepastian untuk menjaga supremasinya.
            Permasalahan yang kerap muncul jika lembaga peradilan terlalu mengagungkan kepastian hukum adalah adanya pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Dalam beberapa kasus akhir-akhir ini, hukum tertulis (law in the book) dituding telah menghianati rasa keadilan. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Hukum positif memang harus “ngotot” bahwa ia bersifat mutlak diberlakukan. Sedangkan keadilan juga wajib “bersikukuh” bahwa ia musti selalu hidup dan berkembang, sesuai dinamika zaman.
            Tulisan ini, meski berjalan tergopoh-gopoh, akan berusaha mengawinkan antara kepastian hukum dengan keadilan. Tujuannya agar keduanya saling bersinergi-menguatkan.
Kepastian Hukum dan Keadilan
            Indonesia adalah negara hukum. Seperti negara-negara Eropa Kontinental, Indonesia menganut civil law. Tradisinya, kepastian hukum lebih dikedepankan daripada keadilan itu sendiri.                    
Kepastian hukum menghendaki berlakunya hukum mutlak berdasarkan pembuktian formil. Setiap perbuatan, dapat dikatakan benar atau pun salah, tolok-ukurnya adalah kitab hukum. Tidak ada penobatan bersalah, jika kitab hukum belum atau tidak mengatur.
            Dengan adanya kepastian hukum, stabilitas hukum nasional lebih terjaga. Batasan antara melanggar atau tidak melanggar telah digaris secara pasti. Hak dan kewajiban subyek hukum diatur secara kongkret. Hak asasi manusia lebih lestari. Pelanggaran atas hukum dan sanksinya pun jelas terukur. Itulah sederet keunggulan kepastian hukum.
            Sedangkan keadilan, menurut Gustav Radbruch, adalah tujuan tertinggi dari hukum. Keadilan, dapat diartikan sebagai memberikan hak atau bagian pada sesorang secara proporsional (ius suum cui que tribuere) dan memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran (kejahatan).
            Keadilan lebih bersifat lintas norma. Bisa saja, sebuah perbuatan dikatakan menciderai rasa keadilan, meski perbuatan tersebut tidak (atau belum) dinyatakan salah oleh kitab hukum. Keadilan selalu tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan sosial-masyarakat.
            Pada ranah penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya penegakan keadilan telah tersurat pada setiap putusan pengadilan. Yakni, dalam setiap kepala putusan wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tanpa irah-irah tersebut, sebuah putusan batal demi hukum. Namun dalam penerapannya, sebagaimana yang berlaku di Eropa Kontinental, kepastian hukum lebih menonjol.