MENGAWINKAN
KEPASTIAN HUKUM DENGAN KEADILAN
Oleh:
Ahmad
Z. Anam
(Hakim
Pratama Muda PA Mentok)
Hukum
selalu berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya perkembangan zaman. Terlebih
lagi, pada negara yang menganut sistem civil law, seperti Indonesia. Kitab
hukum selengkap apapun, ia akan terlindas waktu, terseok-seok di terjalnya
tebing peradaban. Kitab hukum merupakan buah politik. Butuh waktu begitu panjang
(mungkin juga berat) untuk mencipta atau mengamandemen sebuah kitab
hukum. Sedangkan laju perubahan, nyaris tak dapat dihentikan.
Di
sisi lain, aturan perundangan mutlak diperlukan demi kepastian hukum. Negara
butuh kepastian hukum untuk mengawal stabilitas nasional. Rakyat butuh
kepastian hukum untuk berlindung dari arogansi penguasa. Bahkan hukum pun butuh
kepastian untuk menjaga supremasinya.
Permasalahan
yang kerap muncul jika lembaga peradilan terlalu mengagungkan kepastian hukum adalah
adanya pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Dalam beberapa
kasus akhir-akhir ini, hukum tertulis (law in the book) dituding telah
menghianati rasa keadilan. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Hukum
positif memang harus “ngotot” bahwa ia bersifat mutlak diberlakukan. Sedangkan
keadilan juga wajib “bersikukuh” bahwa ia musti selalu hidup dan berkembang,
sesuai dinamika zaman.
Tulisan
ini, meski berjalan tergopoh-gopoh, akan berusaha mengawinkan antara kepastian
hukum dengan keadilan. Tujuannya agar keduanya saling bersinergi-menguatkan.
Kepastian Hukum dan
Keadilan
Indonesia
adalah negara hukum. Seperti negara-negara Eropa Kontinental,
Indonesia menganut civil law. Tradisinya, kepastian hukum lebih
dikedepankan daripada keadilan itu sendiri.
Kepastian hukum menghendaki berlakunya
hukum mutlak berdasarkan pembuktian formil. Setiap perbuatan, dapat dikatakan
benar atau pun salah, tolok-ukurnya adalah kitab hukum. Tidak ada penobatan
bersalah, jika kitab hukum belum atau tidak mengatur.
Dengan
adanya kepastian hukum, stabilitas hukum nasional lebih terjaga. Batasan antara
melanggar atau tidak melanggar telah digaris secara pasti. Hak dan kewajiban subyek
hukum diatur secara kongkret. Hak asasi manusia lebih lestari. Pelanggaran atas
hukum dan sanksinya pun jelas terukur. Itulah sederet keunggulan kepastian
hukum.
Sedangkan
keadilan, menurut Gustav Radbruch, adalah tujuan tertinggi dari hukum. Keadilan,
dapat diartikan sebagai memberikan hak atau bagian pada sesorang secara
proporsional (ius suum cui que tribuere) dan memberikan sanksi sesuai
dengan pelanggaran (kejahatan).
Keadilan
lebih bersifat lintas norma. Bisa saja, sebuah perbuatan dikatakan menciderai
rasa keadilan, meski perbuatan tersebut tidak (atau belum) dinyatakan salah
oleh kitab hukum. Keadilan selalu tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan
sosial-masyarakat.
Pada
ranah penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya penegakan keadilan telah tersurat
pada setiap putusan pengadilan. Yakni, dalam setiap kepala putusan wajib
mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tanpa
irah-irah tersebut, sebuah putusan batal demi hukum. Namun dalam penerapannya,
sebagaimana yang berlaku di Eropa Kontinental, kepastian hukum lebih menonjol.
Pertentangan
Sebagaimana
telah disinggung pada pembahasan di atas, kerap kali kepastian hukum tidak
bersinergi dengan keadilan, bahkan terkesan bentrok. Dewasa ini, media massa di
seantero negeri seakan kompak meneriakkan: putusan pengadilan kerap kali
menciderai rasa keadilan.
Di
sisi lain, pengadilan juga memiliki norma hukum tertulis. Tidak dapat
dituduhkan secara serampangan bahwa pengadilan telah “berselingkuh” dengan
kekuasaan sehingga meninggalkan keadilan. Tidak bisa. Sebuah putusan, meskipun
terkesan mengangkangi keadilan, tentu telah perpedoman-teguh pada norma-norma
hukum yang ada.
Inilah
pertententangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Diakui maupun tidak,
peristiwa semacam ini telah berlangsung lama. Ini adalah hutang para penegak
hukum untuk menegakkan kepastian hukum yang berkeadilan.
Mengawinkan Kepastian
Hukum dengan Keadilan
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas mengatakan “Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Inilah “akad” yang akan mengesahkan
perkawinan antara kepastian hukum dan keadilan.
Indonesia adalah negara hukum. Ini
adalah kepastian. Namun hukum, menurut ketentuan Pasal 5 Undang-undang di atas,
tidak harus tertulis. Hukum bisa saja masih berupa sekumpulan nilai yang
terserak pada kehidupan sosial-kemasyarakatan. Hakimlah yang wajib menggalinya,
kemudian menjadikannya hukum yang berlaku.
Penemuan hukum (rechtvinding), tidak
terbatas pada nilai hukum yang belum diatur oleh kitab hukum. Penemuan hukum
bisa jadi adalah upaya menafsirkan hal yang kurang jelas pada kitab hukum. Bahkan,
bisa jadi, penemuan hukum terjadi pada nilai hukum yang telah diatur secara
jelas, namun di kemudian hari aturan tersebut telah menjauh dari keadilan. Dalam
konteks seperti itu, seorang penegak hukum (baca: hakim) dapat menemukan hukum
baru, dengan menyimpangi aturan perundangan lama yang berlaku (contra
legem).
Lantas, bagaimana upaya hakim untuk
menggali hukum dan nilai keadilan yang masih terserak? Apakah
sekonyong-konyong, bim salabim, jadi hukum? Tentu tidak. Ada metode ijtihad-ilmiah
yang harus diterapkan.
Dalam terminologi penemuan hukum, menurut
Sudikno Mertokusumo, yang dikutip oleh M. Natsir Asnawi, terdapat dua teori pokok
penemuan hukum: interpretasi (interpretation) dan konstruksi.
Interpretasi merupakan upaya penemuan
hukum melalui penafsiran teks-teks peraturan perundangan untuk diterapkan pada
peristiwa atau fakta hukum senyatanya (in concreto). Bagir Manan menjabarkan
tahapan interpretasi sebagai berikut: Pertama, memahami makna sebuah
asas atau kaidah hukum. Kedua: menghubungkan sebuah fakta dengan kaidah
hukum. Ketiga, menjamin penerapan hukum dapat dilakukan secara tepat,
benar, dan adil. Keempat: Mengaktualisasikan kaidah hukum dengan
perubahan sosial, agar kaidah hukum tetap aktual dan mampu memenuhi ekspektasi
sesuai dengan dinamika sosial-kemasyarakatan.
Sedangkan konstruksi hukum adalah
pembentukan hukum oleh hakim sebagai fungsionaris hukum. Hakim, dalam konstruksi
hukum, bukan sebatas berperan sebagai corong undang-undang, namun sebagai agen
keadilan.
Terdapat tiga metode konstruksi: 1).
Argumentum per analogiam (analogi). Analogi adalah metode penemuan hukum
dengan cara menganalogikan suatu peristiwa hukum in concreto, yang belum
diatur undang-undang dengan peristiwa hukum serupa yang telah diatur
undang-undang. 2). Argumentum a contrario. Ini adalah metode penemuan
hukum dengan penalaran bahwa peraturan dalam kitab hukum, bagi peristiwa lain
berlaku sebaliknya. 3). Konkretisasi hukum. Konkretisasi hukum adalah metode
penemuan hukum dengan mengkongkretkan suatu aturan hukum yang masih bersifat
umum ke dalam peristiwa atau fakta hukum in concreto.
Jika ada yang menuding bahwa
penggalian keadilan yang hidup di masyarakat melaui penemuan hukum, baik lewat
interpretasi maupun konstruksi akan mengacaukan kepastian hukum, itu tidak
tepat. Penemuan hukum oleh hakim telah dijamin kepastiannya oleh Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman. Lebih tinggi lagi, Pasal 24 UUD 1945 (pasca amandemen ke
IV) pun telah memastikan bahwa tugas badan peradilan bukan sekedar menegakkan
(kepastian) hukum, tapi juga keadilan.
Benang merah yang dapat kita tarik
adalah: kepastian hukum wajib terjaga demi supremasi hukum. Keadilan, sebagai
tujuan tertinggi hukum mutlak harus dibumikan. Kedua tujuan hukum tersebut
tidak boleh lagi dipertentangkan. Harus bersinergi, berjalan beriringan. Dalam
konteks tertentu, jika kepastian hukum (baca: kitab hukum) menemui jalan buntu
untuk mencari keadilan, maka sesuai amanat konstitusi, juga demi kepastian
hukum, tugas hakim adalah menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup di masayarakat. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar