Jumat, 22 April 2016

Kartini, Mengubah Dunia dengan Tulisan

Kartini, Mengubah Dunia dengan Tulisan
Arina H., A.Md.
(Pemerhati Sosial-Budaya, Warga Muntok, Bangka Barat)
Selamat Hari Kartini! Ucapan ini saya tujukan untuk seluruh perempuan Indonesia, tanpa terkecuali. Tanpa memandang suku, ras, dan agama apa pun. Agar gelora semangat perjuangan emansipasi perempuan tetap menyala.
R.A. Kartini adalah seorang pendobrak teralis budaya yang melemahkan eksistensi perempuan. Dialah pejuang tanpa perang. Dialah penggagas kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum perempuan.

Di zamannya, tahun 1879-1904, perempuan berada di titik lemah dan inferior. Kartini, sebagai anak zaman tentu juga terkena imbasnya. Di usianya yang masih belia, ia harus patuh mutlak kepada kehendak Sang Ayah, bahkan saat diperintah berhenti sekolah dan  dipaksa menikah dengan laki-laki yang telah beristeri tiga.
R.A. Kartini masih beruntung. Sebagai perempuan yang terlahir dari keluarga priyayi, dia pernah bersekolah di ELS (Europese Lagere School), hingga usia 12 tahun. Namun akhirnya di usia tersebut Kartini “putus sekolah”. Dia harus berdiam di rumah, karena telah masuk masa pingitan.
Sang Penulis
Dengan modal pendidikan tersebut di ELS tersebut, Kartini mahir baca-tulis, khususnya bahasa Belanda. Dia kemudian banyak membaca surat kabar dan majalah serperti Surat Kabar Semarang De Locomotief dan majalah wanita Belanda De Hollandsce Lellie. Selain itu, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Dengan langkah tersebut, kartini dapat mengikuti isu-isu perkembangan zaman.
Kartini muda kemudian rajin berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya, salah satunya dengan Rosa Abendanon. Dari korespondensi tersebut Kartini banyak mendapat informasi seputar kemajuan pemikiran perempuan eropa. Dengan data tersebut, Kartini kemudian bertekad ingin mengangkat harkat, martabat, dan peran perempuan pribumi.
Selain rajin membaca dan berkorespondensi, Kartini juga beberapa kali menulis untuk majalah Hollandsce Lellie. Untuk perempuan di zamannya, tentu ini sangat luar biasa.
Sepeninggal Kartini di usia 25 tahun, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. 
Dari surat-surat tersebut, pembaca sejarah dapat melihat ide-ide gagasan kartini. Kartini banyak menggugat budaya jawa (lama) yang menghambat kemajuan  perempuan. Kartini juga menuliskan ide-idenya tentang hak perempuan untuk mendapat pengetahuan (baca: sekolah) dan juga ide-ide umum tentang eligieusiteit, wijsheid en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan), ditambah dengan humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan nasionalisme (cinta tanah air).
Penulis yakin 100%, andai Kartini tidak pernah menggerakkan tangannya untuk menulis (surat dan opini), semua ide dan pemikiran Kartini tidak akan terlacak. Tidak akan terekam sejarah. Ide itu akan menguap begitu saja seiring rusaknya jasad Kartini dalam tanah kuburan. Namun Kartini melakukan hal sederhana yang dampaknya luar biasa. Kartini menulis. Ya, menulis. Hingga semua gagasan dan gugatannya atas kungkungan adat dapat terpotret baik dalam ingatan sejarah serta menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia sepanjang masa.
Menjadi “Kartini” Modern
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Pepatah ini memang tepat untuk menggambarkan sosok Kartini, Sang Pahlawan Nasional.
Namun, apakah hanya Kartini saja yang dapat meninggalkan nama? Tentu tidak. Kita semua, khususnya  perempuan Indonesia, juga sangat mungkin dapat meninggalkan nama baik yang dapat dikenang sejarah, minimal di lingkungan sosial kita.
Bagaimana caranya? Tidak usah muluk-muluk: yaitu dengan tetap konsisten memelihara dan menggelorakan semangat belajar bagi kaum perempuan. Belajar dalam konteks ini memiliki banyak cara, dan arti luas. Belajar bisa lewat sekolah, juga bisa di luar sekolah dengan terus membaca buku, surat kabar, maupun majalah.
Kalau di zamannya Kartini mengukir idenya melalui korespondensi dan opini majalah, maka untuk saat ini, media untuk menorehkan ide dan gagasan briliant secara tertulis jauh lebih banyak.
Kaum perempuan modern bisa dengan mudah menyalurkan ide-idenya melalui berbagai media sosial yang ada (Facebook, BBM, Twiter, dan WA), atau melalui blog, atau bisa juga menulis di surat kabar. Bahkan, kalau bisa, melaui cara yang lebih keren yaitu dengan menulis buku. Jangan sampai media sosial yang saat ini sedang digandrungi banyak orang, terutama perempuan, hanya sebatas menjadi ajang penulisan status alay, lebay, dan kosong tanpa isi.

Mari kita jadi Kartini modern yang bergerak menjadi agen perubahan. Mari terus jaga semangat belajar kaum perempuan. Mari tuangkan gagasan dan ide cemerlang melaui tulisan. Mari terlibat langsung dalam mewujudkan “habis gelap terbitlah terang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar