Kartini,
Mengubah Dunia dengan Tulisan

Arina
H., A.Md.
(Pemerhati
Sosial-Budaya, Warga Muntok, Bangka Barat)
Selamat Hari Kartini! Ucapan ini saya tujukan untuk
seluruh perempuan Indonesia, tanpa terkecuali. Tanpa memandang suku, ras, dan
agama apa pun. Agar gelora semangat perjuangan emansipasi perempuan tetap
menyala.
R.A. Kartini adalah seorang pendobrak teralis budaya
yang melemahkan eksistensi perempuan. Dialah pejuang tanpa perang. Dialah
penggagas kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum perempuan.
Di zamannya, tahun 1879-1904, perempuan berada di titik
lemah dan inferior. Kartini, sebagai anak zaman tentu juga terkena imbasnya. Di
usianya yang masih belia, ia harus patuh mutlak kepada kehendak Sang Ayah,
bahkan saat diperintah berhenti sekolah dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang telah
beristeri tiga.
R.A. Kartini masih beruntung. Sebagai perempuan yang
terlahir dari keluarga priyayi, dia pernah bersekolah di ELS (Europese Lagere School), hingga usia 12 tahun. Namun
akhirnya di usia tersebut Kartini “putus sekolah”. Dia harus berdiam di rumah,
karena telah masuk masa pingitan.
Sang
Penulis
Dengan
modal pendidikan tersebut di ELS tersebut, Kartini mahir baca-tulis, khususnya
bahasa Belanda. Dia kemudian banyak membaca surat kabar dan majalah serperti
Surat Kabar Semarang De Locomotief dan majalah wanita Belanda De
Hollandsce Lellie. Selain itu, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis
Coperus. Kemudian karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya
Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Dengan langkah tersebut, kartini dapat mengikuti isu-isu
perkembangan zaman.
Kartini
muda kemudian rajin berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya, salah satunya
dengan Rosa Abendanon. Dari korespondensi tersebut Kartini banyak mendapat
informasi seputar kemajuan pemikiran perempuan eropa. Dengan data tersebut,
Kartini kemudian bertekad ingin mengangkat harkat, martabat, dan peran
perempuan pribumi.
Selain
rajin membaca dan berkorespondensi, Kartini juga beberapa kali menulis untuk
majalah Hollandsce Lellie. Untuk perempuan di zamannya, tentu ini sangat
luar biasa.
Sepeninggal
Kartini di usia 25 tahun, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang
arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Dari
surat-surat tersebut, pembaca sejarah dapat melihat ide-ide gagasan kartini.
Kartini banyak menggugat budaya jawa (lama) yang menghambat kemajuan perempuan. Kartini juga menuliskan ide-idenya
tentang hak perempuan untuk mendapat pengetahuan (baca: sekolah) dan juga
ide-ide umum tentang eligieusiteit, wijsheid en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan dan
keindahan), ditambah dengan humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan nasionalisme (cinta tanah air).
Penulis
yakin 100%, andai Kartini tidak pernah menggerakkan tangannya untuk menulis
(surat dan opini), semua ide dan pemikiran Kartini tidak akan terlacak. Tidak
akan terekam sejarah. Ide itu akan menguap begitu saja seiring rusaknya jasad
Kartini dalam tanah kuburan. Namun Kartini melakukan hal sederhana yang
dampaknya luar biasa. Kartini menulis. Ya, menulis. Hingga semua gagasan dan
gugatannya atas kungkungan adat dapat terpotret baik dalam ingatan sejarah
serta menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia sepanjang masa.
Menjadi “Kartini” Modern
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati
meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Pepatah ini memang
tepat untuk menggambarkan sosok Kartini, Sang Pahlawan Nasional.
Namun, apakah hanya Kartini saja yang dapat
meninggalkan nama? Tentu tidak. Kita semua, khususnya perempuan Indonesia, juga sangat mungkin
dapat meninggalkan nama baik yang dapat dikenang sejarah, minimal di lingkungan
sosial kita.
Bagaimana caranya? Tidak usah muluk-muluk: yaitu dengan
tetap konsisten memelihara dan menggelorakan semangat belajar bagi kaum
perempuan. Belajar dalam konteks ini memiliki banyak cara, dan arti luas.
Belajar bisa lewat sekolah, juga bisa di luar sekolah dengan terus membaca
buku, surat kabar, maupun majalah.
Kalau di zamannya Kartini mengukir idenya melalui
korespondensi dan opini majalah, maka untuk saat ini, media untuk menorehkan
ide dan gagasan briliant secara tertulis jauh lebih banyak.
Kaum perempuan modern bisa dengan mudah menyalurkan
ide-idenya melalui berbagai media sosial yang ada (Facebook, BBM, Twiter, dan
WA), atau melalui blog, atau bisa juga menulis di surat kabar. Bahkan, kalau
bisa, melaui cara yang lebih keren yaitu dengan menulis buku. Jangan sampai
media sosial yang saat ini sedang digandrungi banyak orang, terutama perempuan,
hanya sebatas menjadi ajang penulisan status alay, lebay, dan kosong
tanpa isi.
Mari kita jadi Kartini modern yang bergerak menjadi
agen perubahan. Mari terus jaga semangat belajar kaum perempuan. Mari tuangkan
gagasan dan ide cemerlang melaui tulisan. Mari terlibat langsung dalam
mewujudkan “habis gelap terbitlah terang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar