(Oleh:
Ahmad Z. Anam)
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Sejak mengenal
dunia, hingga detik-detik wafatnya Abah Najib Salimi, Penulis adalah orang yang
berparadigma positivistik. Semua kenyataan harus berdasarkan data empiris, dapat
diuji secara obyektif, dan tidak boleh berbau metafisik, apalagi klenik.
Namun, sepeninggal Abah, semua
berubah. Sepertinya, Allah masih perhatian dan berkenan meluruskan jalan
pikiran santri Abah yang dari dulu terkenal pecicilan dan trocoh-lambe
ini. Saking trocoh-nya, Penulis kerap kali keceplosan bertutur kata saru,
sehingga Abah memberi gelar kehormatan dengan sebutan: dzakaruddin. Keren,
bukan? Sahabat alumni yang sekelas dengan Penulis tentu tahu persis gelar ini.
Sudah. Mari mulai membincang pokok
bahasan. Jujur, Penulis merinding menuliskaan kisah ini. Namun demi asas fa
ammaa bi ni’mati rabbika fa haddits, akan Penulis bagikan pengalaman metafisis
ini.
Mendengar kabar Abah meninggal, otak
dan hati Penulis serasa tak percaya. Namun suara serak di ujung telephon, terus
berusaha memaksa meyakinkan, akhirnya Penulis terpaksa percaya. Suara telephon
tersebut adalah suara Kang Jakfar, yang berada di pulau seberang.
Sebagai tindak lanjut atas berita lelayu tersebut, berangkatlah
kami yang waktu itu sedang jajah deso milangkori di Bumi Laskar Pelangi:
Kang Jakfar bertolak dari Bangka, dan Penulis dari Belitung, menuju al-Luqmaniyyah, Jogja.
Sesampai di Jogja, Penulis sudah
tidak mendapati jasad Abah. Beliau sudah dimakamkan. Akhirnya dengan beberapa
rekan alumni, Penulis berangkat menuju Mlangi; sowan Abah di maqbarah.
Tidak ada suasana lain di sana, selain isak-tangis kepedihan mendalam, karena merasakan
ditinggalkan oleh Sang Pembimbing Hidup. Tiba-tiba kami serasa berubah wujud
menjadi anak ayam, yang nyata-nyata baru saja kehilangan induknya.
Cerita di Jogja berhenti di situ
saja. Semua tampak gelap. Kemudian para peziarah pulang ke kehidupannya
masing-masing, termasuk Penulis. Tidak ada yang dapat Penulis bawa pulang ke
rumah, selain kepedihan dan kehilangan figur panutan.
Detik, menit, jam, hari, dan bulan
berganti. Satu, dua, hingga tiga kali,
Penulis bermimpi bertemu Abah. Kala itu, belum ada konsentrasi Penulis untuk
memikirkan apalagi menafsirkan mimpi-mimpi itu. Penulis benar-benar masih
beranggapan bahwa mimpi-mimpi tersebut tidak lebih dari bunga tidur, efek dari sesekali
melihat media sosial besutan Keluarga Besar al-Luqmaniyyah, yang terkadang
memajang foto abah, juga dawuh-dawuh Abah.
Namun, seiring berjalannya waktu,
ternyata mimpi itu semakin kerap datang. Setiap kali Penulis terlalu memikirkan
dunia (jawa: kedonyan) dan melalaikan kehidupan ukhrawi, abah selalu
datang mengingatkan. Setiap kali Penulis melupakan para leluhur, guru-guru,
alim-ulama, Abah selalu mengingatkan, bahkan memarahi. Bertolak dari titik ini,
Penulis sudah mulai merubah paradigma berfikir; mulai memikirkan bahwa mimipi
ini bukan sekedar bunga tidur; dan mulai mencari-cari referensi kehidupan
pasca-kematian.
Puncaknya, jika tidak keliru, pada
tanggal 27 Agustus 2013, abah datang lagi dalam mimpi, namun kali ini tidak
membincang masalah kehidupan Penulis, namun kehidupan alumni lain, sahabat
sekelas Penulis: Fitri Zakiyah. Penulis tidak ingat betul bagaimana dawuh Abah
kala itu, namun kurang lebih seperti ini: “Nam, cubo takonno kabare Fitri.
De’e lagi lungo adoh. Takonono, repot opo kok arang tilik pondok?” (Nam,
coba tanyalah kabar Fitri. Dia sedang bepergian jauh. Tanyalah, dia sibuk apa
hingga jarang datang mengunjungi pondok?).
Keesokan harinya, dengan dibayangi setumpuk
rasa penasaran, Penulis kirim pesan singkat pada Fitri. Menanyakan
keberadaannya, serta apakah benar dia jarang sowan ke Pondok. Sebatas info
untuk diketahui, Fitri adalah alumni yang berasal dari Rembang, namun berdomisili
di Jogja, karena menjadi dosen di UMY. Berdasarkan info dari Ibu Nyai,
sebelum-sebelumnya Fitri memang sering mampir-sowan ke Pondok.
Walhasil, dawuh abah dalam mimpi itu tepat 100%.
Dalam pesan singkatnya, dia bercerita, bahwa hari itu dia berada di Padang,
Sumatera Barat, sedang mengikuti acara IMLA, semacam Diklat bagi Dosen Bahasa
Arab se-Indonesia. Dan memang benar, di masa-masa itu, dia sangat jarang sowan
ke Ibu Nyai di al-Luqmaniyyah.
Dari peristiwa itu, Penulis benar-benar meyakini bahwa
yang hadir dalam alam bawah sadar (mimpi) Penulis adalah Abah. Mimpi-mimpi tersebut
sama sekali bukan sebatas bunga tidur. Abah tidak mati. Abah masih hidup. Maha
Benar Allah yang berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا
آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا
بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
"Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu wafat; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan
gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati." (QS. Ali Imran: 169-170)
Para Syuhada’
tidak wafat, mereka tetap hidup di sisi Rabnya. Dan, dari sekian jumlah
syuhada’, Abah adalah salah satunya. Abah mengalami kecelakaan dalam perjalanan
suci; perjalanan tholabul ‘ilmi, ya,
ilmu mencintai ulama, ilmu mencintai Nabiyullah, dan ilmu mencintai Allah,
melalui media ziarah.
Setelah mengalami rangkaian peristiwa hikmah
tersebut, Penulis menjadi yakin benar bahwa: sesuatu yang ada itu tidak harus
terlihat. Itulah iman. Dan, satu lagi: isak-tangis kepedihan yang terlalu dalam
dari santri-alumni, sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena sejatinya Abah sama
sekali tidak meninggalkan kita. Abah tetap hidup berbahagia di sisi Ilahi Rabby
dan konsisten memantau perjalanan kehidupan santri-alumni al-Luqmaniyyah. Salam
ta’dzim kami untukmu, Abah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar