Sabtu, 01 Oktober 2016

ABAH TIDAK WAFAT, BELIAU HIDUP DAN KONSISTEN PANTAU SANTRI
(Oleh: Ahmad Z. Anam)
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
            Sejak mengenal dunia, hingga detik-detik wafatnya Abah Najib Salimi, Penulis adalah orang yang berparadigma positivistik. Semua kenyataan harus berdasarkan data empiris, dapat diuji secara obyektif, dan tidak boleh berbau metafisik, apalagi klenik.
            Namun, sepeninggal Abah, semua berubah. Sepertinya, Allah masih perhatian dan berkenan meluruskan jalan pikiran santri Abah yang dari dulu terkenal pecicilan dan trocoh-lambe ini. Saking trocoh­-nya, Penulis kerap kali keceplosan bertutur kata saru, sehingga Abah memberi gelar kehormatan dengan sebutan: dzakaruddin. Keren, bukan? Sahabat alumni yang sekelas dengan Penulis tentu tahu persis gelar ini.
            Sudah. Mari mulai membincang pokok bahasan. Jujur, Penulis merinding menuliskaan kisah ini. Namun demi asas fa ammaa bi ni’mati rabbika fa haddits, akan Penulis bagikan pengalaman metafisis  ini.
            Mendengar kabar Abah meninggal, otak dan hati Penulis serasa tak percaya. Namun suara serak di ujung telephon, terus berusaha memaksa meyakinkan, akhirnya Penulis terpaksa percaya. Suara telephon tersebut adalah suara Kang Jakfar, yang berada di pulau seberang.
Sebagai tindak lanjut atas berita lelayu tersebut, berangkatlah kami yang waktu itu sedang jajah deso milangkori di Bumi Laskar Pelangi: Kang Jakfar bertolak dari Bangka, dan Penulis dari Belitung, menuju  al-Luqmaniyyah, Jogja.
            Sesampai di Jogja, Penulis sudah tidak mendapati jasad Abah. Beliau sudah dimakamkan. Akhirnya dengan beberapa rekan alumni, Penulis berangkat menuju Mlangi; sowan Abah di maqbarah. Tidak ada suasana lain di sana, selain isak-tangis kepedihan mendalam, karena merasakan ditinggalkan oleh Sang Pembimbing Hidup. Tiba-tiba kami serasa berubah wujud menjadi anak ayam, yang nyata-nyata baru saja kehilangan induknya.
            Cerita di Jogja berhenti di situ saja. Semua tampak gelap. Kemudian para peziarah pulang ke kehidupannya masing-masing, termasuk Penulis. Tidak ada yang dapat Penulis bawa pulang ke rumah, selain kepedihan dan kehilangan figur panutan.
            Detik, menit, jam, hari, dan bulan berganti.  Satu, dua, hingga tiga kali, Penulis bermimpi bertemu Abah. Kala itu, belum ada konsentrasi Penulis untuk memikirkan apalagi menafsirkan mimpi-mimpi itu. Penulis benar-benar masih beranggapan bahwa mimpi-mimpi tersebut tidak lebih dari bunga tidur, efek dari sesekali melihat media sosial besutan Keluarga Besar al-Luqmaniyyah, yang terkadang memajang foto abah, juga dawuh-dawuh Abah.
            Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata mimpi itu semakin kerap datang. Setiap kali Penulis terlalu memikirkan dunia (jawa: kedonyan) dan melalaikan kehidupan ukhrawi, abah selalu datang mengingatkan. Setiap kali Penulis melupakan para leluhur, guru-guru, alim-ulama, Abah selalu mengingatkan, bahkan memarahi. Bertolak dari titik ini, Penulis sudah mulai merubah paradigma berfikir; mulai memikirkan bahwa mimipi ini bukan sekedar bunga tidur; dan mulai mencari-cari referensi kehidupan pasca-kematian.
            Puncaknya, jika tidak keliru, pada tanggal 27 Agustus 2013, abah datang lagi dalam mimpi, namun kali ini tidak membincang masalah kehidupan Penulis, namun kehidupan alumni lain, sahabat sekelas Penulis: Fitri Zakiyah. Penulis tidak ingat betul bagaimana dawuh Abah kala itu, namun kurang lebih seperti ini: “Nam, cubo takonno kabare Fitri. De’e lagi lungo adoh. Takonono, repot opo kok arang tilik pondok?” (Nam, coba tanyalah kabar Fitri. Dia sedang bepergian jauh. Tanyalah, dia sibuk apa hingga jarang datang mengunjungi pondok?).
            Keesokan harinya, dengan dibayangi setumpuk rasa penasaran, Penulis kirim pesan singkat pada Fitri. Menanyakan keberadaannya, serta apakah benar dia jarang sowan ke Pondok. Sebatas info untuk diketahui, Fitri adalah alumni yang berasal dari Rembang, namun berdomisili di Jogja, karena menjadi dosen di UMY. Berdasarkan info dari Ibu Nyai, sebelum-sebelumnya Fitri memang sering mampir-sowan ke Pondok.
Walhasil, dawuh abah dalam mimpi itu tepat 100%. Dalam pesan singkatnya, dia bercerita, bahwa hari itu dia berada di Padang, Sumatera Barat, sedang mengikuti acara IMLA, semacam Diklat bagi Dosen Bahasa Arab se-Indonesia. Dan memang benar, di masa-masa itu, dia sangat jarang sowan ke Ibu Nyai di al-Luqmaniyyah.
Dari peristiwa itu, Penulis benar-benar meyakini bahwa yang hadir dalam alam bawah sadar (mimpi) Penulis adalah Abah. Mimpi-mimpi tersebut sama sekali bukan sebatas bunga tidur. Abah tidak mati. Abah masih hidup. Maha Benar Allah yang berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu wafat; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Ali Imran: 169-170)
 Para Syuhada’ tidak wafat, mereka tetap hidup di sisi Rabnya. Dan, dari sekian jumlah syuhada’, Abah adalah salah satunya. Abah mengalami kecelakaan dalam perjalanan suci;  perjalanan tholabul ‘ilmi, ya, ilmu mencintai ulama, ilmu mencintai Nabiyullah, dan ilmu mencintai Allah, melalui media ziarah.
             Setelah mengalami rangkaian peristiwa hikmah tersebut, Penulis menjadi yakin benar bahwa: sesuatu yang ada itu tidak harus terlihat. Itulah iman. Dan, satu lagi: isak-tangis kepedihan yang terlalu dalam dari santri-alumni, sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena sejatinya Abah sama sekali tidak meninggalkan kita. Abah tetap hidup berbahagia di sisi Ilahi Rabby dan konsisten memantau perjalanan kehidupan santri-alumni al-Luqmaniyyah. Salam ta’dzim kami untukmu, Abah.

           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar