Rabu, 03 Mei 2017

IKHTIYATH DALAM SIDANG ITSBAT RUKYAT

IKHTIYATH DALAM SIDANG ITSBAT RUKYAT
Ahmad Z. Anam[1]
Muqaddimah          
Sidang itsbat rukyatul hilal telah menjadi agenda rutin tahunan bagi sebagian Pengadilan Agama, terutama yang kantornya terletak di daerah-daerah pesisir pantai. Jamaknya, rukyatul hilal memang diselenggarakan di pesisir pantai, tetapi tidak sedikit juga yang digelar di bukit, di atas gedung, juga menara suar[2]. Bisa saja, saat ini kita belum bertugas di Pengadilan Agama yang menjadi langganan penyelenggara sidang itsbat rukyatul hilal, tetapi boleh jadi, tahun depan kita berada di sana. Ada baiknya kita persiapkan diri sejak dini.

            Kewenangan itsbat rukyatul hilal bagi Pengadilan Agama diberikan oleh Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor  7 tahun 1989  tentang Peradilan Agama. 
            Negara, melalui ayat-ayat konstitusi telah percaya penuh kepada Pengadilan Agama untuk mengeluarkan penetapan itsbat rukyatul hilal. Penetapan tersebutlah yang dijadikan dasar oleh Kemeterian Agama RI untuk menetapkan bulan baru, terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah.
            Konfigurasi Pengadilan Agama dalam konteks ini adalah institusi yang berwenang mengeluarkan penetapan. Penetapan adalah akta otentik. Sungguh keliru jika ada yang berpandangan bahwa Pengadilan Agama, dalam konteks ini, diposisikan hanya sebatas “tukang sumpah” bagi perukyat. Oleh karena itu, tentu tidak tepat jika kesaksian perukyat tentang terlihatnya hilal (bulan sabit muda), secara serta-merta, sekonyong-konyong, langsung di-itsbatkan kesaksiannya, tanpa diukur terlebih dahulu dengan kaidah-kaidah baku rukyatul hilal.
Pernah terjadi, dan bisa saja terulang, seorang perukyat, karena faktor halusinasi atau faktor pantulan cahaya Matahari oleh awan, menyatakan melihat hilal, padahal secara sains, saat itu hilal mustahil terlihat—baik dengan mata telanjang maupun bantuan optik—karena kriteria visibilitas hilal (imkanurukyah) tidak terpenuhi. 
            Nah, sekarang masalahnya, bagaimana kriteria kesaksian rukyatul hilal yang tidak bertentangan dengan syari’at dan sains (astronomi)? Meski tidak mampu secara mendalam, artikel ini setidaknya berusaha mencoba menggali model kesaksian rukyatul hilal yang sahih (sesuai syariat dan sains), sehingga dapat diitsbatkan, dan tujuan tertingginya: berusaha keras untuk menghindari status  berbahaya: “hakim yang memutus (perkara) dengan ketidaktahuan”.
Metode Hisab-Rukyat
            Terdapat dua metode dalam penentuan awal bulan hijriyyah: hisab dan  rukyat. Hisab merupakan sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi mengelilingi Matahari. Sedangkan rukyat atau biasa juga disebut rukyat al-hilal adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk melihat hilal atau bulan sabit muda, setelah terjadi konjungsi (ijtimak) di langit (ufuk) sebelah barat, sesaat setelah Matahari terbenam, menjelang awal bulan baru–khususnya menjelang  Ramadhan,  Syawal  dan  Dzulhijjah–untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.[3]
            Penggabungan keduanya melahirkan disiplin baru: hisab-rukyat. Hisab dan rukyat (perhitungan dan pengamatan) dalam ruang lingkup ilmu falak  adalah multi disiplin ilmu yang digunakan untuk membantu dalam penentuan waktu ibadah. Setidaknya, menurut Thomas Djamaluddin, ilmu hisab-rukyat merupakan gabungan antara syari’ah dan astronomi.
            Hisab adalah perangkat (media; washilah; alat) untuk mencapai rukyat yang benar. Dapat dianalogikan, hisab adalah alamat lengkap, sedangkan rukyat adalah rumah itu sendiri. Untuk mencari keberadaan sebuah rumah, tentu butuh alamat lengkap.
Visibilitas Hilal Perspektif Syari’at dan Astronomi
            Pemerintah—dalam hal ini Menteri Agama, memiliki otoritas penuh dalam menetapkan  awal  bulan hijriyyah (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah) yang dilaksanakan setiap tahunnya.
Sidang itsbat yang diselenggarakan pemerintah tersebut adalah sidang untuk menetapkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah. Sidang tersebut dihadiri berbagai ormas Islam di Indonesia dan langsung dipimpin oleh Menteri Agama RI. Selain Ormas, sidang tersebut juga dihadiri oleh Duta Besar Negara-negara Islam, Pejabat Eselon I dan II Kemenag RI, Anggota Badan Hisab Rukyat.
Data primer Menteri Agama dalam menentukan kapan terjadinya awal bulan baru tidak lain tidak bukan adalah Penetapan Itsbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama. Penetapan tersebut merupakan produk otentik yang merupakan hasil dari permohonan itsbat rukyatul hilal yang dimohonkan Kementerian Agama kepada Pengadilan Agama.
Sedikit berbeda dengan perkara permohonan lain, teknis pelaksanaan  permohonan itsbat rukyatul hilal lebih sederhana. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 26/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Pengadilan memberikan acuan teknis pelayanan sidang itsbat rukyatul hilal sebagai berikut:
1      Pemohon (Kantor Kementerian Agama) mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah yang  membawahi wilayah tempat pelaksanaan rukyat hilal.
2      Panitera atau petugas yang ditunjuk mencatat permohonan tersebut dalam register khusus untuk itu.
3      Sidang itsbat rukyat hilal dilaksanakan di tempat rukyat hilal (sidang di tempat), dilakukan dengan cepat dan sederhana, sesuai dengan kondisi setempat.
4      Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah menunjuk hakim majelis atau hakim tunggal untuk menyidangkan permohonan tersebut.
5      Hakim yang bertugas harus menyaksikan kegiatan pelaksanaan rukyat hilal.
6      Pelaksanaan rukyat hilal harus sesuai dengan data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI.
7      Semua biaya yang timbul akibat permohonan tersebut dibebankan kepada anggaran negara.
Meski secara teknis disederhanakan, namun seperti perkara lain, permohonan Penetapan Itsbat Rukyatul Hilal tidak boleh diperiksa secara serampangan, karena produk penetapannya merupakan akta otentik. Permohonan tersebut harus diukur dengan cermat, apakah ada pertentangan dengan syari’at dan sains (astronomi) atau tidak?
Secara syari’at, Ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang dijadikan dasar hukum dalam penentuan awal bulan, telah memberikan informasi kepada kita bahwa hilal merupakan sesuatu yang menjadi landasan dalam perubahan waktu (masuknya bulan baru).
Allah Swt. Berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ...
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...” (QS.  Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna  شَهِدَ  adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu (Tafsir Ibni Katsir, 1/503)[4]
             Hadits Rasulullah Saw. menyatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
Terdapat juga hadits lain:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka estimasikanlah” (HR. Muslim, no. 2495).
            Selain menjelaskan norma dasar bahwa untuk menentukan bulan baru adalah dengan cara melihat hilal, Hadits di atas juga memberikan arahan teknis operasional pelaksanaan rukyatul hilal. Yakni: rukyatul hilal dilaksanakan pada tanggal 29 Sya’ban (tentu tanggal ke-29 ini juga dapat diterapkan untuk bulan-bulan lain selain Sya’ban), karena umur bulan hijriyyah tidak akan lari dari 29 atau 30 hari.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka tidak kurang 100 hadits yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tarmidzi, Imam Malik dan Imam Hambali dan lain-lain memberikan petunjuk mengenai masuknya bulan komariah  terutama  Ramadhān  dan  Syawal  dengan  cara: (1)  Rukyah  al-Hilal (2) Istikmal Iddah al-Syahr  (menyempurnakan hitungan bulan) dan (3) men-takdir-kan , yakni memperkirakan.[5]
            Dari segi sains (astronomi), setidaknya ada lima kriteria yang dapat dijadikan referensi bagi hakim untuk mengukur mungkin atau tidaknya hilal terlihat (imkanurrukyat).
1        Kriteria yang ditetapkan MABIMS
Berdasarkan hasil pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), Pemerintah RI (Kementerian Agama) menetapkan kriteria yang disebut 'imkanurrukyat' yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan pada Kalender Islam yang menyatakan: hilal dapat terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2°;
(2)  Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°;
(3) Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi/ijtimak.
Namun, seiring perkembangan sains, kriteria MABIS tersebut tampaknya bakal mengalami perubahan. Pada tanggal 2 s.d. 4 Agustus 2016, utusan negara-negara yang tergabung pada MABIMS telah menggelar Muzakarah dan Takwim Islam di Baitul Hilal Teluk Kemang, Malaysia. Salah satu isu yang dibahas yaitu kriteria penentuan awal bulan. Indonesia mengusulkan agar tinggi hilal pada kisaran 4 derajat dan elongasi 7 derajat. Usulan Malaysia, tinggi hilal 3 derajat elongasi 5 derajat. Singapura mengusulkan elongasi 6,4 derajat. Sedangkan Brunei, usulannya adalah tinggi hilal 6 derajat dan umur hilal 19 jam. Setelah musyawarah, akhirnya disepakati bahwa kriteria penentuan awal bulan adalah tinggi hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Dalam pertemuan tersebut juga disepakati bahwa hasil final musyawarah akan mulai dilaksanakan di negara masing-masing anggota MABIMS pada tahun 2018. Sebab, hasil kesepakatan tersebut akan dibahas ulang terlebih dahulu di tingkat  SOM atau  Menteri Agama MABIMS untuk diambil keputusan bersama.[6]
2        Kriteria LAPAN
Thomas Thomas Djamaluddin, yang merupakan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika pada LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), setelah menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN tahun 2000, yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), mengusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia:
  1. Jarak sudut Bulan-Matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi Bulan-Matahari > 4o.
Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.
3        Kriteria Limit Danjon
Pada tahun 1932 dan 1936 Danjon melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang—dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Ini kemudian dikenal sebagai limit Danjon. Dengan limit itu astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.
Ada alasan kuat untuk mendukung limit Danjon, menurut perhitungan Schaefer (1991) di sebuah jurnal astronomi, limit itu disebabkan batas sensitivitas mata manusia. Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya amat redup pada kedua ujung lengkungan sabit hilal. Untuk membuktikannya Schaefer membuat model teoritik hubungan antara besarnya lengkungan sabit hilal dengan kecerlangan hilal tesebut. Dengan limit sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo (besaran kecerlangan relatif dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat hilal hanya akan terlihat seperti goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda lengkungan (panjang lengkungan sabit hanya sekitar 40 derajat, sepersembilan lingkaran). Itu sudah sulit dikenal sebagai hilal.[7]
4        Kriteria Odeh
Sebagaimana telah diuraikan dalam teori limit Danjon, keterbatasan kemampuan melihat hilal disebabkan karena keterbatasan sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya, sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan sensitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik.  
Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah—di dunia Internasional lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh, pendiri lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project), pada tahun 2006 mendapatkan limit Danjon pada angka 6,4o. Artinya, dengan bantuan optik, hilal dapat terlihat di ketingggian 6,4 % di atas horison.
5        Kriteria Ilyas
Di samping limit Danjon, ada lagi kriteria visibilitas hilal. Bulan yang jarak sudutnya lebih dari 7 derajat dari Matahari belum tentu dapat teramati. Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati.
Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatan terbagi dalam tiga kelompok, tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.[8]
Kesaksian yang Dapat Diitsbatkan
Sebagaiamana penetapan pengadilan lainnya, penetapan Itsbat Rukyatul Hilal—meskipun dengan hukum acara yang lebih sederhana—juga harus melalui tahapan konstantir-kualifisir-konstituir. Ketentuan formil dan materiil permohonan harus dicermati secara seksama, sehingga dapat ditemukan natijah dapat atau tidaknya permohonan tersebut dapat dikabulkan.
            Terkait subyek (perukyat), ada beberapa persyaratan  baik formil maupun materiil:[9]
1.  Syarat Formil Perukyat:
a.  Aqil baligh atau sudah dewasa;
b.  Beragama Islam;
c.  Laki-laki atau perempuan;
d.  Sehat akalnya;
e.  Mampu melakukan rukyat;
f.  Jujur, adil dan dapat dipercaya;
g.  Jumlah perukyat lebih dari satu orang;
h.  Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal;
i. Sumpah  kesaksian  rukyat  hilal  di  depan  sidang  Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
2.  Syarat materiil :
a)  Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal;
b) Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni kapan  waktunya,  dimana  tempatnya,  berapa  lama  melihatnya,  dimana letak,  arah  posisi  dan  keadaan  hilal  yang  dilihat,  serta  bagaimana kecerahan cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat;
c) Keterangan  hasil  rukyat  yang  dilaporkan  oleh  perukyat  tidak bertentangan  dengan  akal  sehat,  perhitungan  ilmu  hisab,  kaidah  ilmu pengetahuan dan kaidah syar’i;
Sedangkan terkait ketentuan mengenai obyek (hilal/bulan sabit muda), Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor: 26/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Pengadilan memberikan acuan teknis pelayanan sidang itsbat rukyatul hilal sebagai berikut: pelaksanaan rukyat hilal harus sesuai dengan data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI.[10] Sebagaimana diketahui, Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI merujuk pada data kriteria MABIMS dalam pelaksanaan hisab-rukyatnya.
Kesimpulannya, hemat penulis, permohonan itsbat rukyatul hilal yang dapat diitsbatkan hanyalah kesaksian yang telah memenuhi syarat formil-materiil, tidak bertentangan dengan syari’at dan sains-astronomi, dan bersesuaian dengan data yang diterbitkan BHR, yang saat ini  menggunakan kriteria MABIMS, yaitu:
(1) Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2°;
(2)  Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°;
(3) Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi/ijtimak.
Perlu dicatat, kemungkinan besar kriteria MABIMS tersebut akan ada perubahan pada tahun 2018, yakni menjadi:
1.      Ketinggian bulan minimal 3° dan elongasi minimal 6,4°;
2.      Tinggi bulan dihitung dari pusat piringan bulan ke ufuk;
3.      Elongasi (jarak sudut) dihitung dari pusat piringan bulan ke pusat piringan matahari.
Bahaya Memutus Dengan Ketidaktahuan
            Hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya kemajuan zaman (termasuk sains). Oleh karena itu hakim tidak boleh berhenti belajar. Hakim selalu dianggap tahu hukum (ius curia novit). Hanya dengan pengetahuan “terbarukan”lah hakim dapat menjalankan takdirnya sebagai raafi’ al-khilaf (penghilang perbedaan). 
Termasuk dalam perkara permohonan itsbat rukyatul hilal, dunia sains (astronomi) selalu bergerak dinamis. Sangat naif jika hakim tidak berusaha mempelajari dunia rukyatul hilal dengan segala kompleksitasnya, lalu sekonyong-konyong langsung saja mengabulkan permohonan itsbat rukyatul hilal, tanpa mengukur dengan kaidah syara’ dan sains.
            Jauh sebelum ini, Rasul Muhammad saw. sudah mengingatkan:
عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ (رواه أبو داود و التردذي و ابن ماجة(
Artinya: ”Diriwayatkan dari Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw. Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam, satu masuk surga, dan dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang (hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka, dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy dan Ibn Majah).
            Dalam konteks artikel ini, tugas hakim adalah belajar, belajar dan belajar mengenai rukyatul hilal. Jangan sampai masuk kategori ke-3, yakni hakim yang mengadili dengan kebodohan.  Karena ancamannya tidak main-main: neraka.
Kesimpulan
            Pengadilan Agama bukan “tukang sumpah” bagi perukyat, tetapi ia merupakan satu-satunya institusi yang berwenang mengeluarkan penetapan kesaksian rukyatul hilal. Pemeriksaan perkara permohonan itsbat rukyatul hilal tidak boleh serampangan. Meskipun hukum acaranya lebih sederhana, namun proses pengambilan keputusannya harus tetap melewati tahap konstantir-kualifisir-konstituir. Kesaksian perukyat harus diukur dengan batu uji syari’at dan sains (astronomi).
            Kesaksian melihat hilal hanya dapat di-itsbat-kan jika memenuhi ketentuan formil-materiil, tidak bertentangan dengan syari’at dan sains (astronomi), serta tidak bertentangan dengan data yang diterbitkan Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI.
            Hakim harus berusaha keras memahami keilmuan tentang perkara yang ditangani. Ada larangan tegas memutus dengan ketidaktahuan. Jika hakim sudah berusaha keras, dan ternyata keputusannya keliru, itu tidak jadi soal, masih tetap mendapat satu pahala. Hal terpenting adalah berijtihad dengan serius, tidak sekonyong-konyong memutus. Allohu’alam.

           


Daftar Pustaka
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 26/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Pengadilan.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.
Suhardiman, Kriteria Visibilitas Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah Di Indonesia, Jurnal Khatulistiwa, Volume 3, Maret 2013.
Arfan Muhammad, Pedoman Dan Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyatul Hilal, disampaikan dalam  acara Pelatihan Hisab Rukyat Para Hakim dan Panmud Hukum Pengadilan Agama Kalimantan Barat tanggal 29 September 2015.
http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/lokasi-pantauan-hilal seluruh-indonesia-jelang-sidang-itsbat-1-syawal-1436-h.



[1] Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok
[2] Berdasarkan data dari Bimas Islam Kemenag RI, lokasi rukyatul hilal antara lain: 1. Aceh: Pantai Lhoknga (Aceh Besar), Nol Km Sabang (Kota Sabang), Calang (Aceh Jaya), Suak Geudebang  Meulaboh (Aceh Barat), dan Tapak Tuan (Aceh Selatan); 2. Sumatera Utara: Atap Kantor Gubernur Sumut; 3. Sumatera Barat: Menara Suar Navigasi Bukit Lampu, Bukit Langkisau, Puncak Panorama Sitinjau Laut, Puncak Panorama Aripan, Sikaladi, Pantai Tiku, Bukit Ampang, Pantai Gondoriah, Padang Hijau Gadut, Gunung Bungsu, Bukit Sariak, dan Bukit Punggung Ladiang; 4. Riau: Hotel Primer (Jl. Jend Sudirman Pekanbaru), Kantor Bupati Kab. Rokan Hilir, dan Pantai Marina Bengkalis; 5. Kepulauan Riau: Bukit Cermin Tanjung Pinang; 6. Jambi: Novita Hotel (Jl. Gatot Subroto Jambi), JOB Pertamina Jambi, Abadi Suite & Tower Hotel (Jl Gatot Subroto); 7. Sumatera Selatan: Hotel Aryaduta (Jl. POM 9 Kampus Palembang), dan Lubuk Linggau (Jl. Bukit Sulat Kota Linggau);8. Bangka Belitung: Pantai Desa Penagan, Kec. Mendo Barat Kab. Bangka; 9. Bengkulu: Hotel Horison Kota Bengkulu; 10. Lampung: Bukut Cantik (Kalianda Lampung Selatan), dan Pantai Lemong (Krui Lampung Barat); 11. DKI Jakarta: Masjid Al-Musyari’in Basmol Jakarta Barat, PP Al-Husiniyah Cakung Jakarta Utara, Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta (Lantai 7), Pulau Karya Kep. Seribu Jakarta; 12. Jawa Barat: Pusat Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi, Bosscha Lembang Bandung, Kab. Bandung Barat, Gunung Babakan(Kota Banjar), Gunung Panenjoan (Kab. Kuningan), Pantai Santolo (Pameungpeuk Kab. Garut), Pantai Cipatujah (Kab. Tasikmalaya), Pantai Gebang (Kab. Cirebon); 13. Banten: Hotel Patra Jasa (Anyer), Mercusuar Anyer; 14. Jawa Tengah: Menara Al Husna Masjid Agung Jawa Tengah, Pantai Binangun (Kab. Rembang), Kab. Banyumas, Pantai Cigandu (Kab. Batang), Ponpes Assalam (Surakarta), Pantai Kartini (Kab. Jepara), Pantai Alam Indah (Kota Tegal), Pantai Larung (Kab/Kota Pekalongan), dan Pantai Ayah (Kab. Kebumen);15. Di Yogyakarta: POB Sekh Bela Belu (Bantul Parang Tritis), Pantai Trisik (Kab. Kulon Progo), Bukit Brambang (Gunung Kidul); 16. Jawa Timur: Pantai Sunan Drajat /Tanjung Kodok Paciran Lamongan, Pantai Awar-awar Tuban, Pelabuhan PT Semen Gresik Tuban, Menara Masjid Agung Surabaya, Helipad AURI Ngliyep Kab. Malang, Pantai Serang  Kab. Blitar, Pantai Srau Pacitan, Pantai Mleman Lumajang, Pantai Nyamplong Kobong, Gunung Sadeng Jember, Pantai Kalbut Situbondo, Pantai Pancur Alas Purwo Banyuwangi, Pantai Ambat Tlanakan Pamekasan, Bukit Condrodipo Gresik, Pantai Gebang Bangkalan, Bukit Wonocolo Bojonegoro, Pulau Gili Kab. Probolinggo, Pantai Pasongsongan Sumenep, Kabupaten Sampang, Pantai Bawean Kab. Gresik, Kabuh Kab. Jombang;17. Kalimantan Barat: Pantai Indah Kakap, Kec. Sungai Kakap, Kab. Kubu Raya; 18. Kalimantan Tengah: Di atas Hotel Aquarius; 19. Kalimantan Timur: Hotel Mitra Lantai 8, Kota Samarinda; 20. Kalimantan Selatan: Bank Kalsel Jl. Lambung Mangkurat, Pantai Kanggisung (Pelahari Kab. Tanah Laut), Pantai Kotabaru (Kab. Kotabaru), Amuntai (Kab. Hulu Sungai Utara); Marabahan (Kab. Barito Kuala); 21. Bali: Hotel Patra Jasa Pantai Kute, Bali; 22. NTB: Taman Rekreasi Luang Balo (Kota Mataram), Hotel Pasific Senggigi (Kab. Lombok Barat), Malimbo (Kab. Lombok Barat), Menara Asmaul Husna Islamic Center, Jl. Udayana (Mataram), dan Kab. Sumbawa Barat;23. NTT: Rumah Jabatan Bupati Kupang, Kec. Amfoang Tengah (Kab. Kupang), Kec. Mamboro (Kab. Sumba Barat), Kec. Katiku Tnh Sel (Kab. Sumba Tengah); 24. Sulawesi Selatan: Tanjung Bunga di atas Gedung GTC Makassar Pantai Losari; 25. Sulawesi Barat: Tanjung Rangas Kec. Simboro (Kab. Mamuju), Desa Mosso Kec Sendana (Kab. Majene); 26. Sulawesi Tenggara: Pantai Buhari Tanggetada, Kab. Kolaka; 27. Sulawesi Utara: Apartemen Manado Trade Center; 28. Gorontalo: Menara Keagungan Limboto; 29. Sulawesi Tengah: Desa Merana Kec. Sundue Kab. Donggala; 30. Maluku: Pantai Latuhalat Kes. Nusanile, Kota Ambon; 31. Maluku Utara: Pantai RUA Ternate dan Kantor Kemenag Tidore; 32. Papua: Kab. Bika Numfor; dan  33. Papua Barat: Tanjung Saoka, Kota Sorong; Fak-fak; dan Pantai Sidai Kab. Manokwari. http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/lokasi-pantauan-hilal-seluruh-indonesia-jelang-sidang-itsbat-1-syawal-1436-h-
[3]  Suhardiman, Kriteria Visibilitas Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah Di Indonesia, Jurnal Khatulistiwa, Volume 3, Maret 2013, Hlm. 72
[5] [5]  Suhardiman, Kriteria Visibilitas Hilal...hlm 77
[6] http://www.rukyatulhilal.org/index.php/berita-falak/279-muzakarah-dan-taqwim-islam-mabims-2016
[7] http://media.isnet.org/kmi/isnet/Djamal/rukyat.html
[8] Ibid, hlm.1
[9] Arfan Muhammad, Pedoman Dan Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyatul Hilal, disampaikan dalam  acara Pelatihan Hisab Rukyat Para Hakim dan Panmud Hukum Pengadilan Agama Kalimantan Barat tanggal  29 September 2015;
[10] Ketentuan serupa juga diatur dalam BUKU II (SK KMA Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar