IKHTIYATH
DALAM SIDANG ITSBAT RUKYAT
Ahmad Z. Anam[1]
Muqaddimah
Sidang
itsbat rukyatul hilal telah menjadi agenda rutin tahunan bagi sebagian Pengadilan
Agama, terutama yang kantornya terletak di daerah-daerah pesisir pantai. Jamaknya,
rukyatul hilal memang diselenggarakan di pesisir pantai, tetapi tidak
sedikit juga yang digelar di bukit, di atas gedung, juga menara suar[2].
Bisa saja, saat ini kita belum bertugas di Pengadilan Agama yang menjadi langganan
penyelenggara sidang itsbat rukyatul hilal, tetapi boleh jadi, tahun
depan kita berada di sana. Ada baiknya kita persiapkan diri sejak dini.
Kewenangan itsbat rukyatul hilal bagi
Pengadilan Agama diberikan oleh Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Negara, melalui ayat-ayat konstitusi
telah percaya penuh kepada Pengadilan Agama untuk mengeluarkan penetapan itsbat
rukyatul hilal. Penetapan tersebutlah yang dijadikan dasar oleh Kemeterian
Agama RI untuk menetapkan bulan baru, terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah.
Konfigurasi Pengadilan Agama dalam
konteks ini adalah institusi yang berwenang mengeluarkan penetapan. Penetapan
adalah akta otentik. Sungguh keliru jika ada yang berpandangan bahwa Pengadilan
Agama, dalam konteks ini, diposisikan hanya sebatas “tukang sumpah” bagi
perukyat. Oleh karena itu, tentu tidak tepat jika kesaksian perukyat tentang
terlihatnya hilal (bulan sabit muda), secara serta-merta, sekonyong-konyong,
langsung di-itsbatkan kesaksiannya, tanpa diukur terlebih dahulu dengan
kaidah-kaidah baku rukyatul hilal.
Pernah
terjadi, dan bisa saja terulang, seorang perukyat, karena faktor halusinasi
atau faktor pantulan cahaya Matahari oleh awan, menyatakan melihat hilal,
padahal secara sains, saat itu hilal mustahil terlihat—baik dengan mata
telanjang maupun bantuan optik—karena kriteria visibilitas hilal (imkanurukyah)
tidak terpenuhi.
Nah, sekarang masalahnya, bagaimana
kriteria kesaksian rukyatul hilal yang tidak bertentangan dengan
syari’at dan sains (astronomi)? Meski tidak mampu secara mendalam, artikel ini
setidaknya berusaha mencoba menggali model kesaksian rukyatul hilal yang
sahih (sesuai syariat dan sains), sehingga dapat diitsbatkan, dan tujuan
tertingginya: berusaha keras untuk menghindari status berbahaya: “hakim yang memutus (perkara)
dengan ketidaktahuan”.
Metode
Hisab-Rukyat
Terdapat dua metode dalam penentuan
awal bulan hijriyyah: hisab dan rukyat.
Hisab merupakan sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi
mengelilingi Matahari. Sedangkan rukyat atau biasa juga disebut rukyat
al-hilal adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk melihat hilal atau
bulan sabit muda, setelah terjadi konjungsi (ijtimak) di langit (ufuk)
sebelah barat, sesaat setelah Matahari terbenam, menjelang awal bulan
baru–khususnya menjelang Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah–untuk menentukan
kapan bulan baru itu dimulai.[3]
Penggabungan keduanya melahirkan disiplin baru:
hisab-rukyat. Hisab dan rukyat (perhitungan dan pengamatan) dalam ruang lingkup
ilmu falak adalah multi disiplin ilmu
yang digunakan untuk membantu dalam penentuan waktu ibadah. Setidaknya, menurut
Thomas Djamaluddin, ilmu hisab-rukyat merupakan gabungan antara syari’ah dan
astronomi.
Hisab adalah perangkat (media; washilah; alat) untuk
mencapai rukyat yang benar. Dapat dianalogikan, hisab adalah alamat lengkap,
sedangkan rukyat adalah rumah itu sendiri. Untuk mencari keberadaan sebuah rumah,
tentu butuh alamat lengkap.
Visibilitas Hilal Perspektif Syari’at dan Astronomi
Pemerintah—dalam hal ini Menteri
Agama, memiliki otoritas penuh dalam menetapkan
awal bulan hijriyyah (Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijah) yang dilaksanakan setiap tahunnya.
Sidang itsbat yang
diselenggarakan pemerintah tersebut adalah sidang untuk menetapkan kapan
jatuhnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah. Sidang tersebut
dihadiri berbagai ormas Islam di Indonesia dan langsung dipimpin oleh Menteri
Agama RI. Selain Ormas, sidang tersebut juga dihadiri oleh Duta Besar
Negara-negara Islam, Pejabat Eselon I dan II Kemenag RI, Anggota Badan Hisab
Rukyat.
Data primer Menteri
Agama dalam menentukan kapan terjadinya awal bulan baru tidak lain tidak bukan adalah
Penetapan Itsbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama. Penetapan tersebut merupakan
produk otentik yang merupakan hasil dari permohonan itsbat rukyatul hilal yang
dimohonkan Kementerian Agama kepada Pengadilan Agama.
Sedikit berbeda
dengan perkara permohonan lain, teknis pelaksanaan permohonan itsbat rukyatul hilal lebih
sederhana. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 26/KMA/SK/II/2012
tentang Standar Pelayanan Pengadilan memberikan acuan teknis pelayanan sidang itsbat
rukyatul hilal sebagai berikut:
1
Pemohon (Kantor
Kementerian Agama) mengajukan permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal
kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah yang membawahi wilayah tempat pelaksanaan rukyat
hilal.
2
Panitera atau
petugas yang ditunjuk mencatat permohonan tersebut dalam register khusus untuk
itu.
3
Sidang itsbat
rukyat hilal dilaksanakan di tempat rukyat hilal (sidang di tempat), dilakukan
dengan cepat dan sederhana, sesuai dengan kondisi setempat.
4
Ketua Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iyah menunjuk hakim majelis atau hakim tunggal untuk
menyidangkan permohonan tersebut.
5
Hakim yang bertugas
harus menyaksikan kegiatan pelaksanaan rukyat hilal.
6
Pelaksanaan rukyat
hilal harus sesuai dengan data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat
(BHR) Kementerian Agama RI.
7
Semua biaya yang
timbul akibat permohonan tersebut dibebankan kepada anggaran negara.
Meski secara teknis
disederhanakan, namun seperti perkara lain, permohonan Penetapan Itsbat
Rukyatul Hilal tidak boleh diperiksa secara serampangan, karena produk
penetapannya merupakan akta otentik. Permohonan tersebut harus diukur dengan
cermat, apakah ada pertentangan dengan syari’at dan sains (astronomi) atau
tidak?
Secara syari’at,
Ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits yang dijadikan dasar hukum dalam penentuan
awal bulan, telah memberikan informasi kepada kita bahwa hilal merupakan
sesuatu yang menjadi landasan dalam perubahan waktu (masuknya bulan baru).
Allah
Swt. Berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ...
“Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu...” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu
Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat istihlal (munculnya
hilal) di bulan itu (Tafsir Ibni Katsir,
1/503)[4]
Hadits Rasulullah Saw. menyatakan:
Hadits Rasulullah Saw. menyatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya
(hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan
kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi
30 hari” (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).
Terdapat juga hadits lain:
لاَ تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوا لَهُ
“Janganlah
kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga
melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka estimasikanlah” (HR. Muslim, no. 2495).
Selain menjelaskan norma dasar bahwa
untuk menentukan bulan baru adalah dengan cara melihat hilal, Hadits di atas
juga memberikan arahan teknis operasional pelaksanaan rukyatul hilal.
Yakni: rukyatul hilal dilaksanakan pada tanggal 29 Sya’ban (tentu
tanggal ke-29 ini juga dapat diterapkan untuk bulan-bulan lain selain Sya’ban),
karena umur bulan hijriyyah tidak akan lari dari 29 atau 30 hari.
Jika ditelusuri
lebih jauh lagi, maka tidak kurang 100 hadits yang diriwiyatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tarmidzi, Imam Malik
dan Imam Hambali dan lain-lain memberikan petunjuk mengenai masuknya bulan komariah terutama
Ramadhān dan Syawal
dengan cara: (1) Rukyah
al-Hilal (2) Istikmal Iddah al-Syahr (menyempurnakan hitungan bulan) dan (3) men-takdir-kan
, yakni memperkirakan.[5]
Dari segi sains (astronomi), setidaknya ada lima kriteria
yang dapat dijadikan referensi bagi hakim untuk mengukur mungkin atau
tidaknya hilal terlihat (imkanurrukyat).
1
Kriteria
yang ditetapkan MABIMS
Berdasarkan hasil pertemuan
Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), Pemerintah
RI (Kementerian Agama) menetapkan kriteria yang disebut 'imkanurrukyat' yang
dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan pada Kalender Islam yang
menyatakan: hilal dapat terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah
berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
(1)
Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2°;
(2)
Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut
elongasi) tidak kurang dari 3°;
(3) Ketika Bulan terbenam,
umur Bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi/ijtimak.
Namun, seiring
perkembangan sains, kriteria MABIS tersebut tampaknya bakal mengalami perubahan.
Pada tanggal 2 s.d. 4 Agustus 2016, utusan negara-negara yang tergabung pada
MABIMS telah menggelar Muzakarah dan Takwim Islam di
Baitul Hilal Teluk Kemang, Malaysia. Salah satu isu yang dibahas yaitu kriteria
penentuan awal bulan. Indonesia mengusulkan agar tinggi hilal pada kisaran 4
derajat dan elongasi 7 derajat. Usulan Malaysia, tinggi hilal 3 derajat
elongasi 5 derajat. Singapura mengusulkan elongasi 6,4 derajat. Sedangkan
Brunei, usulannya adalah tinggi hilal 6 derajat dan umur hilal 19 jam. Setelah
musyawarah, akhirnya disepakati bahwa kriteria penentuan awal bulan adalah
tinggi hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Dalam pertemuan
tersebut juga disepakati bahwa hasil final musyawarah akan mulai dilaksanakan di
negara masing-masing anggota MABIMS pada tahun 2018. Sebab, hasil kesepakatan tersebut
akan dibahas ulang terlebih dahulu di tingkat SOM atau Menteri Agama MABIMS untuk diambil keputusan
bersama.[6]
2
Kriteria
LAPAN
Thomas Thomas Djamaluddin, yang merupakan
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika pada LAPAN (Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional), setelah
menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji
ulang kriteria LAPAN tahun 2000, yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia
yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah
sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), mengusulkan
kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat
di Indonesia:
- Jarak sudut Bulan-Matahari >
6,4o.
- Beda tinggi Bulan-Matahari > 4o.
Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan
kriteria yang selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk
mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut
kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan
yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi
operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.
3
Kriteria Limit Danjon
Pada
tahun 1932 dan 1936 Danjon melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah
astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai
pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini
dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan
jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang—dinyatakan dalam
derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data
itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit
yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa hilal tidak
mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Ini
kemudian dikenal sebagai limit Danjon. Dengan limit itu astronom akan menolak
laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan
kurang dari 7 derajat.
Ada
alasan kuat untuk mendukung limit Danjon, menurut perhitungan Schaefer
(1991) di sebuah jurnal astronomi, limit itu disebabkan batas sensitivitas mata
manusia. Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya amat redup pada kedua
ujung lengkungan sabit hilal. Untuk membuktikannya Schaefer membuat model
teoritik hubungan antara besarnya lengkungan sabit hilal dengan kecerlangan
hilal tesebut. Dengan limit sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo
(besaran kecerlangan relatif dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat
hilal hanya akan terlihat seperti goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda
lengkungan (panjang lengkungan sabit hanya sekitar 40 derajat, sepersembilan
lingkaran). Itu sudah sulit dikenal sebagai hilal.[7]
4
Kriteria Odeh
Sebagaimana telah diuraikan dalam teori
limit Danjon, keterbatasan kemampuan melihat hilal disebabkan karena keterbatasan
sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya, sangat mungkin untuk mendapatkan
limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan sensitivitas detektornya,
misalnya dengan menggunakan alat optik.
Ir. Muhammad Syaukat ‘Audah—di dunia
Internasional lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh, pendiri lembaga
penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project), pada
tahun 2006 mendapatkan limit Danjon pada angka 6,4o. Artinya, dengan
bantuan optik, hilal dapat terlihat di ketingggian 6,4 % di atas horison.
5
Kriteria Ilyas
Di samping limit Danjon, ada lagi kriteria visibilitas hilal.
Bulan yang jarak sudutnya lebih dari 7 derajat dari Matahari belum tentu dapat
teramati. Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International
Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti
pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati.
Secara ringkas, kriteria
yang dihasilkan dari banyak data pengamatan terbagi dalam tiga kelompok,
tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk,
tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk
hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat)
hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang
waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih
muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah
13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari
dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari
40 menit.[8]
Kesaksian
yang Dapat Diitsbatkan
Sebagaiamana
penetapan pengadilan lainnya, penetapan Itsbat Rukyatul Hilal—meskipun
dengan hukum acara yang lebih sederhana—juga harus melalui tahapan
konstantir-kualifisir-konstituir. Ketentuan formil dan materiil permohonan
harus dicermati secara seksama, sehingga dapat ditemukan natijah dapat atau
tidaknya permohonan tersebut dapat dikabulkan.
Terkait subyek (perukyat), ada
beberapa persyaratan baik formil maupun
materiil:[9]
1. Syarat Formil Perukyat:
a. Aqil baligh atau sudah dewasa;
b. Beragama Islam;
c. Laki-laki atau perempuan;
d. Sehat akalnya;
e. Mampu melakukan rukyat;
f. Jujur, adil dan dapat dipercaya;
g. Jumlah perukyat lebih dari satu orang;
h. Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal;
i.
Sumpah kesaksian rukyat
hilal di depan
sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
2. Syarat materiil :
a) Perukyat menerangkan sendiri dan melihat
sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal;
b)
Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni
kapan waktunya, dimana
tempatnya, berapa lama
melihatnya, dimana letak, arah
posisi dan keadaan
hilal yang dilihat,
serta bagaimana kecerahan cuaca
langit/horizon saat hilal dapat dilihat;
c)
Keterangan hasil rukyat
yang dilaporkan oleh
perukyat tidak bertentangan dengan
akal sehat, perhitungan
ilmu hisab, kaidah
ilmu pengetahuan dan kaidah syar’i;
Sedangkan terkait ketentuan
mengenai obyek (hilal/bulan sabit muda), Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
nomor: 26/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Pengadilan memberikan acuan
teknis pelayanan sidang itsbat rukyatul hilal sebagai berikut: pelaksanaan rukyat
hilal harus sesuai dengan data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat
(BHR) Kementerian Agama RI.[10]
Sebagaimana diketahui, Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI merujuk
pada data kriteria MABIMS dalam pelaksanaan hisab-rukyatnya.
Kesimpulannya,
hemat penulis, permohonan itsbat rukyatul hilal yang dapat diitsbatkan
hanyalah kesaksian yang telah memenuhi syarat formil-materiil, tidak
bertentangan dengan syari’at dan sains-astronomi, dan bersesuaian dengan data
yang diterbitkan BHR, yang saat ini
menggunakan kriteria MABIMS, yaitu:
(1)
Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2°;
(2)
Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut
elongasi) tidak kurang dari 3°;
(3) Ketika Bulan terbenam,
umur Bulan tidak kurang dari 8 jam setelah konjungsi/ijtimak.
Perlu
dicatat, kemungkinan besar kriteria MABIMS tersebut akan ada perubahan pada
tahun 2018, yakni menjadi:
1. Ketinggian
bulan minimal 3° dan elongasi minimal 6,4°;
2. Tinggi
bulan dihitung dari pusat piringan bulan ke ufuk;
3. Elongasi
(jarak sudut) dihitung dari pusat piringan bulan ke pusat piringan matahari.
Bahaya
Memutus Dengan Ketidaktahuan
Hukum selalu
berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya kemajuan zaman (termasuk sains). Oleh
karena itu hakim tidak boleh berhenti belajar. Hakim selalu dianggap tahu hukum
(ius curia novit). Hanya dengan pengetahuan “terbarukan”lah hakim dapat menjalankan
takdirnya sebagai raafi’ al-khilaf (penghilang perbedaan).
Termasuk dalam
perkara permohonan itsbat rukyatul hilal, dunia sains (astronomi) selalu
bergerak dinamis. Sangat naif jika hakim tidak berusaha mempelajari dunia rukyatul
hilal dengan segala kompleksitasnya, lalu sekonyong-konyong langsung
saja mengabulkan permohonan itsbat rukyatul hilal, tanpa mengukur dengan
kaidah syara’ dan sains.
Jauh sebelum ini, Rasul Muhammad saw.
sudah mengingatkan:
عَنْ
ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا
الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ
فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ
فَهُوَ فِي النَّارِ (رواه أبو داود و التردذي و ابن ماجة(
Artinya: ”Diriwayatkan dari Ibn
Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw. Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam,
satu masuk surga, dan dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang
(hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya
menyalahi hukum maka ia masuk neraka, dan seseorang (hakim) yang mengadili
manusia karena kebodohannya maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy
dan Ibn Majah).
Dalam konteks
artikel ini, tugas hakim adalah belajar, belajar dan belajar mengenai rukyatul
hilal. Jangan sampai masuk kategori ke-3, yakni hakim yang mengadili dengan
kebodohan. Karena ancamannya tidak
main-main: neraka.
Kesimpulan
Pengadilan Agama bukan “tukang
sumpah” bagi perukyat, tetapi ia merupakan satu-satunya institusi yang
berwenang mengeluarkan penetapan kesaksian rukyatul hilal. Pemeriksaan
perkara permohonan itsbat rukyatul hilal tidak boleh serampangan.
Meskipun hukum acaranya lebih sederhana, namun proses pengambilan keputusannya harus
tetap melewati tahap konstantir-kualifisir-konstituir. Kesaksian perukyat harus
diukur dengan batu uji syari’at dan sains (astronomi).
Kesaksian melihat hilal hanya dapat
di-itsbat-kan jika memenuhi ketentuan formil-materiil, tidak
bertentangan dengan syari’at dan sains (astronomi), serta tidak bertentangan
dengan data yang diterbitkan Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI.
Hakim harus berusaha keras memahami
keilmuan tentang perkara yang ditangani. Ada larangan tegas memutus dengan
ketidaktahuan. Jika hakim sudah berusaha keras, dan ternyata keputusannya
keliru, itu tidak jadi soal, masih tetap mendapat satu pahala. Hal terpenting
adalah berijtihad dengan serius, tidak sekonyong-konyong memutus. Allohu’alam.
Daftar
Pustaka
Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 26/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Pengadilan.
Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.
Suhardiman,
Kriteria Visibilitas Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah Di Indonesia,
Jurnal Khatulistiwa, Volume 3, Maret 2013.
Arfan
Muhammad, Pedoman Dan Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyatul Hilal,
disampaikan dalam acara Pelatihan Hisab
Rukyat Para Hakim dan Panmud Hukum Pengadilan Agama Kalimantan Barat tanggal 29
September 2015.
http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/lokasi-pantauan-hilal
seluruh-indonesia-jelang-sidang-itsbat-1-syawal-1436-h.
[1] Hakim Pratama Muda Pengadilan
Agama Mentok
[2] Berdasarkan data
dari Bimas Islam Kemenag RI, lokasi rukyatul hilal antara lain: 1. Aceh: Pantai
Lhoknga (Aceh Besar), Nol Km Sabang (Kota Sabang), Calang (Aceh Jaya), Suak
Geudebang Meulaboh (Aceh Barat), dan
Tapak Tuan (Aceh Selatan); 2. Sumatera Utara: Atap Kantor Gubernur Sumut; 3.
Sumatera Barat: Menara Suar Navigasi Bukit Lampu, Bukit Langkisau, Puncak
Panorama Sitinjau Laut, Puncak Panorama Aripan, Sikaladi, Pantai Tiku, Bukit Ampang,
Pantai Gondoriah, Padang Hijau Gadut, Gunung Bungsu, Bukit Sariak, dan Bukit
Punggung Ladiang; 4. Riau: Hotel Primer (Jl. Jend Sudirman Pekanbaru), Kantor
Bupati Kab. Rokan Hilir, dan Pantai Marina Bengkalis; 5. Kepulauan Riau: Bukit
Cermin Tanjung Pinang; 6. Jambi: Novita Hotel (Jl. Gatot Subroto Jambi), JOB
Pertamina Jambi, Abadi Suite & Tower Hotel (Jl Gatot Subroto); 7. Sumatera
Selatan: Hotel Aryaduta (Jl. POM 9 Kampus Palembang), dan Lubuk Linggau (Jl.
Bukit Sulat Kota Linggau);8. Bangka Belitung: Pantai Desa Penagan, Kec. Mendo
Barat Kab. Bangka; 9. Bengkulu: Hotel Horison Kota Bengkulu; 10. Lampung: Bukut
Cantik (Kalianda Lampung Selatan), dan Pantai Lemong (Krui Lampung Barat); 11.
DKI Jakarta: Masjid Al-Musyari’in Basmol Jakarta Barat, PP Al-Husiniyah Cakung
Jakarta Utara, Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta (Lantai 7), Pulau Karya Kep.
Seribu Jakarta; 12. Jawa Barat: Pusat Observasi Bulan (POB) Pelabuhan Ratu Kab.
Sukabumi, Bosscha Lembang Bandung, Kab. Bandung Barat, Gunung Babakan(Kota Banjar),
Gunung Panenjoan (Kab. Kuningan), Pantai Santolo (Pameungpeuk Kab. Garut),
Pantai Cipatujah (Kab. Tasikmalaya), Pantai Gebang (Kab. Cirebon); 13. Banten:
Hotel Patra Jasa (Anyer), Mercusuar Anyer; 14. Jawa Tengah: Menara Al Husna
Masjid Agung Jawa Tengah, Pantai Binangun (Kab. Rembang), Kab. Banyumas, Pantai
Cigandu (Kab. Batang), Ponpes Assalam (Surakarta), Pantai Kartini (Kab.
Jepara), Pantai Alam Indah (Kota Tegal), Pantai Larung (Kab/Kota Pekalongan),
dan Pantai Ayah (Kab. Kebumen);15. Di Yogyakarta: POB Sekh Bela Belu (Bantul
Parang Tritis), Pantai Trisik (Kab. Kulon Progo), Bukit Brambang (Gunung
Kidul); 16. Jawa Timur: Pantai Sunan Drajat /Tanjung Kodok Paciran Lamongan,
Pantai Awar-awar Tuban, Pelabuhan PT Semen Gresik Tuban, Menara Masjid Agung
Surabaya, Helipad AURI Ngliyep Kab. Malang, Pantai Serang Kab. Blitar, Pantai Srau Pacitan, Pantai
Mleman Lumajang, Pantai Nyamplong Kobong, Gunung Sadeng Jember, Pantai Kalbut
Situbondo, Pantai Pancur Alas Purwo Banyuwangi, Pantai Ambat Tlanakan Pamekasan,
Bukit Condrodipo Gresik, Pantai Gebang Bangkalan, Bukit Wonocolo Bojonegoro,
Pulau Gili Kab. Probolinggo, Pantai Pasongsongan Sumenep, Kabupaten Sampang,
Pantai Bawean Kab. Gresik, Kabuh Kab. Jombang;17. Kalimantan Barat: Pantai
Indah Kakap, Kec. Sungai Kakap, Kab. Kubu Raya; 18. Kalimantan Tengah: Di atas
Hotel Aquarius; 19. Kalimantan Timur: Hotel Mitra Lantai 8, Kota Samarinda; 20.
Kalimantan Selatan: Bank Kalsel Jl. Lambung Mangkurat, Pantai Kanggisung
(Pelahari Kab. Tanah Laut), Pantai Kotabaru (Kab. Kotabaru), Amuntai (Kab. Hulu
Sungai Utara); Marabahan (Kab. Barito Kuala); 21. Bali: Hotel Patra Jasa Pantai
Kute, Bali; 22. NTB: Taman Rekreasi Luang Balo (Kota Mataram), Hotel Pasific
Senggigi (Kab. Lombok Barat), Malimbo (Kab. Lombok Barat), Menara Asmaul Husna
Islamic Center, Jl. Udayana (Mataram), dan Kab. Sumbawa Barat;23. NTT: Rumah
Jabatan Bupati Kupang, Kec. Amfoang Tengah (Kab. Kupang), Kec. Mamboro (Kab.
Sumba Barat), Kec. Katiku Tnh Sel (Kab. Sumba Tengah); 24. Sulawesi Selatan:
Tanjung Bunga di atas Gedung GTC Makassar Pantai Losari; 25. Sulawesi Barat:
Tanjung Rangas Kec. Simboro (Kab. Mamuju), Desa Mosso Kec Sendana (Kab.
Majene); 26. Sulawesi Tenggara: Pantai Buhari Tanggetada, Kab. Kolaka; 27.
Sulawesi Utara: Apartemen Manado Trade Center; 28. Gorontalo: Menara Keagungan
Limboto; 29. Sulawesi Tengah: Desa Merana Kec. Sundue Kab. Donggala; 30.
Maluku: Pantai Latuhalat Kes. Nusanile, Kota Ambon; 31. Maluku Utara: Pantai
RUA Ternate dan Kantor Kemenag Tidore; 32. Papua: Kab. Bika Numfor; dan 33. Papua Barat: Tanjung Saoka, Kota Sorong;
Fak-fak; dan Pantai Sidai Kab. Manokwari.
http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/lokasi-pantauan-hilal-seluruh-indonesia-jelang-sidang-itsbat-1-syawal-1436-h-
[3]
Suhardiman, Kriteria Visibilitas Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan
Kamariah Di Indonesia, Jurnal Khatulistiwa, Volume 3, Maret 2013, Hlm. 72
[5] [5] Suhardiman, Kriteria Visibilitas
Hilal...hlm 77
[6]
http://www.rukyatulhilal.org/index.php/berita-falak/279-muzakarah-dan-taqwim-islam-mabims-2016
[7]
http://media.isnet.org/kmi/isnet/Djamal/rukyat.html
[8]
Ibid, hlm.1
[9] Arfan Muhammad, Pedoman Dan Tata
Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyatul Hilal, disampaikan dalam acara Pelatihan Hisab Rukyat Para Hakim dan
Panmud Hukum Pengadilan Agama Kalimantan Barat tanggal 29 September 2015;
[10] Ketentuan serupa juga diatur dalam
BUKU II (SK KMA Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar