Jumat, 20 Oktober 2017

Perbedaan Ketentuan Panggilan Perdata Umum dan Perdata Cerai

PERBEDAAN KETENTUAN PANGGILAN ANTARA PERKARA PERDATA UMUM DAN PERDATA-PERCERAIAN
Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
            Surat panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.[2]
Relaas merupakan instrumen vital dalam berkas perkara. Ia merupakan akta autentik[3] yang menjadi kunci bagi hakim untuk dapat meneruskan atau tidak meneruskan sebuah pemeriksaan perkara. Tanpanya, mustahil sebuah perkara dapat diperiksa, diadili, dan diputuskan.
            Hal yang sering jadi perdebatan adalah: jika para pihak tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, apakah pada sidang lanjutan pihak tersebut wajib dipanggil lagi? Atau panggilan selanjutnya tersebut hanya bersifat “ibahah” saja?

            Benarkah ada perbedaan ketentuan pemanggilan antara perkara perdata umum dan perdata-perceraian? Meski tak sempurna, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan uraian sesingkat-singkatnya.
Jenis Panggilan
            Perintah panggilan m
erupakan kewenangan Ketua Majelis Hakim (121 ayat 1 HIR). Perintah panggilan untuk sidang pertama dituangkan dalam Penentuan Hari Sidang. Pemanggilan (convocation) dalam arti sempit sering diidentikkan hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang yang ditentukan. Namun sejatinya, sebagaimana dijelaskan Pasal 388 HIR, panggilan memiliki cakupan yang luas, meliputi[4]:
1.      Panggilan sidang pertama pada para pihak;
2.      Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak yang pada sidang sebelumnya tidak hadir;
3.      Panggilan terhadap saksi;
4.      Pemberitahuan (aanzegging) putusan PT/PTA/MA, pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding, pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, serta pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi;
Pemberitahuan tersebut bertujuan untuk menyampaiakan informasi tentang suatu tindakan hukum yang akan dilakukan pengadilan atau pihak lawan. Oleh karena panggilan mencakup pemberitahuan, maka segala ketentuan yang berlaku pada pemanggilan juga berlaku untuk pemberitahuan.
Bentuk Panggilan
Ada tiga bentuk panggilan yang dikenal pada hukum perdata di Indonesia: 1. surat tertulis, 2. lisan (pemberitahuan oleh majelis hakim di muka sidang), dan 3. panggilan elektronik melalui media massa (radio, televisi, dan media cetak).
Ketentuan panggilan secara tertulis tertuang dalam Pasal 390 Ayat (1) HIR dan  Pasal 2 Ayat (3) Rv. Ketentuan panggilan secara lisan di muka sidang diatur dalam Pasal 126 H.I.R/150 R.Bg. Sedangkan panggilan melalui media elektronik, yang berlaku untuk perkara perceraian diatur dalam Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Panggilan Untuk Sidang Lanjutan
            Jika para pihak, atau salah satu pihak, tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan, maka Pasal 126 H.I.R. menyatakan:
“Di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan negeri dapat, sebelum menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil buat kedua  kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan”
Sedangkan Pasal 150 R.Bg. juga menyatakan statemen yang serupa:
“Dalam  kejadian-kejadian  seperti  tersebut  dalam  dua  pasal  terdahulu,  sebelum  mengambil  sesuatu keputusan, maka ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir agar datang menghadap pada hari yang ditentukan dalam sidang itu, sedangkan bagi pihak yang hadir penentuan hari itu berlaku sebagai panggilan untuk menghadap lagi“  
Dari kedua ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan tekstual: bahwa jika pada hari sidang yang telah ditentukan, terdapat salah satu pihak (baik penggugat/pemohon maupun tergugat/termohon) yang tidak datang menghadap sidang, maka pengadilan dapat memanggil sekali lagi pihak tersebut. Kata “dapat” bermakna tidak wajib, sebatas “ibahah; boleh”.
Namun seiring perkembangan hukum acara perdata, lahirlah semacam ijma’ (kesepakatan) dari pengadilan. Ijma’ tersebut telah hidup dan banyak diterapkan oleh hakim-hakim pengadilan agama, yang pada pokoknya menyatakan bahwa jika salah satu pihak tidak datang menghadap ke sidang,  pengadilan tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan. Demi kehati-hatian,  maka pihak yang tidak datang menghadap ke sidang tersebut dipanggil sekali lagi.[5]
Penulis sependapat dengan ijma’ tersebut. Ini didasarkan pada realitas di lapangan. Seringkali, jurusita/jurusita pengganti yang melaksanakan panggilan, tidak bertemu langsung dengan pihak berperkara, sehingga panggilan disampaikan melalui lurah atau kepala desa. Apesnya, dalam beberapa kasus, panggilan tersebut tidak segera diteruskan, bahkan ada yang tidak diteruskan sama sekali oleh pihak kelurahan/desa kepada pihak yang bersangkutan. Walhasil, pihak berperkara terlambat mengetahui adanya jadwal sidang, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali adanya jadwal sidang. Atas dasar realitas ini, maka sangat logis jika sebelum masuk ke pemeriksaan perkara, panggilan kepada para pihak harus dilaksanakan minimal sebanyak 2 (dua) kali panggilan.
Selanjutnya, jika telah ada 2 (dua) kali panggilan yang sah dan patut, sedangkan pihak tetap tidak hadir, maka pemeriksaan perkara wajib dilanjutkan. Dalam perkara gugat waris misalnya, jika ternyata sidang nantinya berlarut-larut dan memerlukan belasan kali sidang pemeriksaan, sedangkan para tergugat tetap tidak hadir, maka tidak ada kewajiban lagi untuk memanggil mereka, atau bahkan demi asas biaya ringan, para tergugat tidak perlu dipanggil kembali.
Lex Specialis
Ketentuan panggilan sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan ketentuan pada perdata umum. Di sisi lain, terdapat aturan khusus yang mengatur ketentuan panggilan pada perkara perdata-perceraian.
Pasal 26 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan:
“Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”.
Tegas dan gamblang, ketentuan pasal ini mengecualikan ketentuan panggilan pada Pasal 126 HIR dan 150 R.Bg. Khusus perkara gugatan perceraian (termasuk cerai talak), harus ada panggilan dalam setiap kali diadakan sidang pemeriksaan. Meskipun perkaranya berlarut-larut, karena dikumulasikan dengan perkara asesor misalnya, harus tetap ada panggilan kepada pihak berperkara dalam setiap kali digelar sidang pemeriksaan perkara tersebut.
Kesimpulan
Ketentuan panggilan perdata umum diatur pada Pasal 126 HIR dan 150 R.Bg. Salah satu poinnya menyatakan: jika pada hari sidang yang telah ditentukan, terdapat salah satu pihak yang tidak datang menghadap sidang, maka sebelum memeriksa perkara, pengadilan dapat memanggil sekali lagi pihak tersebut.
Pada perkembangan hukum acara di pengadilan, terdapat semacam íjma’ para hakim, yang menyatakan  bahwa jika salah satu pihak tidak datang menghadap ke sidang, pengadilan tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan, pihak yang tidak datang menghadap ke sidang tersebut harus dipanggil sekali lagi. Dari berbagai pertimbangan faktual di lapangan, Penulis sangat sependapat dengan ijma’ tersebut. Dan jika ternyata pihak telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali ternyata tetap tidak datang, maka pengadilan tidak ada kewajiban, bahkan tidak perlu memanggil pihak tersebut dalam sidang lanjutan pemeriksaan perkara.
Di luar ketentuan umum tersebut, terdapat ketentuan khusus dalam panggilan perkara perceraian. Pasal 26 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 menegaskan dalam perkara perceraian baik penggugat atau tergugat wajib dipanggil secara sah dan patut dalam setiap sidang pemeriksaan perkara, meskipun pemeriksaan perkaranya berlarut-larut, meskipun pihak-pihak telah dua kali tidak datang menghadap ke sidang secara berturut-turut.  Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet Ke-12, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet, Ke-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2016. 
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura. (Rbg.)



[1]  Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet Ke-12 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 213.
[3]  Karena dibuat oleh pejabat berwenang berdasarkan aturan perundangan (Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989), lihat juga Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet, Ke-6 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group) hlm. 136.
[4]  M. Yahya Harahap, Hukum Acara... hlm. 215.

[5] Lihat juga, M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2016), hlm. 88.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar