PERBEDAAN KETENTUAN PANGGILAN ANTARA PERKARA PERDATA
UMUM DAN PERDATA-PERCERAIAN
Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur
Sirih
Surat
panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan
patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di
pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan
melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.[2]
Relaas
merupakan instrumen vital dalam berkas perkara. Ia merupakan akta autentik[3]
yang menjadi kunci bagi hakim untuk dapat meneruskan atau tidak meneruskan sebuah
pemeriksaan perkara. Tanpanya, mustahil sebuah perkara dapat diperiksa, diadili,
dan diputuskan.
Hal
yang sering jadi perdebatan adalah: jika para pihak tidak hadir pada sidang
yang telah ditentukan, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, apakah
pada sidang lanjutan pihak tersebut wajib dipanggil lagi? Atau panggilan
selanjutnya tersebut hanya bersifat “ibahah” saja?
Benarkah
ada perbedaan ketentuan pemanggilan antara perkara perdata umum dan perdata-perceraian?
Meski tak sempurna, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, dengan uraian sesingkat-singkatnya.
Jenis
Panggilan
Perintah
panggilan m
erupakan kewenangan Ketua Majelis Hakim (121 ayat 1 HIR). Perintah
panggilan untuk sidang pertama dituangkan dalam Penentuan Hari Sidang.
Pemanggilan (convocation) dalam arti sempit sering diidentikkan hanya
terbatas pada perintah menghadiri sidang yang ditentukan. Namun sejatinya,
sebagaimana dijelaskan Pasal 388 HIR, panggilan memiliki cakupan yang luas,
meliputi[4]:
1. Panggilan
sidang pertama pada para pihak;
2.
Panggilan
menghadiri sidang lanjutan kepada pihak yang pada sidang sebelumnya tidak
hadir;
3.
Panggilan terhadap
saksi;
4. Pemberitahuan
(aanzegging) putusan PT/PTA/MA, pemberitahuan permintaan banding kepada
terbanding, pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, serta
pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi;
Pemberitahuan
tersebut bertujuan untuk menyampaiakan informasi tentang suatu tindakan hukum
yang akan dilakukan pengadilan atau pihak lawan. Oleh karena panggilan mencakup
pemberitahuan, maka segala ketentuan yang berlaku pada pemanggilan juga berlaku
untuk pemberitahuan.
Bentuk
Panggilan
Ada tiga bentuk
panggilan yang dikenal pada hukum perdata di Indonesia: 1. surat tertulis, 2. lisan
(pemberitahuan oleh majelis hakim di muka sidang), dan 3. panggilan elektronik
melalui media massa (radio, televisi, dan media cetak).
Ketentuan panggilan
secara tertulis tertuang dalam Pasal 390 Ayat (1) HIR dan Pasal 2 Ayat (3) Rv. Ketentuan panggilan
secara lisan di muka sidang diatur dalam Pasal 126 H.I.R/150 R.Bg. Sedangkan
panggilan melalui media elektronik, yang berlaku untuk perkara perceraian
diatur dalam Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Panggilan Untuk Sidang Lanjutan
Jika
para pihak, atau salah satu pihak, tidak hadir pada sidang yang telah
ditentukan, maka Pasal 126 H.I.R. menyatakan:
“Di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas
tadi, Pengadilan negeri dapat, sebelum menjatuhkan keputusan, memerintahkan
supaya pihak yang tidak datang dipanggil buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari
persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada
pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan”
Sedangkan Pasal 150 R.Bg. juga
menyatakan statemen yang serupa:
“Dalam
kejadian-kejadian seperti tersebut
dalam dua pasal
terdahulu, sebelum mengambil
sesuatu keputusan, maka ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan
untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir agar datang menghadap pada
hari yang ditentukan dalam sidang itu, sedangkan bagi pihak yang hadir
penentuan hari itu berlaku sebagai panggilan untuk menghadap lagi“
Dari kedua
ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan tekstual: bahwa jika pada hari
sidang yang telah ditentukan, terdapat salah satu pihak (baik penggugat/pemohon
maupun tergugat/termohon) yang tidak datang menghadap sidang, maka pengadilan
dapat memanggil sekali lagi pihak tersebut. Kata “dapat” bermakna tidak wajib,
sebatas “ibahah; boleh”.
Namun seiring
perkembangan hukum acara perdata, lahirlah semacam ijma’ (kesepakatan)
dari pengadilan. Ijma’ tersebut telah hidup dan banyak diterapkan oleh
hakim-hakim pengadilan agama, yang pada pokoknya menyatakan bahwa jika salah
satu pihak tidak datang menghadap ke sidang,
pengadilan tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan. Demi
kehati-hatian, maka pihak yang tidak
datang menghadap ke sidang tersebut dipanggil sekali lagi.[5]
Penulis sependapat
dengan ijma’ tersebut. Ini didasarkan pada realitas di lapangan.
Seringkali, jurusita/jurusita pengganti yang melaksanakan panggilan, tidak
bertemu langsung dengan pihak berperkara, sehingga panggilan disampaikan
melalui lurah atau kepala desa. Apesnya, dalam beberapa kasus, panggilan
tersebut tidak segera diteruskan, bahkan ada yang tidak diteruskan sama sekali
oleh pihak kelurahan/desa kepada pihak yang bersangkutan. Walhasil,
pihak berperkara terlambat mengetahui adanya jadwal sidang, bahkan ada yang
tidak mengetahui sama sekali adanya jadwal sidang. Atas dasar realitas ini,
maka sangat logis jika sebelum masuk ke pemeriksaan perkara, panggilan kepada
para pihak harus dilaksanakan minimal sebanyak 2 (dua) kali panggilan.
Selanjutnya, jika
telah ada 2 (dua) kali panggilan yang sah dan patut, sedangkan pihak tetap
tidak hadir, maka pemeriksaan perkara wajib dilanjutkan. Dalam perkara gugat
waris misalnya, jika ternyata sidang nantinya berlarut-larut dan memerlukan belasan
kali sidang pemeriksaan, sedangkan para tergugat tetap tidak hadir, maka tidak
ada kewajiban lagi untuk memanggil mereka, atau bahkan demi asas biaya ringan, para
tergugat tidak perlu dipanggil kembali.
Lex
Specialis
Ketentuan panggilan
sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan ketentuan pada perdata umum. Di
sisi lain, terdapat aturan khusus yang mengatur ketentuan panggilan pada
perkara perdata-perceraian.
Pasal
26 (ayat 1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan:
“Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa
gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”.
Tegas
dan gamblang, ketentuan pasal ini mengecualikan ketentuan panggilan pada Pasal
126 HIR dan 150 R.Bg. Khusus perkara gugatan perceraian (termasuk cerai talak),
harus ada panggilan dalam setiap kali diadakan sidang pemeriksaan. Meskipun
perkaranya berlarut-larut, karena dikumulasikan dengan perkara asesor misalnya,
harus tetap ada panggilan kepada pihak berperkara dalam setiap kali digelar
sidang pemeriksaan perkara tersebut.
Kesimpulan
Ketentuan panggilan perdata umum
diatur pada Pasal 126 HIR dan 150 R.Bg. Salah satu poinnya menyatakan: jika
pada hari sidang yang telah ditentukan, terdapat salah satu pihak yang tidak
datang menghadap sidang, maka sebelum memeriksa perkara, pengadilan dapat
memanggil sekali lagi pihak tersebut.
Pada perkembangan hukum acara di
pengadilan, terdapat semacam íjma’ para hakim, yang menyatakan bahwa jika salah satu pihak tidak datang
menghadap ke sidang, pengadilan tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan,
pihak yang tidak datang menghadap ke sidang tersebut harus dipanggil sekali
lagi. Dari berbagai pertimbangan faktual di lapangan, Penulis sangat sependapat
dengan ijma’ tersebut. Dan jika ternyata pihak telah dipanggil sebanyak
2 (dua) kali ternyata tetap tidak datang, maka pengadilan tidak ada kewajiban,
bahkan tidak perlu memanggil pihak tersebut dalam sidang lanjutan pemeriksaan
perkara.
Di luar ketentuan umum tersebut,
terdapat ketentuan khusus dalam panggilan perkara perceraian. Pasal 26 (ayat 1)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 menegaskan dalam perkara perceraian
baik penggugat atau tergugat wajib dipanggil secara sah dan patut dalam setiap
sidang pemeriksaan perkara, meskipun pemeriksaan perkaranya berlarut-larut,
meskipun pihak-pihak telah dua kali tidak datang menghadap ke sidang secara
berturut-turut. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
M.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet Ke-12, Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet,
Ke-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
M.
Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik, dan
Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, Yogyakarta: UII
Press, 2016.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
Reglement Tot Regeling
Van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura. (Rbg.)
[1] Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok
[2] M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Cet Ke-12 (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 213.
[3] Karena dibuat oleh pejabat berwenang
berdasarkan aturan perundangan (Pasal 103 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989),
lihat juga Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Cet, Ke-6 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group) hlm. 136.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara... hlm. 215.
[5]
Lihat juga, M. Natsir Asnawi, Hukum
Acara Perdata, Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2016), hlm. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar