Izin
Perceraian Bagi Karyawan BUMN, Masih Wajib?
Norma
hukum Pasal 1 Huruf a Angka 2c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebagaimana telah diubah
dengan PP Nomor 45 tahun 1990, menyatakan bahwa ketentuan aturan perkawinan dan
perceraian bagi karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipersamakan dengan aturan
perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Selanjutnya,
pada Pasal 3 PP Nomor 10 tahun 1983 ditegaskan bahwa PNS yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin dari pejabat.[2] Jika
ada PNS yang nekat bercerai dengan tanpa izin, juga tidak melaporkan
perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai
terjadinya perceraian, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.[3]
Dari
dua norma hukum tersebut, dapat ditarik sebuah konklusi: sebagaimana PNS, Karyawan
BUMN juga wajib memperoleh izin pejabat untuk dapat melakukan perceraian di
Pengadilan. Jika tidak, akan ada sanksi yang setia menunggu.
Namun,
kemudian hari, kemapanan aturan tentang perceraian bagi karyawan BUMN pada
akhirnya harus terusik dengan lahirnya PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.
Pada Pasal 95 Ayat 2 Peraturan Pemerintah tersebut, tercantum kalimat “Bagi
BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang
berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.”
Lantas,
dengan hadirnya PP Nomor 45 tahun 2005 tersebut, apakah serta merta ketentuan
izin perceraian bagi karyawan BUMN sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 Tahun
1983 tidak berlaku lagi?
Selayang Pandang BUMN
BUMN menurut Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan
barang atau jasa bagi masyarakat.
Ciri-ciri BUMN:
1
Pemerintah menjadi pemilik badan usaha
2
Pengawasan kegiatan usaha dilakukan oleh pemerintah, baik langsung
maupun lewat institusi terkait
3
Pemerintah memiliki kekuasaan yang absolut dalam menjalankan kegiatan
usaha
4
Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan
usaha
5
Semua risiko yang terjadi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah
7
Bertindak sebagai pelaksana pemerintah dalam memenuhi pertanggungjawaban
hajat hidup masyarakat luas
8
Tidak ditujukan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi dibenarkan
untuk memupuk keuntungan
9
Berfungsi sebagai alat pemerintah untuk mengadakan dan mengembangkan
ekonomi negara
10
Dapat meningkatkan produktivitas, efektivitas, dan efisiensi serta
terjaminnya prinsip-prinsip ekonomi
11
Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang
dipisahkan
12
Peranan pemerintah sebagai pemegang saham. Bila sahamnya dimiliki oleh
masyarakat, besarnya tidak lebih dari 49%, sedangkan minimal 51% sahamnya
dimiliki oleh negara
14
Modal juga diperoleh dari bantuan luar negeri
15
Bila memperoleh keuntungan, maka dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat
Konsep BUMN telah dirumuskan dalam
Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 740/KMK.00/1989. Dalam
konsep itu, BUMN didefenisikan sebagai “badan usaha yang seluruh modalnya
dimiliki negara” (Pasal 1 Ayat 2a).
Oleh karena BUMN itu merupakan
“public enterprise”, dengan demikian, BUMN mencakup dua elemen esensial yaitu:
”pemerintah (public) dan bisnis (enterprise)”. Dengan defenisi itu maka BUMN
tidaklah murni pemerintah 100% dan tidak juga swasta 100% tetapi BUMN dapat
dikatakan sebagai “perusahaan negara yang diwiraswastakan”.
Pada awalnya BUMN adalah hasil
nasionalisasi ex-perusahaan-perusahaan asing (Belanda) yang kemudian
ditetapkan sebagai perusahaan negara. Kemudian dengan UU No. 1 Prp 1969
dibentuklah pembagian tiga jenis bentuk Badan Usaha Milik Negara menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Persero. Pembagian ini
dibentuk sesuai dengan tugas, fungsi dan misi usaha pada waktu itu.
Filosofi mengapa dibentuk Badan
Usaha Milik Negara adalah karena berdasarkan pada bunyi ketentuan UUD Pasal 33
khususnya ayat (2) dan (3) yang mengandung maksud bahwa: cabang-cabang produksi
penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian tugas pertama negara
dengan membentuk badan usaha adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat,
manakala sektor-sektor tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta. Kemudian
tugas-tugas seperti itu diterjemahkan sebagai bentuk “pioneering” usaha
oleh negara yang membuat BUMN menjadi agen pembangunan (agent of development).
Perkembangan perusahaan negara
dibagi dalam empat fase perkembangan yaitu:
1) Fase sebelum kemerdekaan
Dalam fase ini berbagai jenis
perusahaan negara termaksud diatur oleh ketentuan UU No. 8 tahun 1941 (didasari
pada UU kolonial).
2) Fase antara tahun 1945-1960
Pada fase ini keberadaan
perusahaan negara sangat penting karena mengingat pentingnya peranan perusahaan
negara dalam pembangunan dan dalam rangka perjuangan RI untuk mengembalikan
Irian Barat ke wilayah RI. Pada periode ini pula terjadi gerakan nasionalisasi
terhadap perusahaan negara milik asing (bekas milik Belanda). Pengembalian ini
diatur dalam PP. NO. 27 tahun 1957 dan UU No. 26 tahun 1959 tentang
nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan yang dinasionalisasikan
tersebut pada mulanya berbentuk Perseroan Terbatas dan beroperasi dalam hampir
semua sektor ekonomi negara yang
mencakup lapangan perbankan, perkebunan, perdagangan dan jasa.
3) Fase yang berlangsung tahun 1960-1969
Dalam fase ini, terjadi
keseragaman yang berlandaskan UU No. 19 tahun 1960 menjadi satu bentuk yaitu Perusahaan Negara. Namun
demikian masih terdapat kekaburan dalam organisasi perusahaan negara yang
disebabkan adanya Badan Pimpinan Umum (BPU) yang juga menyelenggarakan
pengurusan terhadap Perusahaan Negara tertentu. Oleh karena tiu, maka
ditetapkanlah tiga bentuk perusahaan negara yakni Perusahaan Jawatan (Perjan),
Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero).
4) Fase antara tahun 1969 hingga sekarang
Dalam fase ini peranan Perusahaan
Negara dalam menunjang perekonomian nasional semakin meningkat sejalan dengan
pelaksanaan pembangunan sejak Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I sampai sekarang
yang merupakan kelanjutan dan peningkatan dari periode pembangunan sebelumnya.[5]
Aturan
Perceraian Karyawan BUMN
Dalam sejarahnya,
karena BUMN merupakan Perusahaan Negara, maka ketentuan perceraian bagi
karyawannya berkiblat pada ketentuan aparatur sipil negara. Ketentuan tersebut
diatur dalam (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian Pegawai
Negeri Sipil (PNS), sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 tahun 1990.
Bunyi Pasal 1 PP Nomor 10 tahun 1983
adalah sebagai berikut:
Dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil adalah:
1.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974;
2.
Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu:
(a)
Pegawai Bulanan di samping pensiun;
(b)
Pegawai Bank milik Negara;
(c) Pegawai
Badan Usaha milik Negara;
(d)
Pegawai Bank milik Daerah;
(e)
Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
(f)
Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di Desa;
Ketentuan
Pasal 1 PP Nomor 10 Tahun 1983 tersebut tidak mengalami perubahan dalam PP
Nomor 45 tahun 1990. Artinya, ketentuan tersebut tetap berlaku: bagi Karyawan
BUMN berlaku ketentuan perkawinan dan perceraian sebagaimana yang berlaku bagi
PNS.
Apa ketentuan
perceraian bagi PNS? Pasal 3 PP Nomor 10 tahun 1983 menyebutkan:
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat;
(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian itu.
Ketentuan
tersebut kemudian diubah dengan PP Nomor 45 tahun 1990 yang berbunyi:
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari
Pejabat;
(2) Bagi Pegawai
Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil
yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara
tertulis;
(3) Dalam surat
permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan
surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya".
Fokus terkait
artikel ini, untuk PNS (baca: karyawan BUMN) yang akan mengajukan gugatan perceraian,
wajib izin pada pejabat terlebih dahulu.
Terbitanya
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2005
Pada
tahun 2003, demi memberi peluang bagi BUMN agar lebih maju dan mandiri,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).[6]
Sebagai
penjabaran prinsip-prinsip dasar dari PP 19/2003 tersebut, Pemerintah kemudian pada tanggal 25 Oktober 2005 menerbitkan PP Nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.
PP
Nomor 45 tahun 2005 berisi aturan rinci berkaitan dengan pendirian, pengurusan,
pengawasan, pembubaran BUMN, ketentuan pokok karyawan, serta hubungan antara
Menteri (Menteri Keuangan dan Menteri Teknis) dalam hal pendirian, pengurusan,
pengawasan dan pembubaran BUMN.
Dalam
Bab Ketentuan Karyawan, Pasal 95 Ayat 2 PP Nomor 45 tahun 2005 tersebut tegas
menyatakan: “Bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan
eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil”. Kita
garisbawahi: segala ketentuan kepegawaian. Artinya, ketentuan perkawinan
dan perceraian bagi karyawan BUMN yang sebelumnya berinduk pada ketentuan
perkawinan dan perceraian PNS, menurut PP Nomor 45 tahun 2005 ini, dinyatakan tidak
berlaku.
Pertentangan Norma Hukum
Terdapat
pertentangan norma antara PP Nomor 10 tahun 1983, sebagaimana telah diubah
dengan PP Nomor 45 tahun 1990 dengan PP Nomor 45 tahun 2005. PP Nomor 10 tahun
1983 menghendaki karyawan BUMN yang akan melakukan perceraian wajib izin
terlebih dahulu pada pejabat. Sedangkan PP Nomor 45 tahun 2005 menyatakan
sebaliknya, bagi karywan BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian yang
berlaku bagi PNS.
Terhadap pertentangan antar norma
ini, kaidah hukum memberikan gambaran “Lex Posterior Derogat
Legi Priori”[7] yaitu pada peraturan yang
sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Terhadap peraturan yang telah diganti dengan
peraturan yang baru, secara otomatis peraturan yang lama tidak berlaku
lagi.
Dengan
demikian, ketentuan perkawinan dan perceraian bagi karyawan BUMN sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 10 tahun 1983, telah terhapus oleh “ketentuan
pembebasan” yang ditegaskan oleh Pasal 95 Ayat 2 PP Nomor 45 tahun 2005. Bagi
karyawan BUMN tidak berlaku kewajiban izin pejabat untuk dapat melakukan
perceraian.
Kondisi Faktual
Dalam kenyataannya,
masih ada BUMN yang belum menyesuaikan Peraturan Kerja Bersama (PKB) maupun
peraturan perusahaannya dengan ketentuan Pasal Pasal 95 Ayat 2 PP Nomor 45 tahun 2005. Sehingga dalam PKB
masih mewajibkan adanya izin pejabat bagi karyawan yang hendak melakukan
perceraian.
Lantas, bagaimana sikap yang harus
diambil hakim pemeriksa perkara jika menjumpai penggugat atau pemohon yang
bekerja sebagai karyawan BUMN, dimana kantor BUMN tempat mereka bekerja masih
mewajibkan izin pejabat untuk dapat melakukan perceraian, sedangkan yang
bersangkutan belum mendapatkan izin tersebut? Apakah hakim perlu menjelaskan kewajiban
izin perceraian tersebut dan memberi tenggat waktu bagi para pihak untuk mengurus
izin perceraian sebagaimana ketentuan SEMA Nomor 5 tahun 1984?
Jawabnya: tentu saja tidak.
Peraturan Kerja Bersama (PKB) bukanlah sumber hukum acara yang mengikat hakim.
Ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, menurut Pasal
7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, hanya terbatas pada:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih
lanjut, dalam Pasal 9 UU Nomor 12 tahun 2011tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
(2)
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Jika
ada BUMN yang masih mewajibkan izin cerai dari pejabat, berarti aturan tersebut
merupakan aturan internal perusahaan; hanya mengikat bagi internal karyawan dan
perusahaan. Peraturan Kerja Bersama (PKB) maupun Peraturan Perusahan bukan
termasuk salah aturan perundangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan UU Nomor
12 tahun 2011.
KESIMPULAN
Sebelum
berlakunya PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, untuk dapat melakukan
perceraian di pengadilan, karyawan BUMN wajib memperoleh izin perceraian dari pejabat
yang berwenang. Ini merupakan norma hukum PP Nomor 10 tahun 1983 tentang
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan
PP Nomor 45 tahun 1990.
Pasca
berlakunya PP Nomor 45 Tahun 2005, ketentuan izin perceraian bagi karyawan BUMN
tersebut tidak berlaku lagi. Norma hukum Pasal 1 PP Nomor 10 tahun 1983
terhapus oleh norma hukum Pasal 95 Ayat 2 PP 45 tahun 2005.
Jika
masih ada Peraturan Kerja Bersama ataupun Peraturan Perusahaan yang mewajibkan
karyawan BUMN memperoleh izin pejabat untuk dapat melakukan perceraian, maka
aturan tersebut hanya berlaku ke dalam (internal), tidak mengikat hakim
pemeriksa perkara. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaruan Hukum Acara Peradilan Agama, Ghalia Indonesia, 2012;
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil;
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil;
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara;
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
https://id.wikipedia.org
;
http://vortuz.blogspot.co.id/2013/05/bumn.html.
[1] Hakim Pratama Muda
Pengadilan Agama Mentok.
[2] Pejabat yang dimaksud oleh Pasal 1
huruf (b) PP Nomor 10 tahun 1983 adalah: 1. Menteri, 2. qJaksa Agung, 3.
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, 4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, 5. Gubernur Kepala Daerah Tk. I, 6. Pimpinan Bank
Milik Negara, 7. Pimpinan Badan Usaha Milik Negara, 8. Pimpinan Bank Milik
Daerah, 9. Pimpinan Badan Usaha Milik daerah.
[3] Pasal 15 Ayat 1 PP Nomor 45 tahun
1990. Sedangkan hukuman berat sebagaimana dimaksud PP Nomor 30 tahun 1980
adalah a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk
paling lama 1 (satu) tahun; b. pembebasan dari jabatan; c. pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan d.
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
[4] https://id.wikipedia.org
[5]
http://vortuz.blogspot.co.id/2013/05/bumn.html
[6] Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
[7] Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Pembaruan
Hukum Acara Peradilan Agama, (Ghalia Indonesia,
2012), hlm. 45;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar