Rabu, 26 Maret 2014

gender

Amina Wadud: Menyoal Kesetaraan Gender
Oleh Ach. Z. Anam

Pendahuluan
Sebagai agama penyempurna bagi ajaran-ajaran pendahulunya, Islam hadir sebagai entitas yang rahmatan li al-'alamin, rahmat bagi seisi alam semesta. Salah satu ajaran yang sangat bernilai --sebagai perwujudan  rahmatan li al-'alamin-- adalah keadilan antara sesama makhluk, khususnya antara sesama manusia. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut bahwa umat manusia, baik laki-laki maupun wanita, siapapun di antara mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari Allah, tidak ada yang membedakan mereka di mata-Nya, kecuali kualitas ketaqwaan mereka.[1]
Fenomena "keterpurukan" wanita dalam segala bidang kehidupan, mengusik ketenangan Wadud dan menyalakan kegelisahannya. Berangkat dari kondisi seperti itu, Wadud kemudian menelusur penyebab keterpurukan perempuan, dengan merujuk pada sumber dasar ajaran Islam, yakni al-Qur'an.
Terkait dengan kesetaraan gender, Wadud menjumpai bahwasannya mayoritas penafsiran dan praduk-produk Hukum Islam di rumuskan oleh oleh kaum adam, terlebih, setting yang berada dibelakang mereka adalah budaya patriarkhi. Hal seperti ini merupakan kondisi yang rawan akan adanya bias penafsiran. Menurutnya, budaya patriarkhi telah memarginalkan kaum wanita, mereduksi peranan  wanita sebagai khalifah Allah di muka bumi, bahkan, budaya ini telah mengotori ajaran keadilan yang di usung oleh al-Qur'an. Selanjutnya, Wadud tertantang untuk melancarkan "jihad" pengangkatan suara dan peranan perempuan melalui interpretasi sumber dasar ajaran Islam dengan menggunkan metode hermeunetik.
Qur'an and Women dan Inside the Jihad Gender  Women's reform in Islam merupakan buah karya kegelisahan Wadud. Ide-ide yang tertuang dalam karya seputar reformasi perempuan Islam ini merupakan media untuk mewujudkan misinya, kesetaraan gender.
Biografi
Nama feminis ini telah begitu akrab ditelinga para pengkaji Islam, bahkan bagi masyarakat awam, terlebih semenjak terjadinya "jum'at bersejarah", dimana Wadud bertindak sebagai imam sekaligus khatib shalat jum'at di ruang Synod House di Gereja Katredal, Sain John the Divine di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat 18 Maret 2005 lalu.
               Dari beberapa literatur dan situs, penulis menemukan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1952, di Amerika. Nama orang tuanya tidak diketahui, namun ia adalah seorang anak pendeta yang taat.http://mesw.wordpress.com/ - _ftn4 Ia mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari yang ia namakan Thanksgiving day, tahun 1972. 
               Meskipun baru masuk Islam kisaran seperempat abad, namun berkat ketekunan dalam islamic studies, maka beliau menjadi Guru Besar Studi Islam pada Jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Comminwealth, ketika beliau telah merampungkan studinya di Universitas Michigan.[2]http://mesw.wordpress.com/ - _ftn5

Rekonstruksi Metodologi Tafsir
            Menurut Wadud, sebenarnya selama ini tidak ada suatu penafsiran yang benar-benar objektif, karena sang penafsir terjebak pelbagai prejudis-nya sendiri, sehingga kandungan teks menjadi terreduksi dan terdistorsi maknanya. Dari sini kemudian Wadud mencoba melakukan riset mengenai penafsiran al-Qur’an, terutama terkait dengan isu-isu gender. Tujuannya, agar penafsiran al-Qur’an mempunyai makna dalam kehidupan perempuan modern. Selanjutnya,  Wadud berupaya untuk menuangkan ide-ide kretif dan novatifnya dalam penafsiran al-Qur’an.
Hermeunetik, metode inilah yang di gunakan Wadud dalam menyelami kazanah makna al-Qur’an. Metode ini --menurut Wadud-- merupakan metode yang cukup objektif dan dalam mengkaji al-Qur’an, karena, model penafsiran hermeunetik selalu terkait dengan tga pilar utama. Pertama, dalam konteks apa teks itu lahir, atau dalam kaitannya dengan al-Quran adalah dalam konteks apa ayat tersebut iturunkan kedua, bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakan, dan ketiga, bagaimana keseluruhan teks (ayat) dan pandangan hidupnya.[3]
Dalam tataran teknis, ketiga prinsip tersebut dapat dielaborasi demikian, setiap ayat yang hendak ditafsirkan harus dianalisis (1) dalam konteksnya (2) dalam konteks pembahasan topic yang sama dalam al-Qur’an (3) menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian al-Qur’an (4) menyangkut sikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip al-Qur’an, dan, (5) dalam konteks al-Qur’an sebagai pandangan hidup.
Dengan metode terebut, Wadud berkeinginan untuk menangkap spirit  dan ide-ide al-Qur’an secara utuh, holistic dan integrative sehingga tidak terjebak pada teks-teks yang bersifat parsial dan legal-formal. Hal ini penting, karena problem penafsiran al-Qur’an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur’an (nahs) yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas. Konteks selalu mengalami perkembangan, terlebih, pada waktu yang sama kita ingin menjadikan al-Qur’an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Persoalannya, bagaimana sang penafsir bias menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara holistic dan objektif, dalam arti bisa menekan sedikit mungkin subjektivitas  tafsiran? Menurut Wadud, penafsiran harus mampu mengungkap prinsip-prinsip fundamental yang tak berubah dari teks-teks al-Qur’an itu sendiri, kemudian melakukan refleksi untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan masyarakat pada zamannya.[4] Dengan demikian, penafsiran itu selalu fleksibel, tanpa kehilangan prinsip dasarnya. Dengan itu, al-Qur’an dapat berlaku universal dan selalu salih li kull az-zaman wa al-makan.

Aplikasi Metodologis
dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripskan beberapa model penerapan hermeunetik yang ditawarkan Amina Wadud;
  1. Asal mula manusia dan kesetaraan gender.
Dalam permasalahan kesetaraan gender, Wadud memasuki akar teologis permasalahannya, yakni asal usul penciptaan manusia seperti dijelaskan dalam al-Qur’an, “Ya ayyuha an-nas ittaqu rabbakum al-ladzi khalaqakum min nafsi wahidah, wa khalaqa minha zaujaha…”(Q.s. an-Nisa’,1) juga ayat,” wamin ayatih an khalaqa lakum min anfusikum azwaj li taskunu ilaiha…”(Q.s. ar-Rum,21). Menurut Wadud, yang perlu dikritik ulang adalahketika para mufassir menasfsirkan kata  nafsi whydah, min, dan zauj. Menurutnya, kedua ayat tersebut sebenarnya hanya menunjukkan unsure pokok dalam kisah asal usul manusia, tanpa penjelasan Adam dan Hawa. Namun ayat ini sering dipahami sebagai ayat penciptaan Adam dan Hawa. Bagaimana bisa terjadi? Ditilik dari akar katanya, nafs sendiri adalah muannas (feminim) mengapa bias ditafsirkan sebagai Adam (lelaki)?
            Menurut Wadud, kata nafs dalam al-Qur’an hanya menunjukkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari asal usul yang sama. Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam, seorang laki-laki. Dengan tegas Wadud menyatakan; “Qur’anic version of creation version of humand kind is not exspressed in gendr term”[5] . Isilah nafs berkaitan dengan esensi manusia laki-laki dan perempuan yang merupakan factor penentu fundamental keberadaanya, dan bukan jenis kelamin. Begitu pula kata zauj, sesungguhnya bersifat netral karena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk muannas atau mudzakar. Kata zauj yang jama’nya azwaj, juga sering digunakan untuk menyebut tanaman (Q.s. ar-Rahman) dan hewan (Q.s. Hud,40), jadi terlalu gegabah jika spontan diartikan dengan makna istri.
            Selanjutnya, kata min dalam bahasa Arab setidaknya mempunyai dua arti kata, yakni: “dari” dan “sejenis” pertanyaannya, mengapa para mufassir jatuh padailihan makna “dari” bukan arti “sejenis”?, padahal pada ayat lain sering dijumpai pnggunaan ini, seperti Q.s ar-Rum 21 dan Q.s at-taubah 128, kata min diartikan sama jenisnya.
            Yang lebih menarik, analisis Wadud mengenai fenomena pasangan dalam awal penciptaan manusia. Menurutnya, hal itu sesuai dengan pandangan hidup manusia., yakni prinsip tauhid (keesaan Allah). Impikasi teoritis dari fenomena pasangan (azwaj) dalam penciptaan laki-laki dan perempuan hendaknya mau bertauhid (bersatu), saling melengkapi dan saling mengisi satu dengan yang lain. Keduanya harus dipandang setara (equal), bukan atas-bawah.

  1. Konsep nusyuz: disharmoni rumah tangga
Ketika berbicara tentang nuzyus, para mufassir biasanya mengutip Q.s. an-Nisa’, 34: Wallati takhafun nusyuzuhunna, faizuhunna wabjuruhunna fil mdhaji’ wadribuhunna, fa in ata nakum fala tabgu ‘alaihinn sabila, innahu kana aliyyan kabira. Ayat ini sering kali digunakan sebagai legitimasi para suami (laki-laki) untuk melakukan tindak kekerasan terhadap istri yang dianggap nusyuz. Dalam fiqh dan tafsir klasik pengertian nusyuz selalu diartikan ketidak taatan istri terhadap suami. Mengapa tidak ditemui penafsiran pembangkangan suami trhadap istri? Apakah ini bias patriarkhi?
Mnurut Wadud, kata nusyuz dalam al-Qur’an juga dapat merujuk pada kaum laki-laki (Q.s. an-Nisa’,128) dan kaum perempuan (Q.s. an-Nisa’34) meski dua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada perempuan, nusyuz berarti ketidakpatuhan istri terhadap suami, sedangkan saat merjuk pada laki-laki, kata nusuz berarti suami bersikap keras atau tidak memberikan hak-hak istrinya. Akan tetapi, menurut wadud, karena al-Qur’an menggunakan kata nusyuz  untuk laki-laki dan perempuan,  maka ketika nusyuz disandingkan istri (perempuan), ia tidak dapat diartikan ketidak patuhan terhadap suami, tetapi Wadud mengartikan nusyuz dengan artian gangguan keharmonisan dalam rumah tangga. Pandangan ini senada dengan gagasan Sayid Qutb seperti yang dikutip Wadud, bahwa nusyuz lebih merujuk terjadinya ketidak harmonisan dalam perkawinan.[6]
Terkait dengan harmonisasi dalam keluarga, ada beberapa hal yang perlu diingat, pertama, al-Qur’an menekankan pentingnya berdamai kembali, artinya, tidak boleh ada kekerasan tertentu untuk menyelesaikan prcekcokan antara suami istri. Kedua, jika langkah-langkah rekonsiliasi itu mengikuti cara yang diajarkan al-Qur’an, sangat mungkin keharmonisan itu diraih kembali. Ketiga, mengenai pemukulan terhadap istri, Wadud tidak sepakat lafadz Dharaba diartikan sebagai pemukulan (kekerasan). Menurutnya, lafadz daraba dapat diartikan dengan makna lain, yakni : memberikan contoh, seperti dalam ayat wadaraba Allah mastalan, bisa juga diartikan meninggalkan atau menghentikan sesuatu, bahkan kata daraba juga bisa diartikan berpaling dan meninggalkan pergi.[7]Data sejarah juga pernah menyatakan betapa kekerasan dalam rumah tangga harus dihindari, yakni saat sahabat mengadu pada Rasul ketika istrinya nusyuz, Rasul justu mengatakan,” Namun lelaki teladan tidak akan memukul istri-istri mereka”.

  1. Pembagian warisan dan persaksian perempuan
Teori kesetaraan laki-laki dan perempuan sering kali dilawan dengan paernyataan bahwa antara keduanya memang berbeda pangkat, tidak setara. Kenyataannya, pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan tidak sama, bahkan satu berbanding dua. Demikian pula dengan persaksian perempuan. Satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan. Ketentuan ini, konon dianggap hokum yang pasti (Qat’i)  karena dhahir ayat memang menyatakan seperti ini.. Wadud mengkritik tafsir seperti itu, yang menganggap satu disbanding dua merupakan satu-satunya rumusan matematis. Menurutnya, teori tesebut tidak benar, sebab setelah ditelusuri, ternyata satu berbanding dua hanyalah salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Kenyataanya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah separuh dari harta peninggalan.
Wadud memberi semacam pertimbangan dalam proses pembagian warisan yaitu: (1) pembagian warisan adalah untuk keluarga, kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup (2) sejumlah kekayaan bisa dibagikan semua (3) pembagian kekayaan harus memperhitungkan keadaan orang-orang yang ditinggalkan dan manfaat harta peninggalan itu sendiri. Intinya, Wadud ingin menyampaikan bahwa yang terpenting dalam proses pembagian waris adalah asas mafaat dan keadilan. Karena itu, ayat-ayat tentang teknis pembagian warisan merupakan ayat yang bersifat sosiologis dan hanya salah satu alternative saja, bukan satu-satunya, dan bukan pula satu keharusan untuk mengikutinya. Konsekuensinya, ayat-ayat tersebut harus dipahami sebagi ruh atau semangat, yakni semangat keadilan, itulah yang muhkamat atau qat’i.
Sementara itu, bagaimana  mengenai persaksian perempuan? Apakah nilai persaksian laki-laki sebanding dengan persaksian dua perempuan? Berbicara mengenai persaksian, al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut:
“…Apabila kamu ber-muamalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menulisnya… dan persaksikanlah dengan dengan dua orang saksi laki-laki diantara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika yang seorang lupa maka seorang yang lagi dapat mengingatkannya” (Q.s. al-Baqarah, 282).

Ayat tersebut harus dipahami dalam konteks turunnya dan situasi sosio-historis yang melingkupinya. Ulama klasik cenderung memahami secara tekstual dan kurang berani melakukan terobosan baru untuk menafsirkan  secara lebih kontekstual. Fazlur Rahman, nampaknya adalah orang yang berani mengartikan berbeda. Menurutnya, kesaksian perempuan diangap kurang bernilai dibandingkan dengan laki-laki itu tergantung dari apakah si perempuan memiliki pemikiran yang lemah terhadap masalah financial atau tidak. Jika perempuan tersebut memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, tidak ada salahnya jika ia juga membuktikan kemampuannya kepada mayasakat bahwa ia mamapu sejajar dengan laki-laki.[8]
Pemahaman ayat tersebut sesungguhnya sangat sosiologis, karena pada waktu itu umumnya perempuan mudah dipaksa sehingga jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia akan menjadi sasaran empuk kaum laki-laki tertentu yang ingin memaksanya untuk memberi kasaksian palsu. Hal ini berbeda jika ada dua perempuan di mana mereka bisa saling mendukung dan saling mengingatkan satu sama lain. Kesatuan tunggal yang terdiri dari dua perempuan dengan fungsi berbeda itu tidak hanya menyebabkan si individu perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng kesatuan guna menghadapi saksi yang lain. Dengan kata lain, adanya persaksian dua perempuan yang disetarakan dengan satu laki-laki lebih disebabkan adanya hambatan social pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya pengalaman bagi perempuan untuk masalah transaksi pada mu’amalah. Di samping itu, sering kali terjadi pemaksaan terhadap perempuan. Artinya, al-Qur’an tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.[9]
Implikasi teoritis dari pemikiran tersebut adalah bahwa ketika kondisi berubah, di mana perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam persoalan transaksi atau mu’amalah, apalagi hal itu sudah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi secara sebanding dengan laki-laki. Dengan demikian, pesoalannya bukan pada jenis laki-laki atau perempuan, melainkan pada kredibilitas dan kapabilitas ketika diserahi wewenang untuk menjadi saksi.
Penutup
            Harus diakui, bahwa semangat menangkap ide-ide dasar al-Qr’an oleh Amina Wadud cukup mengemuka. Demikian pula metode hermeneutik yang ditawarkannya relative baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan wacana tafsir yang “sensitive gender”.
Poin penting yang dapat diambil dari pemikiran wadud adalah adanya upaya untuk membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang disebabkan oleh penafsiran bias patriarki. Upaya itu dimulai rekuntruksi metodologi penafsirannya. Adanya mitos-mitos dan penafsiran yang patriarki dapat menyebabkan tidak keadilan gender dalam kehidupan masyarakat dan tidak sejajlan dengan prinsip dasar dan spirit al-Qur’an.





Daftara Pustaka
Lowy, Micael, Teologi Pembebasan, (terj.) Roem Topatimasang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999.
Rahman, Fazlur, Major Themes of  The Qur’an, Chicago: Bibliotecha Islamica 1980.
Wadud, Muhsin Amina,  Qur’an and Women, dalam Charles kursman, libral Islam, New York: Oxford University Press 1998.
Wahyono, Fr, Teologi Pembebasan, Yogyakarta: LKiS, 2000.





[1] Lihat misalnya Q.s al-Ahzab ayat 35, di samping itu banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berkedudukan setara, misalnya Qs. 9:112 dan Q.s. 66:5.
[2] Amina Wadud Muhsin,  Qur’an and Women, dalam Charles kursman, libral Islam (New York: Oxford University Press 1998. Hlm. 127.
[3]. Micael Lowy, Teologi Pembebasan, (terj.) Roem Topatimasang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999).
[4] Fr. Wahyono, teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2000) hlm. 7-8.
[5] Amina Wadud Muhsin,  Qur’an and Women… Hlm. 127
[6] Ibid. Hlm 135
[7] Ibid.
[8] ibid
[9] Fazlur Rahman, Major Themes of  The Qur’an (Chicago Bibliotecha Islamica 1980) hlm.49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar