Amina
Wadud: Menyoal Kesetaraan Gender
Oleh Ach. Z. Anam
Pendahuluan
Sebagai agama
penyempurna bagi ajaran-ajaran pendahulunya, Islam hadir sebagai entitas yang rahmatan
li al-'alamin, rahmat bagi seisi alam semesta. Salah satu ajaran yang
sangat bernilai --sebagai perwujudan rahmatan
li al-'alamin-- adalah keadilan antara sesama makhluk, khususnya antara
sesama manusia. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur'an yang secara eksplisit
menyebut bahwa umat manusia, baik laki-laki maupun wanita, siapapun di antara
mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang
sama dari Allah, tidak ada yang membedakan mereka di mata-Nya, kecuali kualitas
ketaqwaan mereka.[1]
Fenomena
"keterpurukan" wanita dalam segala bidang kehidupan, mengusik
ketenangan Wadud dan menyalakan kegelisahannya. Berangkat dari kondisi seperti
itu, Wadud kemudian menelusur penyebab keterpurukan perempuan, dengan merujuk
pada sumber dasar ajaran Islam, yakni al-Qur'an.
Terkait dengan
kesetaraan gender, Wadud menjumpai bahwasannya mayoritas penafsiran dan
praduk-produk Hukum Islam di rumuskan oleh oleh kaum adam, terlebih, setting
yang berada dibelakang mereka adalah budaya patriarkhi. Hal seperti ini
merupakan kondisi yang rawan akan adanya bias penafsiran. Menurutnya, budaya
patriarkhi telah memarginalkan kaum wanita, mereduksi peranan wanita sebagai khalifah Allah di muka
bumi, bahkan, budaya ini telah mengotori ajaran keadilan yang di usung oleh
al-Qur'an. Selanjutnya, Wadud tertantang untuk melancarkan "jihad"
pengangkatan suara dan peranan perempuan melalui interpretasi sumber dasar
ajaran Islam dengan menggunkan metode hermeunetik.
Qur'an and Women
dan Inside the Jihad Gender Women's
reform in Islam merupakan buah karya kegelisahan
Wadud. Ide-ide yang tertuang dalam karya seputar reformasi perempuan Islam ini
merupakan media untuk mewujudkan misinya, kesetaraan gender.
Biografi
Nama feminis ini telah begitu akrab ditelinga para pengkaji Islam, bahkan bagi
masyarakat awam, terlebih semenjak terjadinya "jum'at bersejarah",
dimana Wadud bertindak sebagai imam sekaligus khatib shalat jum'at di ruang
Synod House di Gereja Katredal, Sain John the Divine di kawasan
Manhattan, New York, Amerika Serikat 18 Maret 2005 lalu.
Dari beberapa literatur dan situs, penulis menemukan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1952, di Amerika. Nama orang tuanya tidak diketahui, namun ia adalah seorang anak pendeta yang taat.http://mesw.wordpress.com/ - _ftn4 Ia mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari yang ia namakan Thanksgiving day, tahun 1972.
Meskipun baru masuk Islam kisaran seperempat abad, namun berkat ketekunan dalam islamic studies, maka beliau menjadi Guru Besar Studi Islam pada Jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Comminwealth, ketika beliau telah merampungkan studinya di Universitas Michigan.[2]http://mesw.wordpress.com/ - _ftn5
Rekonstruksi Metodologi
Tafsir
Menurut Wadud, sebenarnya selama ini tidak ada suatu penafsiran yang
benar-benar objektif, karena sang penafsir terjebak pelbagai prejudis-nya
sendiri, sehingga kandungan teks menjadi terreduksi dan terdistorsi maknanya.
Dari sini kemudian Wadud mencoba melakukan riset mengenai penafsiran al-Qur’an,
terutama terkait dengan isu-isu gender. Tujuannya, agar penafsiran al-Qur’an
mempunyai makna dalam kehidupan perempuan modern. Selanjutnya, Wadud berupaya untuk menuangkan ide-ide
kretif dan novatifnya dalam penafsiran al-Qur’an.
Hermeunetik, metode inilah yang di gunakan Wadud dalam
menyelami kazanah makna al-Qur’an. Metode ini --menurut Wadud-- merupakan
metode yang cukup objektif dan dalam mengkaji al-Qur’an, karena, model
penafsiran hermeunetik selalu terkait dengan tga pilar utama. Pertama, dalam
konteks apa teks itu lahir, atau dalam kaitannya dengan al-Quran adalah dalam
konteks apa ayat tersebut iturunkan kedua, bagaimana komposisi tata
bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakan, dan
ketiga, bagaimana keseluruhan teks (ayat) dan pandangan hidupnya.[3]
Dalam tataran teknis, ketiga prinsip tersebut dapat
dielaborasi demikian, setiap ayat yang hendak ditafsirkan harus dianalisis (1)
dalam konteksnya (2) dalam konteks pembahasan topic yang sama dalam al-Qur’an
(3) menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di
seluruh bagian al-Qur’an (4) menyangkut sikap benar-benar berpegang teguh pada
prinsip al-Qur’an, dan, (5) dalam konteks al-Qur’an sebagai pandangan hidup.
Dengan metode terebut, Wadud berkeinginan untuk
menangkap spirit dan ide-ide al-Qur’an
secara utuh, holistic dan integrative sehingga tidak terjebak pada teks-teks
yang bersifat parsial dan legal-formal. Hal ini penting, karena problem
penafsiran al-Qur’an sesungguhnya adalah bagaimana memaknai teks al-Qur’an (nahs)
yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas. Konteks selalu mengalami
perkembangan, terlebih, pada waktu yang sama kita ingin menjadikan al-Qur’an
selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Persoalannya, bagaimana sang penafsir bias menangkap
pesan-pesan al-Qur’an secara holistic dan objektif, dalam arti bisa menekan
sedikit mungkin subjektivitas tafsiran?
Menurut Wadud, penafsiran harus mampu mengungkap prinsip-prinsip fundamental
yang tak berubah dari teks-teks al-Qur’an itu sendiri, kemudian melakukan
refleksi untuk melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan masyarakat
pada zamannya.[4]
Dengan demikian, penafsiran itu selalu fleksibel, tanpa kehilangan prinsip
dasarnya. Dengan itu, al-Qur’an dapat berlaku universal dan selalu salih li
kull az-zaman wa al-makan.
Aplikasi Metodologis
dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripskan
beberapa model penerapan hermeunetik yang ditawarkan Amina Wadud;
- Asal mula manusia dan kesetaraan gender.
Dalam permasalahan kesetaraan gender,
Wadud memasuki akar teologis permasalahannya, yakni asal usul penciptaan
manusia seperti dijelaskan dalam al-Qur’an, “Ya ayyuha an-nas ittaqu
rabbakum al-ladzi khalaqakum min nafsi wahidah, wa khalaqa minha zaujaha…”(Q.s.
an-Nisa’,1) juga ayat,” wamin ayatih an khalaqa lakum min
anfusikum azwaj li taskunu ilaiha…”(Q.s. ar-Rum,21). Menurut Wadud, yang
perlu dikritik ulang adalahketika para mufassir menasfsirkan kata nafsi whydah, min, dan zauj. Menurutnya,
kedua ayat tersebut sebenarnya hanya menunjukkan unsure pokok dalam kisah asal
usul manusia, tanpa penjelasan Adam dan Hawa. Namun ayat ini sering dipahami
sebagai ayat penciptaan Adam dan Hawa. Bagaimana bisa terjadi? Ditilik dari
akar katanya, nafs sendiri adalah muannas (feminim)
mengapa bias ditafsirkan sebagai Adam (lelaki)?
Menurut
Wadud, kata nafs dalam al-Qur’an hanya menunjukkan bahwa seluruh umat
manusia berasal dari asal usul yang sama. Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan
bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam,
seorang laki-laki. Dengan tegas Wadud menyatakan; “Qur’anic version of creation
version of humand kind is not exspressed in gendr term”[5]
. Isilah nafs berkaitan dengan esensi manusia laki-laki dan perempuan
yang merupakan factor penentu fundamental keberadaanya, dan bukan jenis
kelamin. Begitu pula kata zauj, sesungguhnya bersifat netral karena
secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk muannas atau mudzakar.
Kata zauj yang jama’nya azwaj, juga sering digunakan untuk
menyebut tanaman (Q.s. ar-Rahman) dan hewan (Q.s. Hud,40), jadi terlalu gegabah
jika spontan diartikan dengan makna istri.
Selanjutnya,
kata min dalam bahasa Arab setidaknya mempunyai dua arti kata, yakni:
“dari” dan “sejenis” pertanyaannya, mengapa para mufassir jatuh
padailihan makna “dari” bukan arti “sejenis”?, padahal pada ayat lain sering
dijumpai pnggunaan ini, seperti Q.s ar-Rum 21 dan Q.s at-taubah 128, kata min
diartikan sama jenisnya.
Yang
lebih menarik, analisis Wadud mengenai fenomena pasangan dalam awal penciptaan
manusia. Menurutnya, hal itu sesuai dengan pandangan hidup manusia., yakni
prinsip tauhid (keesaan Allah). Impikasi teoritis dari fenomena pasangan
(azwaj) dalam penciptaan laki-laki dan perempuan hendaknya mau bertauhid
(bersatu), saling melengkapi dan saling mengisi satu dengan yang lain. Keduanya
harus dipandang setara (equal), bukan atas-bawah.
- Konsep nusyuz: disharmoni rumah tangga
Ketika berbicara tentang nuzyus,
para mufassir biasanya mengutip Q.s. an-Nisa’, 34: Wallati takhafun
nusyuzuhunna, faizuhunna wabjuruhunna fil mdhaji’ wadribuhunna, fa in ata nakum
fala tabgu ‘alaihinn sabila, innahu kana aliyyan kabira. Ayat ini sering
kali digunakan sebagai legitimasi para suami (laki-laki) untuk melakukan tindak
kekerasan terhadap istri yang dianggap nusyuz. Dalam fiqh dan tafsir
klasik pengertian nusyuz selalu diartikan ketidak taatan istri terhadap
suami. Mengapa tidak ditemui penafsiran pembangkangan suami trhadap istri?
Apakah ini bias patriarkhi?
Mnurut Wadud, kata nusyuz dalam
al-Qur’an juga dapat merujuk pada kaum laki-laki (Q.s. an-Nisa’,128) dan kaum
perempuan (Q.s. an-Nisa’34) meski dua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika
merujuk pada perempuan, nusyuz berarti ketidakpatuhan istri terhadap
suami, sedangkan saat merjuk pada laki-laki, kata nusuz berarti suami
bersikap keras atau tidak memberikan hak-hak istrinya. Akan tetapi, menurut
wadud, karena al-Qur’an menggunakan kata nusyuz untuk laki-laki dan perempuan, maka ketika nusyuz disandingkan istri
(perempuan), ia tidak dapat diartikan ketidak patuhan terhadap suami, tetapi
Wadud mengartikan nusyuz dengan artian gangguan keharmonisan dalam rumah
tangga. Pandangan ini senada dengan gagasan Sayid Qutb seperti yang dikutip
Wadud, bahwa nusyuz lebih merujuk terjadinya ketidak harmonisan dalam
perkawinan.[6]
Terkait dengan harmonisasi dalam
keluarga, ada beberapa hal yang perlu diingat, pertama, al-Qur’an
menekankan pentingnya berdamai kembali, artinya, tidak boleh ada kekerasan
tertentu untuk menyelesaikan prcekcokan antara suami istri. Kedua, jika
langkah-langkah rekonsiliasi itu mengikuti cara yang diajarkan al-Qur’an,
sangat mungkin keharmonisan itu diraih kembali. Ketiga, mengenai
pemukulan terhadap istri, Wadud tidak sepakat lafadz Dharaba diartikan
sebagai pemukulan (kekerasan). Menurutnya, lafadz daraba dapat diartikan
dengan makna lain, yakni : memberikan contoh, seperti dalam ayat wadaraba
Allah mastalan, bisa juga diartikan meninggalkan atau menghentikan sesuatu,
bahkan kata daraba juga bisa diartikan berpaling dan meninggalkan pergi.[7]Data
sejarah juga pernah menyatakan betapa kekerasan dalam rumah tangga harus
dihindari, yakni saat sahabat mengadu pada Rasul ketika istrinya nusyuz, Rasul
justu mengatakan,” Namun lelaki teladan tidak akan memukul istri-istri mereka”.
- Pembagian warisan dan persaksian perempuan
Teori kesetaraan laki-laki dan
perempuan sering kali dilawan dengan paernyataan bahwa antara keduanya memang
berbeda pangkat, tidak setara. Kenyataannya, pembagian harta warisan antara
laki-laki dan perempuan tidak sama, bahkan satu berbanding dua. Demikian pula
dengan persaksian perempuan. Satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan.
Ketentuan ini, konon dianggap hokum yang pasti (Qat’i) karena dhahir ayat memang menyatakan
seperti ini.. Wadud mengkritik tafsir seperti itu, yang menganggap satu
disbanding dua merupakan satu-satunya rumusan matematis. Menurutnya, teori tesebut
tidak benar, sebab setelah ditelusuri, ternyata satu berbanding dua hanyalah
salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan.
Kenyataanya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah separuh
dari harta peninggalan.
Wadud memberi semacam pertimbangan
dalam proses pembagian warisan yaitu: (1) pembagian warisan adalah untuk
keluarga, kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup (2) sejumlah
kekayaan bisa dibagikan semua (3) pembagian kekayaan harus memperhitungkan
keadaan orang-orang yang ditinggalkan dan manfaat harta peninggalan itu
sendiri. Intinya, Wadud ingin menyampaikan bahwa yang terpenting dalam proses
pembagian waris adalah asas mafaat dan keadilan. Karena itu, ayat-ayat tentang
teknis pembagian warisan merupakan ayat yang bersifat sosiologis dan hanya
salah satu alternative saja, bukan satu-satunya, dan bukan pula satu keharusan
untuk mengikutinya. Konsekuensinya, ayat-ayat tersebut harus dipahami sebagi
ruh atau semangat, yakni semangat keadilan, itulah yang muhkamat atau qat’i.
Sementara itu, bagaimana mengenai persaksian perempuan? Apakah nilai
persaksian laki-laki sebanding dengan persaksian dua perempuan? Berbicara
mengenai persaksian, al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut:
“…Apabila kamu ber-muamalah, tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaknya kamu menulisnya… dan persaksikanlah dengan dengan
dua orang saksi laki-laki diantara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki
maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika yang seorang lupa maka seorang yang lagi dapat
mengingatkannya” (Q.s. al-Baqarah, 282).
Ayat tersebut harus dipahami dalam
konteks turunnya dan situasi sosio-historis yang melingkupinya. Ulama klasik
cenderung memahami secara tekstual dan kurang berani melakukan terobosan baru
untuk menafsirkan secara lebih
kontekstual. Fazlur Rahman, nampaknya adalah orang yang berani mengartikan
berbeda. Menurutnya, kesaksian perempuan diangap kurang bernilai dibandingkan
dengan laki-laki itu tergantung dari apakah si perempuan memiliki pemikiran
yang lemah terhadap masalah financial atau tidak. Jika perempuan tersebut
memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, tidak ada salahnya
jika ia juga membuktikan kemampuannya kepada mayasakat bahwa ia mamapu sejajar
dengan laki-laki.[8]
Pemahaman ayat tersebut sesungguhnya
sangat sosiologis, karena pada waktu itu umumnya perempuan mudah dipaksa
sehingga jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia akan
menjadi sasaran empuk kaum laki-laki tertentu yang ingin memaksanya untuk
memberi kasaksian palsu. Hal ini berbeda jika ada dua perempuan di mana mereka
bisa saling mendukung dan saling mengingatkan satu sama lain. Kesatuan tunggal
yang terdiri dari dua perempuan dengan fungsi berbeda itu tidak hanya
menyebabkan si individu perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk
benteng kesatuan guna menghadapi saksi yang lain. Dengan kata lain, adanya
persaksian dua perempuan yang disetarakan dengan satu laki-laki lebih
disebabkan adanya hambatan social pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya
pengalaman bagi perempuan untuk masalah transaksi pada mu’amalah. Di
samping itu, sering kali terjadi pemaksaan terhadap perempuan. Artinya,
al-Qur’an tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.[9]
Implikasi teoritis dari pemikiran
tersebut adalah bahwa ketika kondisi berubah, di mana perempuan telah
mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam persoalan transaksi atau mu’amalah,
apalagi hal itu sudah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi
secara sebanding dengan laki-laki. Dengan demikian, pesoalannya bukan pada
jenis laki-laki atau perempuan, melainkan pada kredibilitas dan kapabilitas
ketika diserahi wewenang untuk menjadi saksi.
Penutup
Harus diakui, bahwa semangat menangkap ide-ide dasar al-Qr’an oleh
Amina Wadud cukup mengemuka. Demikian pula metode hermeneutik yang
ditawarkannya relative baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan wacana
tafsir yang “sensitive gender”.
Poin penting yang dapat diambil dari pemikiran wadud
adalah adanya upaya untuk membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang
disebabkan oleh penafsiran bias patriarki. Upaya itu dimulai rekuntruksi
metodologi penafsirannya. Adanya mitos-mitos dan penafsiran yang patriarki
dapat menyebabkan tidak keadilan gender dalam kehidupan masyarakat dan tidak
sejajlan dengan prinsip dasar dan spirit al-Qur’an.
Daftara Pustaka
Lowy, Micael, Teologi
Pembebasan, (terj.) Roem Topatimasang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Insist Press, 1999.
Rahman, Fazlur, Major
Themes of The Qur’an, Chicago:
Bibliotecha Islamica 1980.
Wadud,
Muhsin Amina, Qur’an and Women,
dalam Charles kursman, libral Islam, New York: Oxford University Press
1998.
Wahyono, Fr, Teologi Pembebasan, Yogyakarta:
LKiS, 2000.
[1] Lihat misalnya Q.s al-Ahzab ayat 35, di samping itu banyak ayat
lain yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berkedudukan setara,
misalnya Qs. 9:112 dan Q.s. 66:5.
[2] Amina Wadud Muhsin, Qur’an
and Women, dalam Charles kursman, libral Islam (New York: Oxford
University Press 1998. Hlm. 127.
[3]. Micael Lowy, Teologi Pembebasan, (terj.) Roem Topatimasang (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999).
[4] Fr. Wahyono, teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
hlm. 7-8.
[5] Amina Wadud Muhsin, Qur’an
and Women… Hlm. 127
[6] Ibid. Hlm 135
[7] Ibid.
[8] ibid
[9] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago Bibliotecha Islamica
1980) hlm.49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar