VERSTEK (NON-PERCERAIAN) TETAP HARUS
DIBUKTIKAN
(Tafsir Ulang atas Pasal 164
H.I.R./284 R.Bg.)
Sekapur
Sirih
Hukum
pembuktian yang selama ini penulis pedomani dan yakini kebenarannya menyatakan:
perkara verstek (non-perceraian) tidak perlu dibuktikan. Seluruh dalil
penggugat harus dianggap benar. Ketidakhadiran tergugat mutlak dimaknai sebagai
bentuk pelepasan hak. [2]
Dewasa
ini, aliran hukum pembuktian tersebut mulai dipertanyakan oleh berbagai
kalangan. Alasannya, karena dipandang rentan terjadi penyelundupan hukum, berseberangan dengan
kaidah dasar pembuktian, [3]
tak terpenuhinya kebenaran formil, dan menjauh dari kebenaran materiil.
Bertolak dari diskursus di atas, penulis
tertarik untuk melacak dan mengkaji ulang aliran hukum pembuktian tersebut. Bersumber
dari manakah aliran itu? Apakah merujuk langsung pada aturan perundangan,
penjelasan aturan perundangan, atau pendapat ahli? Lantas, apakah aliran hukum
pembuktian tersebut telah final-tidak tertawar?
Hakikat
Pembuktian
Secara sederhana,
pembuktian dapat diartikan sebagai proses pengujian kebenaran suatu fakta
secara logis berdasarkan alat-alat bukti yang sah.[4] Atau,
lebih kongkritnya pembuktian dapat diartikan sebagai upaya penggugat atau
tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan
hukum dan peristiwa yang didalilkan atau dibantah dalam hubungan hukum yang diperkarakan.[5]
Prinsip dasar pembuktian termaktub
lugas dalam pasal Pasal 163 H.I.R./283
R.Bg. dan 1865 KUH Perdata yang menyatakan:
“barang
siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan
untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
Mafhum dari pasal
tersebut: setiap dalil atau bantahan harus dibuktikan dengan alat bukti yang
sah.
Seiring perkembangan peradaban manusia, alat bukti yang
sah dan diakui dalam hukum acara perdata juga bergerak dinamis. Alat bukti yang
sah tersebut adalah: bukti surat, saksi, persangkaan, sumpah, pengakuan,
pemeriksaan setempat (descente), informasi
dan transaksi elektronik
dan alat bukti ilmiah (scientific
evidence). Namun
ini tidak menutup kemungkinan masuknya jenis alat bukti lain, karena hukum
pembuktian perdata di Indonesia sudah bergerak ke arah pembuktian terbuka (opened sytem). [6]
Tujuan
pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian secara hukum bahwa suatu peristiwa
atau fakta yang dijadikan fitelijke gronden dalam posita
benar-benar terjadi, memperoleh kepastian tentang objek sengketa,
melindungi hak-hak perdata para
pihak, menjamin proses peradilan berjalan tertib, menjamin objektifitas proses
peradilan, dan menghindari penyelundupan hukum.
Materi
yang harus dibuktikan, menurut Sudikno Mertokusumo, adalah peristiwa, bukan
hukumnya. Pihak berperkara tidak dibebani untuk membuktikan hukumnya, tetapi
hakimlah yang harus menemukannya, ketentuan ini selaras denga azas ius curia novit,. Ketentuan ini
merupakan kesimpulan dari pasal 178 H.I.R/189 R.Bg.[7]
Pembuktian merupakan jalan yang
harus ditempuh oleh hakim dalam proses konstantir (tahap pencarian kebenaran suatu
peristiwa).
Konstantir
bukan sekedar berdasar dugaan
atau kesimpulan dangkal,
tapi ia harus menemukan kebenaran suatu fakta (minimal kebenaran formil). Oleh
karena itu,
tahap ini harus mengguganakan piranti
ideal yang telah digariskan oleh hukum acara: pembuktian.[8]
Meskipun pada prinsipnya pembuktian
merupakan satu-satunya metode untuk menemukan fakta, namun dalam beberapa
kasus, menurut ketentuan perundangan yang berlaku, peristiwa-peristiwa tertentu
tidak perlu dibuktikan.
Pengecualian tersebut adalah:
Pertama:
pengakuan. Pasal 164 H.I.R./284 R.Bg. menegaskan bahwa pengakuan merupakan
salah satu alat bukti yang sah. Konsekuensinya: jika sebuah dalil telah diakui
pihak lawan, maka dalil tersebut telah mencapai derajat “benar” dan tidak perlu
dibuktikan lagi.
Kedua:
pengetahuan
hakim dalam persidangan dan dalam discente.
Penjelasan pasal 164 H.I.R. mengisyaratkan bahwa pengetahuan hakim telah
menjadi fakta, sehingga tidak perlu dibuktikan.
Ketiga:
fakta
yang diketahui umum (notoir). Tentang
fakta yang telah diketahui oleh khalayak umum, juga telah disinggung dalam
penjelasan pasal 164 H.I.R., bahwa fakta tersebut juga merupakan bagian dari
alat bukti yang sudah tidak perlu dibuktikan lagi.
Keempat:
sumpah.
Pasal 177 H.I.R secara gamblang juga telah menegaskan jika pihak berperkara
telah mengangkat sumpah, baik decisoir
maupun supletoir, maka dalil pihak
tersebut dianggap telah terbukti. Namun yang perlu digarisbawahi, sumpah
merupakan alternatif sangat terakhir, jika sudah tidak ada alat bukti lain;
Selain keempat
pengecualian tersebut, sebagian besar pakar hukum perdata juga menyatakan bahwa
dalam hal perkara verstek juga tidak perlu ada pembuktian. Pendapat inilah yang
menarik untuk dilacak dan dikaji ulang. Karena dalam pasal 125 H.I.R./149 R.Bg.
tegas menyatakan gugatan verstek dapat diterima jika beralasan hukum dan tidak
melawan hak. Bukankah untuk mengetahui apakah sebuah gugatan itu beralasan
hukum atau tidak, melawan hak atau tidak, harus melalui tahap konstantir? Bukankah konstantir dalam
perkara verstek itu hanya dapat
terwujud dengan pembuktian?
Melacak
Aliran Hukum Pembuktian Verstek
Berdasarkan hasil pelacakan, aliran yang
menafikan pembuktian dalam perkara verstek tersebut merupakan pendapat ahli. Hampir
seluruh pakar
hukum menyatakan perkara verstek non-perceraian tidak perlu dibuktikan.[9]
Pendapat tersebut merupakan penafsiran dari pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. yang
berbunyi:
Jika
tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula
menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut,
maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata
kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak
beralasan.
Sejatinya, jika kita cermati, tidak
ada satu frasa pun dalam pasal tersebut yang mengindikasikan “tidak perlu ada
pembuktian dalam perkara verstek”. Justeru pasal tersebut secara tegas menyatakan:
“maka gugatan itu diterima dengan tak
hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan
itu melawan hak atau tidak beralasan. Artinya,
pasal tersebut menghendaki bahwa sebuah gugatan dapat dikabulkan dengan verstek,
jika dalil gugatan tersebut tidak melawan hak serta beralasan hukum.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: berdasarkan apa majelis
hakim mengetahui bahwa
gugatan penggugat itu tidak
melawan hak serta beralasan hukum? Tentu: berdasarkan fakta hukum. Lantas dari
mana hakim dapat mengetahui sebuah fakta hukum? Penerawangankah? Prediksikah? Atau dengan pembuktian?
Menafsir Ulang Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg.
Penjelasan
Pasal 125 H.I.R/149/R.Bg. yang merupakan tafsir resmi dari kedua aturan
perundangan tersebut[10] juga tidak menjelaskan sama sekali bahwa
perkara verstek tidak perlu dibuktikan. Penjelasan tersebut menegaskan pernyataan sebagai berikut:
Kalau
yang tidak datang menghadap di persidangan itu penggugat, gugatan akan
diperlakukan seperti yang tersebut dalam pasal 124, akan tetapi apabila yang
tidak datang pada hari perkara itu tergugat, lagi pula ia tidak pula mewakilkan
kepada kuasanya untuk menghadap, meskipun ia sudah dipanggil dengan patut, maka
tuntutan dalam surat gugatan itu diterima dengan putusan "verstek"
atau "in absensia", yang artinya putusan tak hadir, kecuali jika nyata pada pengadilan
negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Oleh
karena penjelasan pasal tersebut belum dapat menjelaskan secara tegas perlu atau
tidaknya pembuktian dalam perkara verstek, maka hakim sebagai sosok penemu
hukum, tentu berhak menafsir pasal
125 H.I.R/149 R.Bg.
Hakim adalah mujtahid. Hakim tidak boleh jumud dan buta realitas sosial. Fakta
yang telah menjadi pengetahuan publik menyatakan: relaas yang disampaiakan
melalui kepala desa berjumlah jauh lebih banyak dari pada disampaiakan kepada
pihak secara langsung. Penulis pernah mengadakan penelitian sederhana terhadap relaas perkara gugat waris. Alhasil, dari 44 relaas, relaas
yang disampaiakan langsung kepada pihak hanya berjumlah 11 relaas, sedangkan yang melalui kepala desa 33 relaas.
Memang, relaas tersebut sudah masuk batas kategori resmi. Namun pertanyaannya:
apakah kepala desa—dengan segala kesibukannya—bersedia dengan cuma-cuma (secara
tak berbayar) mengantar relaas tersebut pada pihak yang bersangkutan. Jawabannya:
kadang bersedia, kadang tidak. Inilah realitas sosial. Sungguh kondisi ini akan
menimbulkan kerugian bagi pihak.
Bertolak dari data di atas, tentu
sangat tidak bijak jika hakim secara gegabah (tanpa melalui pembuktian) dengan
serta merta mengabulkan gugatan penggugat hanya dengan pertimbangan tergugat
tidak hadir. Karena bisa jadi tergugat memang tidak mengetahui adanya
persidangan. Bisa jadi gugatan penggugat melawan hak tergugat. Bisa jadi
gugatan penggugat tidak beralasan hukum.
Pasal
5 ayat (1) UU no. 48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Artinya, hakim harus jeli dan
mempertimbangkan realitas sosial demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Memang,
untuk menggapai kebenaran materiil yang sebenar-benarnya akan sangat sulit.
Umar ibn Khattab dalam risalahnya mengisyaratkan: hakim tidak berkewajiban
menggapai kebenaran (materiil) yang sebenar-benarnyanya, namun kewajiban hakim
adalah berijtihad mendekati kebenaran.[11] Lantas, bagaimana solusinya: tetap harus
melakukan konstantir dengan cara pembuktian atas gugatan penggugat. Jangan
sampai ada blunder; putusan hakim tak
berdasarkan fakta hukum yang akibatnya kebenaran akan tercerabut dari akarnya.
Oleh
karena itu, pasal 125 H.I.R/149 R.Bg. yang selama ini
ditafsirkan sebagai kebolehan hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan tanpa
pembuktian, wajib ditafsir ulang. Tafsir yang paling mendekati kebenaran hemat
penulis adalah: dalam kondisi tergugat tidak hadir (verstek), hakim tetap
diperbolehkan mengabulkan gugatan penggugat, dengan catatan gugatan tersebut
harus telah terbukti tidak melawan hak dan beralasan hukum. Intinya:
fakta hukum harus tetap ditemukan melalui pembuktian, bukan kesimpulan dangkal
dari gugatan.
Tafsir
seperti termaktub di atas sejatinya telah digagas dan dipublikasikan dalam
Rakerda Pengadilan Tinggi Agama Jakarta (2012) yang menyatakan perkara verstek
kebendaan tetap harus dengan pembuktian, untuk menghindari penyelundupan hukum.
Selain itu, Yahya Harahap juga mengisyaratkan bahwa hakim harus bersikap aktif
dan minilai gugatan yang diajukan penggugat, apakah gugatan tersebut memiliki
landasan hukum yang benar atau tidak. Apabila tidak, secara aktif harus menolak
gugatan penggugat.[12]
Kesimpulan
Hakim adalah mujtahid yang tidak boleh jumud dan buta realitas sosial. Oleh karena itu, Ia harus berani mereinterpretasi (menafsir
ulang) Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg., karena tafsir yang selama ini ada dan
dipedomani terbukti mengabaikan realitas sosial dan rentan penyelundupan hukum.
Ini semua demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Tafsir atas Pasal 125 H.I.R./149
R.Bg. yang paling mendekati kebenaran hemat penulis adalah: hakim tetap dapat
mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek, dengan catatan: gugatan tersebut
harus telah terbukti tidak melawan hak dan beralasan hukum. Satu-satunya jalan
untuk menemukan fakta hukum bahwa sebuah gugatan tidak melawan hak dan
beralasan hukum adalah dengan konstantir. Sementara itu, satu-satunya metode
konstantir dalam perkara verstek adalah dengan pembuktian.
Model penafsiran seperti inilah
menurut penulis lebih selaras dengan prinsip dasar pembuktian, memenuhi unsur
kebenaran formil, dan tetap berusaha menggapai kebenaran materiil. Wallahu
a’lam bi ash-showab.*
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
A.
Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara
Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2008.
M.
Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara
Perdata di Indonesia, UII Press: yogyakarta, 2013.
Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Cet. V, Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013.
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Undang-undang
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan .
Undang-undang No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Herzien
Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement
voor de Buitengewesten (R.Bg.).
Risalah Umar ibn Khattab terhadap Abu Musa Al-Asy’ari.
[1] Calon Hakim
Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama
Kab. Kediri.
[2] Abdul Manan, Penerapan Hukum
Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana:
Jakarta, 2012), hlm. 236, lihat juga: M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia (UII Press:
yogyakarta, 2013), hlm. 27, lihat juga: A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet.
VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 144.
[3] Pasal 163 HIR
menyatakan: “barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak,
atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk
membantah hak orang lain, maka orang itu harusmembuktikan adanya hak itu atau
adanya kejadian itu”. Pasal 283 R.Bg menyatakan: “Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk
menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak
atau keadaan itu” dan Pasal 1865 KUH
Perdata menyatakan: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak,
atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu”.
[4]
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek
Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2008) hlm. 139.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet.
Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 496.
[7]
Ibid. Hlm. 146
[8]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Cet. V (Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013) hlm. 123.
[9]
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, hlm. 236.
[10] Penjelasan atas pasal dalam sebuah
undang-undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan umum UU No. 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, merupakan tafsir resmi terhadap pasal dalam
undang-undang sendiri.
[11]
Risalah umar menyatakan:
ثم الفهم الفهم
فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه
، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق (رسالة
القضاء لعمرابن الخطّاب)
[12] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata... hlm. 505.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar