Rabu, 26 Maret 2014

Hukum Formil

VERSTEK (NON-PERCERAIAN) TETAP HARUS DIBUKTIKAN
(Tafsir Ulang atas Pasal  164 H.I.R./284 R.Bg.)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Sekapur Sirih
            Hukum pembuktian yang selama ini penulis pedomani dan yakini kebenarannya menyatakan: perkara verstek (non-perceraian) tidak perlu dibuktikan. Seluruh dalil penggugat harus dianggap benar. Ketidakhadiran tergugat mutlak dimaknai sebagai bentuk pelepasan hak. [2]
            Dewasa ini, aliran hukum pembuktian tersebut mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Alasannya, karena dipandang rentan terjadi penyelundupan hukum, berseberangan dengan kaidah dasar pembuktian, [3] tak terpenuhinya kebenaran formil, dan menjauh dari kebenaran materiil.  
Bertolak dari diskursus di atas, penulis tertarik untuk melacak dan mengkaji ulang aliran hukum pembuktian tersebut. Bersumber dari manakah aliran itu? Apakah merujuk langsung pada aturan perundangan, penjelasan aturan perundangan, atau pendapat ahli? Lantas, apakah aliran hukum pembuktian tersebut telah final-tidak tertawar?
Hakikat Pembuktian
            Secara sederhana, pembuktian dapat diartikan sebagai proses pengujian kebenaran suatu fakta secara logis berdasarkan alat-alat bukti yang sah.[4] Atau, lebih kongkritnya pembuktian dapat diartikan sebagai upaya penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa yang didalilkan atau dibantah dalam hubungan hukum yang diperkarakan.[5]
Prinsip dasar pembuktian termaktub lugas dalam pasal Pasal 163 H.I.R./283 R.Bg. dan  1865 KUH Perdata yang menyatakan:
barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
Mafhum dari pasal tersebut: setiap dalil atau bantahan harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah.
Seiring perkembangan peradaban manusia, alat bukti yang sah dan diakui dalam hukum acara perdata juga bergerak dinamis. Alat bukti yang sah tersebut adalah: bukti surat, saksi, persangkaan, sumpah, pengakuan, pemeriksaan setempat (descente), informasi dan transaksi elektronik dan alat bukti ilmiah (scientific evidence). Namun ini tidak menutup kemungkinan masuknya jenis alat bukti lain, karena hukum pembuktian perdata di Indonesia sudah bergerak ke arah pembuktian terbuka (opened sytem). [6]
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian secara hukum bahwa suatu peristiwa atau fakta yang dijadikan fitelijke gronden dalam posita benar-benar terjadi, memperoleh kepastian tentang objek sengketa, melindungi hak-hak perdata para pihak, menjamin proses peradilan berjalan tertib, menjamin objektifitas proses peradilan, dan menghindari penyelundupan hukum.
            Materi yang harus dibuktikan, menurut Sudikno Mertokusumo, adalah peristiwa, bukan hukumnya. Pihak berperkara tidak dibebani untuk membuktikan hukumnya, tetapi hakimlah yang harus menemukannya, ketentuan ini selaras denga azas ius curia novit,. Ketentuan ini merupakan kesimpulan dari pasal 178 H.I.R/189 R.Bg.[7]
            Pembuktian merupakan jalan yang harus ditempuh oleh hakim dalam proses konstantir (tahap pencarian kebenaran suatu peristiwa). Konstantir bukan sekedar berdasar dugaan atau kesimpulan dangkal, tapi ia harus menemukan kebenaran suatu fakta (minimal kebenaran formil). Oleh karena itu, tahap ini harus mengguganakan piranti ideal yang telah digariskan oleh hukum acara: pembuktian.[8]
Meskipun pada prinsipnya pembuktian merupakan satu-satunya metode untuk menemukan fakta, namun dalam beberapa kasus, menurut ketentuan perundangan yang berlaku, peristiwa-peristiwa tertentu tidak perlu dibuktikan. Pengecualian tersebut adalah:
Pertama: pengakuan. Pasal 164 H.I.R./284 R.Bg. menegaskan bahwa pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang sah. Konsekuensinya: jika sebuah dalil telah diakui pihak lawan, maka dalil tersebut telah mencapai derajat “benar” dan tidak perlu dibuktikan lagi.
Kedua: pengetahuan hakim dalam persidangan dan dalam discente. Penjelasan pasal 164 H.I.R. mengisyaratkan bahwa pengetahuan hakim telah menjadi fakta, sehingga tidak perlu dibuktikan.
Ketiga: fakta yang diketahui umum (notoir). Tentang fakta yang telah diketahui oleh khalayak umum, juga telah disinggung dalam penjelasan pasal 164 H.I.R., bahwa fakta tersebut juga merupakan bagian dari alat bukti yang sudah tidak perlu dibuktikan lagi.   
Keempat: sumpah. Pasal 177 H.I.R secara gamblang juga telah menegaskan jika pihak berperkara telah mengangkat sumpah, baik decisoir maupun supletoir, maka dalil pihak tersebut dianggap telah terbukti. Namun yang perlu digarisbawahi, sumpah merupakan alternatif sangat terakhir, jika sudah tidak ada alat bukti lain;
Selain keempat pengecualian tersebut, sebagian besar pakar hukum perdata juga menyatakan bahwa dalam hal perkara verstek juga tidak perlu ada pembuktian. Pendapat inilah yang menarik untuk dilacak dan dikaji ulang. Karena dalam pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. tegas menyatakan gugatan verstek dapat diterima jika beralasan hukum dan tidak melawan hak. Bukankah untuk mengetahui apakah sebuah gugatan itu beralasan hukum atau tidak, melawan hak atau tidak, harus melalui tahap konstantir? Bukankah konstantir dalam perkara verstek itu hanya dapat terwujud dengan pembuktian?
Melacak Aliran Hukum Pembuktian Verstek
Berdasarkan hasil pelacakan, aliran yang menafikan pembuktian dalam perkara verstek tersebut merupakan pendapat ahli. Hampir seluruh pakar hukum menyatakan perkara verstek non-perceraian tidak perlu dibuktikan.[9] Pendapat tersebut merupakan penafsiran dari pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. yang berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.

            Sejatinya, jika kita cermati, tidak ada satu frasa pun dalam pasal tersebut yang mengindikasikan “tidak perlu ada pembuktian dalam perkara verstek”. Justeru pasal tersebut secara tegas menyatakan: “maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan. Artinya, pasal tersebut menghendaki bahwa sebuah gugatan dapat dikabulkan dengan verstek, jika dalil gugatan tersebut tidak melawan hak serta beralasan hukum.
            Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: berdasarkan apa majelis hakim mengetahui bahwa gugatan penggugat itu tidak melawan hak serta beralasan hukum? Tentu: berdasarkan fakta hukum. Lantas dari mana hakim dapat mengetahui sebuah fakta hukum? Penerawangankah? Prediksikah?  Atau dengan pembuktian?

Menafsir Ulang Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg.
Penjelasan Pasal 125 H.I.R/149/R.Bg. yang merupakan tafsir resmi dari kedua aturan perundangan tersebut[10] juga tidak menjelaskan sama sekali bahwa perkara verstek tidak perlu dibuktikan. Penjelasan tersebut  menegaskan pernyataan sebagai berikut:
Kalau yang tidak datang menghadap di persidangan itu penggugat, gugatan akan diperlakukan seperti yang tersebut dalam pasal 124, akan tetapi apabila yang tidak datang pada hari perkara itu tergugat, lagi pula ia tidak pula mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap, meskipun ia sudah dipanggil dengan patut, maka tuntutan dalam surat gugatan itu diterima dengan putusan "verstek" atau "in absensia", yang artinya putusan tak hadir, kecuali jika nyata pada pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Oleh karena penjelasan pasal tersebut belum dapat menjelaskan secara tegas perlu atau tidaknya pembuktian dalam perkara verstek, maka hakim sebagai sosok penemu hukum, tentu berhak menafsir pasal 125 H.I.R/149 R.Bg.
            Hakim adalah mujtahid. Hakim tidak boleh jumud dan buta realitas sosial. Fakta yang telah menjadi pengetahuan publik menyatakan: relaas yang disampaiakan melalui kepala desa berjumlah jauh lebih banyak dari pada disampaiakan kepada pihak secara langsung. Penulis pernah mengadakan penelitian sederhana  terhadap relaas perkara gugat waris. Alhasil, dari 44 relaas, relaas yang disampaiakan langsung kepada pihak hanya berjumlah 11 relaas, sedangkan yang melalui kepala desa 33 relaas. Memang, relaas tersebut sudah masuk batas kategori resmi. Namun pertanyaannya: apakah kepala desa—dengan segala kesibukannya—bersedia dengan cuma-cuma (secara tak berbayar) mengantar relaas tersebut pada pihak yang bersangkutan. Jawabannya: kadang bersedia, kadang tidak. Inilah realitas sosial. Sungguh kondisi ini akan menimbulkan kerugian bagi pihak.
            Bertolak dari data di atas, tentu sangat tidak bijak jika hakim secara gegabah (tanpa melalui pembuktian) dengan serta merta mengabulkan gugatan penggugat hanya dengan pertimbangan tergugat tidak hadir. Karena bisa jadi tergugat memang tidak mengetahui adanya persidangan. Bisa jadi gugatan penggugat melawan hak tergugat. Bisa jadi gugatan penggugat tidak beralasan hukum.
Pasal 5 ayat (1) UU no. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Artinya, hakim harus jeli dan mempertimbangkan realitas sosial demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Memang, untuk menggapai kebenaran materiil yang sebenar-benarnya akan sangat sulit. Umar ibn Khattab dalam risalahnya mengisyaratkan: hakim tidak berkewajiban menggapai kebenaran (materiil) yang sebenar-benarnyanya, namun kewajiban hakim adalah berijtihad mendekati kebenaran.[11] Lantas, bagaimana solusinya: tetap harus melakukan konstantir dengan cara pembuktian atas gugatan penggugat. Jangan sampai ada blunder; putusan hakim tak berdasarkan fakta hukum yang akibatnya kebenaran akan tercerabut dari akarnya.
Oleh karena itu, pasal  125 H.I.R/149 R.Bg. yang selama ini ditafsirkan sebagai kebolehan hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan tanpa pembuktian, wajib ditafsir ulang. Tafsir yang paling mendekati kebenaran hemat penulis adalah: dalam kondisi tergugat tidak hadir (verstek), hakim tetap diperbolehkan mengabulkan gugatan penggugat, dengan catatan gugatan tersebut harus telah terbukti tidak melawan hak dan beralasan hukum. Intinya: fakta hukum harus tetap ditemukan melalui pembuktian, bukan kesimpulan dangkal dari gugatan.
Tafsir seperti termaktub di atas sejatinya telah digagas dan dipublikasikan dalam Rakerda Pengadilan Tinggi Agama Jakarta (2012) yang menyatakan perkara verstek kebendaan tetap harus dengan pembuktian, untuk menghindari penyelundupan hukum. Selain itu, Yahya Harahap juga mengisyaratkan bahwa hakim harus bersikap aktif dan minilai gugatan yang diajukan penggugat, apakah gugatan tersebut memiliki landasan hukum yang benar atau tidak. Apabila tidak, secara aktif harus menolak gugatan penggugat.[12]

Kesimpulan
            Hakim adalah mujtahid yang tidak boleh jumud dan buta realitas sosial. Oleh karena itu, Ia harus berani mereinterpretasi (menafsir ulang) Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg., karena tafsir yang selama ini ada dan dipedomani terbukti mengabaikan realitas sosial dan rentan penyelundupan hukum. Ini semua demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
            Tafsir atas Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. yang paling mendekati kebenaran hemat penulis adalah: hakim tetap dapat mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek, dengan catatan: gugatan tersebut harus telah terbukti tidak melawan hak dan beralasan hukum. Satu-satunya jalan untuk menemukan fakta hukum bahwa sebuah gugatan tidak melawan hak dan beralasan hukum adalah dengan konstantir. Sementara itu, satu-satunya metode konstantir dalam perkara verstek adalah dengan pembuktian.
            Model penafsiran seperti inilah menurut penulis lebih selaras dengan prinsip dasar pembuktian, memenuhi unsur kebenaran formil, dan tetap berusaha menggapai kebenaran materiil. Wallahu a’lam bi ash-showab.*








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan  Agama, cet. VIII, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008.
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UII Press: yogyakarta, 2013.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V, Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan .
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement voor de Buitengewesten (R.Bg.).
Risalah Umar ibn Khattab terhadap Abu Musa Al-Asy’ari.




[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri.
[2] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 236, lihat juga: M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia (UII Press: yogyakarta, 2013), hlm. 27, lihat juga: A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan  Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 144.

[3] Pasal 163 HIR menyatakan: “barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harusmembuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Pasal 283 R.Bg menyatakan: “Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu” dan Pasal  1865 KUH Perdata menyatakan: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu”.
[4]  A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan  Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 139.

[5]   M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm.  496.

[6]    Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesiahlm. 31-114.

[7]  Ibid. Hlm. 146

[8]  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V (Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013) hlm. 123.

[9]  Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 236.

[10] Penjelasan atas pasal dalam sebuah undang-undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan umum UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan,  merupakan tafsir resmi terhadap pasal dalam undang-undang sendiri.
[11]  Risalah umar menyatakan:
ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه ، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق (رسالة القضاء لعمرابن الخطّاب)
[12] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata... hlm. 505.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar