Rabu, 26 Maret 2014

Hukum Formil

SAKSI KELUARGA UNTUK SELURUH JENIS PERKARA PERCERAIAN, CAKAPKAH?
Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
            Kegelisahan akademik penulis untuk mengkaji  persoalan saksi keluarga ini terinspirasi dari perdebatan panjang terkait cakap atau tidaknya saksi keluarga dalam perkara perceraian dengan alasan selain syiqaq.[2] Dalam ketentuan umum hukum acara perdata, salah satu syarat formil saksi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 145 H.I.R., 172 ayat (1) R.Bg, dan 1910 KUH Perdata adalah bahwasannya saksi tidak boleh berasal dari keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus, kecuali dalam perkara perdata tertentu yang telah dikecualikan oleh undang-undang. Sayangnya, ketentuan tentang sengketa perceraian tidak dapat ditemukan dalam pengecualian tersebut.
Selain pengecualian di atas, juga terdapat lex specialis dalam konteks saksi keluarga ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989,  dalam perkara cerai gugat dengan alasan syiqaq[3], saksi keluarga juga cakap (bahkan wajib) didengar keterangannya.  Sayangnya juga, ketentuan ini hanya berlaku pada perkara syiqaq, bukan yang lain.
            Realitasnya, dalam pemeriksaan perceraian, jamak kita temui meskipun alasan perceraian bukanlah syiqaq (misal: perceraian dengan alasan salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi, atau perceraian dengan alasan salah satu pihak pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah) namun Majelis Hakim tetap menganggap cakap keterangan saksi keluarga dalam pertimbangan putusannya.
            Bertolak dari isu inilah kemudian muncul pertanyaan mendasar: Apakah saksi keluarga hanya cakap bersaksi dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq? Ataukah mereka juga cakap bersaksi dalam semua jenis perkara perceraian? Jika dapat, apa landasan hukumnya?       
Syarat Formil Saksi dalam Hukum Acara Perdata
Syarat formil saksi dalam hukum acara perdata—menurut hemat penulis—dapat disederhanakan menjadi dua kategori: pertama terkait siapa yang cakap dan tidak cakap untuk  menjadi saksi dan kedua terkait tatacara dan prosedur (ubo rampe) pemberian kesaksian[4].
            Pertama, terkait siapa yang cakap dan tidak cakap menjadi saksi, pada prinsipnya, setiap orang cakap menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Pasal 145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan beberapa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah sebagai berikut:
a.      Pasal 145 H.I.R. menyatakan saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan 4)  Orang gila meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang;
b.      Pasal 172 R.Bg. ayat (1) menerangkan mereka yang tidak boleh menjadi saksi adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak, 2) Saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara  perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjaang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu, 3) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai, 4) Anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun, 5) Orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.
c.       Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: 1) Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus, dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Adapun kelompok saksi yang memiliki hak pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai saksi, tetapi  mereka menyatakan kesiapannya untuk bersaksi, tetap dapat didengar keterangannya.[5] Kelompok orang  yang memiliki hak pengunduran  diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174 R.Bg., mereka adalah: 1) Saudara laki dan saudara perempuan serta ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak, 2) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak, 3) Semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.
Kedua, tentang tatacara dan prosedur pemberian kesaksian, ada tiga unsur yang harus dipenuhi oleh saksi agar cakap didengar kesaksiannya: 1) Saksi harus memberikan kesaksian di depan persidangan (Pasal 144 H.I.R. dan 171 R.Bg.),  2) Saksi harus disumpah (Pasal 147 H.I.R, 175 R.Bg. dan 1911 KUH Perdata) dan 3) Saksi harus diperiksa satu-persatu (seorang demi seorang) (Pasal 144 H.I.R. dan 171 R.Bg.).[6]
Beberapa Pengecualian tentang Kecakapan Saksi Keluarga
            Dalam perkara-perkara tertentu, terdapat pengecualian atas larangan keluarga sedarah dan semenda menjadi saksi. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 145 H.I.R ayat (2) yang berbunyi:
“Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu perjanjian pekerjaan.
Juga dalam Pasal 172 ayat (2) R.Bg. yang berbunyi:
“Namun keluarga sedarah atau karena perkawinan dalam sengketa mengenai kedudukan para pihak atau mengenai suatu perjanjian kerja berwenang untuk menjadi saksi.”
Serta diatur dalam Pasal 1910 KUH Perdata berbunyi:
            “…Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk menjadi saksi:
1          dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
2          dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
3          dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
4          dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja.  Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan dalam pasal 1909 nomor 1° dan 2°, tidak berhak untuk minta dibebaskan dan kewajiban memberikan kesaksian.
Selain pengecualian tersebut di atas, juga terdapat ketentuan lex specialis terkait kecakapan keluarga sedarah dan semenda untuk menjadi saksi, yakni dalam perkara gugat cerai dengan alasan syiqaq. Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989  yang isinya tidak dirubah dalam UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, menyatakan:
“Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.
Tentu ada landasan filosofis mengapa saksi keluarga diperbolehkan dalam perkara-perkara tersebut. Menurut hemat penulis, rasionalisasi kecakapan saksi  keluarga memberikan kesaksian dalam perkara tertentu tersebut adalah karena merekalah yang dipandang paling mengetahui tentang “kondisi keperdataan tertentu” yang cenderung privat tersebut.
Dalam konteks kajian ini—karena saksi keluarga untuk perkara percerain non-syiqaq belum mempunyai dasar hukum yang sharih—pasal yang paling menarik untuk dikaji adalah ketentuan pasal tentang kebolehan keluarga sedarah dan semenda untuk memberikan kesaksian, yang berbunyi: “dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata” (versi H.I.R.), “dalam sengketa mengenai kedudukan para pihak” (versi R.Bg.) dan  “dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak” versi KUH Perdata.
Bagaimana sejatinya tafsir dari “dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum”? Apakah perkara perceraian dapat dikategorikan sebagai perselisihan menurut pasal di atas?
Merujuk Tafsir Resmi
            Penjelasan atas pasal dalam sebuah undang-undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 149 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan,  merupakan tafsir resmi terhadap pasal dalam undang-undang sendiri. Artinya, penjelasan tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dalam memaknai sebuah pasal.     
Dalam penjelasan Pasal 145 H.I.R, ditemukan redaksi sebagai berikut:
            Yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
            Penjelasan pasal tersebut secara tegas menyatakan saksi keluarga cakap didengar kesaksiannya dalam “seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya”. Bertolak dari redaksi penjelasan pasal tersebut, dapat ditarik benang merah: maksud dari “perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata” dalam Pasal 145 H.I.R. tersebut adalah perkara perkawinan, perceraian, keturunan dan lain-lain.

Konklusi
            Prinsip umum dalam hukum acara perdata menggariskan  bahwa saksi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak cakap didengar kesaksiannya. Namun, dalam perkara-perkara tertentu (pengecualian), saksi tersebut dianggap cakap memberikan kesaksian.
Sengketa perceraian, meskipun tidak disebut secara tegas dalam pasal pengecualian tersebut, namun sebagaimana  penjelasan Pasal 145 H.I.R, perkara perceraian mutlak merupakan bagian dari perkara pengecualian itu.  Konsekuensinya: setiap perkara perceraian, baik dengan alasan syiqaq ataupun alasan-alasan lainnya, saksi keluarga sedarah dan keluarga semenda tetap cakap untuk didengar kesaksiannya. Wallahu a’lam.*










Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Rajawali Pers: Jakarta, 2012.
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (R.bg.).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.10 tahun 2004,  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.




[1] Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri dan Peserta Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) Angkatan II MA-RI.
[2] Diskursus ini berawal dari diskusi kelas pada Diklat PPC Terpadu angkatan II MA-RI dalam materi perceraian dengan alasan syiqaq, pemateri Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H., di kampus  Badan  Litbang Diklat Hukum dan Teknis Peradilan  MA-RI, tanggal 27 Juni 2013.

[3] Menurut penjelasan Pasal 76 (1) UU No. 7 tahun 1989, yang isinya tidak dirubah dalam UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, syiqaq adalah adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antarasuami dan istri.  Adapaun menurut Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum, syiqaq adalah perselisihan suami-isteri disebabkan karena isteri nuzyuz atau mungkin juga karena suami berbuat kejam dan aniaya kepada isterinya. Dalam praktik Peradilan Agama, alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 F PP No. 9 tahun 1975 tidak bisa selalu disebut syiqaq. Kategori Syiqaq yaitu jika sudah terjadi pertengkaran yang membahayakan kehidupan suami isteri. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 385-287.
[4][4] Ini merupakan bentuk penyederhanaan dari kategorisasi syarat formil saksi oleh Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., dalam bukunya, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir berperkara (Ghalia Indonesia: Bogor, 2012) hlm. 190-191.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 639.  
[6]Ibid, hlm. 637-642, lihat juga Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha (Rajawali Pers: Jakarta, 2012) hlm. 58-62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar