SAKSI KELUARGA UNTUK SELURUH JENIS PERKARA
PERCERAIAN, CAKAPKAH?
Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Kegelisahan akademik penulis untuk
mengkaji persoalan saksi keluarga ini terinspirasi
dari perdebatan panjang terkait cakap atau tidaknya saksi keluarga dalam
perkara perceraian dengan alasan selain syiqaq.[2] Dalam ketentuan
umum hukum acara perdata, salah satu syarat formil saksi, sebagaimana termaktub
dalam Pasal 145 H.I.R., 172 ayat (1) R.Bg, dan 1910 KUH Perdata adalah
bahwasannya saksi tidak boleh berasal dari keluarga sedarah dan semenda menurut
keturunan yang lurus, kecuali dalam perkara perdata tertentu yang telah
dikecualikan oleh undang-undang. Sayangnya, ketentuan tentang sengketa
perceraian tidak dapat ditemukan dalam pengecualian tersebut.
Selain pengecualian di atas, juga terdapat lex specialis
dalam konteks saksi keluarga ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1)
UU No. 7 tahun 1989, dalam perkara cerai
gugat dengan alasan syiqaq[3],
saksi keluarga juga cakap (bahkan wajib) didengar keterangannya. Sayangnya juga, ketentuan ini hanya berlaku
pada perkara syiqaq, bukan yang lain.
Realitasnya, dalam pemeriksaan perceraian,
jamak kita temui meskipun alasan perceraian bukanlah syiqaq (misal:
perceraian dengan alasan salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi,
atau perceraian dengan alasan salah satu pihak pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah)
namun Majelis Hakim tetap menganggap cakap keterangan saksi keluarga dalam
pertimbangan putusannya.
Bertolak dari isu inilah kemudian
muncul pertanyaan mendasar: Apakah saksi keluarga hanya cakap bersaksi dalam
perkara perceraian dengan alasan syiqaq? Ataukah mereka juga cakap bersaksi
dalam semua jenis perkara perceraian? Jika dapat, apa landasan hukumnya?
Syarat Formil Saksi dalam Hukum
Acara Perdata
Syarat formil saksi dalam
hukum acara perdata—menurut hemat penulis—dapat disederhanakan menjadi dua
kategori: pertama terkait siapa yang cakap dan tidak cakap untuk menjadi saksi dan kedua terkait tatacara
dan prosedur (ubo rampe) pemberian kesaksian[4].
Pertama, terkait siapa yang
cakap dan tidak cakap menjadi saksi, pada prinsipnya, setiap orang cakap
menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Pasal
145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan beberapa orang
yang tidak cakap didengar keterangannya adalah sebagai berikut:
a.
Pasal 145 H.I.R. menyatakan
saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut
keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun
sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup
umur lima belas tahun, dan 4) Orang gila
meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang;
b.
Pasal 172 R.Bg. ayat (1) menerangkan
mereka yang tidak boleh menjadi saksi adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis
lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak, 2) Saudara-saudara
lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat
dan Tapanuli sepanjaang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan
Melayu, 3) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai, 4)
Anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun, 5) Orang
gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.
c.
Pasal 1910 KUH Perdata
menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: 1)
Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus,
dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Adapun kelompok saksi
yang memiliki hak pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai saksi,
tetapi mereka menyatakan kesiapannya
untuk bersaksi, tetap dapat didengar keterangannya.[5] Kelompok orang
yang memiliki hak pengunduran diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174
R.Bg., mereka adalah: 1) Saudara laki dan saudara perempuan serta ipar
laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak, 2) Keluarga sedarah menurut
keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri
salah satu pihak, 3) Semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau
jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya
mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.
Kedua, tentang tatacara dan prosedur pemberian
kesaksian, ada tiga unsur yang harus dipenuhi oleh saksi agar cakap didengar
kesaksiannya: 1) Saksi harus memberikan kesaksian di depan persidangan (Pasal
144 H.I.R. dan 171 R.Bg.), 2) Saksi
harus disumpah (Pasal 147 H.I.R, 175 R.Bg. dan 1911 KUH Perdata) dan 3) Saksi
harus diperiksa satu-persatu (seorang demi seorang) (Pasal 144 H.I.R. dan 171
R.Bg.).[6]
Beberapa
Pengecualian tentang Kecakapan Saksi Keluarga
Dalam
perkara-perkara tertentu, terdapat pengecualian atas larangan keluarga sedarah dan
semenda menjadi saksi. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 145 H.I.R ayat
(2) yang berbunyi:
“Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga
semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua
belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu
perjanjian pekerjaan.”
Juga dalam Pasal 172 ayat (2) R.Bg. yang
berbunyi:
“Namun keluarga sedarah atau karena perkawinan
dalam sengketa mengenai kedudukan para pihak atau mengenai suatu perjanjian
kerja berwenang untuk menjadi saksi.”
Serta diatur dalam Pasal 1910 KUH Perdata berbunyi:
“…Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk
menjadi saksi:
1
dalam
perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
2
dalam
perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya
pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
3
dalam
suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau
pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
4
dalam
perkara mengenai suatu perjanjian kerja. Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan
dalam pasal 1909 nomor 1° dan 2°, tidak berhak untuk minta dibebaskan dan
kewajiban memberikan kesaksian.
Selain pengecualian tersebut di atas, juga
terdapat ketentuan lex specialis terkait kecakapan keluarga sedarah dan
semenda untuk menjadi saksi, yakni dalam perkara gugat cerai dengan alasan syiqaq.
Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989
yang isinya tidak dirubah dalam UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun
2009 tentang Peradilan Agama, menyatakan:
“Apabila
gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.
Tentu ada landasan filosofis mengapa saksi
keluarga diperbolehkan dalam perkara-perkara tersebut. Menurut hemat penulis,
rasionalisasi kecakapan saksi keluarga
memberikan kesaksian dalam perkara tertentu tersebut adalah karena merekalah
yang dipandang paling mengetahui tentang “kondisi keperdataan tertentu” yang
cenderung privat tersebut.
Dalam
konteks kajian ini—karena saksi keluarga untuk perkara percerain non-syiqaq belum
mempunyai dasar hukum yang sharih—pasal yang paling menarik untuk dikaji
adalah ketentuan pasal tentang kebolehan keluarga sedarah dan semenda untuk memberikan
kesaksian, yang berbunyi: “dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang
keadaan menurut hukum perdata” (versi H.I.R.), “dalam
sengketa mengenai kedudukan para pihak” (versi R.Bg.) dan
“dalam perkara
mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak” versi KUH Perdata.
Bagaimana sejatinya tafsir dari “dalam
perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum”? Apakah
perkara perceraian dapat dikategorikan sebagai perselisihan menurut pasal di
atas?
Merujuk
Tafsir Resmi
Penjelasan atas pasal
dalam sebuah undang-undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 149 UU No.
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, merupakan tafsir resmi terhadap pasal dalam undang-undang
sendiri. Artinya, penjelasan tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dalam
memaknai sebuah pasal.
Dalam
penjelasan Pasal 145 H.I.R, ditemukan redaksi sebagai berikut:
Yang dimaksud "tentang keadaan menurut
hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa
Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan
tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
Penjelasan pasal tersebut secara
tegas menyatakan saksi keluarga cakap didengar kesaksiannya dalam “seperti
misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain
sebagainya”. Bertolak dari redaksi penjelasan pasal tersebut, dapat ditarik
benang merah: maksud dari “perkara perselisihan kedua belah pihak tentang
keadaan menurut hukum perdata” dalam Pasal 145 H.I.R. tersebut adalah perkara
perkawinan, perceraian, keturunan dan lain-lain.
Konklusi
Prinsip umum dalam hukum acara
perdata menggariskan bahwa saksi
keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak cakap didengar kesaksiannya. Namun,
dalam perkara-perkara tertentu (pengecualian), saksi tersebut dianggap cakap
memberikan kesaksian.
Sengketa perceraian, meskipun tidak disebut
secara tegas dalam pasal pengecualian tersebut, namun sebagaimana penjelasan Pasal 145 H.I.R, perkara
perceraian mutlak merupakan bagian dari perkara pengecualian itu. Konsekuensinya: setiap perkara perceraian,
baik dengan alasan syiqaq ataupun alasan-alasan lainnya, saksi keluarga
sedarah dan keluarga semenda tetap cakap untuk didengar kesaksiannya. Wallahu
a’lam.*
Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format
Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika:
Jakarta, 2010.
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan
Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Rajawali Pers: Jakarta, 2012.
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van
Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (R.bg.).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie).
Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang
Peradilan Agama.
Undang-undang No.3 tahun 2006, tentang Peradilan
Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang
Peradilan Agama.
Undang-undang No.10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
[1] Penulis adalah
Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri dan Peserta Program Pendidikan dan
Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC
Terpadu) Angkatan II MA-RI.
[2] Diskursus ini berawal dari diskusi kelas
pada Diklat PPC Terpadu angkatan II MA-RI dalam materi perceraian dengan alasan
syiqaq, pemateri Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H., di kampus Badan
Litbang Diklat Hukum dan Teknis Peradilan MA-RI, tanggal 27 Juni 2013.
[3] Menurut
penjelasan Pasal 76 (1) UU No. 7 tahun 1989, yang isinya tidak dirubah dalam UU
No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, syiqaq adalah
adalah perselisihan yang tajam dan terus
menerus antarasuami dan istri. Adapaun
menurut Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum, syiqaq adalah perselisihan
suami-isteri disebabkan karena isteri nuzyuz atau mungkin juga karena suami berbuat
kejam dan aniaya kepada isterinya. Dalam praktik Peradilan Agama, alasan
perceraian sebagaimana Pasal 19 F PP No. 9 tahun 1975 tidak bisa selalu disebut
syiqaq. Kategori Syiqaq yaitu jika sudah terjadi pertengkaran
yang membahayakan kehidupan suami isteri. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H.,
S.I.P., M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 385-287.
[4][4] Ini merupakan bentuk penyederhanaan
dari kategorisasi syarat formil saksi oleh Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., dalam
bukunya, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir
berperkara (Ghalia Indonesia: Bogor, 2012) hlm. 190-191.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar
Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 639.
[6]Ibid, hlm. 637-642, lihat juga Aris
Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha (Rajawali
Pers: Jakarta, 2012) hlm. 58-62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar