PENYAMPAIAN
SALINAN PUTUSAN TERHADAP PIHAK BERPERKARA, [MASIH] WAJIBKAH?
Mayoritas institusi pengadilan agama tampaknya
beramai-ramai meng-contra legem Pasal 52 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 64 A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama. Secara de jure, kedua pasal tersebut
tegas menyatakan bahwa pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada pihak dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. Namun
secara de facto, hanya beberapa pengadilan saja yang memenuhi amanat
hukum tertulis tersebut. Jamaknya, pengadilan hanya akan memberikan salinan
putusan jika ada permintaan dari pihak.
Namun, pengadilan tidak
serta merta menjadi objek yang dipersalahkan dalam problematika ini. Tidak
disampaikannya salinan putusan tersebut tidaklah lahir dalam ruang kosong; ia
merupakan anak dari dinamika faktual yang terjadi di lingkungan peradilan agama,
yang akan penulis jabarkan dalam artikel ini.
Terlepas dari realitas
di atas, putusan pengadilan tetaplah akta otentik,[2] karya ilmiah,[3] mahkota hakim,[4]dan bahkan ada yang menyetarakannya
dengan keputusan Tuhan (judicium dei)[5] yang wajib disampaiakan kepada yang
berhak: pihak berperkara. Penafian penyampaian salinan putusan merupakan penyimpangan
amanat undang-undang.
Bertolak dari
kesenjangan antara das sollen dan das sein tersebut, lahirlah
pertanyaan mendasar: Sejatinya, bagaimana kedudukan putusan dalam konstelasi
hukum nasional? Apa kendala inti atas tersendatnya penyampaian salinan putusan?
Bagaimana “sikap” Mahkamah Agung dalam persoalan tersebut? Lantas, bagaiamana konklusi
dan tawaran solusinya?
Putusan : Akta Otentik, Karya Ilmiah dan
Mahkota Hakim
Putusan adalah suatu
pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh hakim ketua, hakim anggota, serta
panitera pengganti dan diucapkan oleh hakim sebagai pejabat negara yang berwenang
untuk itu dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan menyelesaiakan
perkara pihak.[6]
Tiap putusan pengadilan
merupakan akta otentik, karena dibuat dan ditandatangani oleh pejabat berwenang.[7] Berpijak dari sinilah kemudian putusan
pengadilan disebut sebagai entitas yang memiliki kekuatan pembuktian.[8] Untuk dapat dijadikan alat bukti,
putusan haruslah tertulis, tidak cukup dengan pengucapan di persidangan. Oleh
sebab itu, putusan sebagai akta otentik harus dipegang dan dimiliki oleh yang berhak.
Selain akta
otentik, menurut A. Mukti Arto, putusan juga merupakan sebuah karya ilmiah. Pemeriksaan perkara di persidangan secara akademik
merupakan penelitian ilmiah: penelitian untuk memperoleh data obyektif dan
konkrit.[9] Ia dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena
bersifat logis sistematis dan metodis. Pemeriksaan tersebut kemudian dianalisa,
disimpulkan dan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah yang bernama putusan. Tentunya akan sangat disayangkan, jika
sebuah karya ilmiah hanya tersimpan rapi di rak berkas perkara berdebu, tanpa
pernah terbaca, minimal oleh pihak yang berkepentingan: pihak berperkara.
Kredibilitas hakim
dipertaruhkan dalam putusan. Oleh karena itulah putusan disebut-sebut sebagai
mahkota hakim. Bagaimana mungkin pihak mengetahui kualitas mahkota hakim jika ia
hanya diucapkan secara lisan saja, itu pun biasanya sebatas kepala dan amar
putusan semata. Untuk menguji kualitas mahkota hakim, pihak harus membaca,
mencermati, kemudian menilai putusan. Dengan alasan ini, penyampaian salinan
putusan merupakan wasilah tak tertawar.
Kendala Teknis
Kendala teknis penyampaian salinan
putusan, diakui maupun tidak menjadi momok besar untuk menjalankan amanat undang-undang
tersebut. Kendala itu memang nyata adanya, bukan alasan yang mengada-ada: mulai
dari kendala membludaknya perkara, kurang pegawai, dominasi perkara perceraian
(yang menurut sebagian orang hal terpenting adalah akta cerainya, bukan
putusannya) juga kendala sulitnya pemungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP), dan kendala-kendala lainnya.
Namun,
apapun kendalanya, amanat undang-undang tetaplah amanat undang-undang. Terlebih
lagi, amanat tersebut berorientasi kemashlahatan. Tidak ada alasan untuk
mengesampingkan ketentuan itu.
Penafian
penyampaian salinan putusan, justru akan semakin mengerdilkan eksistensi pengadilan
agama di mata publik. Stigma “pengadilan agama adalah tukang menceraikan dan tukang membuat surat cerai”
tentunya akan semakin kentara, jika produk pengadilan yang diterima pihak
berperkara—khususnya dalam perkara perceraian—hanyalah akta cerai semata.
Dengan adanya penyampaian seluruh jenis salinan putusan, opini publik terhadap pengadilan
agama tentunya akan berubah ke arah positif.
Dinamika Kebijakan Mahkamah Agung
Minimal
ada tiga kebijakan Mahkamah Agung menyikapi kewajiban penyampaian salinan putusan
ini: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan
dan Petikan Putusan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang
Perubahan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan
Petikan Putusan, dan terakhir Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan.
Dalam
SEMA No. 2 tahun 2010, demi amanat undang-undang dan demi peningkatan pelayanan
peradilan, Mahkamah Agung tegas menyatakan pengadilan wajib menyampaikan
salinan putusan kepada pihak berperkara minimal 14 (empat belas hari) setelah
putusan diucapkan. Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan tersebut, ketua
pengadilan akan dikenai sanksi sebagaimana telah diatur dalam undang-undang
terkait.
Namun,
pada tahun 2011, dilatari dengan beberapa pengaduan tentang sulitnya
penyampaian salinan putusan, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 1 tahun 2011
yang mencabut SEMA No.2 tahun 2010. Ketentuan kewajiban “menyampaiakan” salinan
putusan dirubah menjadi kewajiban “menyediakan” salinan putusan dalam tempo
paling lambat 14 hari. SEMA inilah yang kemudian banyak dipedomani pengadilan
untuk tidak menyampaiakan salinan putusan. Namun perlu digaris bawahi, SEMA adalah
sebatas surat edaran yang tidak memiliki kekuatan mengikat.[10]
Kebijakan
terakhir lahir saat diterbitkannya SK KMA 026/KMA/SK/II/2012. Dalam angka IV huruf
E keputusan ini, pengadilan diperintahakan mengirimkan salinan putusan,
termasuk kepada pihak yang tidak hadir pada saat pembacaan putusan, paling
lambat 14 hari setelah pembacaan putusan.
Kebijakan
terakhir ini, menurut hemat penulis adalah qaul jadid-nya Mahkamah Agung
yang bersifat mengikat,[11] juga paling bersinergi dengan amanat undang-undang
dan semangat peningkatan pelayanan peradilan.
Konklusi dan Tawaran Solusi
Benang merah yang
dapat ditarik dari artikel ini adalah: penyampaian salinan putusan terhadap
pihak berperkara, ditinjau dari amanat amanat pasal Pasal 52 Ayat (2) UU No. 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, pasal 64 A ayat (2) UU No. 50 tahun
2009 tentang Peradilan Agama, SEMA No. 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan
dan Petikan Putusan, SK KMA No. 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan
Peradilan, serta spirit peningkatan pelayanan peradilan, adalah wajib dilaksanakan.
Terkait tawaran
solusi, penulis sangat sadar atas keterbatasan pengalaman dalam bidang administrasi
peradilan. Namun hal itu tidak menjadi
penghalang untuk menawarkan solusi teknis penyampaian yang sederhana, tidak
ribet, juga tidak memberatkan.
Dari beberapa
alternatif yang ada, penulis merekomendasikan satu alternatif terbaik:
penyampaian salinan putusan kepada pihak berperkara dilakukan sesaat setelah
putusan diucapkan. Khusus dalam perkara verstek, bagi pihak tergugat/termohon
yang tidak hadir, salinan putusan disampaiakan bersamaan pemberitahuan isi
putusan oleh jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama. Mengenai pemungutan PNBP
atas salinan putusan yang diatur dalam PP No. 53 tahun 2008, dapat ditaksir dan
dibayarkan dalam panjar biaya perkara.
Alternatif ini
tentunya hanya dapat dilaksanakan jika saat pengucapan putusan, print-out putusan (putusan versi
cetak) telah benar-benar siap.[12] Untuk
mendukung hal ini, tentunya majelis dituntut untuk mengubah “adat” agenda
persidangan yang ada. Jika biasanya putusan diucapkan tanpa menunggu
selesaianya putusan tertulis, maka demi “proyek luhur” ini, agenda persidangan
diubah menjadi: pasca agenda kesimpulan para pihak, majelis menunda sidang untuk
musyawarah majelis. Kesempatan inilah yang digunakan untuk musyawarah dan
penyelesaian putusan tertulis, sehingga pada sidang pengucapan putusan, versi
tertulis putusan benar-benar siap dan matang, salinannya pun sudah siap
disampaikan. Hemat penulis, inilah idealitas persidangan.
Upaya menuju
idealitas tersebut mungkin akan terasa sangat berat, jika sebatas diangan-angan.
Namun sejatinya, jika dilakoni dengan dasar pengilhaman atas tugas dan
tanggungjawab hakim, tentunya tidak akan menjadi persoalan berarti. Terlebih,
jika tuntutan idealitas ini dikaitkan dengan kenaikan tunjangan hakim
sebagaimana diatur dalam PP No. 94 tahun 2012, tentunya akan linear. Wallahu
a’lam.(*)
Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta,
2012.
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format
Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika:
Jakarta, 2010.
Undang-undang
No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang
No. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No. 12 tahun 2011,
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2010, tentang Penyampaian Salinan dan
Petikan Putusan.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011, tentang Perubahan Surat Edaran Nomor
2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan.
Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012, tentang Standar Pelayanan
Peradilan.
[1] Calon
Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri dan Peserta Program Pendidikan dan Pelatihan
Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu)
Angkatan II MA-RI.
[2] Akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu oleh penguasa menurut kektentuan yang ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan, dikutip dari Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II) edisi revisi 2010.
[3] A. Mukti
Arto, Kapita Selekta Hukum Acara Pengadilan Agama Tata
Urutan Pemeriksaan Perkara Di Persidangan Melalui Pendekatan Yuridis Akademis, Bahan Diklat
II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal
24 September sd 28 November 2012, Pusdiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI
di Mega Mendung, Bogor.
[4] Trubus Wahyudi, dalam artikel “independensi
hakim, kode etik dan pedoman perilaku hakim, penegakan hukum dan keadilan,
serta pengawasan masyarakat”.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum
Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 872.
[6] Definisi ini penulis sarikan dari berbagai
pendapat ahli hukum dan undang-undang yang ada.
[7] Pasal 62
Undang-undang No. 7 tahun 1989, lihat
juga Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 242.
[10] Pendapat ini disampaikan oleh Harifin A. Tumpa,
saat memberikan materi pada Pelatihan Mediato DIKLAT III Program dan Pelatihan
Calon Hakim (PPC) Terpadu angkatan II MA-RI, Selasa, 09 Juli 2013.
[11] Pasal 8 Ayat (2)
Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar