Rabu, 26 Maret 2014

Administrasi Peradilan

PENYAMPAIAN SALINAN PUTUSAN TERHADAP PIHAK BERPERKARA, [MASIH] WAJIBKAH?
Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Mayoritas institusi pengadilan agama tampaknya beramai-ramai meng-contra legem Pasal 52 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 64 A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Secara de jure, kedua pasal tersebut tegas menyatakan bahwa pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. Namun secara de facto, hanya beberapa pengadilan saja yang memenuhi amanat hukum tertulis tersebut. Jamaknya, pengadilan hanya akan memberikan salinan putusan jika ada permintaan dari pihak.
Namun, pengadilan tidak serta merta menjadi objek yang dipersalahkan dalam problematika ini. Tidak disampaikannya salinan putusan tersebut tidaklah lahir dalam ruang kosong; ia merupakan anak dari dinamika faktual yang terjadi di lingkungan peradilan agama, yang akan penulis jabarkan dalam artikel ini.
Terlepas dari realitas di atas, putusan pengadilan tetaplah akta otentik,[2] karya ilmiah,[3] mahkota hakim,[4]dan bahkan ada yang menyetarakannya dengan keputusan Tuhan (judicium dei)[5] yang wajib disampaiakan kepada yang berhak: pihak berperkara. Penafian penyampaian salinan putusan merupakan penyimpangan amanat  undang-undang.
Bertolak dari kesenjangan antara das sollen dan das sein tersebut, lahirlah pertanyaan mendasar: Sejatinya, bagaimana kedudukan putusan dalam konstelasi hukum nasional? Apa kendala inti atas tersendatnya penyampaian salinan putusan? Bagaimana “sikap” Mahkamah Agung dalam persoalan tersebut? Lantas, bagaiamana konklusi dan tawaran solusinya?
Putusan : Akta Otentik, Karya Ilmiah dan Mahkota Hakim
Putusan adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh hakim ketua, hakim anggota, serta panitera pengganti dan diucapkan oleh hakim sebagai pejabat negara yang berwenang untuk itu dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan menyelesaiakan perkara pihak.[6]
Tiap putusan pengadilan merupakan akta otentik, karena dibuat dan ditandatangani oleh pejabat berwenang.[7] Berpijak dari sinilah kemudian putusan pengadilan disebut sebagai entitas yang memiliki kekuatan pembuktian.[8] Untuk dapat dijadikan alat bukti, putusan haruslah tertulis, tidak cukup dengan pengucapan di persidangan. Oleh sebab itu, putusan sebagai akta otentik harus dipegang dan dimiliki oleh yang berhak.
Selain akta otentik, menurut A. Mukti Arto, putusan juga merupakan sebuah karya ilmiah. Pemeriksaan perkara di persidangan secara akademik merupakan penelitian ilmiah: penelitian untuk memperoleh data obyektif dan konkrit.[9] Ia dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena bersifat logis sistematis dan metodis. Pemeriksaan tersebut kemudian dianalisa, disimpulkan dan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah yang bernama putusan. Tentunya akan sangat disayangkan, jika sebuah karya ilmiah hanya tersimpan rapi di rak berkas perkara berdebu, tanpa pernah terbaca, minimal oleh pihak yang berkepentingan: pihak berperkara.
Kredibilitas hakim dipertaruhkan dalam putusan. Oleh karena itulah putusan disebut-sebut sebagai mahkota hakim. Bagaimana mungkin pihak mengetahui kualitas mahkota hakim jika ia hanya diucapkan secara lisan saja, itu pun biasanya sebatas kepala dan amar putusan semata. Untuk menguji kualitas mahkota hakim, pihak harus membaca, mencermati, kemudian menilai putusan. Dengan alasan ini, penyampaian salinan putusan merupakan wasilah tak tertawar.
Kendala Teknis
            Kendala teknis penyampaian salinan putusan, diakui maupun tidak menjadi momok besar untuk menjalankan amanat undang-undang tersebut. Kendala itu memang nyata adanya, bukan alasan yang mengada-ada: mulai dari kendala membludaknya perkara, kurang pegawai, dominasi perkara perceraian (yang menurut sebagian orang hal terpenting adalah akta cerainya, bukan putusannya) juga kendala sulitnya pemungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan kendala-kendala lainnya.
            Namun, apapun kendalanya, amanat undang-undang tetaplah amanat undang-undang. Terlebih lagi, amanat tersebut berorientasi kemashlahatan. Tidak ada alasan untuk mengesampingkan ketentuan itu.
            Penafian penyampaian salinan putusan, justru akan semakin mengerdilkan eksistensi pengadilan agama di mata publik. Stigma “pengadilan agama adalah tukang  menceraikan dan tukang membuat surat cerai” tentunya akan semakin kentara, jika produk pengadilan yang diterima pihak berperkara—khususnya dalam perkara perceraian—hanyalah akta cerai semata. Dengan adanya penyampaian seluruh jenis salinan putusan, opini publik terhadap pengadilan agama tentunya akan berubah ke arah positif.
Dinamika  Kebijakan Mahkamah Agung
            Minimal ada tiga kebijakan Mahkamah Agung menyikapi kewajiban penyampaian salinan putusan ini: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan, dan terakhir Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan.
            Dalam SEMA No. 2 tahun 2010, demi amanat undang-undang dan demi peningkatan pelayanan peradilan, Mahkamah Agung tegas menyatakan pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada pihak berperkara minimal 14 (empat belas hari) setelah putusan diucapkan. Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan tersebut, ketua pengadilan akan dikenai sanksi sebagaimana telah diatur dalam undang-undang terkait.
            Namun, pada tahun 2011, dilatari dengan beberapa pengaduan tentang sulitnya penyampaian salinan putusan, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 1 tahun 2011 yang mencabut SEMA No.2 tahun 2010. Ketentuan kewajiban “menyampaiakan” salinan putusan dirubah menjadi kewajiban “menyediakan” salinan putusan dalam tempo paling lambat 14 hari. SEMA inilah yang kemudian banyak dipedomani pengadilan untuk tidak menyampaiakan salinan putusan. Namun perlu digaris bawahi, SEMA adalah sebatas surat edaran yang tidak memiliki kekuatan mengikat.[10]
            Kebijakan terakhir lahir saat diterbitkannya SK KMA 026/KMA/SK/II/2012. Dalam angka IV huruf E keputusan ini, pengadilan diperintahakan mengirimkan salinan putusan, termasuk kepada pihak yang tidak hadir pada saat pembacaan putusan, paling lambat 14 hari setelah pembacaan putusan.
            Kebijakan terakhir ini, menurut hemat penulis adalah qaul jadid-nya Mahkamah Agung yang bersifat mengikat,[11] juga paling bersinergi dengan amanat undang-undang dan semangat peningkatan pelayanan peradilan.
Konklusi dan Tawaran Solusi
Benang merah yang dapat ditarik dari artikel ini adalah: penyampaian salinan putusan terhadap pihak berperkara, ditinjau dari amanat amanat pasal Pasal 52 Ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, pasal 64 A ayat (2) UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, SEMA No. 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan, SK KMA No. 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan, serta spirit peningkatan pelayanan peradilan, adalah wajib dilaksanakan.
Terkait tawaran solusi, penulis sangat sadar atas keterbatasan pengalaman dalam bidang administrasi peradilan.  Namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk menawarkan solusi teknis penyampaian yang sederhana, tidak ribet, juga tidak memberatkan.
Dari beberapa alternatif yang ada, penulis merekomendasikan satu alternatif terbaik: penyampaian salinan putusan kepada pihak berperkara dilakukan sesaat setelah putusan diucapkan. Khusus dalam perkara verstek, bagi pihak tergugat/termohon yang tidak hadir, salinan putusan disampaiakan bersamaan pemberitahuan isi putusan oleh jurusita/jurusita pengganti pengadilan agama. Mengenai pemungutan PNBP atas salinan putusan yang diatur dalam PP No. 53 tahun 2008, dapat ditaksir dan dibayarkan dalam panjar biaya perkara.
Alternatif ini tentunya hanya dapat dilaksanakan jika saat pengucapan putusan,  print-out putusan (putusan versi cetak) telah benar-benar siap.[12] Untuk  mendukung hal ini, tentunya majelis dituntut untuk mengubah “adat” agenda persidangan yang ada. Jika biasanya putusan diucapkan tanpa menunggu selesaianya putusan tertulis, maka demi “proyek luhur” ini, agenda persidangan diubah menjadi: pasca agenda kesimpulan para pihak, majelis menunda sidang untuk musyawarah majelis. Kesempatan inilah yang digunakan untuk musyawarah dan penyelesaian putusan tertulis, sehingga pada sidang pengucapan putusan, versi tertulis putusan benar-benar siap dan matang, salinannya pun sudah siap disampaikan. Hemat penulis, inilah idealitas persidangan.
Upaya menuju idealitas tersebut mungkin akan terasa sangat berat, jika sebatas diangan-angan. Namun sejatinya, jika dilakoni dengan dasar pengilhaman atas tugas dan tanggungjawab hakim, tentunya tidak akan menjadi persoalan berarti. Terlebih, jika tuntutan idealitas ini dikaitkan dengan kenaikan tunjangan hakim sebagaimana diatur dalam PP No. 94 tahun 2012, tentunya akan linear. Wallahu a’lam.(*)



Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2010, tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011, tentang Perubahan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012, tentang Standar Pelayanan Peradilan.




[1] Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri dan Peserta Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) Angkatan II MA-RI.
[2] Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut kektentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan, dikutip dari Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II) edisi revisi 2010.
[3] A. Mukti Arto, Kapita Selekta Hukum Acara Pengadilan Agama Tata Urutan Pemeriksaan Perkara Di Persidangan Melalui Pendekatan Yuridis Akademis, Bahan Diklat II Program PPC Terpadu Angkatan VII Peradilan Agama Seluruh Indonesia Tanggal 24 September sd 28 November 2012, Pusdiklat Badan Litbang Diklat Kumdil MA-RI di Mega Mendung, Bogor.
[4] Trubus Wahyudi, dalam artikel “independensi hakim, kode etik dan pedoman perilaku hakim, penegakan hukum dan keadilan, serta pengawasan masyarakat”.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 872.
[6]  Definisi ini penulis sarikan dari berbagai pendapat ahli hukum dan undang-undang yang ada.
[7] Pasal 62  Undang-undang No. 7 tahun 1989, lihat juga Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 242.
[8] Ibid, hlm. 310.
[9]  A. Mukti Arto, Kapita Selekta…hlm. 1.
[10]  Pendapat ini disampaikan oleh Harifin A. Tumpa, saat memberikan materi pada Pelatihan Mediato DIKLAT III Program dan Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu angkatan II MA-RI, Selasa, 09 Juli 2013.  
[11] Pasal 8 Ayat (2) Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[12]  Sesuai  instruksi SK KMA No. 5 tahun  1959 dan No. 1 tahun 1962.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar