PERANG KOMPETENSI
(Menyoal Carut-Marut Kewenangan Mengadili Perkara Waris
Islam)
Prolog
Anda masih sering menjumpai perkara waris Islam
diselesaikan di Pengadilan Negeri? dalam bentuk apa perkara tersebut diajukan?
perbuatan melawan hukumkah? Anda selama ini masih gamang dan bertanya-tanya: benarkah
waris Islam—apapun bentuk perkaranya—merupakan kewenangan mutlak Pengadilan
Agama? Atau, bisa jadi Pengadilan Negeri melalui “pasal sapu jagadnya” juga
berwenang memeriksa perkara tersebut?
Anda juga penasaran, apa hakikat perbuatan
melawan hukum itu? Benarkah perkara waris Islam dapat dikamuflasekan menjadi
perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri? Apakah mungkin, hakim dapat
memvonis seseorang sebagai pelawan hukum, sedangkan objek sengketa (tirkah) yang ia kuasai saja masih belum jelas
kepemilikannya, karena memang belum dibagi menurut hukum yang berlaku (baca:
Hukum Islam)?
Anda juga sangat ingin mengetahui, apakah
putusan waris Islam oleh Pengadilan Negeri itu merupakan akta otentik yang
berkekuatan hukum? Bukankah salah satu syarat akta otentik itu harus dibuat
oleh pejabat yang berwenang? Berwenangkah Pengadilan Negeri memeriksa dan
mengadili perkara tersebut? Lantas, jika ada perkara waris islam yang subjek,
objek, dan pokok sengketa telah diputus Pengadilan Negeri, kemudian diajukan
lagi ke Pengadilan Agama, apakah perkara tersebut nebis in idem? Atau tidak sama sekali?
Jika Anda memiliki kegelisahan
akademik sebagaimana tersebut di atas, berarti sama persis dengan Penulis. Sayangnya,
Penulis juga belum memperoleh jawaban yang sangat memuaskan atas carut-marut
kewenangan mengadili ini. Namun, dalam artikel ini Penulis berusaha menuangkan unek-unek yang mungkin dapat dijadikan bahan diskusi lanjutan, syukur jika
mencerahkan.
Historisitas
Perubahan besar peta kewenangan mengadili perkara
waris Islam terpatri oleh sejarah pada 20 Maret tahun 2006. Hal itu merupakan
konsekuensi konstitusional atas disahkannya Undang-undang No. 3 tahun 2006, tentang
perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penjelasan
umum Undang-undang No. 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pilihan hukum (choice of forum) dalam perkara waris
Islam sebagaimana diisyaratkan oleh penjelasan Undang-undang No. 7 tahun 1989 secara tegas telah dihapus.
Sebelumnya, meskipun dalam Pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 telah
menegaskan bahwa perkara waris Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama,
namun di sisi lain, berdasarkan Penjelasan umum Undang-undang a quo, masih terbuka peluang adanya
pilihan hukum. Namun dengan perubahan
peta kewenangan tersebut, jelas: semua perkara waris Islam mutlak
kewenangan Pengadilan Agama, tidak ada lagi pilihan hukum.
Konsekuensi
logisnya, semua ihwal yang terkait dengan kewarisan Islam, yakni: tentang penentuan ahli waris, penentuan harta
peninggalan (tirkah), penentuan
bagian masing-masing ahli waris serta pelaksanaan pembagian harta peninggalan[2], mutlak kewenangan Pengadilan Agama.
De Yure dan De Facto
Meski konstitusi telah mendaulat
Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang menyelesaikan
perkara waris Islam, namun realitas tak seperti idealitas. Pengaruh teori
receptie tampaknya masih terlalu tangguh.[3] Banyak
pihak yang tak rela jika Hukum Islam diberlakukan, meskipun bagi orang Islam
sendiri. Tak dapat dipungkiri, masih terlampau banyak perkara waris Islam tidak
diajukan di Pengadilan Agama, justru diajukan ke Pengadilan Negeri, yang nota
bene tidak menerapkan Hukum Islam.
Memang,
untuk perkara waris Islam murni (bukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum)
sudah sangat langka kita jumpai. Namun, perkara yang dikamuflasekan (jawa: diselimurkan)
ke dalam bentuk perbuatan melawan hukum, masih begitu mendiaspora bak cendawan
di musim hujan. Tak percaya? Silahkan cek pada direktori putusan Mahkamah
Agung.[4]
Sungguh, ini merupakan anomali tingkat tinggi.
Harus ada counter-attack
untuk kesenjangan antara de jure dan de facto ini. Disadari atau tidak, fenomena ini merupakan
penyelewengan atas amanat konstitusi. Inilah yang menjadi tanggungjawab kita
untuk meluruskannya, agar tercipta salah satu tujuan hukum: kepastian hukum (recht-secherheit)[5].
Tulisan ini ada, juga berusaha untuk mewujudkan cita itu.
Putusan
Waris Islam Oleh Pengadilan Negeri, Berkekuatan
Hukum?
Pasal
50 Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 62 Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menyatakan “tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh
ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang”. Atas
dasar inilah, putusan pengadilan merupakan sebuah okta otentik.
Sebagai
pengingat, definisi akta otentik menurut Burgerlijk Wetboek (BW) adalah suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.[6]
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) juga menyatakan akte otentik yaitu akte
yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang mengenai isi surat itu berkuasa
untuk membuatnya, dan pula berkuasa di tempat surat itu dibuat[7].
Dalam buku II juga ditegaskan bahwa akta otentik adalah
akta
yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, oleh penguasa
menurut ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh
yang berkepentingan.[8]
Benang merah dari beberapa
batas makna akta otentik tersebut di atas adalah: salah satu syarat akta
otentik adalah harus ditandatangani oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang? Pasal 1869 Burgerlijk Wetboek (BW) menjawab dengan
tegas: tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
Pertanyaan
besar selanjutnya adalah: Apakah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan menyelesaiakan perkara waris Islam? Jawabnya: ada dua kemungkinan:
Pertama:
jika perkara waris Islam itu diajukan ke Pengadilan Negeri dalam bentuk
perkara waris Islam murni (bukan kategori perbuatan melawan hukum), maka
Pengadilan Negeri secara konstitusional mutlak tidak berwenang mengadili
perkara tersebut. Karena menurut ketentuan Pasal 49 Undang-undang No.3 tahun
2006 tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, perkara waris Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
Kedua:
Jika perkara waris Islam itu diajukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum,
perlu kajian cermat untuk menjawabnya. Perbuatan Melawan
Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau Burgerlijk
Wetboek (BW), berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Dalam
menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan
4 syarat (alternatif) sebagai berikut:[9]
1.
Bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.
Bertentangan
dengan hak subjektif orang lain;
3.
Bertentangan
dengan kesusilaan;
4.
Bertentangan
dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
Dalam konteks waris,
kategori perbuatan melawan hukum tentu erat berkaitan dengan perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Lantas
bagaimana cara untuk mengetahui bahwa sebuah perbuatan itu dapat
dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum atau tidak? tentu harus
diketahui terlebih dahulu posisi atau status subjek dan objek yang
disengketakan. Dalam konteks waris: harus diketahui dahulu siapa yang berhak
mewarisi, status harta peninggalan (tirkah),
serta penentuan bagian ahli waris.[10]
Lantas, apakah Pengadilan
Negeri, sebelum menyatakan bahwa perbuatan seseorang telah melawan hukum juga telah menetapkan status subjek dan objek
waris yang disengketakan itu?
Jika kita cermati,
rata-rata putusan Pengadilan Negeri telah menetapakan status subjek dan objek
sengketa, sebelum menyatakan perbuatan seseorang melawan hukum. Berikut salah
satu contoh amar putusan Pengadilan Negeri dalam perkara waris Islam yang
diajukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum :
M E N G A D I L I
1.
Mengabulkan
gugatan para Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan
objek sengketa (…….) merupakan peninggalan/warisan Almarhumah (Hj (Hajah…….)
3.
Menyatakan
bahwa Penggugat I sampai dengan Penggugat XII (Para Penggugat) adalah sebagai
ahli waris Almarhumah (Hj………) yang berhak mewarisi objek sengketa (……….)
4.
Menyatakan
bahwa Tergugat I sampai dengan Tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum
5. Dst.
Dari contoh amar di
atas, jelas bahwa Pengadilan Negeri telah mentukan siapa yang berhak mewarisi
(amar poin 3) dan harta apa yang menjadi harta warisan (amar poin 2), sehingga perbuatan Para
Tergugat dapat diketahui dan dinyatakan ke dalam perbuatan melawan hukum.
Pertanyannya adalah: apakah Pengadilan Negeri berwenang menentukan amar poin 2
dan poin 3 tersebut? Bukankah ini perkara waris Islam? Bukankah yang berhak
secara konstitusi untuk menentukan “siapa dan apa” dalam perkara a quo adalah Pengadilan Agama?
Dari kajian di atas
dapat diambil kesimpulan: meskipun perkara waris Islam diajukan ke Pengadilan
Negeri dalam bentuk perkara perbuatan melawan hukum, namun realitas jamaknya, hakim
juga sekaligus menentukan status kewarisannya (lihat amar di atas). Jika seperti ini adanya, maka Pengadilan
Negeri tetaplah bukan pihak yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
menyelesaiakan perkara tersebut.[11]
Oleh karena putusan
tersebut tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang, maka putusan tersebut tidak
memenuhi salah satu syarat pembentukan akta otentik. Oleh karena syarat
pembentukan akta otentik tidak terpenuhi, maka putusan tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai akta otentik. Konsekuensinya: putusan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum: baik itu kekuatan pembuktian formil, pembuktian
materiil, maupun pembuktian mengikat).
Tak
Ada Nebis in Idem
Belakangan ini, terdapat beberapa perkara waris Islam yang telah
diputus oleh pengadilan pada lingkungan Peradilan Umum, bahkan telah
berkekuatan hukum tetap (incracht),
namun diajukan lagi dengan subjek dan objek yang sama ke pengadilan pada
lingkungan Peradilan Agama. Tentang motifnya, tidak perlu kita bahas di sini.
Hal urgen yang perlu kita kaji adalah: nebis
in idem kah jika Pengadilan Agama mengadili ulang perkara tersebut?
Penulis berpendapat: tidak ada nebis
in idem atas pekara waris Islam yang telah diadili oleh Pengadilan
Negeri. Mengapa? Kembali pada pembahasan sebelumnya, putusan dari Pengadilan
Negeri tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formil, materiil, maupun kekuatan
pembuktian mengikat. Oleh karena itu, perkara tersebut terlahir kembali sebagai
perkara yang benar-benar baru dan harus diadili ulang.
Putusan Pencerah
Penulis
sangat respect terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung dalam perkara waris
Islam Nomor 1398 K/Pdt/2009. Mungkin ini merupakan satu dari beberapa putusan
jenius yang pantas kita apresiasi. Putusan tersebut mengabulkan permohonan
Pemohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor
645/PDT/2008/PT.Sby. yang nota bene putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jember No. 21/Pdt.G/2008/PN.Jr.
Dalam pertimbangannya, Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.SC.,
sebagai Hakim Ketua dan H. Dirwoto, S.H. dan H. Muhammad Taufik, S.H., M.H.
Sebagai hakim anggota berpendapat bahwa
alasan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, karena judex facti
telah salah dalam penerapan hukum. Yaitu: bahwa dalam perkara a quo terdapat
masalah warisan yang berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Tahun 2006 merupakan
kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo.
Putusan
tersebut seyogyanya menjadi patron bagi seluruh pengadilan tingkat pertama dan
banding dalam lingkungan Peradilan Umum, agar mengindahkan asas personalitas
ke-Islaman dalam menangani setiap perkara. Dengan mematuhi batas kewenangan
masing-masing pengadilan, hal itu berarti turut menegakkan amanat konstitusi serta turut memperjuangkan salah satu tujuan
hukum: kepastian.
Epilog
Terhitung
sejak disahkannya Undang-undang No. 3 tahun 2006, tentang perubahan atas
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak ada lagi pilihan
hukum (choice of forum) dalam perkara
waris Islam. Pengadilan Agama merupakan satu-satunya institusi yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan menyelesaiakan perkara tersebut.
Pada tataran
de facto, amanat konstitusi tersebut
tidak berjalan mulus sebagaimana de yure.
Pengaruh teori receptie masih mengakar begitu kuat, sehingga masih
terlampau banyak perkara waris Islam tidak diselesaikan dengan Hukum Islam di
Pengadilan Agama, justru diselesaiakan di Pengadilan Negeri yang nota bene
tidak menerapkan Hukum Islam. Untuk mengelabuhi amanat konstitusi, perkara
waris Islam jamaknya diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dikamuflasekan dalam
bentuk perbuatan melawan hukum.
Putusan
waris Islam oleh Pengadilan Negeri tidak layak disebut sebagai akta otentik,
karena tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu,
ia tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga, jika sebuah perkara waris Islam yang
telah incracht oleh Putusan
Pengadilan Negeri kemudiaan diajukaan lagi ke Pengadilan Agama, maka perkara
tersebut tidak nebis in idem.
Seluruh badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung wajib mematuhi dan mengindahkan batas kewenangan masing-masing.
Dengan demikian, kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat
terbumikan. Semoga. Wallah a’lam bi ash-showab.
Daftar
Pustaka
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Rosa Agustina, Perbuatan
Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003.
Sayuti
Thalib, Receptio a Contrario (Jakarta: Pura Aksara, 1982).
Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie);
Herzien
Inlandsch Reglement;
Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II.
Putusan Nomor 1398 K/Pdt/2009.
Putusan Nomor 645/PDT/2008/PT.Sby.
Putusan Nomor
21/Pdt.G/2008/PN.Jr.
[1] Calon Hakim
Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama
Kab. Kediri
[2] Penjelasan
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
[3] Teori receptie mengatakan, “Sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli.
Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum Islam. Pengaruh Hukum Islam
itu baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat dan
dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan sebagai Hukum Islam.”, Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (Jakarta: Pura Aksara, 1982) hlm. 5.
[5] Salah satu tujuan hukum adalah
kepastian hukum, di samping keadilan dan kemanfaatan, lihat Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana:
Jakarta, 2012), hlm. 290.
[8] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama, Buku II, hlm. 102.
[9] Rosa
Agustina, Perbuatan Melawan
Hukum (Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), hlm. 117;
[10] Penjelasan Pasal 49 Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan penentuan status kewarisan waris Islam
merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
[11] Idealnya, jika perkara waris Islam masuk ke
Pengadilan Negeri dalam bentuk perbuatan melawan hukum, tunda dulu pemeriksaan
perkara tersebut, hingga ada putusan/penetapan dari Pengadilan Agama terkait status
kewarisan. Jika status kewarisannya telah jelas, maka Pengadilan Negeri dapat
menentukan apakah perbuatan Tergugat dapat dinyatakan perbuatan melawan hukum
atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar