Rabu, 26 Maret 2014

Kompetensi Peradilan

PERANG KOMPETENSI
(Menyoal Carut-Marut Kewenangan Mengadili Perkara Waris Islam)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Prolog
            Anda masih sering menjumpai perkara waris Islam diselesaikan di Pengadilan Negeri? dalam bentuk apa perkara tersebut diajukan? perbuatan melawan hukumkah? Anda selama ini masih gamang dan bertanya-tanya: benarkah waris Islam—apapun bentuk perkaranya—merupakan kewenangan mutlak Pengadilan Agama? Atau, bisa jadi Pengadilan Negeri melalui “pasal sapu jagadnya” juga berwenang memeriksa perkara tersebut?
            Anda juga penasaran, apa hakikat perbuatan melawan hukum itu? Benarkah perkara waris Islam dapat dikamuflasekan menjadi perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri? Apakah mungkin, hakim dapat memvonis seseorang sebagai pelawan hukum, sedangkan objek sengketa (tirkah) yang ia kuasai saja masih belum jelas kepemilikannya, karena memang belum dibagi menurut hukum yang berlaku (baca: Hukum Islam)?
            Anda juga sangat ingin mengetahui, apakah putusan waris Islam oleh Pengadilan Negeri itu merupakan akta otentik yang berkekuatan hukum? Bukankah salah satu syarat akta otentik itu harus dibuat oleh pejabat yang berwenang? Berwenangkah Pengadilan Negeri memeriksa dan mengadili perkara tersebut? Lantas, jika ada perkara waris islam yang subjek, objek, dan pokok sengketa telah diputus Pengadilan Negeri, kemudian diajukan lagi ke Pengadilan Agama, apakah perkara tersebut nebis in idem? Atau tidak sama sekali?
            Jika Anda memiliki kegelisahan akademik sebagaimana tersebut di atas, berarti sama persis dengan Penulis. Sayangnya, Penulis juga belum memperoleh jawaban yang sangat memuaskan atas carut-marut kewenangan mengadili ini. Namun, dalam artikel ini Penulis berusaha menuangkan unek-unek yang mungkin dapat  dijadikan bahan diskusi lanjutan, syukur jika mencerahkan.
Historisitas
            Perubahan besar peta kewenangan mengadili perkara waris Islam terpatri oleh sejarah pada 20 Maret tahun 2006. Hal itu merupakan konsekuensi konstitusional atas disahkannya Undang-undang No. 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penjelasan umum Undang-undang No. 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pilihan hukum (choice of forum) dalam perkara waris Islam sebagaimana diisyaratkan oleh penjelasan Undang-undang No. 7 tahun 1989 secara tegas telah dihapus.
Sebelumnya, meskipun dalam Pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 telah menegaskan bahwa perkara waris Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama, namun di sisi lain, berdasarkan Penjelasan umum Undang-undang a quo, masih terbuka peluang adanya pilihan hukum. Namun dengan perubahan  peta kewenangan tersebut, jelas: semua perkara waris Islam mutlak kewenangan Pengadilan Agama, tidak ada lagi pilihan hukum.
Konsekuensi logisnya, semua ihwal yang terkait dengan kewarisan Islam, yakni: tentang penentuan ahli waris, penentuan harta peninggalan (tirkah), penentuan bagian masing-masing ahli waris serta pelaksanaan pembagian harta peninggalan[2], mutlak kewenangan Pengadilan Agama.
De Yure dan De Facto
Meski konstitusi telah mendaulat Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang menyelesaikan perkara waris Islam, namun realitas tak seperti idealitas. Pengaruh teori receptie tampaknya masih terlalu tangguh.[3] Banyak pihak yang tak rela jika Hukum Islam diberlakukan, meskipun bagi orang Islam sendiri. Tak dapat dipungkiri, masih terlampau banyak perkara waris Islam tidak diajukan di Pengadilan Agama, justru diajukan ke Pengadilan Negeri, yang nota bene tidak menerapkan Hukum Islam.
            Memang, untuk perkara waris Islam murni (bukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum) sudah sangat langka kita jumpai. Namun, perkara yang dikamuflasekan (jawa: diselimurkan) ke dalam bentuk perbuatan melawan hukum, masih begitu mendiaspora bak cendawan di musim hujan. Tak percaya? Silahkan cek pada direktori putusan Mahkamah Agung.[4] Sungguh, ini merupakan anomali tingkat tinggi.
Harus ada counter-attack untuk kesenjangan antara de jure dan de facto ini. Disadari  atau tidak, fenomena ini merupakan penyelewengan atas amanat konstitusi. Inilah yang menjadi tanggungjawab kita untuk meluruskannya, agar tercipta salah satu tujuan hukum: kepastian hukum (recht-secherheit)[5]. Tulisan ini ada, juga berusaha untuk mewujudkan cita itu.
Putusan  Waris Islam Oleh Pengadilan Negeri, Berkekuatan Hukum?
Pasal 50 Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 62  Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan “tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang”. Atas dasar inilah, putusan pengadilan merupakan sebuah okta otentik.
Sebagai pengingat, definisi akta otentik menurut Burgerlijk Wetboek (BW) adalah  suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.[6] Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) juga menyatakan akte otentik yaitu akte yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang mengenai isi surat itu berkuasa untuk membuatnya, dan pula berkuasa di tempat surat itu dibuat[7]. Dalam buku II juga ditegaskan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, oleh penguasa menurut ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.[8]
Benang merah dari beberapa batas makna akta otentik tersebut di atas adalah: salah satu syarat akta otentik adalah harus ditandatangani oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang? Pasal 1869 Burgerlijk Wetboek (BW) menjawab dengan tegas: tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
            Pertanyaan besar selanjutnya adalah: Apakah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaiakan perkara waris Islam?  Jawabnya: ada dua kemungkinan:
            Pertama: jika perkara waris Islam itu diajukan ke Pengadilan Negeri dalam bentuk perkara waris Islam murni (bukan kategori perbuatan melawan hukum), maka Pengadilan Negeri secara konstitusional mutlak tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Karena menurut ketentuan Pasal 49 Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perkara waris Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
            Kedua: Jika perkara waris Islam itu diajukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum, perlu kajian cermat untuk menjawabnya. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW), berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
            Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat (alternatif) sebagai berikut:[9]
1.        Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2.        Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3.        Bertentangan dengan kesusilaan;
4.        Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian.
Dalam konteks waris, kategori perbuatan melawan hukum tentu erat berkaitan dengan perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Lantas bagaimana cara untuk mengetahui bahwa sebuah perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum atau tidak? tentu harus diketahui terlebih dahulu posisi atau status subjek dan objek yang disengketakan. Dalam konteks waris: harus diketahui dahulu siapa yang berhak mewarisi, status harta peninggalan (tirkah), serta penentuan bagian ahli waris.[10]
Lantas, apakah Pengadilan Negeri, sebelum menyatakan bahwa perbuatan seseorang telah melawan hukum  juga telah menetapkan status subjek dan objek waris yang disengketakan itu?
Jika kita cermati, rata-rata putusan Pengadilan Negeri telah menetapakan status subjek dan objek sengketa, sebelum menyatakan perbuatan seseorang melawan hukum. Berikut salah satu contoh amar putusan Pengadilan Negeri dalam perkara waris Islam yang diajukan dalam bentuk perbuatan melawan hukum :
M E N G A D I L I

1.      Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
2.      Menyatakan objek sengketa (…….) merupakan peninggalan/warisan Almarhumah (Hj (Hajah…….)
3.      Menyatakan bahwa Penggugat I sampai dengan Penggugat XII (Para Penggugat) adalah sebagai ahli waris Almarhumah (Hj………) yang berhak mewarisi objek sengketa (……….)
4.      Menyatakan bahwa Tergugat I sampai dengan Tergugat IV telah melakukan perbuatan melawan hukum
5.      Dst.

Dari contoh amar di atas, jelas bahwa Pengadilan Negeri telah mentukan siapa yang berhak mewarisi (amar poin 3) dan harta apa yang menjadi harta warisan  (amar poin 2), sehingga perbuatan Para Tergugat dapat diketahui dan dinyatakan ke dalam perbuatan melawan hukum. Pertanyannya adalah: apakah Pengadilan Negeri berwenang menentukan amar poin 2 dan poin 3 tersebut? Bukankah ini perkara waris Islam? Bukankah yang berhak secara konstitusi untuk menentukan “siapa dan apa” dalam perkara a quo adalah Pengadilan Agama?
Dari kajian di atas dapat diambil kesimpulan: meskipun perkara waris Islam diajukan ke Pengadilan Negeri dalam bentuk perkara perbuatan melawan hukum, namun realitas jamaknya, hakim juga sekaligus menentukan status kewarisannya (lihat amar di atas).  Jika seperti ini adanya, maka Pengadilan Negeri tetaplah bukan pihak yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaiakan perkara tersebut.[11] 
Oleh karena putusan tersebut tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang, maka putusan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat pembentukan akta otentik. Oleh karena syarat pembentukan akta otentik tidak terpenuhi, maka putusan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai akta otentik. Konsekuensinya: putusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum: baik itu kekuatan pembuktian formil, pembuktian materiil, maupun pembuktian mengikat).
Tak Ada Nebis in Idem
Belakangan ini, terdapat beberapa perkara waris Islam yang telah diputus oleh pengadilan pada lingkungan Peradilan Umum, bahkan telah berkekuatan hukum tetap (incracht), namun diajukan lagi dengan subjek dan objek yang sama ke pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama. Tentang motifnya, tidak perlu kita bahas di sini. Hal urgen yang perlu kita kaji adalah: nebis in idem kah jika Pengadilan Agama mengadili ulang perkara tersebut?
Penulis berpendapat: tidak ada nebis in idem atas pekara waris Islam yang telah diadili oleh Pengadilan Negeri. Mengapa? Kembali pada pembahasan sebelumnya, putusan dari Pengadilan Negeri tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formil, materiil, maupun kekuatan pembuktian mengikat. Oleh karena itu, perkara tersebut terlahir kembali sebagai perkara yang benar-benar baru dan harus diadili ulang.
Putusan Pencerah
            Penulis sangat respect terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung dalam perkara waris Islam Nomor 1398 K/Pdt/2009. Mungkin ini merupakan satu dari beberapa putusan jenius yang pantas kita apresiasi. Putusan tersebut mengabulkan permohonan Pemohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 645/PDT/2008/PT.Sby. yang nota bene putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jember No. 21/Pdt.G/2008/PN.Jr.
Dalam pertimbangannya, Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.SC., sebagai Hakim Ketua dan H. Dirwoto, S.H. dan H. Muhammad Taufik, S.H., M.H. Sebagai hakim anggota berpendapat bahwa  alasan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, karena judex facti telah salah dalam penerapan hukum. Yaitu: bahwa dalam perkara a quo terdapat masalah warisan yang berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Tahun 2006 merupakan kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo.
Putusan tersebut seyogyanya menjadi patron bagi seluruh pengadilan tingkat pertama dan banding dalam lingkungan Peradilan Umum, agar mengindahkan asas personalitas ke-Islaman dalam menangani setiap perkara. Dengan mematuhi batas kewenangan masing-masing pengadilan, hal itu berarti turut menegakkan amanat konstitusi  serta turut memperjuangkan salah satu tujuan hukum: kepastian.
Epilog
Terhitung sejak disahkannya Undang-undang No. 3 tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidak ada lagi pilihan hukum (choice of forum) dalam perkara waris Islam. Pengadilan Agama merupakan satu-satunya institusi yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaiakan perkara tersebut.
Pada tataran de facto, amanat konstitusi tersebut tidak berjalan mulus sebagaimana de yure. Pengaruh teori receptie masih mengakar begitu kuat, sehingga masih terlampau banyak perkara waris Islam tidak diselesaikan dengan Hukum Islam di Pengadilan Agama, justru diselesaiakan di Pengadilan Negeri yang nota bene tidak menerapkan Hukum Islam. Untuk mengelabuhi amanat konstitusi, perkara waris Islam jamaknya diajukan ke Pengadilan Negeri dengan dikamuflasekan dalam bentuk perbuatan melawan hukum.
Putusan waris Islam oleh Pengadilan Negeri tidak layak disebut sebagai akta otentik, karena tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, ia tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga, jika sebuah perkara waris Islam yang telah incracht oleh Putusan Pengadilan Negeri kemudiaan diajukaan lagi ke Pengadilan Agama, maka perkara tersebut tidak nebis in idem.
Seluruh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung wajib mematuhi dan mengindahkan batas kewenangan masing-masing. Dengan demikian, kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat terbumikan. Semoga. Wallah a’lam bi ash-showab.



Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003.
Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (Jakarta: Pura Aksara, 1982).
Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie);
Herzien Inlandsch Reglement;
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II.
Putusan Nomor 1398 K/Pdt/2009.
Putusan Nomor 645/PDT/2008/PT.Sby.
Putusan Nomor  21/Pdt.G/2008/PN.Jr.





[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri
[2]  Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas   Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[3] Teori receptie mengatakan, “Sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Hukum Adat ini memang telah masuk pengaruh Hukum Islam. Pengaruh Hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan sebagai Hukum Islam.”, Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (Jakarta: Pura Aksara, 1982) hlm. 5.
[4] Dapat diakses melaui situs http://putusan.mahkamahagung.go.id
[5] Salah satu tujuan hukum adalah kepastian hukum, di samping keadilan dan kemanfaatan, lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012), hlm. 290.
[6] Pasal 1868, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie);
[7] Pasal 165 Herzien Inlandsch Reglement;
[8] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, hlm. 102.
[9] Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003), hlm. 117;  
[10] Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, tentang perubahan pertama atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan penentuan status kewarisan waris Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
[11] Idealnya, jika perkara waris Islam masuk ke Pengadilan Negeri dalam bentuk perbuatan melawan hukum, tunda dulu pemeriksaan perkara tersebut, hingga ada putusan/penetapan dari Pengadilan Agama terkait status kewarisan. Jika status kewarisannya telah jelas, maka Pengadilan Negeri dapat menentukan apakah perbuatan Tergugat dapat dinyatakan perbuatan melawan hukum atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar