Rabu, 26 Maret 2014

Hukum Formil

Menyoal Kecakapan Saksi Buruh dari Pihak Berperkara
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Sekapur Sirih
Beberapa literatur menegaskan bahwa orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara tidak cakap menjadi saksi.[2] Artinya: buruh/pembantu/karyawan dilarang memberikan kesaksian bagi majikan atu bosnya. Alasannya, dikhawatirkan mempengaruhi objektifitas.
Realitasnya, dalam perkara perceraian, seringkali buruh/pembantu/karyawan menjadi saksi kunci. Karena merekalah yang mengetahui perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus dalam sebuah hubungan suami-isteri. Sehingga, wajar jika sering kita jumpai mereka menjadi saksi dalam perkara perceraian (khususnya dengan alasan pasal 19 f). Ini jamak terjadi.
Pertanyaan yang muncul adalah: benarkah orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara merupakan orang yang dilarang menjadi saksi bagi majikan atau bosnya? Jika benar, apa dasar hukumnya? Lantas bagaimana dengan perkara perceraian yang seringkali menempatkan mereka sebagai saksi kunci?
Kekuatan Bukti Saksi: Bebas
            Dalam Pasal 1906 KUH Perdata ditegaskan bukti saksi memiliki kekuatan bebas (vrijbewijsk-racht).[3] Artinya: hakim bebas menilai kekuatan pembuktiannya. Dalam menilai kesaksian tersebut, hakim berpedoman pada beberapa hal yang telah diatur undang-undang:
a)      Memperhatikan kesesuaian keterangan saksi dengan saksi lain (171 H.I.R/309 R.Bg)
b)     Kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri dari beberapa orang dapat menguatkan suatu perkara tertentu, diserahkan kepada hakim untuk menilainya (Pasal 170 H.I.R./307 R.Bg.)
c)      Memperhatikan rekam jejak saksi, misalnya cara hidup, adat istiadat, nilai-nilai, hubungan interpersonal dengan anggota masyarakat (Pasal 172 H.I.R./309 R.Bg).[4]
d)     Memperhatikan hubungan kerja saksi dengan pihak berperkara, apakah saksi menerima gaji atau upah dari pihak berperkara atau tidak (Pasal 144 H.I.R./171 R.Bg.)
Bebasnya nilai kekuatan bukti saksi tidak terlepas dari kemungkinan tidak dipercayanya (unreliable) keterangan saksi. Saksi memiliki potensi bohong, menambah dan atau mengurangi fakta, tidak akurat, tidak netral dan tidak objektif.[5] Oleh karena itu, sudah tepat jika kekuatan pembuktian saksi bersifat bebas, terserah penilaian hakim.
Jadi, alasan dilarangnya buruh/pembantu/karyawan untuk memberikan kesaksian karena alasan netralitas dan objektifitas sebenarnya kurang berdasar; karena seluruh saksi berpotensi tidak netral dan tidak objektif.
Lantas, apakah memang ada aturan perundangan tertentu yang melarang buruh/pembantu/karyawan untuk bersaksi?
Orang yang Dilarang Menjadi Saksi
Pada prinsipnya, setiap orang cakap menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Pasal 145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan beberapa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah sebagai berikut:
a.      Pasal 145 H.I.R. menyatakan saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan 4)  Orang gila meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang;
b.      Pasal 172 R.Bg. ayat (1) menerangkan mereka yang tidak boleh menjadi saksi adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak, 2) Saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara  perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjaang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu, 3) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai, 4) Anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun, 5) Orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.
c.       Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: 1) Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus, dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Selain kelompok yang dilarang menjadi saksi, ada juga kelompok yang memiliki hak pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai saksi, tetapi  mereka menyatakan kesiapannya untuk bersaksi, tetap dapat didengar keterangannya.[6] Kelompok orang  yang memiliki hak pengunduran  diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174 R.Bg., mereka adalah:
1)                            Saudara laki-laki dan saudara perempuan serta ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.
2)                            Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak.
3)                            Semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.
            Sedangkan saksi yang menerima gaji atau upah dari salah satu pihak berperkara (buruh/pembantu/karyawan) sama sekali tidak disinggung, baik dalam pasal tentang siapa yang dilarang menjadi saksi maupun pasal tentang siapa yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi.
Buruh Tetap Cakap Menjadi Saksi
Pasal 145 H.I.R/172 R.Bg dan 1910 KUH Perdata sudah sangat tegas mendeskripsikan pihak-pihak yang dilarang secara absolut untuk menjadi saksi. Buruh/pembantu/karyawan tidaklah termasuk orang yang dilarang tersebut. Konsekuensinya: mereka secara formil tetap cakap untuk memberikan kesaksian bagi majikan atau bosnya, termasuk dalam perkara perceraian.
Tentang pihak yang menerima gaji atau upah dari salah satu pihak berperkara justeru disinggung dalam pasal 144 H.I.R/171 R.Bg,[7] yang menurut M. Yahya Harahap, justeru pasal tersebut menguhkan bahwa buruh/pembantu/karyawan secara formil cakap menjadi saksi.[8] Pasal tersebut menerangkan tentang tatacara pemeriksaan saksi. Yakni, hakim harus memeriksa nama, pekerjaan, umur dan tempat diam atau tempat tinggal saksi, juga memeriksa apakah saksi itu keluarga sedarah, atau berkeluarga semenda dengan kedua belah pihak atau salah satu pihak berperkara, dan juga memeriksa apakah saksi makan gaji dari salah satu pihak berperkara.    
Pemeriksaan identitas (nama, pekerjaan, umur, serta tempat tinggal) tersebut bertujuan untuk merekam data saksi, sebagai bentuk pertanggungjawaban serta sebagai dokumen jika suatu saat majelis hakim membutuhkan untuk menghadirkan ulang saksi. Adapun pemeriksaan hubungan darah berfungsi untuk mengetahui apakah saksi merupakan keluarga sedarah dari pihak berperkara, sehingga ia dilarang untuk bersaksi. Sementara itu, pemeriksaan hubungan semenda berguna untuk mengetahui apakah saksi tersebut adalah keluarga semenda dari pihak, sehingga ia berhak mengundurkan diri dari saksi. Sedangkan pemeriksaan hubungan penerimaan gaji dari salah satu pihak berperkara, bertujuan untuk memberikan bahan pertimbangan majelis hakim, apakah nantinya keterangan saksi tersebut subjektif dan tidak proporsional atau tetap objektif dan proporsional, sehingga majelis hakim dapat menentukan apakah keterangan saksi tersebut dapat diterima sebagai alat bukti atau tidak.
Intinya: orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara secara formil tetap cakap menjadi saksi, termasuk dalam pekara perceraian--khususnya dengan alasan pasal 19 f. Bahkan,  seringkali  buruh, pembantu, atau karyawan diposisikan sebagai saksi kunci karena merekalah orang dekat yang mengetahui adanya pertengkaran terus-menerus dalam sebuah hubungan suami isteri.
Namun, hal yang wajib menjadi catatan adalah: hakim harus lebih jeli dan cerdas menilai keterangan mereka. Objektifitas, proporsionalitas, serta ada atau tidaknya keberatan dan bantahan dari pihak lawan juga harus menjadi pertimbangan tersendiri dalam menilai keterangan saksi buruh/pembantu/karyawan salah satu pihak berperkara.
Penutup
Orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara (buruh/pembantu/karyawan), menurut pasal 145 H.I.R. dan 172 R.Bg. dan 1910 KUH Perdata bukanlah orang yang dilarang menjadi saksi bagi majikan atau bosnya. Artinya: secara formil, mereka tetap cakap memberikan kesaksian, termasuk dalam perkara perceraian.
Namun, hal yang perlu dicatat adalah: majelis hakim harus lebih jeli dan cerdas dalam mempertimbangkan kesaksian mereka. Apakah unsur-unsur subjektifitas dan unproporsionalitas turut menyertai kesaksian tersebut atau tidak, sehingga majelis hakim dapat mempertimbangkan dengan benar; apakah keterangan mereka dapat diterima atau harus dikesampingkan.

DAFTAR PUSTAKA
 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet. VIII,Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008).
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UII Press: yogyakarta, 2013.
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010. 
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V, Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Herzien Inlandsch Reglement.
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten.






[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri.
[2]  A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 165.  Lihat juga, Alat Bukti Saksi dalam http://lawfile.blogspot.com/2011/07/alat-bukti-saksi.html, yang bersumber dari  Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (PT. Citra Aditya Bakti Bandung,  2009)

[3]  Pasal 1906 KUH Perdata berbunyi: “Jika kesaksian-kesaksian berbagai orang mengenai berbagai peristiwa terlepas satu sama lain, dan masing-masing berdiri sendiri, namun menguatkan suatu peristiwa tertentu karena mempunyai kesesuaian dan hubungan satu sama lain, maka Hakim, menurut keadaan, bebas untuk memberikan kekuatan pembuktian kepada kesaksian-kesaksian yang berdiri sendiri itu”. Lihat: Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V (Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013) hlm. 177.

[4] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia (UII Press: yogyakarta, 2013), hlm. 27, lihat juga: A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan  Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 66.

[5]  M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 625. 
[6] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata hlm. 639. 
[7] Pasal 144 H.I.R. berbunyi: “Saksi yang menghadap pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang. Ketua menanya namanya, pekerjaannya, umurnya dan tempat diam atau tinggalnya, lagi pula apakah mereka itu berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah satu dari padanya, atau karena berkeluarga semenda, dan jika ada, berapa pupu, dan apakah mereka makan gajih atau jadi bujang pada salah satu pihak. Pasal 171 R.Bg. berbunyi: “(1) Saksi-saksi yang telah datang menghadap, dipanggil satu per satu untuk masuk ruangan sidang. (2) Ketua menanyakan mereka mengenai nama, pekerjaan, umur dan tempat tinggal atau tempat kediamannya, begitu juga apakah mereka mempunyai hubungan kekeluargaan karena sedarah atau karena perkawinan dengan para pihak atau salah satu pihak, dan jika ya, dalam derajat ke berapa serta pula apakah mereka merupakan buruh atau pembantu rumah tangga mereka. (Rv. 177; IR. 144)
[8]  M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...hlm. 641.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar