Menyoal Kecakapan
Saksi Buruh dari Pihak Berperkara
Sekapur
Sirih
Beberapa literatur menegaskan
bahwa orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara tidak cakap
menjadi saksi.[2]
Artinya: buruh/pembantu/karyawan dilarang memberikan kesaksian bagi majikan atu
bosnya. Alasannya, dikhawatirkan mempengaruhi objektifitas.
Realitasnya, dalam
perkara perceraian, seringkali buruh/pembantu/karyawan menjadi saksi kunci.
Karena merekalah yang mengetahui perselisihan dan pertengkaran secara terus
menerus dalam sebuah hubungan suami-isteri. Sehingga, wajar jika sering kita
jumpai mereka menjadi saksi dalam perkara perceraian (khususnya dengan alasan
pasal 19 f). Ini jamak terjadi.
Pertanyaan yang
muncul adalah: benarkah orang yang menerima gaji dari salah satu pihak
berperkara merupakan orang yang dilarang menjadi saksi bagi majikan atau bosnya?
Jika benar, apa dasar hukumnya? Lantas bagaimana dengan perkara perceraian yang
seringkali menempatkan mereka sebagai saksi kunci?
Kekuatan
Bukti Saksi: Bebas
Dalam Pasal 1906
KUH Perdata ditegaskan bukti saksi
memiliki kekuatan bebas (vrijbewijsk-racht).[3] Artinya: hakim bebas menilai kekuatan pembuktiannya.
Dalam menilai kesaksian tersebut, hakim berpedoman pada beberapa hal yang telah
diatur undang-undang:
a)
Memperhatikan
kesesuaian keterangan saksi dengan saksi lain (171 H.I.R/309 R.Bg)
b) Kesaksian yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri dari
beberapa orang dapat menguatkan suatu perkara tertentu, diserahkan kepada hakim
untuk menilainya (Pasal 170 H.I.R./307 R.Bg.)
c) Memperhatikan rekam jejak saksi, misalnya cara hidup,
adat istiadat, nilai-nilai, hubungan interpersonal dengan anggota masyarakat
(Pasal 172 H.I.R./309 R.Bg).[4]
d)
Memperhatikan
hubungan kerja saksi dengan pihak berperkara, apakah saksi menerima gaji atau
upah dari pihak berperkara atau tidak (Pasal 144 H.I.R./171 R.Bg.)
Bebasnya nilai
kekuatan bukti saksi tidak terlepas dari kemungkinan tidak dipercayanya (unreliable) keterangan saksi. Saksi
memiliki potensi bohong, menambah dan atau mengurangi fakta, tidak akurat,
tidak netral dan tidak objektif.[5]
Oleh karena itu, sudah tepat jika kekuatan pembuktian saksi bersifat bebas,
terserah penilaian hakim.
Jadi, alasan
dilarangnya buruh/pembantu/karyawan untuk memberikan kesaksian karena alasan
netralitas dan objektifitas sebenarnya kurang berdasar; karena seluruh saksi
berpotensi tidak netral dan tidak objektif.
Lantas, apakah
memang ada aturan perundangan tertentu yang melarang buruh/pembantu/karyawan
untuk bersaksi?
Orang
yang Dilarang Menjadi Saksi
Pada
prinsipnya, setiap orang cakap menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan
tidak cakap oleh undang-undang. Pasal 145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910
KUH Perdata menyatakan beberapa orang yang tidak cakap didengar keterangannya
adalah sebagai berikut:
a.
Pasal 145 H.I.R.
menyatakan saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah
satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu
pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar
apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan 4)
Orang gila meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang;
b.
Pasal 172 R.Bg. ayat
(1) menerangkan mereka yang tidak boleh menjadi saksi adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan
salah satu pihak, 2) Saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan
anak-anak dari saudara perempuan di
daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjaang hukum waris di sana
mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu, 3) suami atau istri salah satu pihak,
juga setelah mereka bercerai, 4) Anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah
berumur lima belas tahun, 5) Orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat
menggunakan pikirannya dengan baik.
c.
Pasal 1910 KUH Perdata
menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: 1)
Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus,
dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Selain kelompok yang dilarang menjadi saksi, ada
juga kelompok yang memiliki hak pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai
saksi, tetapi mereka menyatakan
kesiapannya untuk bersaksi, tetap dapat didengar keterangannya.[6] Kelompok orang
yang memiliki hak pengunduran
diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174 R.Bg., mereka adalah:
1)
Saudara
laki-laki dan saudara perempuan serta ipar laki-laki dan ipar perempuan dari
salah satu pihak.
2)
Keluarga
sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari
laki atau isteri salah satu pihak.
3)
Semua
orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan
menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang
dipercayakan padanya.
Sedangkan saksi
yang menerima gaji atau upah dari salah satu pihak berperkara (buruh/pembantu/karyawan)
sama sekali tidak disinggung, baik dalam pasal tentang siapa yang dilarang
menjadi saksi maupun pasal tentang siapa yang berhak mengundurkan diri sebagai
saksi.
Buruh Tetap Cakap Menjadi Saksi
Pasal
145 H.I.R/172 R.Bg dan 1910 KUH Perdata sudah sangat tegas mendeskripsikan
pihak-pihak yang dilarang secara absolut untuk menjadi saksi. Buruh/pembantu/karyawan
tidaklah termasuk orang yang dilarang tersebut. Konsekuensinya: mereka secara
formil tetap cakap untuk memberikan kesaksian bagi majikan atau bosnya,
termasuk dalam perkara perceraian.
Tentang
pihak yang menerima gaji atau upah dari salah satu pihak berperkara justeru
disinggung dalam pasal 144 H.I.R/171 R.Bg,[7]
yang menurut M. Yahya Harahap, justeru pasal tersebut menguhkan bahwa
buruh/pembantu/karyawan secara formil cakap menjadi saksi.[8]
Pasal tersebut menerangkan tentang tatacara pemeriksaan saksi. Yakni, hakim
harus memeriksa nama,
pekerjaan, umur dan tempat diam atau tempat tinggal saksi, juga memeriksa
apakah saksi itu keluarga sedarah, atau berkeluarga semenda dengan kedua belah
pihak atau salah satu pihak berperkara, dan juga memeriksa apakah saksi makan
gaji dari salah satu pihak berperkara.
Pemeriksaan
identitas (nama, pekerjaan, umur, serta tempat tinggal) tersebut bertujuan untuk
merekam data saksi, sebagai bentuk pertanggungjawaban serta sebagai dokumen
jika suatu saat majelis hakim membutuhkan untuk menghadirkan ulang saksi. Adapun
pemeriksaan hubungan darah berfungsi untuk mengetahui apakah saksi merupakan
keluarga sedarah dari pihak berperkara, sehingga ia dilarang untuk bersaksi. Sementara
itu, pemeriksaan hubungan semenda berguna untuk mengetahui apakah saksi
tersebut adalah keluarga semenda dari pihak, sehingga ia berhak mengundurkan
diri dari saksi. Sedangkan pemeriksaan hubungan penerimaan gaji dari salah satu
pihak berperkara, bertujuan untuk memberikan bahan pertimbangan majelis hakim,
apakah nantinya keterangan saksi tersebut subjektif dan tidak proporsional atau
tetap objektif dan proporsional, sehingga majelis hakim dapat menentukan apakah
keterangan saksi tersebut dapat diterima sebagai alat bukti atau tidak.
Intinya:
orang yang menerima gaji dari salah satu pihak berperkara secara formil tetap
cakap menjadi saksi, termasuk dalam pekara perceraian--khususnya dengan alasan
pasal 19 f. Bahkan, seringkali buruh, pembantu, atau karyawan diposisikan
sebagai saksi kunci karena merekalah orang dekat yang mengetahui adanya
pertengkaran terus-menerus dalam sebuah hubungan suami isteri.
Namun,
hal yang wajib menjadi catatan adalah: hakim harus lebih jeli dan cerdas
menilai keterangan mereka. Objektifitas, proporsionalitas, serta ada atau
tidaknya keberatan dan bantahan dari pihak lawan juga harus menjadi
pertimbangan tersendiri dalam menilai keterangan saksi buruh/pembantu/karyawan
salah satu pihak berperkara.
Penutup
Orang yang menerima
gaji dari salah satu pihak berperkara (buruh/pembantu/karyawan), menurut pasal
145 H.I.R. dan 172 R.Bg. dan 1910 KUH Perdata
bukanlah orang yang dilarang menjadi saksi bagi majikan atau bosnya. Artinya: secara
formil, mereka tetap cakap memberikan kesaksian, termasuk dalam perkara
perceraian.
Namun, hal yang
perlu dicatat adalah: majelis hakim harus lebih jeli dan cerdas dalam
mempertimbangkan kesaksian mereka. Apakah unsur-unsur subjektifitas dan
unproporsionalitas turut menyertai kesaksian tersebut atau tidak, sehingga
majelis hakim dapat mempertimbangkan
dengan benar;
apakah keterangan mereka dapat diterima atau harus dikesampingkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama cet. VIII,Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2008).
M.
Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara
Perdata di Indonesia, UII Press: yogyakarta, 2013.
M.
Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Cet. V, Cahaya
Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Herzien
Inlandsch Reglement.
Reglement
Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten.
[1] Calon Hakim
Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama
Kab. Kediri.
[2]
A. Mukti Arto, Praktek Perkara
Perdata pada Pengadilan Agama cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008)
hlm. 165. Lihat juga, Alat Bukti Saksi dalam http://lawfile.blogspot.com/2011/07/alat-bukti-saksi.html,
yang bersumber dari Riduan Syahrani, S.H., Buku
Materi Dasar Hukum Acara Perdata (PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2009)
[3]
Pasal 1906 KUH Perdata berbunyi: “Jika kesaksian-kesaksian berbagai orang mengenai
berbagai peristiwa terlepas satu sama lain, dan masing-masing berdiri sendiri,
namun menguatkan suatu peristiwa tertentu karena mempunyai kesesuaian dan
hubungan satu sama lain, maka Hakim, menurut keadaan, bebas untuk memberikan
kekuatan pembuktian kepada kesaksian-kesaksian yang berdiri sendiri itu”.
Lihat: Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Cet. V (Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013) hlm. 177.
[4] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di
Indonesia (UII Press: yogyakarta, 2013), hlm. 27, lihat juga: A. Mukti
Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata
pada Pengadilan Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 66.
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet.
Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 625.
[7] Pasal 144 H.I.R.
berbunyi: “Saksi yang menghadap pada hari yang ditentukan
itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang. Ketua menanya namanya,
pekerjaannya, umurnya dan tempat diam atau tinggalnya, lagi pula apakah mereka
itu berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah satu dari padanya,
atau karena berkeluarga semenda, dan jika ada, berapa pupu, dan apakah mereka
makan gajih atau jadi bujang pada salah satu pihak. Pasal 171 R.Bg.
berbunyi: “(1) Saksi-saksi yang telah datang menghadap,
dipanggil satu per satu untuk masuk ruangan sidang. (2) Ketua menanyakan mereka
mengenai nama, pekerjaan, umur dan tempat tinggal atau tempat kediamannya,
begitu juga apakah mereka mempunyai hubungan kekeluargaan karena sedarah atau
karena perkawinan dengan para pihak atau salah satu pihak, dan jika ya, dalam
derajat ke berapa serta pula apakah mereka merupakan buruh atau pembantu rumah
tangga mereka. (Rv. 177; IR. 144)
[8]
M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata...hlm. 641.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar