(Telaah
Pemikiran Abdul Majid asy-Syarfi; Sebuah
Pengantar)
A. Kegelisahan Akademik
Pertanyaan awal yang
mengusik nalar Abdul Majid asy-Syarfi—terkait dengan Islam dan
moderenitas—adalah; Bagaimana membatasi issue, sementara wilayah kajian tema ini teramat luas?. pertanyaan lain
yang menghampirinya ialah; Masih adakah celah untuk menghadirkan “sesuatu yang
baru” ditengah maraknya produk-produk pengetahuan ke-Islamanan, dengan berbagai
corak dan bahasa berbeda?
Adapun kegelisahan asy-Syarfi
yang paling fundamental adalah; Dapatkah kajian ilmiah dan pendekatan rasional
ditanamkan dalam mainstream ilmuan
Islam? selama ini, asy-Syarfi melihat bahwa; para pakar Islam merasa mempunyai
kapabilitas tinggi dalam kajian Islam, namun,
pada realitanya, kajian mereka ternyata hanya sebatas mengghadirkan kembali
materi-materi keilmuan masa lampau—yang telah hadir ratusan tahun lalu dalam
kitab-kitab klasik—atau, hanya sebatas plagiasi dari kajian yang ditelurkan
para orator Islam (baca; da’i) modern yang belum tentu benar. bahkan, pada
lazimnya, kajian-kajian tersebut masih banyak
mengandung kepincangan.
Kegelisahan-kegelisahan
di atas menuntut adanya pemetaan permasalahan yang jelas, sekaligus aplikasi
metodologis yang cermat. Dengan demikian, pembedahan permasalahan akan
terealisasi dengan tepat dan terarah. Orientasinya, kajian ini dapat menggugah
kesadaran akan pentingnya rasionalitas, pembaruan, dan berkontribusi dalam
perkembangan pemikiran Islam, dan lebih jauh lagi, mewujudkan peradaban Islam
modern.
Sebagai tindak lanjut dari kegelisahan akademik, asy-Syarfi memetakan
kajiannya dalam tiga poin utama yang akan dicoba untuk dijabarkan dan
dianalisis dalam tulisan ini;
1. Islam
Apakah Islam itu? secara
sederhana, ia dapat dijelaskan sebagai; Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. Namun, jika
kajian ini diperdalam, kita akan memasuki dimensi-dimensi yang komplek. Ia akan
memasuki ruang keimanan—beserta penerjemahannya dalam hati, pelaksanaan dengan
indera, hal-hal yang wajib diimani, masuk ke ruang fiqh—baik dalam kaitannya hablun
min Allah, maupun hablun min an-nas, lebih jauh lagi Ushul fiqh
sebagai metode istinbat hukum-hukum tersebut.
Pada
wilayah dasariah, Islam memiliki kesamaan-kesamaan dengan agama samawi lain—dalam
konteks ini Yahudi dan Nashrani. Kesamaan tersebut meliputi ranah tauhid (pengakuan
ke-Esa-an Tuhan) dan penyampaian ajaran melalui mediator Nabi. Meski demikian,
tidak dipungkiri terdapat banyak perbedaan dalam bentuk-bentuk terapan ajaran.
Sebagai
mana kita ketahui, selama, ini Islam kental dengan nuansa taqlid dalam
produk-produk Pemikiran. Sebenarnya, tradisi ini dapat dihilangkan dengan
memahami fenomena kesejarahan yang membangun peradaban Islam. Pengilhaman dan
rasionalisasi kesejarahan ini, akan membawa kita pada pengayaan referensi. Muaranya,
adalah cara pandang luas menuju wajah baru Islam, sekaligus keluar dari
belenggu taqlid yang sempit.
Dalam
perkembangannya, Islam menjelma menjadi bangsa-bangsa, bahasa, dan budaya yang
berbeda antara satu dan lainnya. Sangat mungkin, jika bentuk Islam di luar Arab akan
sangat berbeda dengan bentuk Islam Arab. Hal ini merupakan hasil
pengejawantahan agama, sejarah, dan miliu masing-masing kelompok.
Wacana yang ditawarkan
asy-Syarfi di atas, sejatinya bukan hal yang sama sekali baru dalam diskursus
Islam. Pemikiran dengan corak ini telah lama disuarakan para mujaddid
Islam. Namun, nampaknya uswah yang dicetuskan para pendahulu itu belum
bisa diilhami oleh sebagian besar umat Isam. Realitas inilah yang kemudian
melahirkan buah pemikiran asy-Syarfi untuk merasionalisasi lebih dalam atas
ajaran-ajaran Islam dan mengurai jeratan konservatifisme yang masih saja
melilit.
Potret
Islam dalam Berbagai Perspektif
Lafad
“Islam” selalu identik dengan makna yang ditunjuknya secara total dan murni.
ada tiga wilayah dalam Islam yang seringkali melahirkan iltibas (ambiguitas)
dan kesulitan pemahaman. tiga hal itu adalah;
Pertama;
Islam dalam al-Quran. Nilai-nilai agama dan etika Ini,
meskipun pada awalnya tidak ada perbedaan prinsip-prinsip yang ada pada semua agama—meliputi; larangan pembunuhan,
pencurian, bohong, zina, cinta kasih pada orang lain, manfaat bagi masyarakat
fakir dan miskin, namun mereka menekankan beberapa skala prioritas
masing-masing yang tidak dimilki agama lain. Contoh; cinta kasih. Pada
dasarnya nilai ini ditemukan dalam
al-Qur'an, tetapi bukan sebagai prioritas sebagaimana yang diajarkan dalam
Kristen. Semua contoh di atas, merupakan
nilai-nilai yang memberikan arti hidup dan memberikan solusi yang
dikemas dalam prinsip dan tekad. Hal itu merupakan aspek kekal yang telah
mencapai nilai-nilai luhur masyarakat dan hal tersebut mampu merespon tantangan
zaman, karena tetap menyesuaikan ruang
dan waktu.
Al-Quran
tidak hanya mengandung nilai-nilai tersebut di atas. Lebih jauh, Ia juga berisi
ajaran-ajaran lain disamping ajaran dasar itu, yaitu berupa kisah-kisah yang
diorientasikan untuk ibrah dan sebagai acuan perilaku manusia yang
dicerminkan oleh masyarakat Muslim dalam kehidupan social, khususnya
perihal berkaitan dengan kehidupan
keluarga dan dasar-dasar ekonomi transaksi. Ayat-ayat tentang panduan ini, dikenal sebagai ayat-ayat ahkam.
Wilayah pertama Islam ini – biasa disebut wilayah Qurany
- kajian ini bukan hanya terkait pada umat Islam, akan tetapi ia juga
merupakan standar bagi orang yang menginginkan
referensi-referensi penting.
Standart itu adalah; metode pemahaman dan interpretasi sebagai suatu
konsekoensi logis untuk mengkaji Islam yang masih begitu panjang perjalanan
sejarahnya.
Pembacaan Islam dalam
al-Qur’an yang ditawarkan asy-syarfi sangat prestisius. Pemahaman
akan sebuah nilai esensial al-Qur’an mutlak diperlukan untuk menciptakan
peradaban yang maju dan dinamis. Jika pengilhaman nilai ini mampu terrealisir
tiap kelompok dan lapisan umat, nisacaya takkan pernah ada pertentangan antara
teks dan maslahah. Karena, pada hakikatnya; teks tercipta untuk maslahah.
Kedua; Islam
dalam sejarah. Semenjak terputusnya wahyu, umat Islam hidup pada masa yang
disebut sebagai "interpretasi
situasi" (Situasi herméneutique). Situasi ini meniscayakan kajian
penafsiran yang orientasinya adalah penerapan agama dalam berbagai aspek
kehidupan. Kondisis ini melahirkan perbedaan pemahaman, karena berbedanya
penafsiran bahasa yang ada. Dari titik ini, kemudian muncullah fakta-fakta
kesejarahan yang tak bisa terbantahkan.
Kesejarahan diilhami sebagai
pendekatan yang begitu penting dalam Islam. Hanya dengan pendekatan ini, tiap
tahapan perkembangan peradaban Islam dapat diketahui. Kehilangan historisitas dari sebuah
pembentukan peradaban ibarat itik yang kehilangan induk semang. Historisitas
ini akan mampu menuntun kita memahami setiap perbedaan yang ada dalam memahami
“maksud” Tuhan. Dengan bangunan kesejarahan yang kuat, setiap langkah ke depan
pembentukan peradaban akan memiliki pondasi yang kokoh. Arti penting inilah
kiranya yang menjadi alasan asy-Syarfi untuk meneropong Islam dalam sejarah.
Ketiga; Islam
dalam pemahaman personalitas. Dalam hal ini tidak dibutuhkan pernyataan bahwa
aktifitas untuk mengetahui hal terdalam prinsip-prinsip Islam terpengaruh oleh
karakter dasar dan karakter personal dilakuakan bersama. Oleh karena itu,
akidah orang tasawuf berbeda dengan akidah filsuf atau ahli fiqh, misalnya. Pada
batas tertentu, iman ahli tasawuf,
filsuf, dan ahli fiqh berbeda dengan yang lain.
Sering
kali, para Ilmuan Islam (baca; Fuqaha) kurang jeli dalam menentukan skala
prioritas kajian dan pengamalan ke-Islaman dalam praktek kehidupan.
Problem-problem yang menjadi issue masyarakat sering terabaikan.
Idealnya, kajian-kajian sosial masyarakat muslim seharusnya menjadi bidikan
utama. Sosiologi agama sudah semestinya untuk dikaji dan di aplikasikan. Tidak
hanya berkutat mengulang kembali tentang bagaimana tradisi Islam dalam kitab-kitab, menurut ulama-ulama.
Berikut kami sajikan contoh untuk masalah ini;
Pertama;
waris.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian dua kali perempuan.
Fuqaha sepakat bahwa perempuan mempunyai kebebasan untuk membelanjakan
hartanya, dan tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada mereka untuk memberi
nafkah kepada suami dan keluarga. Ini adalah pada wilayah pemikiran dan yang
ditampilkan oleh mayoritas mufassir. Akan tetapi, bagaimana pembagian
waris bagi perempuan muslim saat ini? Apakah kebutuhan mereka
benar-benar sama dengan setengah bagian
saudara laki-lakinya? Jawabannya pasti bergantung konteks yang mempengaruinya.
Problem lain yang terjadi pada wanita adalah sekian banyak tekanan sosial,
dalih, dan ancaman, khususnya anggapan bodoh pada wanita, pingitan mereka
semata di rumah, berkonsekwensi larangan bagi mereka untuk bergabung di
kehidupan publik karena takut fitnah ketika bercampur dengan laki-laki.
Selanjutnya, mereka tercegah mendapat perhatian lebih tentang hak-hak dan
posisi strategis.
Kedua;
Khitan. Ritual ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
Meskipun Syafi’i menganggapnya wajib, meskipun Malik menghukuminya sunah. Fuqaha
mengkategorikannya pada wilayah ubudiyyah. Sesungguhnya, menurut adat,
itu hanya berada pada tempat kedua. Adapun yang terdapat dalam nurani islam,
Khitan berada pada posisi sentral. Maka, tradisisi itu kemudian dianggap
sebagai simbol bagi Islam. Sementara, bagi mereka yang tidak khitan sama sekali
dalam hidupnya, baik ia masuk Islam pada tengah perjalanan hidupnya, atau
memeluk islam pada usia tua, mereka tidak dikatakan sebagai orang Islam. Di sisi lain, pelecehan
dan perendahan derajat wanita yang menyebar pada sebagian negara arab, seperti
mesir dan sudan, dijustifikasi sebagai ajaran agama. Ini adalah contoh nyata
adanya kesenjangan yang terjadi dalam dunia pemikiran Islam.
Dengan
demikian, manifestasi dari agama menjadi sangat urgen untuk dikaji ulang. Kajian-kajian
ilmiah dengan pendekatan rasional terkait dengan ritual-ritual ritual-ritual
keagamaan—yang terejawantahkan dalam; Idul fitri, maulid Nabi, ‘asyura,
ramadlan, dan tahun baru hijriyyah. Demikian juga hal-hal yang terkait
kelahiran, khitan, perkawinan dan kematian, ziarah kubur, dan tarekat
sufi—tidak boleh diabaikan kajian kritisnya.
Sebuah
fakta yang disesalkan as-Syarfi mengenai referensi sosilogi agama adalah;
beliau hampir tidak menemukan satupun referensi sosiologi agama di perpustakaan
besar Arab. Sedangkan di “barat”, referensi-referensi sejenis ini begitu mudah
ditemukan. Refleksi dari fakta ini, betapa kajian-kajian arab masih begitu
parsial dan terbatas. Praduk yang dihasilkan hanya sekedar replik yang sangat
menjenuhkan. Wacana “Islam yang hidup” tidak akan mampu terealisr dengan kajian
semacam ini.
Kegelisahan
yang mendera asy-syarfi sudah semestinya menjadi kajian bagi siapa saja yang
menginginkan kemajuan peradaban Islam. Rasionalititas harus ditanamkan dalam
tiap ritus peridabatan. Skala prioritas pengejawantahan nilai luhur ajaran
Islam meski merepresentasikan nilai luhur itu sendiri. bukan hanya sebatas
ritual warisan sakral yang“sepi” rasionalitas.
2.
Modernitas
Modernitas
dicirikan dengan majunya tatanan sosial-politik, ekonomi, pendidikan dan
pembangunan sosial. Meskipun indikasi modernitas telah menyala sejak masa
falsafah Ibn Rusyd, terbukanya Amerika, gerakana protestan, dan perang salib,
namun, pada kenyataan catatan sejarah,
fase ini dimulai sejak abad ke-17 M. Mungkin, yang terpenting dari
karakteristik masyarakat modern adalah; kemampuan sebuah masyarakat—bererbeda
dengan masyarakat tradisional—untuk
mengadakan pembaruan dan perubahan,
memberikan iklim kondusif untuk akumulasi kekayaan dan pengetahuan dalam satu
waktu yang sama.
Perubahan
yang begitu cepat dalam masyarakat modern berkonsekwensi pada pembebasan
masyarakat terhadap hal yang baru dan menarik, bukan dinisbatkan pada sesuatu
yang tersedia melainkan pada metode baru yang dimiliki mereka. Pada gilirannya, akan muncul beberapa turunan
lain, misalnya, tidak perlu mengadopsi atau mengadopsi hal sesuuatu yang baru
jika dibutuhkan.
Karakter
modernitas bukan saja menjadikan masa sekarang berbeda dengan masa lalu, akan
tetapi tertanam juga karakter menerima terhadap perubahan itu sendiri. Hal ini
akan meruntuhkn ideologi bahwa masa yang akan datang lebih berbahaya, berbeda
dengan saat ini. Oleh karena itu, mempelajari tentang hal yang baru merupakan perihal
yang penting dalam setiap problematika masyarakat dengan segala pendekatan yang
memungkinkan. sepertihalnya sirkulasi pengetahuan, perindustrian, managemen,
pesantren, perpustakaan, koperasi. Dengan tanpa adanya pembaruan, orang tidak akan mampu
mencari sebuah solusi.
Tentu
saja, konsep pembaruan dengan pengertian semacam ini memiliki hasil yang
bervarian, sulit di batasi. Akan tetapi, disini kita hanya akan membahas
keterkaitan modernitas dengan Islam. Capaian modernitas pertama yang begitu
baik adalah dekonstruksi dalam kerangka pikir tatanan tradisonal.
Kelemahan
sistem tradisional, terutama ketika berada dalam masa penurunan adalah jatuh ke
dalam kesamaan dan pengulangan. Tidak mengherankan jika ia kehilangan daya
tarik dan nilai-nya pada saat ada
perubahan norma. Sebagai bukti dari fenomena ini, yaitu dengan penentuan sistem
pendidikan konservatif. Orang akan
cenderung belajar sama persis dengan yang dipelajari pendahulunya, apapun
keadaannya. sehingga akan muncul keterputusan informasi yang sebenarnya sangat
dibutuhkan.
Rasionalitas
adalah kunci utama dalam modernitas. Sebuah harapan masyarakat maju
berperadaban tidak dapat tercapai tanpa
adanya rasionalisme dalam segala bidang kehidupan. Rasionalisme telah
masyarakat kepada kemajuan ilmu, teknologi
dan filosofi dasar dari semua gerakan moral dan intelektual. Masyarakat
tidak bisa memahami politik dan administrasi organisasi, bahkan birokrasi
modern tanpa pemikiran yang rasional.
Rasionalitas
bukan saja dimilki oleh sementara orang(barat). Ia berhak dimiliki siapapun.
Tidak ada satupun pihak yang mempunyai wewenang ilmiah—meminjam istilahnya
Andrea Hirata—untuk menjustifikasi bahwa ia adalah milik pihak tertewntu. Dalam kondisi tertentu,
ia dapat menyebar di wilayah lain, termasuk masyarakat Islam. Inilah
yang seharusnya menjadi inspirasi kita untuk menuju kemajuan peradaban Islam.
Asy-Syarfi begitu getol
mengecam keterbelakangan umat Islam. Konservatisisme yang masih saja bertahan
dinilai sebagai penyebab keterbekakangan itu. Melaui karya ini, asy-Syarfi
berusaha keras menyuarakan ‘stop keterbelakangan, junjung rasionalitas’. Sebuah
seruan yang pantas untuk dialamatkan pada bangsa-bangsa Islam—yang nota bene
maasih banyak yang dikategorikan Negara tertinggal.
3. Hubungan Islam dan
Modernitas
Modernitas
di dunia Arab belumlah terterjemahkan pada pemikiran sosial dan tatanegara,
seperti yang terjadi di barat. Gerakan wahabi,
yang menyatakan dirinya sebagai gerakan reformis kontemporer, pada kenyataannya
hanya perpanjangan dari gerakan yang dipimpin oleh Ibnu taimiyyah dan muridnya
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Pijakan dan
tujuan-tujuannya kondisinya jauh dari faktor-faktor filsafat pencerahan di masa
itu.
Bangsa
arab menganggap modernitas merupakan bentuk
yang mengejutkan, saat mereka menyaksikan invasi Napoleon Bonaperte di mesir, kemudian
imperium Eropa yang menjajah negara aran satu persatu. Secara kusus, mereka
meyatakan bahwa penjajahan adalah bentuk baru yang tidak pernah mereka temukan
dalam sejarah peperangan mereka. Karena, penjajahan itu membawa peradaban baru
beserta pola-polanya, seperti; kemerdekaan, ekonomi, tata negara, dan
nilai-nilai budaya, yang tidak ada pada mereka. Oleh karena itu, tergoncanglah
ketenangan mereka kemudian memandang perlunya sikap menolak hal tersebut,
sebagai upaya memelihara identitas mereka.
Selanjutnya,
bagaimana sikap islam terhdadap hal ini? kenyataannya, ia memiliki kegandaan
sikap; (1) kemunduran yang tidak merangkul modernitas dan (2) penegasan
identitas diri (self assertion) yang berlebihan. Mereka meyakini bahwa Islam
telah mencontohkan unsur unsur
perlawanan terhadap modernitas, karena tiap perubahan ada pada struktur
komunitas akan terlihat jelas, dan seolah-olah perubahan itu berseberangan
dengan Islam. alasannya, agama telah
membuat standar dalam seluruh segi kehidupan dan seluruh lembaga-lembaga di
seluruh dunia yang berorientasi agama. oleh karena itu, masyarakat Muslim telah
terpatri oleh pandangan tersebut.
Titik yang menjadi kegelisahan
peneliti dalam hal ini adalah; keperihatinan pengetahuan terhadap hubungan
antara Islam dan modernitas, hal ini bukan saja karena tekanan sosial yang
mencegah ekspresi pandangan yang berbeda dengan interpretasi
resmi, atau bahkan bertentangan dengan interpretasi biasa, tetapi juga karena
pemikiran sejenis ini, atau berhubungan dengan permasalahan ini sangat subur di
berbagai negara Arab, tak terbatas. Konsekwensinya, kita harus mengikuti
pendapat yang telah disajikan oleh yang berwenang, bukan pendapat briliant yang
mampu mencarikan solusi dalam tiap issue .
Seperti
yang telah diungkapkan asy-Syarfi di atas, kita harus memahamai metodologi untuk
mendapatkan esensi agama. Upaya ini adalah sebagai respon untuk menjawab modernitas. Dalam konteks ini, Kita perlu membagi
pembahasannya menjadi dua hal yang mendasar pertama; tentang ketentuan
teori, atau metodologi dan perkembangan kajian islam alam wilayah akidah,
tafsir hadis, fiqh, dan khususnya ushul fiqh. Kedua; berhubungan dengan
ketentuan praktis; seperti issue pembebasan perempuan dan bagaimana
pemikiran Islam merespon masalah ini. Dengan demikian, kita akan mememukan
bentuk-bentuk hubungan Islam dan modernitas, dan memungkinkan mendapat
keselarasan antara keduanya. Inilah upaya genius tawaran asy-syarfi.
B. Penutup
Modernitas
selalu identik dengan rasionalitas. Secara dasariah, setiap komunitas
masyarakat berhak atas pencapain fase tersebut—meskipun, garda depan yang
memotori gerakan itu adalah “barat”. Tidak ada satu pihakpun yang berwenang
untuk mengklaim bahwa modernitas adalah milikinya. Capaian modernitas dicirikan
dengan kemajuan peradaban yang diterjemahkan dalam; baiknya system
perekonomian, IPTEK, social kemasyarakatan, kebudayaan dan pendidikan.
Terkait
hubungan Islam dan modernitas, asy-Syarfi menegaskan; tidak ada ada
pertentangan antara keduanya, relasi yang terbangun di antara keduanya sangat
kompatibel. Islam akan menemukan kemajuan peradaban, jika ia mampu memainkan
rasionalitas dalam pemikiran, tentunya dengan tanpa meninggalkan ajaran luhur
yang telah diwahyukan Tuhan.
Asy-Sarfy
berhasil memprovokasi intelektualitas civitas academika Muslim untuk bangkit
menuju kemajuan peradaban. Seruan-seruan tentang urgensi rasionalitas dalam
tiap ranah hayati menjadi tawaran yang prestisius untuk diilhami dan
selanjutnya diejawantahkan dalam membangun peradaban (Islam). Ajakan asy-Syarfi untuk memotret Islam dari
berbagai perspektif—Islam dalam al-Qur’an, sejarah, dan pengalaman individu—dengan
sekritis mungkin, layak menjadi aji-aji bagi siapa saja yang menghendaki
peradaban Islam yang maju. Karena,
sejatinya; Islam dan kemajuan peradaban (baca; modernitas) adalah sejalan,
bukan arah yang berlawanan.
**--Semoga mencerahkan--**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar