Rabu, 26 Maret 2014

Islam dan Modernitas

Islam dan Modernitas[1]
(Telaah Pemikiran Abdul Majid asy-Syarfi;  Sebuah Pengantar)
oleh; Ach Z. Anam[2]
A.    Kegelisahan Akademik
Pertanyaan awal yang mengusik nalar Abdul Majid asy-Syarfi—terkait dengan Islam dan moderenitas—adalah; Bagaimana membatasi issue, sementara wilayah  kajian tema ini teramat luas?. pertanyaan lain yang menghampirinya ialah; Masih adakah celah untuk menghadirkan “sesuatu yang baru” ditengah maraknya produk-produk pengetahuan ke-Islamanan, dengan berbagai corak dan bahasa berbeda?

Adapun kegelisahan asy-Syarfi yang paling fundamental adalah; Dapatkah kajian ilmiah dan pendekatan rasional ditanamkan dalam mainstream  ilmuan Islam? selama ini, asy-Syarfi melihat bahwa; para pakar Islam merasa mempunyai kapabilitas  tinggi dalam kajian Islam, namun, pada realitanya, kajian mereka ternyata hanya sebatas mengghadirkan kembali materi-materi keilmuan masa lampau—yang telah hadir ratusan tahun lalu dalam kitab-kitab klasik—atau, hanya sebatas plagiasi dari kajian yang ditelurkan para orator Islam (baca; da’i) modern yang belum tentu benar. bahkan, pada lazimnya, kajian-kajian tersebut masih  banyak mengandung kepincangan.
Kegelisahan-kegelisahan di atas menuntut adanya pemetaan permasalahan yang jelas, sekaligus aplikasi metodologis yang cermat. Dengan demikian, pembedahan permasalahan akan terealisasi dengan tepat dan terarah. Orientasinya, kajian ini dapat menggugah kesadaran akan pentingnya rasionalitas, pembaruan, dan berkontribusi dalam perkembangan pemikiran Islam, dan lebih jauh lagi, mewujudkan peradaban Islam modern.
Sebagai tindak lanjut dari kegelisahan akademik, asy-Syarfi memetakan kajiannya dalam tiga poin utama yang akan dicoba untuk dijabarkan dan dianalisis dalam tulisan ini;
1.      Islam
Apakah Islam itu? secara sederhana, ia dapat dijelaskan sebagai; Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. Namun, jika kajian ini diperdalam, kita akan memasuki dimensi-dimensi yang komplek. Ia akan memasuki ruang keimanan—beserta penerjemahannya dalam hati, pelaksanaan dengan indera, hal-hal yang wajib diimani, masuk ke ruang fiqh—baik dalam kaitannya hablun min Allah, maupun hablun min an-nas, lebih jauh lagi Ushul fiqh sebagai metode istinbat hukum-hukum tersebut.
Pada wilayah dasariah, Islam memiliki kesamaan-kesamaan dengan agama samawi lain—dalam konteks ini Yahudi dan Nashrani. Kesamaan tersebut meliputi ranah tauhid (pengakuan ke-Esa-an Tuhan) dan penyampaian ajaran melalui mediator Nabi. Meski demikian, tidak dipungkiri terdapat banyak perbedaan dalam bentuk-bentuk terapan ajaran.
Sebagai mana kita ketahui, selama, ini Islam kental dengan nuansa taqlid dalam produk-produk Pemikiran. Sebenarnya, tradisi ini dapat dihilangkan dengan memahami fenomena kesejarahan yang membangun peradaban Islam. Pengilhaman dan rasionalisasi kesejarahan ini, akan membawa kita pada pengayaan referensi. Muaranya, adalah cara pandang luas menuju wajah baru Islam, sekaligus keluar dari belenggu taqlid yang sempit.
Dalam perkembangannya, Islam menjelma menjadi bangsa-bangsa, bahasa, dan budaya yang berbeda antara satu dan lainnya. Sangat mungkin, jika bentuk Islam di luar Arab akan sangat berbeda dengan bentuk Islam Arab. Hal ini merupakan hasil pengejawantahan agama, sejarah, dan miliu masing-masing kelompok.
Wacana yang ditawarkan asy-Syarfi di atas, sejatinya bukan hal yang sama sekali baru dalam diskursus Islam. Pemikiran dengan corak ini telah lama disuarakan para mujaddid Islam. Namun, nampaknya uswah yang dicetuskan para pendahulu itu belum bisa diilhami oleh sebagian besar umat Isam. Realitas inilah yang kemudian melahirkan buah pemikiran asy-Syarfi untuk merasionalisasi lebih dalam atas ajaran-ajaran Islam dan mengurai jeratan konservatifisme yang masih saja melilit.
Potret Islam dalam Berbagai Perspektif
Lafad “Islam” selalu identik dengan makna yang ditunjuknya secara total dan murni. ada tiga wilayah dalam Islam yang seringkali melahirkan iltibas (ambiguitas) dan kesulitan pemahaman. tiga hal itu adalah;
Pertama; Islam dalam al-Quran. Nilai-nilai agama dan etika Ini, meskipun pada awalnya tidak ada perbedaan prinsip-prinsip yang  ada pada semua  agama—meliputi; larangan pembunuhan, pencurian, bohong, zina, cinta kasih pada orang lain, manfaat bagi masyarakat fakir dan miskin, namun mereka menekankan beberapa skala prioritas masing-masing yang tidak dimilki agama lain. Contoh; cinta kasih. Pada dasarnya  nilai ini ditemukan dalam al-Qur'an, tetapi bukan sebagai prioritas sebagaimana yang diajarkan dalam Kristen. Semua contoh di atas, merupakan  nilai-nilai yang memberikan arti hidup dan memberikan solusi yang dikemas dalam prinsip dan tekad. Hal itu merupakan aspek kekal yang telah mencapai nilai-nilai luhur masyarakat dan hal tersebut mampu merespon tantangan zaman, karena  tetap menyesuaikan ruang dan waktu.
Al-Quran tidak hanya mengandung nilai-nilai tersebut di atas. Lebih jauh, Ia juga berisi ajaran-ajaran lain disamping ajaran dasar itu, yaitu berupa kisah-kisah yang diorientasikan untuk ibrah dan sebagai acuan perilaku manusia yang dicerminkan oleh masyarakat Muslim dalam kehidupan social, khususnya perihal  berkaitan dengan kehidupan keluarga dan dasar-dasar ekonomi transaksi. Ayat-ayat tentang panduan ini,  dikenal sebagai ayat-ayat ahkam.
Wilayah  pertama Islam ini – biasa disebut wilayah Qurany -  kajian ini bukan hanya  terkait pada umat Islam, akan tetapi ia juga merupakan standar bagi orang yang menginginkan  referensi-referensi  penting. Standart itu adalah; metode pemahaman dan interpretasi sebagai suatu konsekoensi logis untuk mengkaji Islam yang masih begitu panjang perjalanan sejarahnya.
Pembacaan Islam dalam al-Qur’an yang ditawarkan asy-syarfi sangat prestisius. Pemahaman akan sebuah nilai esensial al-Qur’an mutlak diperlukan untuk menciptakan peradaban yang maju dan dinamis. Jika pengilhaman nilai ini mampu terrealisir tiap kelompok dan lapisan umat, nisacaya takkan pernah ada pertentangan antara teks dan maslahah. Karena, pada hakikatnya; teks tercipta untuk maslahah.
Kedua; Islam dalam sejarah. Semenjak terputusnya wahyu, umat Islam hidup pada masa yang disebut sebagai  "interpretasi situasi" (Situasi herméneutique). Situasi ini meniscayakan kajian penafsiran yang orientasinya adalah penerapan agama dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisis ini melahirkan perbedaan pemahaman, karena berbedanya penafsiran bahasa yang ada. Dari titik ini, kemudian muncullah fakta-fakta kesejarahan yang tak bisa terbantahkan.
Kesejarahan diilhami sebagai pendekatan yang begitu penting dalam Islam. Hanya dengan pendekatan ini, tiap tahapan perkembangan peradaban Islam dapat diketahui.  Kehilangan historisitas dari sebuah pembentukan peradaban ibarat itik yang kehilangan induk semang. Historisitas ini akan mampu menuntun kita memahami setiap perbedaan yang ada dalam memahami “maksud” Tuhan. Dengan bangunan kesejarahan yang kuat, setiap langkah ke depan pembentukan peradaban akan memiliki pondasi yang kokoh. Arti penting inilah kiranya yang menjadi alasan asy-Syarfi untuk meneropong Islam dalam sejarah.
Ketiga; Islam dalam pemahaman personalitas. Dalam hal ini tidak dibutuhkan pernyataan bahwa aktifitas untuk mengetahui hal terdalam prinsip-prinsip Islam terpengaruh oleh karakter dasar dan karakter personal dilakuakan bersama. Oleh karena itu, akidah orang tasawuf berbeda dengan akidah filsuf atau ahli fiqh, misalnya. Pada batas tertentu, iman ahli  tasawuf, filsuf, dan ahli fiqh berbeda dengan yang  lain.
Sering kali, para Ilmuan Islam (baca; Fuqaha) kurang jeli dalam menentukan skala prioritas kajian dan pengamalan ke-Islaman dalam praktek kehidupan. Problem-problem yang menjadi issue masyarakat sering terabaikan. Idealnya, kajian-kajian sosial masyarakat muslim seharusnya menjadi bidikan utama. Sosiologi agama sudah semestinya untuk dikaji dan di aplikasikan. Tidak hanya berkutat mengulang kembali tentang bagaimana tradisi Islam  dalam kitab-kitab, menurut ulama-ulama. Berikut kami sajikan contoh untuk masalah ini;
Pertama;  waris. Al-Qur’an menjelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian dua kali perempuan. Fuqaha sepakat bahwa perempuan mempunyai kebebasan untuk membelanjakan hartanya, dan tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada mereka untuk memberi nafkah kepada suami dan keluarga. Ini adalah pada wilayah pemikiran dan yang ditampilkan oleh mayoritas mufassir. Akan tetapi, bagaimana pembagian waris bagi perempuan muslim saat ini? Apakah kebutuhan mereka benar-benar sama  dengan setengah bagian saudara laki-lakinya? Jawabannya pasti bergantung konteks yang mempengaruinya. Problem lain yang terjadi pada wanita adalah sekian banyak tekanan sosial, dalih, dan ancaman, khususnya anggapan bodoh pada wanita, pingitan mereka semata di rumah, berkonsekwensi larangan bagi mereka untuk bergabung di kehidupan publik karena takut fitnah ketika bercampur dengan laki-laki. Selanjutnya, mereka tercegah mendapat perhatian lebih tentang hak-hak dan posisi strategis.
Kedua; Khitan. Ritual ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Meskipun Syafi’i menganggapnya wajib, meskipun Malik menghukuminya sunah. Fuqaha mengkategorikannya pada wilayah ubudiyyah. Sesungguhnya, menurut adat, itu hanya berada pada tempat kedua. Adapun yang terdapat dalam nurani islam, Khitan berada pada posisi sentral. Maka, tradisisi itu kemudian dianggap sebagai simbol bagi Islam. Sementara, bagi mereka yang tidak khitan sama sekali dalam hidupnya, baik ia masuk Islam pada tengah perjalanan hidupnya, atau memeluk islam pada usia tua, mereka tidak dikatakan  sebagai orang Islam. Di sisi lain, pelecehan dan perendahan derajat wanita yang menyebar pada sebagian negara arab, seperti mesir dan sudan, dijustifikasi sebagai ajaran agama. Ini adalah contoh nyata adanya kesenjangan yang terjadi dalam dunia pemikiran Islam.
Dengan demikian, manifestasi dari agama menjadi sangat urgen untuk dikaji ulang. Kajian-kajian ilmiah dengan pendekatan rasional terkait dengan ritual-ritual ritual-ritual keagamaan—yang terejawantahkan dalam; Idul fitri, maulid Nabi, ‘asyura, ramadlan, dan tahun baru hijriyyah. Demikian juga hal-hal yang terkait kelahiran, khitan, perkawinan dan kematian, ziarah kubur, dan tarekat sufi—tidak boleh diabaikan kajian kritisnya.
Sebuah fakta yang disesalkan as-Syarfi mengenai referensi sosilogi agama adalah; beliau hampir tidak menemukan satupun referensi sosiologi agama di perpustakaan besar Arab. Sedangkan di “barat”, referensi-referensi sejenis ini begitu mudah ditemukan. Refleksi dari fakta ini, betapa kajian-kajian arab masih begitu parsial dan terbatas. Praduk yang dihasilkan hanya sekedar replik yang sangat menjenuhkan. Wacana “Islam yang hidup” tidak akan mampu terealisr dengan kajian semacam ini.
Kegelisahan yang mendera asy-syarfi sudah semestinya menjadi kajian bagi siapa saja yang menginginkan kemajuan peradaban Islam. Rasionalititas harus ditanamkan dalam tiap ritus peridabatan. Skala prioritas pengejawantahan nilai luhur ajaran Islam meski merepresentasikan nilai luhur itu sendiri. bukan hanya sebatas ritual warisan sakral yang“sepi” rasionalitas.


2.      Modernitas
Modernitas dicirikan dengan majunya tatanan sosial-politik, ekonomi, pendidikan dan pembangunan sosial. Meskipun indikasi modernitas telah menyala sejak masa falsafah Ibn Rusyd, terbukanya Amerika, gerakana protestan, dan perang salib, namun,  pada kenyataan catatan sejarah, fase ini dimulai sejak abad ke-17 M. Mungkin, yang terpenting dari karakteristik masyarakat modern adalah; kemampuan sebuah masyarakat—bererbeda dengan  masyarakat tradisional—untuk mengadakan pembaruan  dan perubahan, memberikan iklim kondusif untuk akumulasi kekayaan dan pengetahuan dalam satu waktu yang sama.
Perubahan yang begitu cepat dalam masyarakat modern berkonsekwensi pada pembebasan masyarakat terhadap hal yang baru dan menarik, bukan dinisbatkan pada sesuatu yang tersedia melainkan pada metode baru yang dimiliki mereka.  Pada gilirannya, akan muncul beberapa turunan lain, misalnya, tidak perlu mengadopsi atau mengadopsi hal sesuuatu yang baru jika dibutuhkan.
Karakter modernitas bukan saja menjadikan masa sekarang berbeda dengan masa lalu, akan tetapi tertanam juga karakter menerima terhadap perubahan itu sendiri. Hal ini akan meruntuhkn ideologi bahwa masa yang akan datang lebih berbahaya, berbeda dengan saat ini. Oleh karena itu, mempelajari tentang hal yang baru merupakan perihal yang penting dalam setiap problematika masyarakat dengan segala pendekatan yang memungkinkan. sepertihalnya sirkulasi pengetahuan, perindustrian, managemen, pesantren, perpustakaan, koperasi. Dengan  tanpa adanya pembaruan, orang tidak akan mampu mencari sebuah solusi.
Tentu saja, konsep pembaruan dengan pengertian semacam ini memiliki hasil yang bervarian, sulit di batasi. Akan tetapi, disini kita hanya akan membahas keterkaitan modernitas dengan Islam. Capaian modernitas pertama yang begitu baik adalah dekonstruksi dalam kerangka pikir tatanan tradisonal.
Kelemahan sistem tradisional, terutama ketika berada dalam masa penurunan adalah jatuh ke dalam kesamaan dan pengulangan. Tidak mengherankan jika ia kehilangan daya tarik  dan nilai-nya pada saat ada perubahan norma. Sebagai bukti dari fenomena ini, yaitu dengan penentuan sistem pendidikan  konservatif. Orang akan cenderung belajar sama persis dengan yang dipelajari pendahulunya, apapun keadaannya. sehingga akan muncul  keterputusan informasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan.
Rasionalitas adalah kunci utama dalam modernitas. Sebuah harapan masyarakat maju berperadaban  tidak dapat tercapai tanpa adanya rasionalisme dalam segala bidang kehidupan. Rasionalisme telah masyarakat kepada kemajuan ilmu, teknologi  dan filosofi dasar dari semua gerakan moral dan intelektual. Masyarakat tidak bisa memahami politik dan administrasi organisasi, bahkan birokrasi modern tanpa pemikiran yang rasional.
Rasionalitas bukan saja dimilki oleh sementara orang(barat). Ia berhak dimiliki siapapun. Tidak ada satupun pihak yang mempunyai wewenang ilmiah—meminjam istilahnya Andrea Hirata—untuk menjustifikasi bahwa ia adalah milik pihak tertewntu. Dalam kondisi tertentu, ia dapat menyebar di wilayah lain, termasuk masyarakat Islam. Inilah yang seharusnya menjadi inspirasi kita untuk menuju kemajuan peradaban Islam.
Asy-Syarfi begitu getol mengecam keterbelakangan umat Islam. Konservatisisme yang masih saja bertahan dinilai sebagai penyebab keterbekakangan itu. Melaui karya ini, asy-Syarfi berusaha keras menyuarakan ‘stop keterbelakangan, junjung rasionalitas’. Sebuah seruan yang pantas untuk dialamatkan pada bangsa-bangsa Islam—yang nota bene maasih banyak yang dikategorikan Negara tertinggal.
3.      Hubungan Islam dan Modernitas
Modernitas di dunia Arab belumlah terterjemahkan pada pemikiran sosial dan tatanegara, seperti yang terjadi di barat.  Gerakan wahabi, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan reformis kontemporer, pada kenyataannya hanya perpanjangan dari gerakan yang dipimpin oleh Ibnu taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.  Pijakan dan tujuan-tujuannya kondisinya jauh dari faktor-faktor filsafat pencerahan di masa itu.
Bangsa arab menganggap modernitas  merupakan bentuk yang mengejutkan, saat mereka menyaksikan  invasi Napoleon Bonaperte di mesir, kemudian imperium Eropa yang menjajah negara aran satu persatu. Secara kusus, mereka meyatakan bahwa penjajahan adalah bentuk baru yang tidak pernah mereka temukan dalam sejarah peperangan mereka. Karena, penjajahan itu membawa peradaban baru beserta pola-polanya, seperti; kemerdekaan, ekonomi, tata negara, dan nilai-nilai budaya, yang tidak ada pada mereka. Oleh karena itu, tergoncanglah ketenangan mereka kemudian memandang perlunya sikap menolak hal tersebut, sebagai upaya memelihara identitas mereka.
Selanjutnya, bagaimana sikap islam terhdadap hal ini? kenyataannya, ia memiliki kegandaan sikap; (1) kemunduran yang tidak merangkul modernitas dan (2) penegasan identitas diri (self assertion) yang berlebihan. Mereka meyakini bahwa Islam telah  mencontohkan unsur unsur perlawanan terhadap modernitas, karena tiap perubahan ada pada struktur komunitas akan terlihat jelas, dan seolah-olah perubahan itu berseberangan dengan Islam. alasannya,  agama telah membuat standar dalam seluruh segi kehidupan dan seluruh lembaga-lembaga di seluruh dunia yang berorientasi agama. oleh karena itu, masyarakat Muslim telah terpatri oleh pandangan tersebut.
            Titik yang menjadi kegelisahan peneliti dalam hal ini adalah; keperihatinan pengetahuan terhadap hubungan antara Islam dan modernitas, hal ini bukan saja karena tekanan sosial yang mencegah  ekspresi  pandangan yang berbeda dengan interpretasi resmi, atau bahkan bertentangan dengan interpretasi biasa, tetapi juga karena pemikiran sejenis ini, atau berhubungan dengan permasalahan ini sangat subur di berbagai negara Arab, tak terbatas. Konsekwensinya, kita harus mengikuti pendapat yang telah disajikan oleh yang berwenang, bukan pendapat briliant yang mampu mencarikan solusi dalam tiap issue .
Seperti yang telah diungkapkan asy-Syarfi di atas, kita harus memahamai metodologi untuk mendapatkan esensi agama. Upaya ini adalah sebagai respon untuk menjawab  modernitas. Dalam konteks ini, Kita perlu membagi pembahasannya menjadi dua hal yang mendasar pertama; tentang ketentuan teori, atau metodologi dan perkembangan kajian islam alam wilayah akidah, tafsir hadis, fiqh, dan khususnya ushul fiqh. Kedua; berhubungan dengan ketentuan praktis; seperti issue pembebasan perempuan dan bagaimana pemikiran Islam merespon masalah ini. Dengan demikian, kita akan mememukan bentuk-bentuk hubungan Islam dan modernitas, dan memungkinkan mendapat keselarasan antara keduanya. Inilah upaya genius tawaran  asy-syarfi.
B.     Penutup
Modernitas selalu identik dengan rasionalitas. Secara dasariah, setiap komunitas masyarakat berhak atas pencapain fase tersebut—meskipun, garda depan yang memotori gerakan itu adalah “barat”. Tidak ada satu pihakpun yang berwenang untuk mengklaim bahwa modernitas adalah milikinya. Capaian modernitas dicirikan dengan kemajuan peradaban yang diterjemahkan dalam; baiknya system perekonomian, IPTEK, social kemasyarakatan, kebudayaan dan pendidikan.
Terkait hubungan Islam dan modernitas, asy-Syarfi menegaskan; tidak ada ada pertentangan antara keduanya, relasi yang terbangun di antara keduanya sangat kompatibel. Islam akan menemukan kemajuan peradaban, jika ia mampu memainkan rasionalitas dalam pemikiran, tentunya dengan tanpa meninggalkan ajaran luhur yang telah diwahyukan Tuhan.
Asy-Sarfy berhasil memprovokasi intelektualitas civitas academika Muslim untuk bangkit menuju kemajuan peradaban. Seruan-seruan tentang urgensi rasionalitas dalam tiap ranah hayati menjadi tawaran yang prestisius untuk diilhami dan selanjutnya diejawantahkan dalam membangun peradaban (Islam).  Ajakan asy-Syarfi untuk memotret Islam dari berbagai perspektif—Islam dalam al-Qur’an, sejarah, dan pengalaman individu—dengan sekritis mungkin, layak menjadi aji-aji bagi siapa saja yang menghendaki peradaban Islam yang maju.  Karena, sejatinya; Islam dan kemajuan peradaban (baca; modernitas) adalah sejalan, bukan arah yang berlawanan.
                                                      **--Semoga mencerahkan--**



[1]  Paper ini ditulis guna memenuhi tugas mata kuliah; Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Machasin, MA.
[2] Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 08.231.476

Tidak ada komentar:

Posting Komentar