Rabu, 26 Maret 2014

politik

Wila>yat al-Faqi>h : Sistem Kenegaraan Syi’ah Iran Modern[1]
Oleh: Ahmad Z. Anam[2]

الخلافة الإلهيّة : هي روخ الخلافة المحمّدية(ص)وربّها وأصلها ومبدأها. منها بدأ أصل الخلافة في العوالم كلّها بل أصل الخلافة والخليفة والمستخلف إليه... أصل الحقائق الكلّية الإلهية وهى أصل الخلافة.(خضرة امام خميني)[3]
Pendahuluan
Bergulirnya revolusi (1979) telah merubah sejarah bangsa Iran. Peristiwa bersejarah itu mengahiri tradisi kerajaan yag telah berkuasa 2500 tahun, dan mengubah persahabatan AS-Iran yang telah dibangun tiga dasawarsa menjadi sebuah permusuhan. Iran menunjukkan pada dunia—khususnya Islam, atas kesuksesan pertama dalam revolusi politik Islam.[4]

Sebagai follow-up peristiwa revolusi itu, dewan kostituante membentuk republik Islam Iran. Bentuk ini merupakan hasil elaborasi dari konsep wilayatul faqih yang digagas Ayatullah Khomeini. Konsep ini menjadi topik yang  kontroversial dalam wacana ke-Islaman. Belum pernah ada preseden bagi kelembagaan seperti itu dalam sejarah Islam, baik secara doktriner maupun praktis.[5] Namun, Iran membuktikan bahwa dirinya adalah negara pertama yang mampu membangun sebuah republik Islam.
Republik Islam Iran adalah bentuk pemerintahan paling mendekati demokratis yang dimilki Iran. Republik ini berdiri dengan mendapat legitimasi melalui konsensus rakyat. Di satu sisi Iran memfungsikan pembagian kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif, di sisi lain, Iran menikmati pluralisme terbatas. Kebebasan aspirasi dibatasi Ideologi Islam Iran (syi’ah) yang dikawal oleh fakih.

Iran dalam Potret Sejarah
  1. Sejarah awal, Kekaisaran Media dan Kekaisaran Achaemenid (3200 SM–330 SM)
Dari tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua dan ketiga, Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama Iran, Kekaisaran Media (728-550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran Achaemenid (648–330 SM) yang didirikan oleh Cyrus Agung.[6]
Cyrus Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Cyrus. Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia.) Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia setelah zamannya.Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama tujuh tahun (531-522 M) dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa di mana akhirnya Darius Agung (522-486 M) dinyatakan sebagai raja.
Ibu kota Persia pada zaman Darius I dipindahkan ke Susa dan ia mulai membangun Persepolis. Sebuah terusan di antara Sungai Nil dan Laut Merah turut dibangun dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan Terusan Suez. Sistem jalan juga turut diperbaharui dan sebuah jalan raya dibangun menghubungkan Susa dan Sardis. Jalan raya ini dikenal sebagai Jalan Kerajaan. Selain itu, pen-syiling-an dalam bentuk daric (syiling emas) dan juga Shekel (syiling perak) diperkenalkan ke seluruh dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan dan diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.
Di bawah pemerintahan Cyrus Agung dan Darius yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di dunia zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang mengamalkan sikap toleransi dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain di kawasan jajahannya.
  1. Kekaisaran Iran Ketiga: Kekaisaran Parthia (248 SM – 224 M)
Parthia bermula dengan Dinasti Arsacida yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan wilayah timur Yunani pada awal abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia antara tahun 150 SM dan 224 M. Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia. Tentara-tentara Parthia terhagi atas dua kelompok berkuda, tentara berkuda yang berperisai dan membawa senjata berat, dan tentara berkuda yang bersenjata ringan dan kudanya lincah bergerak. Sementara itu, tentara Romawi terlalu bergantung kepada infantri, menyebabkan Romawi sukar untuk mengalahkan Parthia. Tetapi, Parthia kekurangan teknik dalam perang tawan, menyebabkan mereka sukar mengawal kawasan taklukan. Ini menyebabkan kedua belah pihak gagal mengalahkan satu sama lain.Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun 224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.[7]
  1. Kekaisaran Iran Keempat: Kekaisaran Sassania (226–651)
Ardashir I, shah pertama Kekaisaran Sassania, mula membangun kembali ekonomi dan militer Persia. Wilayahnya meliputi kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah dan wilayah Arab. Pada zaman Khosrau II (590-628) pula, kekaisaran ini diperluas hingga Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon. Orang-orang Sassanid menamakan kekaisaran mereka Erānshahr (atau Iranshæhr, "Penguasaan Orang Arya".)
  1. Kekaisaran Sassania pada Zaman Kegemilangannya.
Sejarah Iran seterusnya diikuti dengan konflik selama enam ratus tahun dengan Kekaisaran Romawi. Menurut sejarawan, Persia kalah dalam Perang al-Qādisiyyah (632 M) di Hilla, Iraq. Rostam Farrokhzād, seorang jenderal Persia, dikritik kerana keputusannya untuk berperang kengan orang Arab di bumi Arab sendiri. Kekalahan Sassania di Irak menyebabkan tentara mereka tidak keruan dan akhirnya ini memberi jalan kepada futuhat Islam atas Persia.Era Sassania menyaksikan memuncaknya peradaban Persia, dan merupakan kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam. Pengaruh dan kebudayaan Sassania kemudian diteruskan setelah pemelukan Islam oleh bangsa Persia.
  1. Islam Persia dan Zaman Kegemilangan Islam Persia (700–1400)
Setelah pemelukan Islam, orang-orang Persia mulai membentuk gambaran Islam Persia, di mana mereka melestarikan gambaran sebagai orang Persia tetapi pada masa yang sama juga sebagai muslim. Pada tahun 8 M, Parsi memberi bantuan kepada Abbassiyah memerangi tentara Umayyah, karena Bani Umayyah hanya mementingkan bangsa Arab dan memandang rendah kepada orang Persia. Pada zaman Abbassiyah, orang-orang Persia mula melibatkan diri dalam administrasi kerajaan. Sebagian mendirikan dinasti sendiri.
Pada abad kesembilan dan kesepuluh, terdapat beberapa kebangkitan ashshobiyyah Persia yang menentang gagasan Arab sebagai Islam dan Muslim. Tetapi kebangkitan ini tidak menentang identitas seorang Islam. Salah satu dampak kebangkitan ini ialah penggunaan bahasa Persia sebagai bahasa resmi Iran.Pada zaman ini juga, para ilmuwan Persia menciptakan Zaman Kegemilangan Islam. Sementara itu Persia menjadi tumpuan penyebaran ilmu sains, filsafat dan teknik. Ini kemudian mempengaruhi sains di Eropa dan juga kebangkitan Renaissance.Bermula pada tahun 1220, Parsi dimasuki oleh tentera Mongolia di bawah pimpinan Genghis Khan, diikuti dengan Tamerlane, dimana kedua penjelajah ini menyebabkan kemusnahan yang parah di Persia.
  1. Islam Syi'ah, Kekaisaran Safawi, Dinasti Qajar/Pahlavi dan Iran Modern (1501 – 1979)
Parsi mulai berganti menjadi Islam Syiah pada zaman Safawi, pada tahun 1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah sebuah penguasa dunia yang utama dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran. Di bawah pemerintahannya, arsitektur Persia berkembang kembali dan menyaksikan pembangunan monumen-monumen yang indah. Kejatuhan Safawi disusuli dengan Persia yang menjadi sebuah medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar).
Namun begitu, Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-wilayahnya, menjadikannya unik di rantau itu. Modernisasi Iran yang bermula pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah dari orang-orang Persia. Ini menyebabkan terjadinya Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911. Pada tahun 1921, Reza Khan (juga dikenal sebagai Reza Shah) mengambil alih tahta melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang semakin lemah. Sebagai penyokong modernisasi, Shah Reza memulai pembangunan industri modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan tinggi di Iran. Malangnya, sikap aristokratik dan ketidakseimbangan pemulihan kemasyarakatan menyebabkan banyak rakyat Iran tidak puas.
Pada Perang Dunia II, tentara Inggris dan Uni Soviet menyerang Iran dari 25 Agustus hingga 17 September 1941, untuk membatasi Blok Poros dan menggagas infrastruktur penggalian minyak Iran. Blok Sekutu memaksa Shah untuk melantik anaknya, Mohammad Reza Pahlavi menggantikannya, dengan harapan Mohammad Reza menyokong mereka.
Malangnya, pemerintahan Shah Mohammad Reza bersifat otokratis. Dengan bantuan dari Amerika dan Inggris, Shah meneruskan modernisasi Industri Iran, tetapi pada masa yang sama menghancurkan partai-partai oposisi melalui badan intelijennya, SAVAK. Ayatollah Ruhollah Khomeini menjadi oposisi dan pengkritik aktif terhadap pemerintahan Shah Mohammad Reza dan kemudian ia dipenjarakan selama delapan belas bulan. Melalui nasihat jenderal Hassan Pakravan, Khomeini dibuang ke luar negeri dan diantar ke Turki dan selepas itu ke Irak.
Islam Syi’ah dan Nasionalisme: Identitas Iran
Sejak abad ke-16, ajaran Syi’ah telah menjadi identitas bangsa dan legitimasi politi Iran. Islam Syi’ah telah terlibat dalam percaturan politik sejak awal kelahirannya. Oleh karena itu, aliran ini memiliki sejarah dan kepercayaan yang dapat ditafsirkan dalam politik. Aliran ini telah ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk menjaga identitas dan kemerdekaan nasional serta mencari dukungan dari rakyat. Menurut catatan sejarah, pada abad ke-19 dan dan 20, para ulama, yang mengaggap diri mereka sebagai pelindung bangsa vis-à-vis pemerintah, terlibat aktif dalam protes-protes rakyat. Mereka menentang pemerintahan yang lalim—bahkan menjual Negara kepada imperialis asing.[8]
Dalam protes tembakau (1891-1892), para ulama secara progresif dan efektif memimpin gerakan oposisi dalam aksi embargo tembakau yang menjangkau luar negeri. Sekelompok aktivis intelektual dengan didukung kuat dari kaum pedagang mampu menunjukkan potensi mereka yang sangat kuat untuk menggerakkan mobolisasi masa.
Peristiwa sejarah lain adalah saat terjadi revolusi konstitusional  pada 1905-1911. Para ulama kembali bergabung dengan kaum bazari serta kaum nasionalis sekuler untuk menuturkan pembaruan konstitusional guna membatasi kekuasaan mutlak kerajaan.
Namun karena warisan dan dampak dari pengaruh asing, Iran mengalami krisis kekuasaan, krisis keabsahan, dan krisis partisispasi yang kian lama kian parah semasa pemerintahan pahlevi.[9] Hal itu juga menjadi preseden kuat bagi penafsiran ulang ajaran Islam Syi’ah guna menciptakan suatu ideologi protes dan oposisi, dan bagi para ulama yang dalam sejarah bersikap apolitis dan politis sekaligus, untuk menegaskan peranan mereka sebagai pelindung Islam dan umat/bangsa  Syi’ah vis-à-vis penguasa mutlak dan kelaliman pemerintah[10].

Wilayat al-Faqih: Perspektif Normatif dan Sosio-Historis
                                I.      Perspektif Normatif
Secara etimologis, kata “wilayat”  berasal dari kata “waliyan” yang berarti memiliki arti dekat dan memiliki suatu kekuasaan. Secara teknis, “wilayat” berarti pemerintahan, supremasi, atau kedaulatan. Dalam konteks Iran, wilayat al-fakih merupakan kewenangan para fuqaha/ahli fiqh dalam kekuasaan Negara. Seorang fakih adalah orang yang melibatkan diri dalam masalah-masalah agama, atau secara umum diartikan sebagai ahli hukum Islam. Pada dasarnya, konsep ini bukanlah doktrin yang sama sekali baru, akan tetapi ia mempunyai akar pemikiran dalam syi’ah.[11]
Dalam beberapa hal, wilayat al-fakih merupakan kelanjutan dari doktrin Imamah. Teori ini melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan Imam. Teori ini menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat—bebeda dengan Imam yang ditunjuk langsung oleh Allah melalui Imam sebelumnya. Factor utama dalam kepemimpinan tidaklah berubah: kekuasaan individual yang kharismatik.
Masalah Imamah merupakan respon politik paling awal dan terperinci dalam wilayah suksesi politik. Doktrin tersebut berawal dari keyakinan penunjukan Nabi terhadap Ali sebagai Khalifah. Dasar interpretasi mereka adalah hadis gadir dimana di dalamnya terkandung secara implisit penunjukan Ali menjadi pengganti Nabi[12].
Sebagai Pondasi awal pembentukan wilayah, Allah menunjukkan diriNya sebagai wali dari orang Mukmin. Konsep ini termaktub dalam surat Ali Imran (3): 68, al-Baqarah (2): 257, an-Nisa’ (4) 45, dan Yunus (10): 35.
Sementara hadis yang menjadi pijakan mereka—seperti yang telah disinggung di ats—adalah hadis gadir yang dikumandangkan Nabi pada saat haji wada’. Hadis ini dikutip langsung sebagai dalil untuk mendukung Ali dalam urusan khilafah. kutipan pemikiran tersebut berbunyi:
Barang siapa mengangkatku menjadi maula, Ali adalah maula pula (tiga kali) ya Allah… Cintailah orang-orang yang mencintainya. Musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya kemanapun ia berpaling.[13]
Syi’ah memhami bahwa hadis tersebut adalah legitimasi Ali sebagai pengganti (khalifah) Nabi. Kemudian hal ini dipahami sebagai doktrin dan percontohan dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberi suatu teori politik yang koheren.
Dalam pandangan Syi’ah Imamiyyah, dasar-dasar agama merupakan bagian kepercayaan yang berhubungan dengan aspek-aspek doctrinal Islam. Ketajaman pemahaman, bukti atau dalil merupakan bagian yang amat penting untuk mencapai Imam yang kokoh. Dalam urusan Imam, tidak diperkenankan taqlid pada orang lain tanpa bukti. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang mukmin wajib mencari hujjah untuk mengantarkan pada Imam yang kuat, sekalipun dengan bukti yang sederhana. Dalam hal ini, dasar-dasar agama dalam pandangan mereka adalah: keesaan Allah, keadilan, kenabian, Imamah, dan hari akhir.
Seiring pergeseran sejarah, saat imam ke-12 mengalami kegaiban, maka dirumuskanlah wilayat al-fakih, system ini terbentuk sebagai estafeta imamah—pasca masa ghaibah kubra. Kehujjahan mereka disandarkan pada berbagai macam dalil. Salah satunya dari hadis yang yang diriwayatkan Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari hammad bin Isa, dari Qadah, dari Imam Shadiq, yang menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi dalam hal menegakkan ajaran Syari’at, dan bahkan lebih dari itu, kalangan Syi’ah menganggap mereka (ulama) berwenang menegakkan system pemerintahan Negara. Ulama merupakan pewaris otoritas kenabian dan Imamah yang dipercaya untuk menjaga integritas Islam.[14]
Argument-argumen di atas merupakan landasan normatif dalam legitimasi kepemimpinan fakih pasca gaibnya Imam ke-12. doktrin-doktrin ini menggambarkan keyakinan dengan prosesi ijtihad dalam kalangan fakih, juga menggambarkan keyakinan  akan datangnya Imam Mahdi untuk memimpin umat Islam. Peristiwa sejarah ini juga sebagai pembuktian pergolakan fiqh di kalangan fuqaha abad ke-18, dimana posisi ijtihad kaum ushuli—sekarang menjelma menjadi Syi’ah Imamiyyah—unggul atas kaum akhbari yang menentang wilayat al-faqih.
                             II.      Perspektif Historis-Sosiologis
Madzhab Syi’ah Imamiyyah meyakini bahwa yang berhak atas otoritas spiritual dan politis pasca wafatnya Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib beserta sebelas keturunanaya. Karenanya, Madzhab ini dikenal sebagai Syi’ah Imamiyyah itsna ‘Asy’ariyyah.[15] Dalam pandangan mereka, Nabi memiliki hak prerogatif untuk menunjuk Imam yang maksum dan berakhlak sempurna.[16]
Dalam tradisi kepercayaan Syi’ah mengenai khalifah yang telah tercatat oleh sejarah adalah: mereka (kalifah historis) hanyalah penguasa de facto saja. Adapun Islam yang sesungguhnya berlangsung melalui semacam pergantian kerasulan.[17]
Dalam kepercayaan fundamental serta menjadi kewajiban dalam Syi’ah yaitu untuk taat pada otoritas imam. Mereka menganggap imamah seperti kenabian, yang membedakan hanyalah tidak adanya proses pewahyuan dalam Imamah, akan tetapi imam tetap melanjutkan tugas dan otoritas Nabi.
Golongan Imamiyah menjelaskan urutan imam—mulai pertama sampai ke-12 sebagai berikut:
1)      Ali bin Abi Thalib
2)      Hasan
3)      Hussain
4)      Ali bin Hussein
5)      Muhammad al-Baqir
6)      Ja’far Shadiq
7)      Musa Ibn Ja’far
8)      Imam Ridla
9)      M. Ibnu ‘Aly
10)  Imam Ali bin Muhammad
11)  Hasan al-Askari
12)  Imam Mahdi (yang dijanjikan dengan gelar imam al-‘asr (Imam zaman) dan berada di alam kegaiban)
Perjalanan pemikiran Imamah sebelum terjadinya wilayat al-fakih terbagi dalam dua fase:
Pertama: masa ketika Imam masih hidup
Kedua: Masa pasca meninggalnya Imam (kegaiban Imam ke-12)
Sementara masa gaibnya Imam juga terbagi menjadi dua fase:
Pertama: Gaibah Sugra:
Masa saat imam bersembunyi dibalik dunia fisik. Pada fase ini tugas Imam dan otoritas Imam diwakili oleh empat Imam (1) Abu Amr ‘Usman (2) Ja’far Muhammad (2) Abu Qasim al-Hussain (4) Abu hasan Ali.
Kedua: Gaibah Kubra
Masa setelah meninggalnya keempat wakil Imam sampai datang kembali imam yang dijanjikan: Imam Mahdi.
            Pada fase Ghaibah Qubra inilah konsep wilayat al-fakih terbentuk. Selama masa kekosongan—masa yang dimulai dari gaibnya Imam ke-12 sampai kemunculan kembali Imam yang ditunggu—kaum syi’ah menerima faqih sebagai pengganti kepemimpinannya, dengan syarat wakil itu dipilih sesuai dengan hukum Islam. Oleh karena itu,  seorang fakih membimbing umatnya setelah Ghaibah.[18]
            Jadi, jika para Imam berkewajiban membimbing umatnya setelah berakhirnya siklus wahyu, maka, fakih—sebagai pengganti Imam—berkewajiban mengawal dan membimbing umat setelah berakhirnya siklus Imamah, tentunya dengan ada perbedaan, yaitu: fakih tidak memilki sifat ‘ismah, atau atribut-atribut istimewa lainnya yang dimiliki para Imam.

Wilayat al-Faqih dalam Perspektif Imam Khomeini
Seperti halnya Ali Syari’ati, Khomeini percaya bahwa gaibnya Imam Mahdi tidak berarti berhentinya peran politik kaum Syi’ah. Dalam membangun masyarakat dan Negara, orang muslim tidak boleh menunggu sampai kembalinya Imam Mahdi. Oleh karena Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, pemerintahan harus diselenggarakan. adapun konsep pemerintahan Islam yang benar menurut Khomeini adalah: pemerintahan rakyat dengan berpegang pada Hukum Tuhan.
Sikap penolakan terhadap rezim pahlevi dan landasan konsep revolusionernya tentang “Negara Islam” diekspresikan dalam rangkaian kuliah yang diberikannya di Najaf, Irak—sewaktu berada dalam pengasingan politik (1970-an). Ide ini kemudian diterbitkan dalam kitab Hukumat-I Islam: Vilayat-I Fakih (Pmerintahan Islam: Perwalian Fakih) Buku Ini mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang Negara dan tujuan yang ingin di capainya
William L. Clevelan[19] mengkategorikan kitab ini sebagai sbuah blue print bagi reorganisasi masyarakat, sekaligus hand book bagi revolusi Iran. Gagasan esensial dala buku ini mencakup empat hal utama, yakni:
Pertama: kritikan tajam terhadap lembaga monarki; kedua: bahwa Negara Islam, yang didasarkan pada al-Qur’an dan dibentuk setelah Umat Islam diperintah Nabi Muhammad merupakan bentuk pemerintahan praktis yang dapat direalisasikan seumur hidup pada generasi sekarang; ketiga: bahwa ulama memegang peranan penting dalam kepemimpinan umat Islam, dan keempat: bahwa umat Islam harus melawan setiap bentuk penindasan tirani.[20]
            Seorang fakih harus berbuat sesuai dengan kapasitas fungsi—yang dipercayakan Nabi dan Imam Suci. Ia adalah pewaris otoritas itu, meski ia tidak memilki keistimewaan seperti mereka. Kewenangan fakih adalah sebagia penafsir, bukan pembuat hukum.
Khomeini menjelaskan, pemerintahan  akan sah jika menerima aturan Allah: menerapkan Syari’at Islam. Segenap hukum yang bertentangan dengan syari’at harus digugurkan, karena, hanya Hukum Allah saja yang sah dan tak berubah, meski zaman berubah.
Terkait dengan siapa yang berhak menjadi fakih, Khomeini memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) Berpengetahuan luas tentang Hukum Islam 2) Berlaku adil, beriman, dan berakhlak tinggi 3) Dapat dipercaya 4) Genius 5) Kemampuan administrative 6) Bebas dari pengaruh asing 7) memepertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan, dan integritas territorial. 9) menjalani hidup sederhana.[21] Dari beberapa persyaratan di atas, Khomeini lebih menitik beratkan pada dua pilar utama: Pengetahuan Hukum Islam, dan berlaku adil.
Dalam menggarap poyek wilayat al-faqih, Khomeini tidak saja membahas tentang kepemimpinan, tetapi mencakup garapannya secara menyeluruh termasuk demokrasi, social-ekonomi, dan adminitrasi kenegaraan. Dari sini terlihat bahwa Khomeini sangat serius mengawal terbentunya Republik Islam Iran.
Dalam pandangan Khomeini, demokrasi yang paling benar adalah demokrasi Islam, yang berdasar kehendak rakyat banyak dan kehendak tuhan. Dengan konsep ini Khomeini telah mengelaborasi demokrasi pada dimensi-dimensi yang berbeda dari esensi tabiat demokrasi[22]
Penerjemahan konsep demokrasi Khomeini yaitu penyerapan kehendak rakyat untuk membentuk sebuah republik, sehingga secara alamiah pemerintahan akan berjalan demokratis. Demokrasi menurutnya ialah sebuah system yang memberikan kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan umum.
Khomeini menekankan otoritas dalam kepemimpinan. Berbeda dengan demokrasi murni, aspirasi dari rakyat harus diikat dengan kehendak Ilahiyyah, dengan cara seperti inilah wilayat al-fakih terterjemahkan. Khomeini mengatakan:

Tanpa (Pengawalan dari) wilayat al-fakih, pemerintahan akan berjalan despotik, juga jika pemerintahan itu tidak berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika presiden dipilih tanpa arahan fakih, pemerintah harus menyatakan tidak sah. Despotisisme merupakan akibat dari ketidak absahan tersebut. Tunduk pada pemerintah semacam ini, berarti juga tunduk pada despotisisme.[23]

Dalam hal demokrasi, wilayat al-fakih menganut hukum Ilahiyyah-Manusiawi—disebut sebagai demokrasi Islam. Konsep ini memiliki dua unsur utam: manusia yang dinamis, serta Tuhan sebagai pembuat hukum (Syari’) yang memiliki wewenang mutlak.

Pembentukan Republik Islam Iran
Revolusi Iran (1979) berhasil menumbangkan Rezim pahlevi yang otokratis dan menindas. Ulama menjadi garda depan dalam revolusi besar itu, bahkan tetap eksis dalam pemerintahan sesudahnya. Iran telah memberi contoh pada dunia Islam dalam “revolusi politik Islam”—revolusi yang diperjuangkan atas nama Islam, ideologi revolusioner yang berorientasi pada Islam.
Ayatullah Khomeini menawarkan pengalaman agenda Iran sebagai tuntunan bagi perubahan politik dan ideologi Islam di dunia, yang akan menyatukan seluruh kaum muslim dalam satu perjuangan politik budaya Timur dan barat. Di bawah pimpinan Khomeini Iran telah memenangkan perjuangan kemerdekaannya dari cengkraman dinasti pahlevi, dan merubah persahabatn Iran-Amerika yang telah berlanjut selama tiga dasawarsa menjadi permusuhan.[24]
Dalam tahun-tahun 1979-1981 dunia menyaksikan pembentukan dan pelembagaan Republik Islam Iran. Khomeini dan Revolusinya tampil mewujudkan lgitimasi politik Islam: anti imprialisme, semangat nasionalisme, agama dan identitas nasional, partisipasi politik dan konstitusionalisme.
Revolusi yang dimotori Khomeini merupakan tindakan perlawanan terhadap dinasti palevi. Kecaman-kecaman terhadap dinasti tersebut terkait nasionalisme (ketergantungan dan ketakhlukan pada barat, terutama amerika) dan konstitusional (penindasan dan tidak adanya partisipasi politik).
Perubahan institusional dan konstitusional dilakukan melalui pemilihan. Reverendum pada Maret 1979 mengubah pemerintahan Iran dari monarki menjadi Republik. Majlis ahli yang yang didominasi oleh fuqaha membuat rancangan konstitusi yang akan disahkan dalam reverendum rakyat (November-Desember 1979). Perdebatan muncul disisni, tidak hanya pada golongan yang menginginkan bentuk Negara sekuler, tetapi  juga pihak yang menginginkan pemerintahan Islam yang menolak doktrin fakih Khomeini (ahli/otoritas hukum tertingi).
Bangunan konsep wilayat al-fakih telah dirumuskan Khomeini bertahun-tahun sebelum revolusi. Jika tidak ada imam, doktrin Syi’ah mengajarkan bahwa masyarakat muslim dibimbing oleh hukum Islam—syari’at dan para ahli hukum—para ahli tafsir syari’at, atau mujtahid. Khomeini begitu concern dalam masalah kenegaraan (Islam). Beliau mengecam para ulama yang para pemimpin agama yang menjauhkan diri dari politik. Kendati beliau tetap mengakui pentingnya do’a dan riual, namun dia mengedepankan masalah-masalah politik, ekonomi, dan Hukum Islam.
Khomeini meggambarkan, pemerintahan yang dijalankan oleh ahli hukum itu sesuai dengan contoh yang dilaksanakan Nabi Muhammad. Ahli hukum mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan Negara, meskipun tidak memiliki kedudukan yang sama seperti nabi. Meski dalam perjalannannya konsep ini banyak mendapat penolakan dari pembaharu secular dan agama, namun Khomeini bersikeras untuk menjalankan wilayat al-fakih sebagi system kenegaraan Iran. Menurutnya, konsep ini adalah suatu yang telah dirumuskan Tuhan.[25]
Perdebatan panjang akhirnya dimenangkan suara konsep wilayat al-fakih. Versi konstitusi terakhir, pada November 1979 menetapkan pemerintahan berdasarkan konsep tersebut. Dalam pembukaan konstitusi 1979 tertera rumusan “Rencana Pemerintahan Islam yang berdasarkan wilayat al-fakih yang diwakili Imam Khomeini…dst. Juga disebutkan, “Berdasarkan prinsip-prinsip wilayat amr dan Imamah, maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh fakih…”
Dalam Pasal dua disebutkan, “Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada (1) tauhid Kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanya milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati printah-Nya…(5) Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peran fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam”. Dengan demikian, konstitusi tersebut menetapkan para ulama memiliki wewenang tertinggi dalam menjalankan dan melaksanakan pemerintahan.
Ajaran Syi’ah itsna ‘as’ariyyah dinyatakan sebagai agama resmi Negara. Mekipun secara teksnis, konstitusi menerima doktrin kedaulatan rakyat, hukum Tuhan dan wakilnya: fakih, menempati hukum tertinggi. Meskipun presiden dipilih secara langsung, mewakili suara kedaulatan rakyat, fakih mewakili kedaulatan Ilahi dari hukum Tuhan.
Prinsip pemerintahan ahli hukum Islam ini diabadikan dalam konstitusi Iran. Fakih dibantu dewan pelindung beranggotakan du belas ahli hukum Islam. Dewan tersebut mengawasi pemilihan presiden di parlemen (majlis syura), menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian setiap undang-undang dengan hukum dan konstitusi Islam.
Meskipun cirri-ciri teokrasinya—terutama kekuasaan syari’ah dan pemerintah di tangan fakih—menunjukkan bahwa Iran bukanlah sebuah Negara demokrasi kerakyatan yang mutlak, dalam konstitusinya Iran dapat dikatakan sebuah republic. Fakih dan pelindung mempunyai hak veto atas semua undang-undang dan mereka mempunyai kekuasaan yang luas.
Pada saat yang sama, konstitusi Republik Islam Iran mempunyai pranata demokrasi. Konstitusi melengkapi system pemerintahan parlementer dengan badan: eksekutif, legislative, dan yudikatif: melakukan pembagian kekuasaan dan membentuk system pengawasan dan perimbangan: dan menetapkan pemilihan presiden dengan suara mayoritas mutlak.
Konstitusi Iran menunjuk Khomeini sebagai fakih seumur hidup. Setelah beliau wafat, jabatan itu diberikan pada seorang penerus yang memenuhi persyaratan atau suatu dewan yang terdiri dari tiga sampai lima fakih. Dalam konstitusi itu, fakih diberi wewenang sebagai pemimpin Negara tertinggi: menunjuk dewan pelindung dan mengepalai pengadilan, militer, dan pengawal revolusi, bertindak sebagai pengawas presiden, perdana menteri dan parlemen.[26]
Supremasi hukum Islam, dan berarti juga supremasi para ahli hukum (fakih, dewan pelindung, dan pengadilan) di Iran memberikan landasan dan legitimasi bagi para ulama untuk menyelenggarakan Negara. Negara pahlevi yang otoriter membuka jalan otoriterianisme dalam Republik Iran, ketika kekuasaan raja dengan pendekatan top down pemerintah diganti dengan pemerintahan yang mengakui partisipasi rakyat yang dibatasi secara cermat. Dalam pengertian mutlak, system baru itu tidak mengandung atribut-atribut Negara demokratis murni. Namun, dalam konteks regionalnya, “Iran, dibanding dengan Negara-negara tetangga Arabnya, tampak benar-benar memilki cirri khas suatu pemerintahan demokratis”.[27]






















Kesimpulan
Perjalanan system pemerintahan Republik Iran yang terselenggara samapai saat ini, tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh besar Ayatullah Khomeini: seorang pemimpin spiritual sekaligus pemimpin politik yang sangat dihormati di Iran. Ia adalah tokoh sentral dalam revolusi Iran dan terbentuknya Republik Islam Iran.
Konsep wilayat al-fakih merupakan sebuah tatanan yang menghendaki kepemimpinan pada umumnya, termasuk kepemimpinan politik, harus berada ditangan ulama (baca: fakih) yang terpercaya. Konsep ini merupakan kelanjutan dari doktrin Imamah dalam teori politik Syi’ah imamiyyah.
Berbeda dengan demokrasi murni, konsep demokrasi yang diterapkan di Iran adalah dibatasi dengan batas-batas syari’at Islam. Bisa dikatakan system pemerintahan Iran adalah “teo-demokrasi” seperti yang digagas al-Maududi, “Islamo-demokrasi” gagasan Nur Cholis Madjid, dan “theistic-demokrasi”nya Moh Natsir.
Iran telah menunjukkan isu-isu seputar partisipasi politik rakyat dan konsensus yang terejawantahkan dalam cakrawala politik dalam Republik Islam-nya. Dengan demikian, terbuka jalan untuk mendefinisikan demokrasi. Pengalaman yang dijalani Iran menegaskan kemungkinan untuk menciptakan sebuah demokrasi Islam.
Sebagai konsekuensinya, gagasan wilayat al-faqih bisa dijadikan alternatif yang dapat menjadi acuan bagi Negara-negara Muslim lain—terlebih negara yang belum membumikan demokrasi—di masa mendatang.
















Daftar Pustaka
Abbas Muhajirani Pemikiran Teologis dan FilosofisSyi’ah Dua belas Imam, dalam Nasr dan Aliver leman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim pnerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.

Benard, lewis, the Political language of Islam, Chicago: The University of Chicago.1998.

Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj. Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1984.
Fatah, Abdul Majid Fatah, Nazdariyyat Wilayat al-Faqh: Dirasah wa tahlil an-naqd, Ttp; Dar al-‘Amr. tt.

Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj.Ach. Baikuni, Bandung: Mizan, 1999.

Khomeini, Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah. (Ttp.Ttt) hlm.27
Riza, Sihbudi, “Bahasa Politik Dalam Madzhab Syi’ah: Kasus “Vilayat-I Fakih”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.

Said Amir Arjoman, The Turban for the crown: The Islamic Revolution of Iran, New York: Okford University Press, 1987.

Said Husain Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: Aquarian Press, 1994.
Syagrough Akhavi, Religion and Poloitik in Contemporary Iran, al-Bany: state University of New York, 1980.

Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Ibn, Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-balaghah,jilid IV, ttp.: Dar ar-Rasyad al-hadisah, tth.

Idris Thaha, Revolusi Iran dan Khomeini: Wilayat al-fakih dan Demokrasi, dalam jurnal al-Huda  No.13. vol.V. 2007.


[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Politik, dosen pengampu: Prof. Dr. Abdussalam Arief MA.
[2] Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim: 08.231.476
[3] Khomeini, Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah. (Ttp.Ttt) hlm.27
[4] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj.Ach. Baikuni (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 78.
[5] Riza, Sihbudi, “Bahasa Politik Dalam Madzhab Syi’ah: Kasus “Vilayat-I Fakqih”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
[6]Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim…hlm.77.
[7] Ibid. hlm. 79.
[8] Said Amir Arjoman, The Turban for the crown: The Islamic Revolution of Iran (New York: Okford University Press, 1987) hl.79
[9] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi… hlm. 67
[10] Lihat, Syagrough Akhavi, Religion and Poloitik in Contemporary Iran (al-Bany: state University of New York, 1980)
[11] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2003) hlm.129.
[12] Said Husain Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Aquarian Press, 1994) hlm. 150.
[13] Ibn, Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-balaghah,jilid IV (ttp.: Dar ar-Rasyad al-hadisah, tth.) hlm 21-26.
[14] Baca lebih lanjut, Imam Khomeini, Misbah al-Hidayat… hlm.29. Baca juga, Irfan Abdul Hamid Fatah, Nadzariyat Wilayat al-fakih: Dirasah wa Tahlil wa an-Naqd (Ttp: Dar al-‘Ammar, tt) hlm.23.
[15] Riza, Sihbudi, “Bahasa Politik…hlm.45. Lihat juga, Irfan Abdul Hamid Fatah, Nadzariyat hlm.1.
[16] Abbas Muhajirani Pemikiran Teologis dan FilosofisSyi’ah Dua belas Imam, dalam Nasr dan Aliver leman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim pnerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 203)hlm.147.
[17] Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, ter. Ena Hadi (Bandung: Mizan, 1984) hlm.37. Lihat juga Irfan Abdula Hamid Fatah, Nadzariyyah…hlm.5.
[18] Riza, Sihbudi, “Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayat al-Fakih, Sebuah Studi Penganta”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
[19] Sebagaimana dikutip Riza Sihbudi dalam“Bahasa Politik Dalam Madzhab Syi’ah: Kasus “Vilayat-I Fakqih”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
[20] Ibid.hlm. 47.
[21] Idris Thaha, Revolusi Iran dan Khomeini: Wilayat al-fakih dan Demokrasi, dalam jurnal al-Huda  No.13. vol.V. 2007.
[22] Hamid Haji Haidar, Filsafat Politik Imam Khomeini, dalam jurnal al-Huda no.4 Vol.2 2001. hlm 68.
[23] Yamani, Antara al-farabi… hlm.141.
[24] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi..hlm 79.
[25] Ibid. hlm. 81
[26] Ibid. hlm. 83.
[27]Ibid. hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar