Oleh: Ahmad Z. Anam[2]
الخلافة الإلهيّة : هي روخ الخلافة
المحمّدية(ص)وربّها وأصلها ومبدأها. منها بدأ أصل الخلافة في العوالم كلّها بل أصل
الخلافة والخليفة والمستخلف إليه...
أصل الحقائق الكلّية الإلهية وهى أصل الخلافة.(خضرة امام خميني)[3]
Pendahuluan
Bergulirnya revolusi
(1979) telah merubah sejarah bangsa Iran . Peristiwa bersejarah itu
mengahiri tradisi kerajaan yag telah berkuasa 2500 tahun, dan mengubah
persahabatan AS-Iran yang telah dibangun tiga dasawarsa menjadi sebuah
permusuhan. Iran
menunjukkan pada dunia—khususnya Islam, atas kesuksesan pertama dalam revolusi
politik Islam.[4]
Sebagai follow-up
peristiwa revolusi itu, dewan kostituante membentuk republik Islam Iran . Bentuk
ini merupakan hasil elaborasi dari konsep wilayatul faqih yang
digagas Ayatullah Khomeini. Konsep ini menjadi topik yang kontroversial dalam wacana ke-Islaman. Belum
pernah ada preseden bagi kelembagaan seperti itu dalam sejarah Islam, baik secara
doktriner maupun praktis.[5] Namun , Iran
membuktikan bahwa dirinya adalah negara pertama yang mampu membangun sebuah
republik Islam.
Republik Islam Iran adalah bentuk pemerintahan paling mendekati
demokratis yang dimilki Iran .
Republik ini berdiri dengan mendapat legitimasi melalui konsensus rakyat. Di
satu sisi Iran memfungsikan
pembagian kekuasaan eksekutif, legilatif, dan yudikatif, di sisi lain, Iran menikmati
pluralisme terbatas. Kebebasan aspirasi dibatasi Ideologi Islam Iran (syi’ah)
yang dikawal oleh fakih.
- Sejarah
awal, Kekaisaran Media dan Kekaisaran Achaemenid (3200 SM–330 SM)
Dari
tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua dan ketiga, Bangsa Arya hijrah ke Iran dan mendirikan kekaisaran pertama
Iran, Kekaisaran Media
(728-550 SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri bangsa dan juga
kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran
Achaemenid (648–330 SM) yang didirikan oleh Cyrus Agung.[6]
Cyrus Agung
juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai
hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Cyrus.
Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan dilarang di
kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran Persia.)
Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia
setelah zamannya.Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama
tujuh tahun (531-522 M) dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa di
mana akhirnya Darius Agung
(522-486 M) dinyatakan sebagai raja.
Ibu
kota Persia pada zaman Darius I dipindahkan
ke Susa dan ia
mulai membangun Persepolis.
Sebuah terusan di antara Sungai Nil
dan Laut Merah
turut dibangun dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan Terusan Suez.
Sistem jalan juga turut diperbaharui dan sebuah jalan raya dibangun
menghubungkan Susa dan Sardis. Jalan raya
ini dikenal sebagai Jalan Kerajaan. Selain itu,
pen-syiling-an dalam bentuk daric (syiling emas) dan juga Shekel
(syiling perak) diperkenalkan ke seluruh dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan dan
diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.
Di bawah pemerintahan Cyrus Agung
dan Darius yang Agung, Kekaisaran Persia menjadi
sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di dunia zaman itu. Pencapaian
utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama yang mengamalkan sikap toleransi
dan menghormati budaya-budaya dan agama-agama lain di kawasan jajahannya.
Parthia bermula
dengan Dinasti Arsacida
yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan
wilayah timur Yunani pada awal
abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia
antara tahun 150 SM dan 224 M. Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di
sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia.
Tentara-tentara Parthia terhagi atas dua kelompok berkuda, tentara berkuda yang
berperisai dan membawa senjata berat, dan tentara berkuda yang bersenjata
ringan dan kudanya lincah bergerak. Sementara itu, tentara Romawi terlalu
bergantung kepada infantri, menyebabkan Romawi sukar untuk mengalahkan Parthia.
Tetapi, Parthia kekurangan teknik dalam perang tawan, menyebabkan mereka sukar
mengawal kawasan taklukan. Ini menyebabkan kedua belah pihak gagal mengalahkan
satu sama lain.Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun
224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.[7]
Ardashir I, shah pertama Kekaisaran
Sassania, mula membangun kembali ekonomi dan militer Persia. Wilayahnya meliputi
kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah
dan wilayah Arab. Pada zaman Khosrau II (590-628) pula, kekaisaran ini diperluas hingga Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon.
Orang-orang Sassanid menamakan kekaisaran mereka Erānshahr (atau Iranshæhr,
"Penguasaan Orang Arya".)
- Kekaisaran Sassania pada Zaman Kegemilangannya.
Sejarah Iran
seterusnya diikuti dengan konflik selama enam ratus tahun dengan Kekaisaran
Romawi. Menurut
sejarawan, Persia kalah
dalam Perang al-Qādisiyyah
(632 M) di Hilla, Iraq. Rostam Farrokhzād,
seorang jenderal Persia ,
dikritik kerana keputusannya untuk berperang kengan orang Arab di bumi Arab
sendiri. Kekalahan Sassania di Irak menyebabkan tentara mereka tidak keruan
dan akhirnya ini memberi jalan kepada futuhat Islam atas Persia.Era
Sassania menyaksikan memuncaknya peradaban Persia, dan
merupakan kekaisaran Persia
terakhir sebelum kedatangan Islam. Pengaruh
dan kebudayaan Sassania kemudian diteruskan setelah pemelukan Islam oleh
bangsa Persia.
Setelah
pemelukan Islam, orang-orang Persia mulai membentuk gambaran Islam Persia, di
mana mereka melestarikan gambaran sebagai orang Persia tetapi pada masa yang
sama juga sebagai muslim. Pada tahun 8 M, Parsi memberi bantuan kepada Abbassiyah
memerangi tentara Umayyah, karena
Bani Umayyah hanya mementingkan bangsa Arab dan memandang rendah kepada orang
Persia. Pada zaman Abbassiyah, orang-orang Persia mula melibatkan diri dalam
administrasi kerajaan. Sebagian mendirikan dinasti sendiri.
Pada abad
kesembilan dan kesepuluh, terdapat beberapa kebangkitan ashshobiyyah Persia
yang menentang gagasan Arab sebagai Islam dan Muslim. Tetapi kebangkitan ini
tidak menentang identitas seorang Islam. Salah satu dampak kebangkitan ini
ialah penggunaan bahasa Persia
sebagai bahasa resmi Iran.Pada zaman ini juga, para ilmuwan Persia menciptakan Zaman Kegemilangan Islam.
Sementara itu Persia menjadi tumpuan penyebaran ilmu sains, filsafat dan
teknik. Ini kemudian mempengaruhi sains di Eropa dan juga kebangkitan Renaissance.Bermula
pada tahun 1220, Parsi dimasuki oleh tentera Mongolia di bawah pimpinan Genghis Khan,
diikuti dengan Tamerlane, dimana
kedua penjelajah ini menyebabkan kemusnahan yang parah di Persia.
Parsi mulai
berganti menjadi Islam Syiah pada zaman Safawi, pada tahun
1501. Dinasti Safawi kemudian menjadi salah sebuah penguasa dunia yang utama
dan mulai mempromosikan industri pariwisata di Iran. Di bawah pemerintahannya,
arsitektur Persia berkembang kembali dan menyaksikan pembangunan
monumen-monumen yang indah. Kejatuhan Safawi disusuli dengan Persia yang
menjadi sebuah medan persaingan antara kekuasaan Kekaisaran Rusia
dan Kekaisaran
Britania (yang menggunakan pengaruh Dinasti Qajar).
Namun
begitu, Iran tetap melestarikan kemerdekaan dan wilayah-wilayahnya,
menjadikannya unik di rantau itu. Modernisasi Iran
yang bermula pada lewat abad ke-19, membangkitkan keinginan untuk berubah dari
orang-orang Persia .
Ini menyebabkan terjadinya Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 hingga 1911.
Pada tahun 1921, Reza Khan (juga dikenal sebagai
Reza Shah) mengambil alih tahta melalui perebutan kekuasaan dari Qajar yang
semakin lemah. Sebagai penyokong modernisasi, Shah Reza memulai pembangunan industri
modern, jalan kereta api, dan pendirian sistem pendidikan tinggi di Iran .
Malangnya, sikap aristokratik dan ketidakseimbangan pemulihan kemasyarakatan
menyebabkan banyak rakyat Iran
tidak puas.
Pada Perang Dunia II,
tentara Inggris dan Uni Soviet menyerang Iran dari 25 Agustus hingga 17
September 1941, untuk membatasi Blok Poros dan menggagas infrastruktur
penggalian minyak Iran. Blok Sekutu memaksa Shah untuk melantik anaknya, Mohammad
Reza Pahlavi menggantikannya, dengan harapan Mohammad Reza
menyokong mereka.
Malangnya,
pemerintahan Shah Mohammad Reza bersifat otokratis. Dengan bantuan dari Amerika
dan Inggris, Shah meneruskan modernisasi Industri Iran, tetapi pada masa yang
sama menghancurkan partai-partai oposisi melalui badan intelijennya, SAVAK. Ayatollah Ruhollah
Khomeini menjadi oposisi dan pengkritik aktif terhadap pemerintahan Shah
Mohammad Reza dan kemudian ia dipenjarakan selama delapan belas bulan. Melalui
nasihat jenderal Hassan Pakravan,
Khomeini dibuang ke luar negeri dan diantar ke Turki dan selepas
itu ke Irak.
Islam Syi’ah
dan Nasionalisme: Identitas Iran
Sejak abad ke-16, ajaran
Syi’ah telah menjadi identitas bangsa dan legitimasi politi Iran . Islam
Syi’ah telah terlibat dalam percaturan politik sejak awal kelahirannya. Oleh karena
itu, aliran ini memiliki sejarah dan kepercayaan yang dapat ditafsirkan dalam politik.
Aliran ini telah ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk menjaga identitas dan kemerdekaan
nasional serta mencari dukungan dari rakyat. Menurut catatan sejarah, pada abad
ke-19 dan dan 20, para ulama, yang mengaggap diri mereka sebagai pelindung
bangsa vis-à-vis pemerintah, terlibat
aktif dalam protes-protes rakyat. Mereka menentang pemerintahan yang lalim—bahkan
menjual Negara kepada imperialis asing.[8]
Dalam protes tembakau
(1891-1892), para ulama secara progresif dan efektif memimpin gerakan oposisi
dalam aksi embargo tembakau yang menjangkau luar negeri. Sekelompok aktivis
intelektual dengan didukung kuat dari kaum pedagang mampu menunjukkan potensi
mereka yang sangat kuat untuk menggerakkan mobolisasi masa.
Peristiwa sejarah lain
adalah saat terjadi revolusi konstitusional
pada 1905-1911. Para ulama kembali
bergabung dengan kaum bazari serta
kaum nasionalis sekuler untuk menuturkan pembaruan konstitusional guna
membatasi kekuasaan mutlak kerajaan.
Namun karena warisan dan
dampak dari pengaruh asing, Iran
mengalami krisis kekuasaan, krisis keabsahan, dan krisis partisispasi yang kian
lama kian parah semasa pemerintahan pahlevi.[9] Hal itu
juga menjadi preseden kuat bagi penafsiran ulang ajaran Islam Syi’ah guna
menciptakan suatu ideologi protes dan oposisi, dan bagi para ulama yang dalam
sejarah bersikap apolitis dan politis sekaligus, untuk menegaskan peranan
mereka sebagai pelindung Islam dan umat/bangsa
Syi’ah vis-à-vis penguasa
mutlak dan kelaliman pemerintah[10].
Wilayat
al-Faqih:
Perspektif Normatif dan Sosio-Historis
I.
Perspektif
Normatif
Secara etimologis, kata “wilayat”
berasal dari kata “waliyan” yang
berarti memiliki arti dekat dan memiliki suatu kekuasaan. Secara teknis,
“wilayat” berarti pemerintahan, supremasi, atau kedaulatan. Dalam
konteks Iran ,
wilayat al-fakih merupakan kewenangan para fuqaha/ahli fiqh dalam kekuasaan Negara. Seorang fakih adalah orang
yang melibatkan diri dalam masalah-masalah agama, atau secara umum diartikan
sebagai ahli hukum Islam. Pada dasarnya, konsep ini bukanlah doktrin yang sama
sekali baru, akan tetapi ia mempunyai akar pemikiran dalam syi’ah.[11]
Dalam beberapa hal, wilayat al-fakih merupakan kelanjutan
dari doktrin Imamah. Teori ini melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan Imam. Teori
ini menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat—bebeda
dengan Imam yang ditunjuk langsung oleh Allah melalui Imam sebelumnya. Factor utama
dalam kepemimpinan tidaklah berubah: kekuasaan individual yang kharismatik.
Masalah Imamah merupakan
respon politik paling awal dan terperinci dalam wilayah suksesi politik.
Doktrin tersebut berawal dari keyakinan penunjukan Nabi terhadap Ali sebagai
Khalifah. Dasar interpretasi mereka adalah hadis gadir dimana di dalamnya terkandung secara implisit penunjukan Ali
menjadi pengganti Nabi[12].
Sebagai Pondasi awal
pembentukan wilayah, Allah
menunjukkan diriNya sebagai wali dari orang Mukmin. Konsep ini termaktub dalam surat Ali Imran (3): 68,
al-Baqarah (2): 257, an-Nisa’ (4) 45, dan Yunus (10): 35.
Sementara hadis yang
menjadi pijakan mereka—seperti yang telah disinggung di ats—adalah hadis gadir yang dikumandangkan Nabi pada saat
haji wada’. Hadis ini dikutip langsung sebagai dalil untuk mendukung Ali dalam urusan
khilafah. kutipan pemikiran tersebut berbunyi:
Barang siapa mengangkatku
menjadi maula, Ali adalah maula pula (tiga kali) ya Allah… Cintailah
orang-orang yang mencintainya. Musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah
orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya,
dan jagalah kebenaran dalam dirinya kemanapun ia berpaling.[13]
Syi’ah memhami bahwa
hadis tersebut adalah legitimasi Ali sebagai pengganti (khalifah) Nabi. Kemudian hal ini dipahami sebagai doktrin dan
percontohan dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum,
serta memberi suatu teori politik yang koheren.
Dalam pandangan Syi’ah
Imamiyyah, dasar-dasar agama merupakan bagian kepercayaan yang berhubungan
dengan aspek-aspek doctrinal Islam. Ketajaman pemahaman, bukti atau dalil
merupakan bagian yang amat penting untuk mencapai Imam yang kokoh. Dalam urusan
Imam, tidak diperkenankan taqlid pada
orang lain tanpa bukti. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang mukmin wajib
mencari hujjah untuk mengantarkan
pada Imam yang kuat, sekalipun dengan bukti yang sederhana. Dalam hal ini, dasar-dasar
agama dalam pandangan mereka adalah: keesaan Allah, keadilan, kenabian, Imamah,
dan hari akhir.
Seiring pergeseran
sejarah, saat imam ke-12 mengalami kegaiban, maka dirumuskanlah wilayat al-fakih, system ini terbentuk
sebagai estafeta imamah—pasca masa ghaibah kubra. Kehujjahan mereka
disandarkan pada berbagai macam dalil. Salah satunya dari hadis yang yang
diriwayatkan Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari hammad bin Isa, dari Qadah,
dari Imam Shadiq, yang menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi dalam
hal menegakkan ajaran Syari’at, dan bahkan lebih dari itu, kalangan Syi’ah
menganggap mereka (ulama) berwenang menegakkan system pemerintahan Negara.
Ulama merupakan pewaris otoritas kenabian dan Imamah yang dipercaya untuk
menjaga integritas Islam.[14]
Argument-argumen di atas
merupakan landasan normatif dalam legitimasi kepemimpinan fakih pasca gaibnya
Imam ke-12. doktrin-doktrin ini menggambarkan keyakinan dengan prosesi ijtihad
dalam kalangan fakih, juga menggambarkan keyakinan akan datangnya Imam Mahdi untuk memimpin umat
Islam. Peristiwa sejarah ini juga sebagai pembuktian pergolakan fiqh di
kalangan fuqaha abad ke-18, dimana posisi ijtihad kaum ushuli—sekarang menjelma menjadi Syi’ah Imamiyyah—unggul atas kaum akhbari
yang menentang wilayat al-faqih.
II.
Perspektif
Historis-Sosiologis
Madzhab Syi’ah Imamiyyah
meyakini bahwa yang berhak atas otoritas spiritual dan politis pasca wafatnya
Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib beserta sebelas keturunanaya.
Karenanya, Madzhab ini dikenal sebagai Syi’ah Imamiyyah itsna ‘Asy’ariyyah.[15] Dalam
pandangan mereka, Nabi memiliki hak prerogatif untuk menunjuk Imam yang maksum
dan berakhlak sempurna.[16]
Dalam tradisi kepercayaan
Syi’ah mengenai khalifah yang telah tercatat oleh sejarah adalah: mereka
(kalifah historis) hanyalah penguasa de facto saja. Adapun Islam yang
sesungguhnya berlangsung melalui semacam pergantian kerasulan.[17]
Dalam kepercayaan
fundamental serta menjadi kewajiban dalam Syi’ah yaitu untuk taat pada otoritas
imam. Mereka menganggap imamah seperti kenabian, yang membedakan hanyalah tidak
adanya proses pewahyuan dalam Imamah, akan tetapi imam tetap melanjutkan tugas
dan otoritas Nabi.
Golongan Imamiyah
menjelaskan urutan imam—mulai pertama sampai ke-12 sebagai berikut:
1) Ali bin Abi Thalib
2) Hasan
3) Hussain
4) Ali bin Hussein
5) Muhammad al-Baqir
6) Ja’far Shadiq
7) Musa Ibn Ja’far
8) Imam Ridla
9) M. Ibnu ‘Aly
10) Imam Ali bin Muhammad
11) Hasan al-Askari
12) Imam Mahdi (yang
dijanjikan dengan gelar imam al-‘asr (Imam zaman) dan berada di alam kegaiban)
Perjalanan pemikiran
Imamah sebelum terjadinya wilayat al-fakih terbagi dalam dua fase:
Pertama: masa ketika Imam masih
hidup
Kedua: Masa pasca meninggalnya
Imam (kegaiban Imam ke-12)
Sementara masa gaibnya
Imam juga terbagi menjadi dua fase:
Pertama: Gaibah Sugra:
Masa saat imam bersembunyi
dibalik dunia fisik. Pada fase ini tugas Imam dan otoritas Imam diwakili oleh
empat Imam (1) Abu Amr ‘Usman (2) Ja’far Muhammad (2) Abu Qasim al-Hussain (4)
Abu hasan Ali.
Kedua: Gaibah Kubra
Masa setelah meninggalnya
keempat wakil Imam sampai datang kembali imam yang dijanjikan: Imam Mahdi.
Pada
fase Ghaibah Qubra inilah konsep wilayat al-fakih terbentuk.
Selama masa kekosongan—masa yang dimulai dari gaibnya Imam ke-12 sampai
kemunculan kembali Imam yang ditunggu—kaum syi’ah menerima faqih sebagai
pengganti kepemimpinannya, dengan syarat wakil itu dipilih sesuai dengan hukum
Islam. Oleh karena itu, seorang fakih
membimbing umatnya setelah Ghaibah.[18]
Jadi,
jika para Imam berkewajiban membimbing umatnya setelah berakhirnya siklus
wahyu, maka, fakih—sebagai pengganti Imam—berkewajiban mengawal dan membimbing
umat setelah berakhirnya siklus Imamah, tentunya dengan ada perbedaan, yaitu:
fakih tidak memilki sifat ‘ismah, atau atribut-atribut istimewa lainnya
yang dimiliki para Imam.
Wilayat
al-Faqih
dalam Perspektif Imam Khomeini
Seperti
halnya Ali Syari’ati, Khomeini percaya bahwa gaibnya Imam Mahdi tidak berarti
berhentinya peran politik kaum Syi’ah. Dalam membangun masyarakat dan Negara,
orang muslim tidak boleh menunggu sampai kembalinya Imam Mahdi. Oleh karena
Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, pemerintahan harus diselenggarakan.
adapun konsep pemerintahan Islam yang benar menurut Khomeini adalah:
pemerintahan rakyat dengan berpegang pada Hukum Tuhan.
Sikap
penolakan terhadap rezim pahlevi dan landasan konsep revolusionernya tentang
“Negara Islam” diekspresikan dalam rangkaian kuliah yang diberikannya di Najaf,
Irak—sewaktu berada dalam pengasingan politik (1970-an). Ide ini kemudian
diterbitkan dalam kitab Hukumat-I Islam:
Vilayat-I Fakih (Pmerintahan Islam: Perwalian Fakih) Buku Ini
mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang Negara dan tujuan yang
ingin di capainya
William
L. Clevelan[19]
mengkategorikan kitab ini sebagai sbuah blue
print bagi reorganisasi
masyarakat, sekaligus hand book bagi
revolusi Iran .
Gagasan esensial dala buku ini mencakup empat hal utama, yakni:
Pertama:
kritikan tajam terhadap lembaga monarki; kedua:
bahwa Negara Islam, yang didasarkan pada al-Qur’an
dan dibentuk setelah Umat Islam diperintah Nabi Muhammad merupakan bentuk
pemerintahan praktis yang dapat direalisasikan seumur hidup pada generasi
sekarang; ketiga: bahwa ulama memegang peranan penting dalam
kepemimpinan umat Islam, dan keempat: bahwa umat Islam harus melawan
setiap bentuk penindasan tirani.[20]
Seorang fakih harus berbuat sesuai
dengan kapasitas fungsi—yang dipercayakan Nabi dan Imam Suci. Ia adalah pewaris
otoritas itu, meski ia tidak memilki keistimewaan seperti mereka. Kewenangan
fakih adalah sebagia penafsir, bukan pembuat hukum.
Khomeini
menjelaskan, pemerintahan akan sah jika
menerima aturan Allah: menerapkan Syari’at Islam. Segenap hukum yang
bertentangan dengan syari’at harus digugurkan, karena, hanya Hukum Allah saja
yang sah dan tak berubah, meski zaman berubah.
Terkait
dengan siapa yang berhak menjadi fakih, Khomeini
memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) Berpengetahuan luas
tentang Hukum Islam 2) Berlaku adil, beriman, dan berakhlak tinggi 3) Dapat
dipercaya 4) Genius 5) Kemampuan administrative 6) Bebas dari pengaruh asing 7)
memepertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan, dan integritas territorial. 9)
menjalani hidup sederhana.[21]
Dari beberapa persyaratan di atas, Khomeini lebih menitik beratkan pada dua
pilar utama: Pengetahuan Hukum Islam, dan berlaku adil.
Dalam
menggarap poyek wilayat al-faqih, Khomeini
tidak saja membahas tentang kepemimpinan, tetapi mencakup garapannya secara
menyeluruh termasuk demokrasi, social-ekonomi, dan adminitrasi kenegaraan. Dari
sini terlihat bahwa Khomeini sangat serius mengawal terbentunya Republik Islam Iran .
Dalam
pandangan Khomeini, demokrasi yang paling benar adalah demokrasi Islam, yang
berdasar kehendak rakyat banyak dan kehendak tuhan. Dengan konsep ini Khomeini
telah mengelaborasi demokrasi pada dimensi-dimensi yang berbeda dari esensi
tabiat demokrasi[22]
Penerjemahan
konsep demokrasi Khomeini yaitu penyerapan kehendak rakyat untuk membentuk sebuah
republik, sehingga secara alamiah pemerintahan akan berjalan demokratis.
Demokrasi menurutnya ialah sebuah system yang memberikan kemerdekaan, keadilan,
dan kesejahteraan umum.
Khomeini
menekankan otoritas dalam kepemimpinan. Berbeda dengan demokrasi murni,
aspirasi dari rakyat harus diikat dengan kehendak Ilahiyyah, dengan cara
seperti inilah wilayat al-fakih terterjemahkan.
Khomeini mengatakan:
Tanpa
(Pengawalan dari) wilayat al-fakih, pemerintahan
akan berjalan despotik, juga jika pemerintahan itu tidak berjalan sesuai dengan
kehendak Tuhan. Jika presiden dipilih tanpa arahan fakih, pemerintah harus
menyatakan tidak sah. Despotisisme merupakan akibat dari ketidak absahan
tersebut. Tunduk pada pemerintah semacam ini, berarti juga tunduk pada despotisisme.[23]
Dalam
hal demokrasi, wilayat al-fakih menganut
hukum Ilahiyyah-Manusiawi—disebut sebagai demokrasi Islam. Konsep ini memiliki
dua unsur utam: manusia yang dinamis, serta Tuhan sebagai pembuat hukum (Syari’)
yang memiliki wewenang mutlak.
Pembentukan Republik Islam Iran
Revolusi Iran (1979)
berhasil menumbangkan Rezim pahlevi yang otokratis dan menindas. Ulama menjadi
garda depan dalam revolusi besar itu, bahkan tetap eksis dalam pemerintahan
sesudahnya. Iran
telah memberi contoh pada dunia Islam dalam “revolusi politik Islam”—revolusi
yang diperjuangkan atas nama Islam, ideologi revolusioner yang berorientasi
pada Islam.
Ayatullah Khomeini
menawarkan pengalaman agenda Iran
sebagai tuntunan bagi perubahan politik dan ideologi Islam di dunia, yang akan
menyatukan seluruh kaum muslim dalam satu perjuangan politik budaya Timur dan
barat. Di bawah pimpinan Khomeini Iran telah memenangkan perjuangan
kemerdekaannya dari cengkraman dinasti pahlevi, dan merubah persahabatn
Iran-Amerika yang telah berlanjut selama tiga dasawarsa menjadi permusuhan.[24]
Dalam tahun-tahun
1979-1981 dunia menyaksikan pembentukan dan pelembagaan Republik Islam Iran . Khomeini
dan Revolusinya tampil mewujudkan lgitimasi politik Islam: anti imprialisme,
semangat nasionalisme, agama dan identitas nasional, partisipasi politik dan
konstitusionalisme.
Revolusi yang dimotori
Khomeini merupakan tindakan perlawanan terhadap dinasti palevi. Kecaman-kecaman
terhadap dinasti tersebut terkait nasionalisme (ketergantungan dan ketakhlukan
pada barat, terutama amerika) dan konstitusional (penindasan dan tidak adanya
partisipasi politik).
Perubahan institusional
dan konstitusional dilakukan melalui pemilihan. Reverendum pada Maret 1979
mengubah pemerintahan Iran
dari monarki menjadi Republik. Majlis ahli yang yang didominasi oleh fuqaha
membuat rancangan konstitusi yang akan disahkan dalam reverendum rakyat
(November-Desember 1979). Perdebatan muncul disisni, tidak hanya pada golongan
yang menginginkan bentuk Negara sekuler, tetapi
juga pihak yang menginginkan pemerintahan Islam yang menolak doktrin
fakih Khomeini (ahli/otoritas hukum tertingi).
Bangunan konsep wilayat
al-fakih telah dirumuskan Khomeini bertahun-tahun sebelum revolusi. Jika
tidak ada imam, doktrin Syi’ah mengajarkan bahwa masyarakat muslim dibimbing
oleh hukum Islam—syari’at dan para ahli hukum—para ahli tafsir syari’at, atau
mujtahid. Khomeini begitu concern dalam masalah kenegaraan (Islam).
Beliau mengecam para ulama yang para pemimpin agama yang menjauhkan diri dari
politik. Kendati beliau tetap mengakui pentingnya do’a dan riual, namun dia
mengedepankan masalah-masalah politik, ekonomi, dan Hukum Islam.
Khomeini meggambarkan,
pemerintahan yang dijalankan oleh ahli hukum itu sesuai dengan contoh yang
dilaksanakan Nabi Muhammad. Ahli hukum mempunyai wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan urusan Negara, meskipun tidak memiliki kedudukan yang sama
seperti nabi. Meski dalam perjalannannya konsep ini banyak mendapat penolakan
dari pembaharu secular dan agama, namun Khomeini bersikeras untuk menjalankan wilayat
al-fakih sebagi system kenegaraan Iran . Menurutnya, konsep ini adalah
suatu yang telah dirumuskan Tuhan.[25]
Perdebatan panjang
akhirnya dimenangkan suara konsep wilayat al-fakih. Versi konstitusi
terakhir, pada November 1979 menetapkan pemerintahan berdasarkan konsep
tersebut. Dalam pembukaan konstitusi 1979 tertera rumusan “Rencana Pemerintahan
Islam yang berdasarkan wilayat al-fakih yang diwakili Imam Khomeini…dst.
Juga disebutkan, “Berdasarkan prinsip-prinsip wilayat amr dan Imamah,
maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh
fakih…”
Dalam Pasal dua
disebutkan, “Republik Islam sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan
pada (1) tauhid Kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanya milik-Nya semata-mata
serta kewajiban menaati printah-Nya…(5) Imamah dan kelanjutan
kepemimpinan, serta peran fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam”. Dengan
demikian, konstitusi tersebut menetapkan para ulama memiliki wewenang tertinggi
dalam menjalankan dan melaksanakan pemerintahan.
Ajaran Syi’ah itsna
‘as’ariyyah dinyatakan sebagai agama resmi Negara. Mekipun secara teksnis,
konstitusi menerima doktrin kedaulatan rakyat, hukum Tuhan dan wakilnya: fakih,
menempati hukum tertinggi. Meskipun presiden dipilih secara langsung, mewakili
suara kedaulatan rakyat, fakih mewakili kedaulatan Ilahi dari hukum Tuhan.
Prinsip pemerintahan ahli
hukum Islam ini diabadikan dalam konstitusi Iran . Fakih dibantu dewan pelindung
beranggotakan du belas ahli hukum Islam. Dewan tersebut mengawasi pemilihan
presiden di parlemen (majlis syura), menafsirkan konstitusi, dan
memastikan kesesuaian setiap undang-undang dengan hukum dan konstitusi Islam.
Meskipun cirri-ciri
teokrasinya—terutama kekuasaan syari’ah dan pemerintah di tangan
fakih—menunjukkan bahwa Iran
bukanlah sebuah Negara demokrasi kerakyatan yang mutlak, dalam konstitusinya Iran dapat
dikatakan sebuah republic. Fakih dan pelindung mempunyai hak veto atas semua
undang-undang dan mereka mempunyai kekuasaan yang luas.
Pada saat yang sama,
konstitusi Republik Islam Iran
mempunyai pranata demokrasi. Konstitusi melengkapi system pemerintahan
parlementer dengan badan: eksekutif, legislative, dan yudikatif: melakukan
pembagian kekuasaan dan membentuk system pengawasan dan perimbangan: dan
menetapkan pemilihan presiden dengan suara mayoritas mutlak.
Konstitusi Iran menunjuk
Khomeini sebagai fakih seumur hidup. Setelah beliau wafat, jabatan itu
diberikan pada seorang penerus yang memenuhi persyaratan atau suatu dewan yang
terdiri dari tiga sampai lima
fakih. Dalam konstitusi itu, fakih diberi wewenang sebagai pemimpin Negara
tertinggi: menunjuk dewan pelindung dan mengepalai pengadilan, militer, dan
pengawal revolusi, bertindak sebagai pengawas presiden, perdana menteri dan
parlemen.[26]
Supremasi hukum Islam,
dan berarti juga supremasi para ahli hukum (fakih, dewan pelindung, dan
pengadilan) di Iran
memberikan landasan dan legitimasi bagi para ulama untuk menyelenggarakan
Negara. Negara pahlevi yang otoriter membuka jalan otoriterianisme dalam
Republik Iran ,
ketika kekuasaan raja dengan pendekatan top down pemerintah diganti
dengan pemerintahan yang mengakui partisipasi rakyat yang dibatasi secara
cermat. Dalam pengertian mutlak, system baru itu tidak mengandung
atribut-atribut Negara demokratis murni. Namun, dalam konteks regionalnya, “Iran ,
dibanding dengan Negara-negara tetangga Arabnya, tampak benar-benar memilki
cirri khas suatu pemerintahan demokratis”.[27]
Kesimpulan
Perjalanan system
pemerintahan Republik Iran
yang terselenggara samapai saat ini, tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh
besar Ayatullah Khomeini: seorang pemimpin spiritual sekaligus pemimpin politik
yang sangat dihormati di Iran. Ia adalah tokoh sentral dalam revolusi Iran dan terbentuknya Republik Islam Iran .
Konsep wilayat
al-fakih merupakan sebuah tatanan yang menghendaki kepemimpinan pada
umumnya, termasuk kepemimpinan politik, harus berada ditangan ulama (baca:
fakih) yang terpercaya. Konsep ini merupakan kelanjutan dari doktrin Imamah
dalam teori politik Syi’ah imamiyyah.
Berbeda dengan demokrasi
murni, konsep demokrasi yang diterapkan di Iran adalah dibatasi dengan
batas-batas syari’at Islam. Bisa dikatakan system pemerintahan Iran adalah “teo-demokrasi”
seperti yang digagas al-Maududi, “Islamo-demokrasi” gagasan Nur Cholis Madjid,
dan “theistic-demokrasi”nya Moh Natsir.
Sebagai konsekuensinya,
gagasan wilayat al-faqih bisa dijadikan alternatif yang dapat menjadi
acuan bagi Negara-negara Muslim lain—terlebih negara yang belum membumikan
demokrasi—di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Abbas
Muhajirani Pemikiran Teologis dan FilosofisSyi’ah Dua belas Imam, dalam
Nasr dan Aliver leman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim
pnerjemah Mizan, Bandung :
Mizan, 2003.
Benard,
lewis, the Political language of Islam, Chicago: The University of Chicago.1998.
Edwar
Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj. Ena Hadi, Bandung : Mizan, 1984.
Fatah,
Abdul Majid Fatah, Nazdariyyat Wilayat al-Faqh: Dirasah wa tahlil an-naqd, Ttp;
Dar al-‘Amr. tt.
Jhon L.
Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi di
Negara-negara Muslim, terj.Ach. Baikuni, Bandung : Mizan, 1999.
Khomeini,
Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah. (Ttp.Ttt) hlm.27
Riza,
Sihbudi, “Bahasa Politik Dalam Madzhab Syi’ah: Kasus “Vilayat-I Fakih”, Jurnal
Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
Said Amir Arjoman, The Turban for the crown: The Islamic
Revolution of Iran , New York : Okford
University Press, 1987.
Said
Husain Nasr, Ideals and Realities of
Islam, London :
Aquarian Press, 1994.
Syagrough
Akhavi, Religion and Poloitik in
Contemporary Iran, al-Bany: state
University of New York , 1980.
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, Bandung :
Mizan, 2003.
Ibn, Abi
al-Hadid, Syarh Nahj al-balaghah,jilid
IV, ttp.: Dar ar-Rasyad al-hadisah, tth.
Idris
Thaha, Revolusi Iran
dan Khomeini: Wilayat al-fakih dan Demokrasi, dalam jurnal al-Huda No.13. vol.V. 2007.
[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islam dan
Politik, dosen pengampu: Prof. Dr. Abdussalam Arief MA.
[2] Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
Nim: 08.231.476
[3] Khomeini, Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah. (Ttp.Ttt)
hlm.27
[4] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll,
Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj.Ach.
Baikuni (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 78.
[5] Riza, Sihbudi, “Bahasa Politik Dalam Madzhab Syi’ah: Kasus “Vilayat-I
Fakqih”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
[6]Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim…hlm.77.
[8] Said Amir Arjoman, The Turban
for the crown: The Islamic Revolution of Iran (New York: Okford University
Press, 1987) hl.79
[9] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi… hlm. 67
[10] Lihat, Syagrough Akhavi, Religion
and Poloitik in Contemporary Iran (al-Bany: state University
of New York , 1980)
[11] Yamani, Antara al-Farabi dan
Khomeini, Filsafat Politik Islam (Bandung :
Mizan, 2003) hlm.129.
[12] Said Husain Nasr, Ideals and
Realities of Islam (London: Aquarian Press, 1994) hlm. 150.
[13] Ibn, Abi al-Hadid, Syarh Nahj
al-balaghah,jilid IV (ttp.: Dar ar-Rasyad al-hadisah, tth.) hlm 21-26.
[14] Baca lebih lanjut, Imam Khomeini, Misbah al-Hidayat… hlm.29.
Baca juga, Irfan Abdul Hamid Fatah, Nadzariyat Wilayat al-fakih: Dirasah wa
Tahlil wa an-Naqd (Ttp: Dar al-‘Ammar, tt) hlm.23.
[15] Riza, Sihbudi, “Bahasa Politik…hlm.45. Lihat juga, Irfan Abdul Hamid
Fatah, Nadzariyat hlm.1.
[16] Abbas Muhajirani Pemikiran Teologis dan FilosofisSyi’ah Dua
belas Imam, dalam Nasr dan Aliver leman (ed.) Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, terj. Tim pnerjemah Mizan (Bandung :
Mizan, 203)hlm.147.
[17] Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, ter. Ena Hadi (Bandung:
Mizan, 1984) hlm.37. Lihat juga Irfan Abdula Hamid Fatah, Nadzariyyah…hlm.5.
[18] Riza, Sihbudi, “Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayat al-Fakih,
Sebuah Studi Penganta”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September 1994.
[19] Sebagaimana dikutip Riza Sihbudi dalam“Bahasa Politik Dalam Madzhab
Syi’ah: Kasus “Vilayat-I Fakqih”, Jurnal Islamika. No. 5. 5 juli-September
1994.
[20] Ibid.hlm. 47.
[21] Idris Thaha, Revolusi Iran dan Khomeini: Wilayat al-fakih
dan Demokrasi, dalam jurnal al-Huda
No.13. vol.V. 2007.
[22] Hamid Haji Haidar, Filsafat Politik Imam Khomeini, dalam
jurnal al-Huda no.4 Vol.2 2001. hlm 68.
[23] Yamani, Antara al-farabi… hlm.141.
[24] Jhon L. Esposito dan Jhon. O. Voll, Demokrasi..hlm 79.
[25] Ibid. hlm. 81
[26] Ibid. hlm. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar