Peran Keluarga Dalam Pendidikan
Nilai Anak[1]
Oleh: Ach. Z. Anam[2]
Harta
yang paling berharga, adalah keluarga
Istana
yang paling indah, adalah keluarga
Puisi
yang paling bermakna, adalah keluarga
Mutiara
tiada tara, adalah keluarga...
(Lirik lagu" Keluarga Cemara")
Nak pintar, belajar…
(Tuk
Bayan Tula
dalam"Laskar Pelangi")
A.
Pendahuluan
Keluarga merupakan pondasi dasar,
sentral, dan pilar yang sangat strategis dalam pendidikan anak. Berbagai teori
pendidikan, analisis kriis, bahkan penelitian ilmiah telah membuktikan
statement ini. Pencapaian "pribadi luhur" oleh seorang anak mustahil
terwujud tanpa adanya dukungan dari "harta paling berharga" ini.
Islam, Sebagai agama yang concern
terhadap pentingnya intelektualitas, telah memberikan haluan besar atas formulasi
baiknya perkembangan pendidikan—terutama pada anak. Sebagaimana diketahui,
banyak ayat al-Qur'an juga as-Sunnah[3], baik
secara eksplisit maupun implisit mengaskan
urgensi pendidikan (Islam). Berbeda dengan yang lain, konsep Pendidikan
sangatlah istimewa, ia tidak hanya mengedepankan intelektualitas an sich,
akan tetapi mencakup tiga wilayah fundamental, meliputi: Aspek keimanan (aqidah),
Islam (syari'ah), dan Etika (akhlak)[4].
Seiring pesatnya teknologi
komunikasi dan informasi, ditambah trend-trend life style yang
menurunkan intensitas dan kualitas hubungan antara keluarga dan anak[5], poblem
ini akan menggiring kita pada pertanyaan: "Dapatkah sebuah keluarga
mempertahankan perannya sebagai garda depan pendidikan anak? bagaimana upaya
yang harus ditempuh untuk memaksimalkan kembali peran keluarga dalam
pendidikan?
Untuk menjawab kegelisahan di atas,
perlu direnungkan kembali hakikat pendidikan, peran keluarga, dan kiat
mewujudkan nilai positif dalam proses pendidikan anak. Makalah ini berusaha
menjelaskan poin-poin tersebut. Harapanya, menggali dan menegaskan kembali
peranan keluarga untuk mewujudkan "insan kamil".
B. Konsep Pendidikan Dalam
Islam
1) Ta’dib; Idealitas Term
Pendidikan Islam
Secara
epistemologis, pendidikan berarti sebuah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.[6]
Selama
ini telah banyak dikenal istilah yang digunakan dalam pendidikan Islam; ta’dib,
Tarbiyah, ta’lim, dan lain sebagainya. Berbagai
terma ini memiki konsekuensi tersendiri dalam menentukan arah dan masa depan
pendidikan Islam.
Salah
satu konsep pendidikan, sebagaimana dilontarkan Naquib[7], seperti
ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib
Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), adalah ta'dib.
Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini
adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi,
kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim,
dan ta'dib.
Naquib
cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim.[8] Baginya,
alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan
erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik
kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam
pelbagai bidang. Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep
pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah
dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme,
sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi
kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab
atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari
kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah
satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib
seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran
pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan
berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih,
atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh
dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi
'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan.
Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan
nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan
ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan
Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Naquib berpendapat bahwa untuk
penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam
pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni,
ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan
manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang
membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta
2)
Hakikat dan Orientasi Pendidikan Islam
Ketepatan pemahaman makna dan orientasi pendidikan
memilki peranan yang penting dalam sebuah proses ta’dib. Pemaknaan yang
benar akan mengantarkan pada kejelasan arah dan langkah sistemik dalam
pelaksanaan aktivitas pendidikan. Begitu pula sebaliknya, jika terjadi terjadi
kekaburan pemahaman, hal ini akan
berkonsekwensi disorientasi pendidikan dan capaian pendidikan akan terrealisir
jauh dari standart yang diharapkan.
Titik
tekan yang diberikan oleh pendidkan Islam—sekaligus menjadi pembeda dengan
model pendidkan lain—adalah: peningkatan kualitas diri agar mampu berkiprah
dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendidkan Islam harus dibangun untuk
membentuk "insan kamil": manusia sempurna baik pada tingkatan aqidah,
syari'ah, maupun akhlaq.[9]
Orientasi pendidikan Islam tidak hanya diandarkan pada materi, lebih jauh dari
itu, capaian yang diharapkan adalah dimensi ruhaniyyah yang tidak dengan
mudah diukur melalui pendekatan empirik.
Abdurrahman
an-Nahlawi[10]
menyatakan; hakikat tujuan pendidikan dalam Islam adalah pengembangan nalar dan
penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan fitrah titah manusia,
yaitu penghambaan diri pada Sang Khaliq. Pernyataan ini dilandaskan pada
dalil ke-fitrahan tujuan penciptaan manusia yang tersirat pada surat adz-Zariyat 56, artinya: “Dan aku
tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka menyembah padaku”.
Dengan demikian, Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan
penghambaan kepada Allah dengan totalitas peribadatan, baik bersifat individual
maupun—yang lebih penting lagi, mengingat Qaidah fiqhiyyah
“al-muta’adli afdlalu min al-qashir—secara sosial.
Pendidikan
Islam merujuk pada pandangan hidupnya. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan
selalu searah dengan fitrah dri manusia itu sendiri. dalam wilayah lain Al-Qur'an
menegaskan kembali melalui surat
ar-Rum(30:30)[11]:
tentang fitrah manusia
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
ayat ini
menjelaskan tentang syahadat manusia kepada Allah, inilah fitrah itu.[13] Makna
tersebut kirnya adalah apa yang dimaksud oleh sabda Rasul yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim: Kullu mauludin yuladu 'ala al-fitrah… Fitrah
tidak hanya dimiliki manusia, tetapi alam semesta ini memilki fitrah. Allah
meletakkan fitrah pada keduanya. Oleh karena manusia fitrah manusia tidak mampu
memahami ayat kauniyyah secara langsung, maka Allah menurunkan ayat qauliyyah
sebagai panduan pemahaman ayat kauniyyah. Pada ketiga realitas
tersebut (diri, alam, kalam Allah) inilah terdapat ayat-ayat yang selaras dan
tidak ada pertentangan. Di titik inilah keilmuan/pendidikan Islam dibagun.
Keseimbangan antara keimanan (aqidah), Islam (syari'ah), dan
Etika (akhlak) tidak boleh berjalan sendiri, ketiganya tepadu dalam satu
kesatuan.
Islam
memberikan wacana kehidupan yang berimbang. Oleh sebab itulah pendidikan Islam
tidak hanya memperhatikan afspek kognitif (ta'lim) akan teapi aspek
afektif (amal dan akhlaq) juga selalu menjadi perhatian utama. Dalam
surat Ali Imron di isyatarkan: fikir yang tidak mengakar pada zikir hanya akan
menghasilkan cedekiawan yang tidak saleh, baik kesalehan individu maupun
kesalehan sosial.oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, keimanan harus
ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal berdasarkan ilmu.
Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah.
Dalam
pendidikan Islam, pembakuan perilaku yang berstandarkan norma dan perilaku (values
and norm) etis—baik dalam ukuran moral, sosial, maupun agamis—menjadi fokus
penting. Hal ini merupakan cerminan wujud kesadaran bahwa manusia merupakan
makhluk yang hidup dalam suatu komunitas, yang tentunya memiki ukuran-ukuran
perilaku etis, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Untuk
mencapai target ideal di atas, perlu adanya kesadaran untuk meningkatkan
kualitas instrumen-instrumen yang
terkait erat dengan pendidikan. Peningkatan kualitas itu mencakup[14];
Pertama: kualitas akhlaq
Individu yang diharapkan mealaui
pendidikan adalah individu yang memilki kapasitas kepribadian dan moral yang
baik, akhlak mulia, menghormati nilai-nilai yang telah disepakati, baik
nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya, serta nilai-nilai positif lain dalam
masyarakat.
Kedua: kualitas emosional
Dalam
perspektif pendidikan, individu berkualitas adalah individu yang memiliki
kepekaan emosi, kepekaan terhadap masalah-masalah, penderitaan, kesulitan atau kebutuhan orang lain. Kualitas
emosional yang baik akan membawa pribadi seseorang mampu menempatkan diri
secara baik di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga: kualitas intelektual
Capaian ideal yang diharapkan
dari pendidikan adalah terwujudnya individu-indivdu yang memiliki kualitas
nalar tinggi sehingga mampu menguasai
IPTEK dan dapat bersaing dalam segala masa.
Keempat: kualitas jasmani
Al-‘aqlu as-salim fi al-jismi
as-salim dan men sanna in corpori sano merupakan motto
yang diterjemahkan dari fakta begitu pentingnya jasmani dalam pengembangan
potensi dimensi lain. Kekatan fisik merupakan salah satu modal penting untuk
menunaikan tanggung jawab keilmuan.
Kelima: kualitas ketrampilan
Pemupukan
keterampilan sejak dini sangatlah penting untuk diperhatikan. Sebuah bakat dan
minat merupakan aset yang sangat berharga bagi seorang individu. Pengembangan
bakat dan minat ini seharusnya dilakukan dimana saja, kapan saja, tidak hanya
terbatas di sekolah.
Keenam: kualitas etos kerja
Kualitas
etos kerja berkaiatan dengan dengan semangat untuk melakukan sesuatu dengan
penuh komitmen dan tanggung jawab. Etos kerja tinggi terrefleksi dengan adanya
semangat gigih, pantang menyerah, dan tidak mudah putus asa.
C. Pendidikan Dalam Keluarga
Dalam Islam, keluarga
memiliki peran strategis dan tanggung jawab utama dalam pendidikan anak.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi perkembangan
anak. Karakter anak terbentuk pada pendidikan yang diperankan keluarga. Penegasan
atas pentingnya pendidikan anak oleh orang tua diwakili oleh surat al-Luqman ayat (5:13-16). Ayat ini
mengisyaratkan arti penting perhatian terhadap pendidikan anak secara total dan
menyeluruh, meliputi segala dimensi kehidupan. Penegasat lain tentang tanggung
jawab orang tua adalah surata at-Tahrim (66:6).
Dalam
as-Sunnah, ditegaskan melalui sabda Rasul: “Apabila anak telah mencapai usia
enam tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” (HR. Ibn
Hibban), juga dalam sabda Rasul: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat
pada usia tujuh tahun dan pukulah pada usia sepuluh tahun bila mereka tidak
sholat, dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan) (HR.
al-Hakim dan Abu Daud).
Bapak,
Ibu (baca: orang tua) dan anak adalah sebuah Bhineka-Tunggal[15].
Pendidikan mempunyai arti satu kesatuan yang mendidik (kesatuan antara orang
tua dan anak). Mereka adalah kesatuan yang dibawa oleh kodrati.[16] Oleh
karena itu, penyelenggaraan pendidikan tidak boleh menafikan salah satu unsur
dari kesatuan tersebut.
Az-Zumardi
Azra mengungkapkan, persoalan pendidikan bukan hanya tanggung jawab
lembaga-lembaga pendidikan, justru orang tualah yang mempunyai tanggung jawab
terbesar dalam proses ini.[17]
Demikian juga dalam sistem pendidikan Nasional, keluarga diberikan tanggung
jawab utama dalam pendidikan untuk membentuk kepribadian yang baik.
Suatu hal yang menjadi
keniscayaan dalam perkembangan anak adalah perubahan. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kehidupan seringkali menimbulkan ekses, baik terhadap individu,
kelompok, dan fungsi dan peran keluarga. Setiap perubahan meniscayakan efek,
entah itu baik maupun buruk. Realita seperti inilah yang mengharuskan orang tua
untuk selalu bersungguh-sungguh dalam mengarahkan perubahan-perubahan sesuai
dengan prinsip-prinsip tatanan yang mendasarinya. Tujuannya, agar dampak
positif dari perubahan tercapai, sekaligus
meminimalisir dampak negatif perubahan.
Salah satu perubahan
besar yang sangat berpengaruh dalam pendidikan anak adalah kemajuan di bidang
teknologi informsi. Derasnya kemajuan teknologi informasi dirasakan sebagai
sesuatu yang terlampau cepat berlangsung, sehingga kesiapan mental kaum remaja
belum cukup mampu untuk meresponnya dengan bijak.[18] Hal ini
sering kali menimbulkan ekses negatif bagi remaja. Oleh karena itu, kesadaran
orang tua bahwa mereka adalah insan yang paling bertanggung jawab atas
pendidikan anak[19]
dan kesadaran “Bhineka Tunggal” harus ditanamkan dalam diri orang tua, sehingga
mereka terus memberikan kontrol atas tiap perubahan yang dialami anaknya.
D. Pengukuhan Peran Keluarga
Dinamika sosial
kemasyarkatan semakin komplek. Fenomena ini seringkali membawa kekhawatiran
tersendiri bagi orang tua terhadap perkembangan anaknya. Masalah yang sering mencuat antara lain kurang
adanya penghargaan dan toleransi dalam lingkungan komunitas masyarakat.[20]
Disamping itu, pengaruh buruk pergaulan akan mudah menjangkit anak remaja, jika
kontrol yang diberikan sedikit melemah.
Bertolak dari sisni, maka sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk
lebih memeperhatikan perkembangan anak.
Pola interaksi antara
orang tua dan anak seyogyanya dibagun atas dasar komunikasi yang terbuka,
saling menghargai, dan dipenuhi rasa kasih. Bangunan ini akan mapu menjadi
tonggak untuk berkembangnya sikap sosial dan saling menghormati. Jika bangunan
berbasis keterbukaan dan kasih sayang telah kokoh tertanam pada anak, maka bisa
diyakini: bahwa keluarga sebagai pilar utama bagi pendidikan anak akan mampu
berperan optimal.
Perjalanan dan pengalaman
dari seorang anak, tidak saja terbatas
pada cara pandang terhadap keluarga, akan tetapi jauh lebih luas, akan
menunjukkan arah bagi azaz manfaat terhadap masyarakat luas. Hal ini merupakan
penerapan ajaran mulia Islam “sebaik-baik menusia adalah yang paling bermanfaat
bagi manusia lain”. Oleh arena itu, seorang anak perlu diberikan bekal yang
cukup untuk perjalanan panjang itu. Glesson[21]
menyatakan, kita—orang tua dan guru—dapat memeberikan dua modal utama: “akar”
dan “sayap”. Memmberikan akar kuat terhadap anak berarti: Memberikan
seperangkat nilai yang berharga sebagai pondasi dalam menghadapi trubulance weather—meminjam
istilah Prof. Amin Abdullah—dalam kehidupan. Sedangkan membekali sayap berarti:
memberikan kebebasan, sebagai anugerah terbesar yang diterima anak kita.
E. Upaya Mewujudkan Nilai Positif Anak
Dalam diri manusia terdapat
empat unsur pembangun jiwa: kekuatan ilmu, amarah, syahwat, dan kekuatan
keseimbangan diantara ketiganya.[22]
Pendidikan anak selalu diupayakan untuk mampu mengatur ketiga unsur itu secara
berimbang. Manajemen yang tak proporsional akan menyebabkan kesenjangan dalam
diri seseorang.
Pendidikan mendorong
perkembangan pengetahuan anak, sehingga ia dapat memilih dan memnemukan cara
atau jalan terbaik bagi dirinya untuk mewujudkan potensi dan tujuan hidupnya.
Menurut Ulwan[23],
anak memilki beberapa kebutuhan, baik kebutuhan biologis maupun psikologis yang
perlu dipenuhi secara memadai dan tidak menyimpang dari kaidah kehidupan yang
sehat dan standart norma yang berlaku. Untuk menanggapi kebutuhan tersebut, ada
hal-al yang patut dilakukan dan ada hal-hal yang harus dihindari.
Paparan di atas
mengisyaratkan bahwa upaya untuk pembinaan kepribadian anak meliputi rentang
waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, orang tua diharapkan memiliki pemahaman
secara mendalam, bahwa: upaya ke arah penanaman nilai positif bagi anak
memerlukan waktu yang cukup panjang dan berkelanjutan.
Berikut akan dipaparkan
beberapa tawaran singkat dalam kaitannya upaya untuk menumbuhkan kepribadian
positif anak;[24]
Pertama: Penanaman
dasar-dasar kejiwaan yang mulia. Upaya ini meliputi: taqwa, ukhuwah, kasih
sayang, mengedepankan kepentingan umum, memaafkan, dan berani berkata benar.
Kedua: menjaga, menghormati, dan
tidak merebut hak-hak orang lain.
Ketiga: Membiasakan disiplin dalam
tiap hal.
Keempat: mewujudkan nilai-nilai
etika sosial, dan:
Kelima: membiasakan kontrol diri.
Selain itu, juga diperlukan upaya
preventif untuk melestarikan nilai positif anak, diantaranya:
Pertama: menghayati aturan
Kedua: menerapkan pembiasaan hidup
sederhana dan bersungguh-sungguh, dan:
Ketiga: membiasakan mengendalikan
amarah
Charles
Schaper[25]
mengungkapkan beberapa cara yang dapat menumbuhhkan sikap positif bagi anak. Di
antaranya: 1) Memberikan teladan. 2) memberikan teladan 3) mengajak. 4) isyarat.
5) membangun kebiasaan. 6)mengikutsertakan anak dalam memecahkan masalah. 7)
memberikan nasehat. 8) mengembangkan kepercayaan.
Hal yang harus mendapat
perhatian besar adalah uswah hasanah (suri tauladan yang baik). Contoh
perilaku yang baik dari orang tua anak memilki pengaruh besar terhadap
perkembangan anak. Hal lain yang perlu diperhatikan dan dilakukan secara
berkala antara lain:
Pertama: bersikap jujur
pada anak. Upaya ini dilakukan agar anak didik menyadari betul, bahwa kejujuran
haruslah menjadi tekad yang selalu diperjuangkan dalam tiap dimensi kehidupan.
Kedua: memberi apresiasi saat mereka berbuat
bijak. Orientasi dari pemberian apresiasi ini adalah agar anak tertarik dan
ingin mengulang kebaikan yang telah mendapat penghargaan.
Ketiga: menunjukkan hukum
kausalitas kehidupan. Penjelasan hukum sebab-akibat akan memberi pelajaran
berharga bagi anak, bahwa setiap segala sesuatu memilki konsekuensi yang
seimbang, entah baik, maupun buruk.
F. Penutup
Proses pendidikan nilai dalam Islam
semestinya diformulasi sebagai upaya (ta’dib). Proses
transformasi nilai ini harus berorientasi pada konsep dasarnya; merujuk pada
pandangan hidup Islam yang dimulai dari fitrah penciptaannya. Pengejawantahannya yaitu
dengan mengembangkan kualitas diri dalam tiap bidang kehidupan dengan niatan
dedikasi pada masyarakat. Hal ini merupakan penerjemahan dari tujuan dasar
fitrah penciptaan manusia; beribadah pada sang Khaliq.
Pendidikan
dalam Islam diupayakan untuk membentuk ‘insan kamil’; manusia sempurna, baik pada
level aqidah, syari’ah, maupun akhlaq. Dengan demikian kemajuan besar
Islam, tidak saja sebatas menjadi ilusi, tetapi akan nyata adanya.
Meski
pendidikan anak melibatkan berbagai pihak—meliputi pemerintah, lingkungan, dan
keluarga—namun, pilar utama penanggung jawab atas pendidikan nilai tersebut
adalah keluarga. Hubungan antara anak dan orang tua adalah ‘bhineka tunggal’;
satu kesatuan. Orang
tua adalah pihak yang paling mengerti persis tentang ahwal anak.
Bertolak dari sinilah pilar utama pendidikan anak harus didominasi orang tua,
tentunya dengan basis kasih saying.
Daftar Pustaka
Al-Musawi.
Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Jakarta :
Lentera, 2000.
Aunurrahman, “Memperkokoh
Lingkungan Keluarga Sebagai Pilar Utama Pendidikan” dalam Journal Analitica
Islamica,, vol. 10, edisi 2 Nov 2008.
Azra, Az-Zumardi, Pendidikan
Agama Harus Rasional dan Toleran. online: http://Islamlib.com/id/kontsk.php,2008.
Djumarsyah, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Malang : Bayu Media Publising, 2004.
Glesson, C.S.J, Menciptakan
keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willi koen Jakarta : Gramedia
Widiasarana, 2004.
Sahal
Mahfud, Nuansa Fiqh sosial , Yogyakarta :
LkiS, 1994.
Knox, David, Choicein
Relationship An Introduction to Marriage and The Family, San Fransisco:
West Publishing Company,1988.
Nahlawi,
Abdurrahman an-, Pendidikan Islam di Sekolah, Rumah, dan Masyarakat, terj.
Shihabuddin, Jakarta :
Gema Insani, 2004.
Muis
Sad Iman, Pendidikan Parsitipatif , Yogyakarta :
Safiria Insania Press, 2004.
Schefer,
C. Cara, Cara Aktif Mendidik dan
Mendisiplinkan Anak , Jakarta :
Mitra Utama, 1996
Sudiarja, A.
Dkk. Karya Lengkap Driyakarya,
Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya,Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Tillman D.&
Hsu, Living Values Parent Groaup: A Facilitator Guide, terj Agustina, Jakarta : Gramedia
Widiasarana, 2004.
Ulwan. AN. Mengembangkan
Kepribadian Anak , Bandung :
Remaja Rosda Karya,1996
[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah: Filsafat Hukum Keluarga, dosen pengampu: Prof. Dr. Syamsul Anwar MA.
[3]Lihat misalnya: surat Ali Imron
191:menerangkan relasi fikir dan zikir,
juga al-A'raf 172: pedidikan sebagai fitrah. Adapun
dalam as-Sunnah, seperti hadis tentang kewajiban mencari ilmu bagi setiap orang
Muslim (HR. Ibnu Majah), hadis tentang pendidikan anak semenjak usia dini (HR,
Ibn. Hibban), dan hadis tentang aplikasi syaria'at (Baca: sholat) HR al-Hakim
dan Abu Daud).
\[5]
Hasil penelitian menyatakan, gaya hidup dual career in marriage (dobel
karir dalam keluarga) yang berimbas pada kurang perhatian terhadap anak
mengakibatkan anak memilih menjalani "pergaulan luar"sehingga
pengaruh negatif cepat masuk dalam keidupannya. Lihat David Knox, Choice in
Relationship An Introduction to Marriage and The Family, (San Fransisco: West
Publishing Company,1988) hlm299.
[6] Djumarsyah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang :
Bayu Media Publising, 2004) hlm.22.
[7] Sebagaimana dikutip dalam “Megaproyek
Islamisasi Peradaban Islam” file:///C:/Documents%20and%20Settings/1706/My%20Documents/filsafat%20pendidikan/tarbiyah%20atau%20ta%27dib.htm.
Akses tanggal 17 Juni 2009.
[10] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di
Sekolah, Rumah, dan Masyarakat, terj. Shihabuddin. (Jakarta : Gema Insani, 2004) jlm117.
[11] Ayat ini memiliki arti: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama
(Allah): (tetaplah atas)fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah
itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah . Itulah agama yang lurus: tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui
[12] Ayat ini memiliki arti: dan (inagtlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) (Kami melakukan yang
demikian itu agar dihari kiamat kamu
tidak mengatakan “sesunggahnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(kuasa Tuhan)
[13]Muis Sad Iman, Pendidikan Parsitipatif (Yogyakarta :
Safiria Insania Press,2004) hlm 19.
[14] Aunurrahman, “Memperkokoh Lingkungan
Keluarga Sebagai Pilar Utama Pendidikan” dalam Journal Analitica Islamica,,
vol. 10, edisi 2 Nov 2008.
[15] A. Sudiarja, Dkk., Karya Lengkap
Driyakarya, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, (Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 376
[17] Az-Zumardi
Azra, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran. online: http://Islamlib.com/id/kontsk.php,2008. hlm.4
[20] Tillman D.& Hsu, Living Values Parent
Groaup: A Facilitator Guide, terj Agustina (Jakarta: Gramedia Widiasarana,
2004)
[21] Glesson, C.S.J, Menciptakan keseimbangan:
Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willi koen (Jakarta: Gramedia
Widiasarana, 2004)hlm.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar