Rabu, 26 Maret 2014

pendidikan dan keluarga

Peran Keluarga Dalam Pendidikan Nilai  Anak[1]
Oleh: Ach. Z. Anam[2]

Harta yang paling berharga, adalah keluarga
Istana yang paling indah, adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna, adalah keluarga
Mutiara tiada tara, adalah keluarga...
(Lirik lagu" Keluarga Cemara")

Nak pintar, belajar…
(Tuk Bayan Tula dalam"Laskar Pelangi")

A.    Pendahuluan

            Keluarga merupakan pondasi dasar, sentral, dan pilar yang sangat strategis dalam pendidikan anak. Berbagai teori pendidikan, analisis kriis, bahkan penelitian ilmiah telah membuktikan statement ini. Pencapaian "pribadi luhur" oleh seorang anak mustahil terwujud tanpa adanya dukungan dari "harta paling berharga" ini.

            Islam, Sebagai agama yang concern terhadap pentingnya intelektualitas, telah memberikan haluan besar atas formulasi baiknya perkembangan pendidikan—terutama pada anak. Sebagaimana diketahui, banyak ayat al-Qur'an juga as-Sunnah[3], baik secara eksplisit maupun implisit mengaskan  urgensi pendidikan (Islam). Berbeda dengan yang lain, konsep Pendidikan sangatlah istimewa, ia tidak hanya mengedepankan intelektualitas an sich, akan tetapi mencakup tiga wilayah fundamental, meliputi: Aspek keimanan (aqidah), Islam (syari'ah), dan Etika (akhlak)[4].
            Seiring pesatnya teknologi komunikasi dan informasi, ditambah trend-trend life style yang menurunkan intensitas dan kualitas hubungan antara keluarga dan anak[5], poblem ini akan menggiring kita pada pertanyaan: "Dapatkah sebuah keluarga mempertahankan perannya sebagai garda depan pendidikan anak? bagaimana upaya yang harus ditempuh untuk memaksimalkan kembali peran keluarga dalam pendidikan?
            Untuk menjawab kegelisahan di atas, perlu direnungkan kembali hakikat pendidikan, peran keluarga, dan kiat mewujudkan nilai positif dalam proses pendidikan anak. Makalah ini berusaha menjelaskan poin-poin tersebut. Harapanya, menggali dan menegaskan kembali peranan keluarga untuk mewujudkan "insan kamil".

B.     Konsep Pendidikan Dalam Islam

1)      Ta’dib; Idealitas Term Pendidikan Islam

Secara epistemologis, pendidikan berarti sebuah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.[6]
Selama ini telah banyak dikenal istilah yang digunakan dalam pendidikan Islam; ta’dib, Tarbiyah, ta’lim, dan lain sebagainya. Berbagai terma ini memiki konsekuensi tersendiri dalam menentukan arah dan masa depan pendidikan Islam.
Salah satu konsep pendidikan, sebagaimana dilontarkan Naquib[7], seperti ditulis dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di-Indonesiakan oleh Mizan (2003), adalah ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.
Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim.[8] Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Naquib berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta

2)      Hakikat dan Orientasi Pendidikan Islam

 Ketepatan  pemahaman makna dan orientasi pendidikan memilki peranan yang penting dalam sebuah proses ta’dib. Pemaknaan yang benar akan mengantarkan pada kejelasan arah dan langkah sistemik dalam pelaksanaan aktivitas pendidikan. Begitu pula sebaliknya, jika terjadi terjadi kekaburan pemahaman, hal  ini akan berkonsekwensi disorientasi pendidikan dan capaian pendidikan akan terrealisir jauh dari standart yang diharapkan.
Titik tekan yang diberikan oleh pendidkan Islam—sekaligus menjadi pembeda dengan model pendidkan lain—adalah: peningkatan kualitas diri agar mampu berkiprah dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendidkan Islam harus dibangun untuk membentuk "insan kamil": manusia sempurna baik pada tingkatan aqidah, syari'ah, maupun akhlaq.[9] Orientasi pendidikan Islam tidak hanya diandarkan pada materi, lebih jauh dari itu, capaian yang diharapkan adalah dimensi ruhaniyyah yang tidak dengan mudah diukur melalui pendekatan empirik.
Abdurrahman an-Nahlawi[10] menyatakan; hakikat tujuan pendidikan dalam Islam adalah pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan fitrah titah manusia, yaitu penghambaan diri pada Sang Khaliq. Pernyataan ini dilandaskan pada dalil ke-fitrahan tujuan penciptaan manusia yang tersirat pada surat adz-Zariyat 56, artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka menyembah padaku”. Dengan demikian, Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dengan totalitas peribadatan, baik bersifat individual maupun—yang lebih penting lagi, mengingat Qaidah fiqhiyyah “al-muta’adli afdlalu min al-qashir—secara sosial.
Pendidikan Islam merujuk pada pandangan hidupnya. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan selalu searah dengan fitrah dri manusia itu sendiri. dalam wilayah lain Al-Qur'an menegaskan kembali melalui surat ar-Rum(30:30)[11]: tentang fitrah manusia
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Surat al-'A'raf:: (7:172)[12]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
ayat ini menjelaskan tentang syahadat manusia kepada Allah, inilah fitrah itu.[13] Makna tersebut kirnya adalah apa yang dimaksud oleh sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Kullu mauludin yuladu 'ala al-fitrah… Fitrah tidak hanya dimiliki manusia, tetapi alam semesta ini memilki fitrah. Allah meletakkan fitrah pada keduanya. Oleh karena manusia fitrah manusia tidak mampu memahami ayat kauniyyah secara langsung, maka Allah menurunkan ayat qauliyyah sebagai panduan pemahaman ayat kauniyyah. Pada ketiga realitas tersebut (diri, alam, kalam Allah) inilah terdapat ayat-ayat yang selaras dan tidak ada pertentangan. Di titik inilah keilmuan/pendidikan Islam dibagun. Keseimbangan antara keimanan (aqidah), Islam (syari'ah), dan Etika (akhlak) tidak boleh berjalan sendiri, ketiganya tepadu dalam satu kesatuan.
Islam memberikan wacana kehidupan yang berimbang. Oleh sebab itulah pendidikan Islam tidak hanya memperhatikan afspek kognitif (ta'lim) akan teapi aspek afektif (amal dan akhlaq) juga selalu menjadi perhatian utama. Dalam surat Ali Imron di isyatarkan: fikir yang tidak mengakar pada zikir hanya akan menghasilkan cedekiawan yang tidak saleh, baik kesalehan individu maupun kesalehan sosial.oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah.
Dalam pendidikan Islam, pembakuan perilaku yang berstandarkan norma dan perilaku (values and norm) etis—baik dalam ukuran moral, sosial, maupun agamis—menjadi fokus penting. Hal ini merupakan cerminan wujud kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk yang hidup dalam suatu komunitas, yang tentunya memiki ukuran-ukuran perilaku etis, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Untuk mencapai target ideal di atas, perlu adanya kesadaran untuk meningkatkan kualitas instrumen-instrumen  yang terkait erat dengan pendidikan. Peningkatan kualitas itu mencakup[14];
Pertama: kualitas akhlaq
Individu yang diharapkan mealaui pendidikan adalah individu yang memilki kapasitas kepribadian dan moral yang baik, akhlak mulia, menghormati nilai-nilai yang telah disepakati, baik nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya, serta nilai-nilai positif lain dalam masyarakat.
Kedua: kualitas emosional
Dalam perspektif pendidikan, individu berkualitas adalah individu yang memiliki kepekaan emosi, kepekaan terhadap masalah-masalah, penderitaan,  kesulitan atau kebutuhan orang lain. Kualitas emosional yang baik akan membawa pribadi seseorang mampu menempatkan diri secara baik di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga: kualitas intelektual
Capaian ideal yang diharapkan dari pendidikan adalah terwujudnya individu-indivdu yang memiliki kualitas nalar tinggi sehingga mampu menguasai  IPTEK dan dapat bersaing dalam segala masa.
Keempat: kualitas jasmani
Al-‘aqlu as-salim fi al-jismi as-salim dan  men sanna in corpori sano merupakan motto yang diterjemahkan dari fakta begitu pentingnya jasmani dalam pengembangan potensi dimensi lain. Kekatan fisik merupakan salah satu modal penting untuk menunaikan tanggung jawab keilmuan.
Kelima: kualitas ketrampilan
Pemupukan keterampilan sejak dini sangatlah penting untuk diperhatikan. Sebuah bakat dan minat merupakan aset yang sangat berharga bagi seorang individu. Pengembangan bakat dan minat ini seharusnya dilakukan dimana saja, kapan saja, tidak hanya terbatas di sekolah.
Keenam: kualitas etos kerja
Kualitas etos kerja berkaiatan dengan dengan semangat untuk melakukan sesuatu dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Etos kerja tinggi terrefleksi dengan adanya semangat gigih,  pantang menyerah, dan  tidak mudah putus asa.

C.    Pendidikan Dalam Keluarga

Dalam Islam, keluarga memiliki peran strategis dan tanggung jawab utama dalam pendidikan anak. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Karakter anak terbentuk pada pendidikan yang diperankan keluarga. Penegasan atas pentingnya pendidikan anak oleh orang tua diwakili oleh surat al-Luqman ayat (5:13-16). Ayat ini mengisyaratkan arti penting perhatian terhadap pendidikan anak secara total dan menyeluruh, meliputi segala dimensi kehidupan. Penegasat lain tentang tanggung jawab orang tua adalah surata at-Tahrim (66:6).
            Dalam as-Sunnah, ditegaskan melalui sabda Rasul: “Apabila anak telah mencapai usia enam tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” (HR. Ibn Hibban), juga dalam sabda Rasul: “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia tujuh tahun dan pukulah pada usia sepuluh tahun bila mereka tidak sholat, dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan) (HR. al-Hakim dan Abu Daud).
            Bapak, Ibu (baca: orang tua) dan anak adalah sebuah Bhineka-Tunggal[15]. Pendidikan mempunyai arti satu kesatuan yang mendidik (kesatuan antara orang tua dan anak). Mereka adalah kesatuan yang dibawa oleh kodrati.[16] Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan tidak boleh menafikan salah satu unsur dari kesatuan tersebut.
            Az-Zumardi Azra mengungkapkan, persoalan pendidikan bukan hanya tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan, justru orang tualah yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam proses ini.[17] Demikian juga dalam sistem pendidikan Nasional, keluarga diberikan tanggung jawab utama dalam pendidikan untuk membentuk kepribadian yang baik.
Suatu hal yang menjadi keniscayaan dalam perkembangan anak adalah perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan seringkali menimbulkan ekses, baik terhadap individu, kelompok, dan fungsi dan peran keluarga. Setiap perubahan meniscayakan efek, entah itu baik maupun buruk. Realita seperti inilah yang mengharuskan orang tua untuk selalu bersungguh-sungguh dalam mengarahkan perubahan-perubahan sesuai dengan prinsip-prinsip tatanan yang mendasarinya. Tujuannya, agar dampak positif dari perubahan tercapai, sekaligus  meminimalisir dampak negatif perubahan.
Salah satu perubahan besar yang sangat berpengaruh dalam pendidikan anak adalah kemajuan di bidang teknologi informsi. Derasnya kemajuan teknologi informasi dirasakan sebagai sesuatu yang terlampau cepat berlangsung, sehingga kesiapan mental kaum remaja belum cukup mampu untuk meresponnya dengan bijak.[18] Hal ini sering kali menimbulkan ekses negatif bagi remaja. Oleh karena itu, kesadaran orang tua bahwa mereka adalah insan yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak[19] dan kesadaran “Bhineka Tunggal” harus ditanamkan dalam diri orang tua, sehingga mereka terus memberikan kontrol atas tiap perubahan yang dialami anaknya.     

D.    Pengukuhan Peran Keluarga

Dinamika sosial kemasyarkatan semakin komplek. Fenomena ini seringkali membawa kekhawatiran tersendiri bagi orang tua terhadap perkembangan anaknya.  Masalah yang sering mencuat antara lain kurang adanya penghargaan dan toleransi dalam lingkungan komunitas masyarakat.[20] Disamping itu, pengaruh buruk pergaulan akan mudah menjangkit anak remaja, jika kontrol yang diberikan sedikit melemah.  Bertolak dari sisni, maka sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk lebih memeperhatikan perkembangan anak.
Pola interaksi antara orang tua dan anak seyogyanya dibagun atas dasar komunikasi yang terbuka, saling menghargai, dan dipenuhi rasa kasih. Bangunan ini akan mapu menjadi tonggak untuk berkembangnya sikap sosial dan saling menghormati. Jika bangunan berbasis keterbukaan dan kasih sayang telah kokoh tertanam pada anak, maka bisa diyakini: bahwa keluarga sebagai pilar utama bagi pendidikan anak akan mampu berperan optimal.
Perjalanan dan pengalaman dari seorang anak,  tidak saja terbatas pada cara pandang terhadap keluarga, akan tetapi jauh lebih luas, akan menunjukkan arah bagi azaz manfaat terhadap masyarakat luas. Hal ini merupakan penerapan ajaran mulia Islam “sebaik-baik menusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Oleh arena itu, seorang anak perlu diberikan bekal yang cukup untuk perjalanan panjang itu. Glesson[21] menyatakan, kita—orang tua dan guru—dapat memeberikan dua modal utama: “akar” dan “sayap”. Memmberikan akar kuat terhadap anak berarti: Memberikan seperangkat nilai yang berharga sebagai pondasi dalam menghadapi trubulance weather—meminjam istilah Prof. Amin Abdullah—dalam kehidupan. Sedangkan membekali sayap berarti: memberikan kebebasan, sebagai anugerah terbesar yang diterima anak kita.

E.     Upaya Mewujudkan  Nilai Positif Anak

Dalam diri manusia terdapat empat unsur pembangun jiwa: kekuatan ilmu, amarah, syahwat, dan kekuatan keseimbangan diantara ketiganya.[22] Pendidikan anak selalu diupayakan untuk mampu mengatur ketiga unsur itu secara berimbang. Manajemen yang tak proporsional akan menyebabkan kesenjangan dalam diri seseorang.
Pendidikan mendorong perkembangan pengetahuan anak, sehingga ia dapat memilih dan memnemukan cara atau jalan terbaik bagi dirinya untuk mewujudkan potensi dan tujuan hidupnya. Menurut Ulwan[23], anak memilki beberapa kebutuhan, baik kebutuhan biologis maupun psikologis yang perlu dipenuhi secara memadai dan tidak menyimpang dari kaidah kehidupan yang sehat dan standart norma yang berlaku. Untuk menanggapi kebutuhan tersebut, ada hal-al yang patut dilakukan dan ada hal-hal yang harus dihindari.
Paparan di atas mengisyaratkan bahwa upaya untuk pembinaan kepribadian anak meliputi rentang waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, orang tua diharapkan memiliki pemahaman secara mendalam, bahwa: upaya ke arah penanaman nilai positif bagi anak memerlukan waktu yang cukup panjang dan berkelanjutan.
Berikut akan dipaparkan beberapa tawaran singkat dalam kaitannya upaya untuk menumbuhkan kepribadian positif anak;[24]
Pertama: Penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia. Upaya ini meliputi: taqwa, ukhuwah, kasih sayang, mengedepankan kepentingan umum, memaafkan, dan berani berkata benar.
Kedua: menjaga, menghormati, dan tidak merebut hak-hak orang lain.
Ketiga: Membiasakan disiplin dalam tiap hal.
Keempat: mewujudkan nilai-nilai etika sosial, dan:
Kelima: membiasakan kontrol diri.
Selain itu, juga diperlukan upaya preventif untuk melestarikan nilai positif anak, diantaranya:
Pertama: menghayati aturan
Kedua: menerapkan pembiasaan hidup sederhana dan bersungguh-sungguh, dan:
Ketiga: membiasakan mengendalikan amarah
            Charles Schaper[25] mengungkapkan beberapa cara yang dapat menumbuhhkan sikap positif bagi anak. Di antaranya: 1) Memberikan teladan. 2) memberikan teladan 3) mengajak. 4) isyarat. 5) membangun kebiasaan. 6)mengikutsertakan anak dalam memecahkan masalah. 7) memberikan nasehat. 8) mengembangkan kepercayaan.
Hal yang harus mendapat perhatian besar adalah uswah hasanah (suri tauladan yang baik). Contoh perilaku yang baik dari orang tua anak memilki pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Hal lain yang perlu diperhatikan dan dilakukan secara berkala antara lain:
Pertama: bersikap jujur pada anak. Upaya ini dilakukan agar anak didik menyadari betul, bahwa kejujuran haruslah menjadi tekad yang selalu diperjuangkan dalam tiap dimensi kehidupan.
 Kedua: memberi apresiasi saat mereka berbuat bijak. Orientasi dari pemberian apresiasi ini adalah agar anak tertarik dan ingin mengulang kebaikan yang telah mendapat penghargaan.
Ketiga: menunjukkan hukum kausalitas kehidupan. Penjelasan hukum sebab-akibat akan memberi pelajaran berharga bagi anak, bahwa setiap segala sesuatu memilki konsekuensi yang seimbang, entah baik, maupun buruk.









F.      Penutup

Proses pendidikan nilai dalam Islam semestinya diformulasi sebagai upaya (ta’dib). Proses transformasi nilai ini harus berorientasi pada konsep dasarnya; merujuk pada pandangan hidup Islam yang dimulai dari fitrah penciptaannya. Pengejawantahannya yaitu dengan mengembangkan kualitas diri dalam tiap bidang kehidupan dengan niatan dedikasi pada masyarakat. Hal ini merupakan penerjemahan dari tujuan dasar fitrah penciptaan manusia; beribadah pada sang Khaliq.
Pendidikan dalam Islam diupayakan untuk membentuk ‘insan kamil’; manusia sempurna, baik pada level aqidah, syari’ah, maupun akhlaq. Dengan demikian kemajuan besar Islam, tidak saja sebatas menjadi ilusi, tetapi akan nyata adanya.
Meski pendidikan anak melibatkan berbagai pihak—meliputi pemerintah, lingkungan, dan keluarga—namun, pilar utama penanggung jawab atas pendidikan nilai tersebut adalah keluarga. Hubungan antara anak dan orang tua adalah ‘bhineka tunggal’; satu kesatuan. Orang tua adalah pihak yang paling mengerti persis tentang ahwal anak. Bertolak dari sinilah pilar utama pendidikan anak harus didominasi orang tua, tentunya dengan basis kasih saying.


















Daftar Pustaka



Al-Musawi. Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, Jakarta: Lentera, 2000.

Aunurrahman, “Memperkokoh Lingkungan Keluarga Sebagai Pilar Utama Pendidikan” dalam Journal Analitica Islamica,, vol. 10, edisi 2 Nov 2008.

Azra, Az-Zumardi, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran. online: http://Islamlib.com/id/kontsk.php,2008.

Djumarsyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang:  Bayu Media Publising, 2004.

Glesson, C.S.J, Menciptakan keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willi koen Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004.

Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh sosial , Yogyakarta: LkiS, 1994.

Knox, David, Choicein Relationship An Introduction to Marriage and The Family, San Fransisco: West Publishing Company,1988.

Nahlawi, Abdurrahman an-, Pendidikan Islam di Sekolah, Rumah, dan Masyarakat, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Muis Sad Iman, Pendidikan Parsitipatif , Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.

Schefer, C. Cara,  Cara Aktif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak , Jakarta: Mitra Utama, 1996

Sudiarja, A. Dkk.  Karya Lengkap Driyakarya, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Tillman D.& Hsu, Living Values Parent Groaup: A Facilitator Guide, terj Agustina, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004.

Ulwan. AN. Mengembangkan Kepribadian Anak , Bandung: Remaja Rosda Karya,1996







[1]  Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah: Filsafat Hukum Keluarga, dosen pengampu: Prof. Dr. Syamsul Anwar MA.
[2]  Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, NIM. 08.231.476.
[3]Lihat misalnya: surat Ali Imron 191:menerangkan relasi fikir  dan zikir, juga al-A'raf 172: pedidikan sebagai fitrah. Adapun dalam as-Sunnah, seperti hadis tentang kewajiban mencari ilmu bagi setiap orang Muslim (HR. Ibnu Majah), hadis tentang pendidikan anak semenjak usia dini (HR, Ibn. Hibban), dan hadis tentang aplikasi syaria'at (Baca: sholat) HR al-Hakim dan Abu Daud).
[4]  Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994) hlm. 257.
\[5] Hasil penelitian menyatakan, gaya hidup dual career in marriage (dobel karir dalam keluarga) yang berimbas pada kurang perhatian terhadap anak mengakibatkan anak memilih menjalani "pergaulan luar"sehingga pengaruh negatif cepat masuk dalam keidupannya. Lihat David Knox, Choice in Relationship An Introduction to Marriage and The Family, (San Fransisco: West Publishing Company,1988) hlm299.
[6] Djumarsyah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang:  Bayu Media Publising, 2004) hlm.22.
[7] Sebagaimana dikutip dalam “Megaproyek Islamisasi Peradaban Islam” file:///C:/Documents%20and%20Settings/1706/My%20Documents/filsafat%20pendidikan/tarbiyah%20atau%20ta%27dib.htm. Akses tanggal 17 Juni 2009.
[8] Ibid.
[9] Sahal Mahfud, Nuansa fiqh…hlm 261.
[10]  Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Rumah, dan Masyarakat, terj. Shihabuddin. (Jakarta: Gema Insani, 2004) jlm117.
[11] Ayat ini memiliki arti: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah): (tetaplah atas)fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah . Itulah agama yang lurus: tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
[12] Ayat ini memiliki arti: dan (inagtlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah  mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka  (seraya berfirman) (Kami melakukan yang demikian itu  agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan “sesunggahnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kuasa Tuhan)
[13]Muis Sad Iman, Pendidikan Parsitipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press,2004) hlm 19.
[14] Aunurrahman, “Memperkokoh Lingkungan Keluarga Sebagai Pilar Utama Pendidikan” dalam Journal Analitica Islamica,, vol. 10, edisi 2 Nov 2008.
[15]  A. Sudiarja, Dkk., Karya Lengkap Driyakarya, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 376
[16] Ibid. hlm. 422.
[17] Az-Zumardi Azra, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran. online: http://Islamlib.com/id/kontsk.php,2008. hlm.4
[18] Aunurrahman, “Memperkokoh Lingkungan… hlm. 320
[19] A. Sudiarja, Dkk., Karya Lengkap Driyakarya…hlm 423.
[20]  Tillman D.& Hsu, Living Values Parent Groaup: A Facilitator Guide, terj Agustina (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004)
[21]  Glesson, C.S.J, Menciptakan keseimbangan: Mengajarkan Nilai dan Kebebasan, terj. Willi koen (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2004)hlm.1
[22]  Al-Musawi. Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, (Jakarta: Lentera,2000) hlm.51.
[23] Ulwan. AN. Mengembangkan Kepribadian Anak (Bandung: Remaja Rosda Karya,1996).
[24] Ibid. hlm. 325
[25] Schefer, C. Cara,  Cara Aktif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak (Jakarta: Mitra Utama, 1996)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar