Blandongan: Membumikan Nilai Luhur Ahlu Sunnah wal Jama’ah[1]
Oleh:
Ach. Anam[2]
Blandongan merupakan komunitas
yang heterogen. Warung yang memeliki motto “selamatkan anak bangsa dari
kekurangan kopi” ini merupakan wadah dan tempat berkumpulnya komponen masyarakat.
Siswa—entah yang rajin atau mbolosan, mahasiswa—baik akifis maupun “anak
mami-kos”, bisnisman—yang sukses maupun bangkrut, santri—baik yang sami’na
wa atha’na maupun sami’na wa ‘ashoina, bahkan pejabat teraspun
semuanya tumpleg bleg di warung kopi ini, menikmati “situasi kopi”.
Kemajemukan ini meniscayakan bervariannya
topic pembicaraan, karakter, perilaku, bahkan Ideologi peziarah
Blandongan. Sebagai konsekuensinya, keadilan, kesetaraan, keseimbangan, dan
toleransi menjadi sebuah keniscayaan; untuk membuat suasana tetap harmonis dan
damai. Mau tidak mau, ikhlas tak ikhlas, itulah yang mesti dilakukan.
Uniknya,
meski Blandongan tidak mendeklarasikan diri sebagai warung kopi berasas ahlu
as-sunnah wa al-jama’ah, namun, nilai-nilai universal dari “madzhab” ini
telah terejawantahkan dengan baik, bahkan nyaris sempurna. Artikel ini akan
berusaha menerjemahkan nilai tersebut;
‘Adalah (Keadilan)
Nilai
ini begitu penting dalam kehidupan. Ia merupakan nilai yang mesti terealisir
dalam tiap dimensi kehidupan; sosial-kemasyarakatan, dunia pendidikan, politik,
budaya, lingkungan kerja, keluarga, bahkan warung kopi pun harus mengedepankan
nilai luhur ini.
Blandongan,
tampaknya begitu memperhatikan ajaran ini. Berapapun tebal dompet Anda, betapa
mewahpun penampilan Anda, meskipun Anda berdarah biru, atau hijau sekalian,
betapa “sangar” tattoo anda, tidak akan mendapat perlakuan istimewa dari crew.
Anda tidak akan diGus-guskan—meminjam istilah pesantren. Anda akan
diperlakukan sama seperti lainnya. Inilah keadilan itu.
Musawwah
(Kesetaraan)
Sebagai
kelanjutan dari konsep keadilan, musawwah (kesetaraan) berbanding lurus
dengan keadilan. Semakin adil sebuah kebijakan, semakin tinggi nilai kesetaraan
yang diterjemahkan.
Menilik
Blandongan, nilai ini telah terwakili oleh konsep bangunan yang berdiri
kokoh—meski tidak permanen. Tidak seperti di lain tempat, warung kopi ini
sangat mengilhami kesetaraan. Anda tidak akan menemukan terminology VVIP, VIP,
biasa, atau, bahkan kelas ekskutif, bisnis atau ekonomi. Semua tempat sama; istimewa-sederhana.
Semua setara!
Tawazzun
(Berimbang)
Keberimbangan dalam relasi
social-kemasyarakatan merupakan nilai yang sentral untuk membentuk harmoni
kehidupan. Pembagian hak dan kewajiban dengan seimbang (proporsinal) merupakan
“syarat wajib” bagi siapapun yang menghendaki kebijaksanaan.
Di
warung kopi yang identik dengan bengok-bengok crew pengantar pesanan
ini, anda akan menemukan keseimbangan itu. Anda tidak akan pernah kecewa karena
biaya yang anda keluarkan terlampaui tinggi, hanya sekedar untuk secangkir kopi
dan ubo rampe-nya. Di
sini, harga yang terbayarkan cukup seimbang dengan kepuasa yang didapatkan.
Bahkan, anda akan mendapatkan kepuasan yang lebih, dengan harga yang relatif
murah.
Tasammuh (Toleransi)
Dalam
konteks Blandongan, toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Masyarakat yang
tergabung dalam komunitas kopi tepi rel ini, selalu nguri-uri nilai
istimewa tersebut. Sikap ini bukan tidak beralasan. Begitu bervariannya
“masyarakat” Blandongan, yang tercermin dari penampilan, vokal pembicaraan,
tingkah laku, dan aktivitas yang dilakukan mewajibkan mereka untuk bersama-sama
menjunjung tinggi toleransi. Realitas inilah yang menjadikan mereka dewasa dan
toleran.
Uniknya, nilai-nilai luhur;
keadilan, kesetaraan, keseimbangan, dan toleransi mengalir baik dan begitu
alamiah, dibangun tanpa komando. Dengan menafikan pengilhaman dan
pengaktualisasian nilai ini, eksistensi Blandongan: wallahu a’lam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar