TAFSIR
KIDUNG LIR-ILIR
(Oleh:
Ahmad Z. Anam, M.S.I.)
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak ’a, surak “hiyoo”
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak ’a, surak “hiyoo”
Setelah seharian kita melakoni rangkaian
estafeta aktifitas panjang yang mungkin membuat kita kita lelah, penat, jenuh
dan bahkan tertekan, marilah sejenak kita bersantai. Kita coba menjelajah waktu;
bertamasya; berjalan-jalan menilik budaya dan agama 500 tahun silam, yakni zaman
kerajaan demak bintoro yang bertepatan dengan berakhirnya kejayaan majapahit. Di
sana kita jumpai sebuah kidung religi; buah karya Sunan Kalijogo. Kidung yang
nampaknya begitu sederhana, tapi pastinya sarat makna: lir ilir. Sebuah kidung
yang sudah sangat akrab di telinga sluruh lapisan masyarakat islam (khusunya Jawa).
Untuk
tujuh menit mendatang, mari kita bersama-sama mengkaji tafsir dari karya
estetis peninggalan sejarah yang shalih (sesuai) untuk segala zaman tersebut:
Lir ilir... lir ilir...
tandure wus sumilir:
Bangunlah-bangunlah,
tanaman sudah mulai bersemi.
Dalam bait ini Sunan Kalijogo menyerukan agar umat Islam segera bangun dan
bergerak: istaiqidh…; qum…; sammir…;
fanshab… karena saat kebangkitan telah tiba. Kondisi pada masa itu
digambarkan bagaikan tanaman yang mulai menghijau-bersemi. Demikianlah keadaan rakyat
di Jawa masa itu; setelah runtuhnya Majapahit, rakyat telah siap bangkit untuk
menyongsong nilai luhur ajaran Islam. Terlebih, kalau kita tarik dalam konteks umat masa
sekarang, telah jauh lebih siap (secara politik) untuk bergerak memperjuangkan
nilai-nilai luhur Islam.
Tak
ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar:
Demikian menghijau, seperti gairah pengantin baru. Spirit kebangkitan itu
telah menggebu-gebu. Bunga-bunga bermekaran. Bergairah laksana pengantin baru
yang membawa aura positif bagi diri dan orang lain (tahusendiri kan, gairah
pengantin baru seperti apa? tidak usah saya ilustrasikan di sini. Anda jauh
lebih faham. Tapi kalau yang masih bujang-gadis, ya… minal khaasiriin:
termasuk golongan merugi. Sabar sajalah. Pengantin baru memiliki do’a khusus: yaa
lailu tul, yaa naumu zul, ya subhu qif laa tathlu’). Semangat seperti
inilah yang wajib melekat bagi seluruh pribadi umat islam dalam mengilhami dan
melaksanakan ajaran Islam.
Cah
angon... cah angon... penekna blimbing kuwi :
Anak
penggembala-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu. Maksud
anak gembala dalam konteks ini adalah para
pemimpin, dan sebagaimana kita sadari bersama, tiap diri kita adalah pemimpin.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ibn Khatab dikatakan:
kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatih. Sedangkan belimbing adalah
buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam. Buniya
al-Islamu ‘ala khamsin: syahadati an la ilaha illallah wa anna muhammadan
rasulullah, wa iqami ash-shalati, wa ita’I az-zakati, wa al-hajji, wa shoumi
ramadhan”.
Ada
makna filosofis yang tersendiri mengapa Sunan menggunakan redaksi “penekna:
panjatkan”, bukan sekedar “jupukna: ambilkan”, ini adalah kunci utama
penafsiran ini. Kalimat “panjatkan” tersebut menyiratkan makna bahwa kelima
rukun islam tersebut tidak cukup hanya dilaksanakan saja; namun diperjuangkan
dan ditegakkan. Pertama Syahadat. Syahadat tidak cukup hanya dilafalkan tanpa
makna. Syahadat wajib diilhami sebagai sebuah persaksian tulus hanya Allah lah
yang pantas aku sembah. Bukan harta, jabatan, kekusaan yang aku tuhankan, tapi
Allah semata. Begitu juga dengan persaksian Nabi Muhammad adalah rasul Allah.
Persaksian tersebut juga berkonsekuensi bahwa tiap langkah kita, harus
meneladan baginda besar Muhammad s.aw. (bukan justin fiber yang diteladan)
Kedua:
mendirikan shalat. Idealitas shalat baru akan terwujud
jika ia telah mampu tanha ‘an al-fakhsaa’I wa al-munkar. Sholat hakiki
bukan sekedar sholat yang dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, namun sholat
yang menghantarkan kita pada li adz-dzikriy: mengingat allah dan
selanjutnya sebagai tameng dari perbuatan keji dan mungkar.
Ketiga:
zakat. Kalau sekedar zakat firtah (yang
kadarnya kurang lebih 2,5 kg), tidak perlu kita kaji panjang lebar. Hampir
seluruh umat Islam menuntaskan kewajiban tersebut. Namun bagaimana dengan zakat
mal? Apakah kita sudah menghitung dan mengeluarkan zakat kita? Mari, dalam
momen yang special ini kita renungkan kembali makna zakat mal, kemudian kita
laksanakan. Zakat profesi disetarakan dengan zakat perdagangan yang hanya
sekitar 2,5% dari pendapatan. Sungguh ringan (dibanding zakat pertanian yang
sampai 10%). Mari kita tunaikan.
Keempat:
Haji. Haji merupakan kegiatan napak tilas nabi Ibrahim. Puncak
tujuan (ghayah) dari ritual haji adalah membentuk keshalihan. Keshalihan
merupakan suatu bentuk integral ketaatan, baik pada ranah individu dan sosial.
Ketaatan pada ranah individu (baca: ibadah murni) semata, hanyalah akan
menghasilkan keshalihan yang tak seimbang. Begitupula sebaliknya.
Kelima: Puasa
Ramadhan, telah begitu banyak penjelasan tentang kegiatan puasa ramadhan. Intinya
Ramadhan adalah wahan penggemblengan kawah candradimuka yang mendidik umat
islam menjadi umat yang semakin hari semakin bertaqwa; la’allakum tattaqun.
Lunyu
lunyu yo peneken kanggo mbasuh dodotira :
Walaupun
licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian kebesaranmu.
Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada
upacara atau saat-saat penting. Buah belimbing pada jaman dahulu, karena
kandungan asamnya tinggi, sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk
merawat kain batik supaya tetap awet. Dalam istilah orang jawa, agama
seringkali diibaratkan sebagai pakaian. Dengan kalimat ini, Sunan memerintahkan
orang Islam untuk tetap berusaha konsisten menegakkan lima rukun Islam walaupun
banyak rintangan. Semuanya itu diperlukan untuk menjaga eksistensi kehidupan
beragama mereka.
Dodotira... dodotira... kumitir bedah ing pinggir :
Pakaian-pakaianmu
terkoyak dan robek di sisi-sisinya. Saat kita lengah, saat
kita meninggalkan agama secara sadar atau tidak sadar, saat kita mulai menjauh
dari nilai-nilai luhur Islam, saat itulah digambarkan seperti pakaian yang
telah terkoyak dan robek di pinggirnya. Lalu bagaimana jika kondisi itu menempa
kita?
Dondomana
jrumatana kanggo seba mengko sore :
Jahit
dan benahilah, untuk acara paseban nanti
sore. “Seba” artinya upacara untuk menghadap
orang yang berkuasa (raja), oleh karena itu ada tempat yang disebut ‘paseban’
yaitu tempat menghadap raja. Dalam konteks ini, Sunan memerintahkan agar orang Jawa
memperbaiki kehidupan beragamanya sadar atau tidak sadar telah rusak dengan
cara bertaubat dan mengimplementasikan nilai luhur ajaran Isam dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai bekal menghadap Allah s.w.t. di sore nanti, saat kita
menghadap-Nya.
Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane :
Selagi
sedang terang rembulannya, selagi masih luas ruang gerak kita. Selagi
masih banyak waktu, selagi masih , perbaikilah kehidupan beragamamu dan
bertaubatlah.
Yo surako, surak hiyo :
Mari
bersorak-sorak ayo. Jika kita sudah konsisten
menegakkan rukun Islam, senantiasa bertaubat jika bersalah, ringkasnya telah berikhtiar
sedemikian rupa, insyallah saat menghadap-Nya nanti, kita akan menghadap dengan
penuh suka cita dan menjemput kematian dengan sorak dan senyum simetris. Allahumma
amien…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar