Rabu, 26 Maret 2014

Tafsir

TAFSIR KIDUNG LIR-ILIR
(Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.)
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak ’a, surak “hiyoo”
            Setelah seharian kita melakoni rangkaian estafeta aktifitas panjang yang mungkin membuat kita kita lelah, penat, jenuh dan bahkan tertekan, marilah sejenak kita bersantai. Kita coba menjelajah waktu; bertamasya; berjalan-jalan menilik budaya dan agama 500 tahun silam, yakni zaman kerajaan demak bintoro yang bertepatan dengan berakhirnya kejayaan majapahit. Di sana kita jumpai sebuah kidung religi; buah karya Sunan Kalijogo. Kidung yang nampaknya begitu sederhana, tapi pastinya sarat makna: lir ilir. Sebuah kidung yang sudah sangat akrab di telinga sluruh lapisan masyarakat islam (khusunya Jawa).
Untuk tujuh menit mendatang, mari kita bersama-sama mengkaji tafsir dari karya estetis peninggalan sejarah yang shalih (sesuai) untuk segala zaman tersebut:      

Lir ilir... lir ilir... tandure wus sumilir:
Bangunlah-bangunlah, tanaman sudah mulai bersemi. Dalam bait ini Sunan Kalijogo menyerukan agar umat Islam segera bangun dan bergerak: istaiqidh…;  qum…; sammir…; fanshab… karena saat kebangkitan telah tiba. Kondisi pada masa itu digambarkan bagaikan tanaman yang mulai menghijau-bersemi. Demikianlah keadaan rakyat di Jawa masa itu; setelah runtuhnya Majapahit, rakyat telah siap bangkit untuk menyongsong nilai luhur ajaran Islam.  Terlebih, kalau kita tarik dalam konteks umat masa sekarang, telah jauh lebih siap (secara politik) untuk bergerak memperjuangkan nilai-nilai luhur Islam.
Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar:
            Demikian menghijau, seperti gairah pengantin baru. Spirit kebangkitan itu telah menggebu-gebu. Bunga-bunga bermekaran. Bergairah laksana pengantin baru yang membawa aura positif bagi diri dan orang lain (tahusendiri kan, gairah pengantin baru seperti apa? tidak usah saya ilustrasikan di sini. Anda jauh lebih faham. Tapi kalau yang masih bujang-gadis, ya… minal khaasiriin: termasuk golongan merugi. Sabar sajalah. Pengantin baru memiliki do’a khusus: yaa lailu tul, yaa naumu zul, ya subhu qif laa tathlu’). Semangat seperti inilah yang wajib melekat bagi seluruh pribadi umat islam dalam mengilhami dan melaksanakan ajaran Islam.
Cah angon... cah angon... penekna blimbing kuwi :
Anak penggembala-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu. Maksud  anak gembala dalam konteks ini adalah para pemimpin, dan sebagaimana kita sadari bersama, tiap diri kita adalah pemimpin. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ibn Khatab dikatakan: kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatih. Sedangkan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam. Buniya al-Islamu ‘ala khamsin: syahadati an la ilaha illallah wa anna muhammadan rasulullah, wa iqami ash-shalati, wa ita’I az-zakati, wa al-hajji, wa shoumi ramadhan”.
Ada makna filosofis yang tersendiri mengapa Sunan menggunakan redaksi “penekna: panjatkan”, bukan sekedar “jupukna: ambilkan”, ini adalah kunci utama penafsiran ini. Kalimat “panjatkan” tersebut menyiratkan makna bahwa kelima rukun islam tersebut tidak cukup hanya dilaksanakan saja; namun diperjuangkan dan ditegakkan. Pertama Syahadat.  Syahadat tidak cukup hanya dilafalkan tanpa makna. Syahadat wajib diilhami sebagai sebuah persaksian tulus hanya Allah lah yang pantas aku sembah. Bukan harta, jabatan, kekusaan yang aku tuhankan, tapi Allah semata. Begitu juga dengan persaksian Nabi Muhammad adalah rasul Allah. Persaksian tersebut juga berkonsekuensi bahwa tiap langkah kita, harus meneladan baginda besar Muhammad s.aw. (bukan justin fiber yang diteladan)
Kedua: mendirikan shalat. Idealitas shalat baru akan terwujud jika ia telah mampu tanha ‘an al-fakhsaa’I wa al-munkar. Sholat hakiki bukan sekedar sholat yang dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, namun sholat yang menghantarkan kita pada li adz-dzikriy: mengingat allah dan selanjutnya sebagai tameng dari perbuatan keji dan mungkar.
Ketiga: zakat. Kalau sekedar zakat firtah (yang kadarnya kurang lebih 2,5 kg), tidak perlu kita kaji panjang lebar. Hampir seluruh umat Islam menuntaskan kewajiban tersebut. Namun bagaimana dengan zakat mal? Apakah kita sudah menghitung dan mengeluarkan zakat kita? Mari, dalam momen yang special ini kita renungkan kembali makna zakat mal, kemudian kita laksanakan. Zakat profesi disetarakan dengan zakat perdagangan yang hanya sekitar 2,5% dari pendapatan. Sungguh ringan (dibanding zakat pertanian yang sampai 10%). Mari kita tunaikan.
Keempat: Haji. Haji merupakan kegiatan napak tilas nabi Ibrahim. Puncak tujuan (ghayah) dari ritual haji adalah membentuk keshalihan. Keshalihan merupakan suatu bentuk integral ketaatan, baik pada ranah individu dan sosial. Ketaatan pada ranah individu (baca: ibadah murni) semata, hanyalah akan menghasilkan keshalihan yang tak seimbang. Begitupula sebaliknya.
Kelima: Puasa Ramadhan, telah begitu banyak penjelasan tentang kegiatan puasa ramadhan. Intinya Ramadhan adalah wahan penggemblengan kawah candradimuka yang mendidik umat islam menjadi umat yang semakin hari semakin bertaqwa; la’allakum tattaqun.
Lunyu lunyu yo peneken kanggo mbasuh dodotira :
Walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian kebesaranmu. Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara atau saat-saat penting. Buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya tinggi, sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet. Dalam istilah orang jawa, agama seringkali diibaratkan sebagai pakaian. Dengan kalimat ini, Sunan memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha konsisten menegakkan lima rukun Islam walaupun banyak rintangan. Semuanya itu diperlukan untuk menjaga eksistensi kehidupan beragama mereka.

Dodotira... dodotira... kumitir bedah ing pinggir :

Pakaian-pakaianmu terkoyak dan robek di sisi-sisinya. Saat kita lengah, saat kita meninggalkan agama secara sadar atau tidak sadar, saat kita mulai menjauh dari nilai-nilai luhur Islam, saat itulah digambarkan seperti pakaian yang telah terkoyak dan robek di pinggirnya. Lalu bagaimana jika kondisi itu menempa kita?
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore :

Jahit dan  benahilah, untuk acara paseban nanti sore. “Seba” artinya upacara untuk menghadap orang yang berkuasa (raja), oleh karena itu ada tempat yang disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Dalam konteks ini,  Sunan memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya sadar atau tidak sadar telah rusak dengan cara bertaubat dan mengimplementasikan nilai luhur ajaran Isam dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bekal menghadap Allah s.w.t. di sore nanti, saat kita menghadap-Nya.

Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane :
Selagi sedang terang rembulannya, selagi masih luas ruang gerak kita. Selagi masih banyak waktu, selagi masih , perbaikilah kehidupan beragamamu dan bertaubatlah.

Yo surako, surak hiyo :
Mari bersorak-sorak ayo. Jika kita sudah konsisten menegakkan rukun Islam, senantiasa bertaubat jika bersalah, ringkasnya telah berikhtiar sedemikian rupa, insyallah saat menghadap-Nya nanti, kita akan menghadap dengan penuh suka cita dan menjemput kematian dengan sorak dan senyum simetris. Allahumma amien…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar