MENAGIH JANJI CAPRES;
Meneguhkan Pesantren Sebagai Garda
Depan Kontrol Sosial-Politik
Oleh; Kg. Ach. Z. Anam
Delapan
Juli 2009 mendatang bukanlah akhir perjalanan demokrasi. Terpilihnya presiden
dan wakil presiden yang paling diinginkan rakyat tidak serta merta mengindikasikan
keparipurnaan negara dalam menggelar ‘hajat’nya. Permadani sejarah masih
terhampar begitu luas untuk mewujudkan Indonesia menuju bangsa demokratis dan mukti
wibowo. Bukan pekerjaan mudah, memang. Namun, dengan partisipasi aktif seluruh
komponen bangsa, narasi agung itu bukan tidak mungkin terwujud.
Janji
Politik
Sebagai
tradisi pemilihan presiden secara langsung, sosialisasi visi-misi Capres dan Cawapres
di hadapan publik merupakan sebuah ‘ritual wajib’. Rencana pembangunan negara yang
tertuang dalam lembar visi-misi itu mesti terpublikasikan dengan massif dan
komperehensif; sebagai nilai tawar untuk
menggalang dukungan rakyat. Dewasa ini rakyat semakin berfikir cerdas, mereka
tidak hanya memilih pencitraan figur, tapi juga rencana besar yang diusung
masing-masing pasangan. Di titik inilah sosialisasi visi-misi (baca;
janji-janji) menemukan urgensinya.
Saat
ini, Indonesia telah memiliki tiga pasang Capres-Cawapres yang akan berlaga
pada even Pilpres nanti (Mega-Pro, SBY-Budiono, dan JK-Win). Masing-masing pasangan
memiliki konsep baik dalam membangun bangsa—minimal untuk lima tahun ke depan—yang tertuang dalam
janji-janji mereka. Sebagai contoh; Mega-Pro, dengan tema peningkatan derajat
dan kesejahteraan wong cilik dengan konsep ekonomi kerakyatan,
SBY-Budiono, dengan peningkatan kesejahteraan petani, nelayan dan para pendidik
di lingkungan pendidikan, dan JK-Win, dengan penumbuh-kembangan usaha lokal,
kemandirian bangsa, dan resolusi konflik. Semua janji mereka baik, semuanya
beri’tikad membangun bangsa ini menuju bangsa yang maju dan berwibawa.
Urgensi Kontrol
Sosial-Politik
Meski
demikian, upaya pengejawantahan visi-misi tersebut tidak semudah membalik
telapak tangan. Bisa jadi, janji mereka yang terpilih kelak, hanya sebatas janji;
isapan jempol semata. Kekhawatiran ini sangat mungkin terjadi, mengingat belum
adanya mekanisme politik untuk menguji akuntabilitas Capres-Cawapres jika
terpilih kelak. Di sisi lain, kontrol sosial-politik bangsa ini dinilai masih
terlalu lemah.
Bertolak
dari realitas tersebut, maka, kontrol sosial-politik akan mendapati urgensinya
dalam kancah perpolitikan nasional. Bangsa ini membutuhkan power yang kuat
untuk mengawal pemerintahan dan menagih janji-janji politik yang digaungkan
para Capres dan Cawapres di masa kampanye. Tentunya, rakyatlah yang berwenang
mengemban tugas luhur ini.
Pesantren;
Sebagai Garda Depan Kontrol Sosial-Politik
Pesantren,
sebagai institusi yang memiliki power dan pengaruh besar di masyarakat, sangat
layak untuk menjadi garda depan dalam memainkan tanggung jawab tersebut. Berbagai penelitian
dan kajian ilmiah telah banyak membuktikan bahwa pesantren memilki peran
strategis dalam memobilisasi dan membentuk konstruksi sosial-kemasyarakatan. Sebut
saja Manfred Ziemek, Sidney Jones, Zamakhsary Dhofier, dan Hiroko Horikoshi,
mereka menyatakan; pesantren, dengan kepemimpinan kiai telah mampu menjadi
garda depan perubahan sosial. Sungguh posisi yang sangat pepak untuk
menjadi pengarep pergerakan rakyat.
Sejatinya,
pesantren telah bermain baik dalam mengukir sejarah bangsa sejak masa
penjajahan. kala itu, pesantren menjadi mesin penggerak rakyat untuk berjuang
menghapuskan penjajahan. Namun, dewasa ini, pamor gemilang itu kian memudar
oleh berbagai problematika sosial yang ada.
Masa kejayaan pesantren itu harus diraih
kembali. Tiba saatnya pesantren menjadi pelopor dan penggerak mobilitas rakyat untuk
menggugat pemerintah dalam hal terjadi perselingkuhan dan penyelewengan
janji-janji politik. Bukan sebuah ilusi yang tak beralasan, jika pesantren
mampu menggalang kekuatan rakyat untuk mengambil bagian sebagai kontrol
sosial-politik. Narasi besar ini tidak berlebihan kiranya; mengingat begitu
besar pengaruh pesantren, didukung pengilhaman suci masyarakat pesantren bahwa;
tanggung jawab pesantren yaitu membangun masyarakat sepenuhnya, seutuhnya. Tidak
terkotak-kotakkan dalam dimensi tertentu (baca; agama) saja.
Peran yang begitu
strategis ini akan sangat sayang jika tersia-siakan. Terlebih,
dewasa ini, kedekatan pesantren dan politik kian mesra saja. Dalam masa-masa
kampanye, pesantren tak pernah sepi dari ‘tamu politik’ yang
menawarkan visi-misi, mencari dukungan, atau bahkan hanya sekedar memohon
do’a restu saja. Sebuah kesempatan baik bagi pesantren untuk menjadi garda
depan kontrol sosial-politik atas janji-janji politik dan kebijakan
pemerintahan.
Catatan
Akhir
Sudah
saatnya pesantren bangkit dan menampakkan peran strategisnya dalam kancah
perpolitikan nasional. Jika selama ini pesantren dianggap sebagai ‘pendorong
gerobak’ politik, dan akan ditinggalkan saat gerobak telah melaju kencang, maka
telah tiba masanya pesantren menjadi ‘mandor’ politik. Sebuah institusi yang
menjadi tulodho dan garda depan rakyat dalam mengawal, mengawasi, dan
mengarahkan berjalannya pemerintahan menuju indonesia yang maju, demokratis,
dan berwibawa. Wallah a’lam bi ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar