Refleksi Syawal:
MENUJU
KESHALIHAN INDIVIDU, INSTITUSI, DAN SOSIAL
Oleh:
Ahmad Z. Anam, M.S.I.
(Calon Hakim Angkatan II PPC Terpadu. Satker:
Pengadilan Agama Kab. Kediri)
Sekapur Sirih
Ramadhan
telah berakhir. Dengan demikian, berakhir pula masa penggemblengan di Kawah
Candradimuka itu. Ramadhan yang penuh dengan nilai-nilai edukasi telah mewisuda
umat dari kampus sucinya. Sungguh, ini adalah perpisahan yang memilukan. Untungnya,
momen istimewa nan agung itu telah banyak mewariskan modal-nilai yang dapat dipedomani
umat untuk mengarungi kehidupan pada masa mendatang.
Capaian
tertinggi (ghayah) dari penggemblengan tersebut—sebagaiamana ditegaskan
dalam al-Qur’an—adalah membentuk pribadi taqwa. Pribadi taqwa adalah pribadi yang
mengindahkan segala nilai luhur yang disyari’atkan Allah sekaligus menolak nilai
kontraproduktif yang dilarang-Nya.
Ketaqwaan
harus selalu menyertai umat dalam menjalankan titahnya sebagai abdullah (hamba
Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Allah) di bumi ini. Idealitas seperti
inilah yang harus dimaknai secara kongkrit dan diejawantahkan dalam seluruh
aspek kehidupan. Hanya dengan jalan inilah manusia dapat mencapai derajat
keshalihan kamil (sempurna; total).
Artikel
ini berusaha memotret eksistensi Ramadhan sebagai pembentuk pribadi taqwa, menguraikan
konversi ketaqwaan menjadi sebuah keshalihan, sekaligus merumuskan konstruksi
keshalihan total yang harus dibumikan oleh seluruh warga Peradilan Agama: bukan
sekedar keshalihan individu, tetapi juga institusi, dan sosial.
Ramadhan = Kawah Candradimuka
Konon,
dalam kisah Mahabarata, Kawah Candradimuka merupakan wahana penggemblengan para
kesatria. Di situlah mereka ditempa dengan berbagai ilmu kedigdayaan.
Tujuannya: memperoleh kekuatan sejati. Kawah di pegunungan Jamurdipa itu
terbukti ampuh mencetak kesatria tangguh yang konsisten membela kebenaran dan memerangi
kejahatan.
Dalam
konteks ke-Islaman, Ramadhan memiliki kesamaan ideal moral dengan Kawah
Candradimuka. Aksiologi keduanya berjalan searah: mencetak pribadi religius, luhur,
tangguh, setia pada kebenaran dan keadilan, dan memerangi segala bentuk kefasidan.
Tak
ubahnya penggemblengan di Kawah Candradimuka, satu bulan penuh Ramadhan menggembleng
jiwa (esoterik) dan raga (eksoterik) umat manusia dengan media ritus puasa dan
ibadah lainnya. Saat itulah jiwa manusia disucikan dari muatan-muatan negatif
(dosa) dan spirit pengabdian kepada Rabb semesta alam ditanamkan dalam-dalam, hingga
terciptalah “manusia baru” yang bertaqwa dan siap menjadi abdullah dan khalifatullah
di bumi ini.
Ketaqwaan
merupakan unsur primordial dalam Islam. Tidak ada hal apapun yang mampu
membedakan strata (baca: derajat) manusia di hadapan Tuhannya kecuali tingkat
ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur ini, sangat logis jika Allah
menciptakan Kawah Candradimuka yang bernama Ramadhan untuk mengembleng manusia,
agar mereka bertaqwa.
Sebagaimana juga Kawah Candradimuka
yang mewisuda para kesatria saat mereka telah matang dalam penggemblengan,
Ramadhan juga demikian adanya. Bulan istimewa itu juga
bersifat temporal. Ia berakhir pada hari pertama bulan Syawal. Saat itulah Ramadhan
mewisuda umat, kemudian menuntut mereka untuk membuktikan kekuatan sejati yang
diperoleh selama penggemblengan.
Lantas,
ketaqwaan yang diperoleh selama penggemblengan Ramadhan itu mau dibawa ke mana?
Cukupkah ketaqwaan itu dikonversikan menjadi keshalihan individual yang hanya
bermanfaat bagi diri kesatria? Atau harus menjadi keshalihan total, yang selain
berguna bagi diri kesatria juga berkontribusi positif bagi institusi dan sosialnya?.
Menuju Keshalihan Total: Individu,
Institusi, dan Sosial
Aksiologi
puasa Ramadhan, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an (Q.S: 2: 83) adalah membentuk
pribadi yang bertaqwa. Dalam tafsir al-Qurtuby, taqwa didenifisikan sebagai
berikut:
هي
امتثال أو امره واجتناب نواهيه
Artinya: dia (taqwa) adalah menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam
sebuah atsar juga dinarasikan, batas makna taqwa adalah sebagai
berikut:
ورد أن عمر ابن
الخطاب - رضي الله عنه - سأل أبي بن كعب عن التقوى فقال له : أما سلكت طريقاً ذا
شوك؟ قال بلى! قال : فما عملت؟ قال : شمرت واجتهدت . قال : فذلك التقوى .
Artinya: dikisahkan, bahwasannya
Umar Ibn al-Khattab r.a. bertanya kepada Ubay ibn Ka’ab, tentang taqwa. Ubay
bertanya kembali, “Bukankan Anda pernah melewati jalan berduri” Umar menjawab,
“Ya”. Ubay bertanya kembali, “Apakah yang anda lakukan saat itu?” Umar
menjawab, “Saya bersiap-siap dan berjalan hati-hati”, Ubay kemudian berkata “Itulah
taqwa”.
Sayyid
Quthub, dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menggambarkan taqwa adalah sebuah kepekaan
bathin, kelembutan perasaan, rasa takut (atas maksiat) yang terus menerus,
selalu waspada dan hati-hati, menghindari “duri-duri jalanan” karena jalan
kehidupan selalu ditaburi duri yang berwujud godaan sahwat, kerakusan, angan-angan,
kekhawatiran, keraguan, dan ketakutan palsu yang tidak wajar, serta “duri-duri”
lainnya.
Berdasarkan
definisi tersebut, dapat ditarik benang merah, sejatinya taqwa merupakan
sebentuk ketaatan penuh untuk menjalankan semua kemashlahatan yang diperintahkan
Allah sekaligus meninggalkan segala kemadharatan yang dilarang oleh-Nya.
Perintah
dan larangan Tuhan tersebut terpilah menjadi dua taksonomi: Pertama: dalam
relasi manusia dengan Tuhannya (habl min Allah). Relasi vertikal ini
terejawantahkan dalam ritus-ritus peridabatan murni manusia pada Tuhannya.
Kedua: relasi manuasia dengan sesamanya (habl min an-annas). Dimensi horizontal ini
memiliki wilayah yang jauh lebih luas, mencakup seluruh urusan manusia dengan
dunia sosialnya.
Ketaqwaan
tersebutlah yang kemudian menghantarkan manusia pada sebuah predikat keshalihan.
Dimensi keshalihan haruslah memasuki seluruh sendi kehidupan; baik dalam ranah khusus
hubungan manusia dengan Tuhan ataupun hubungan manusia dengan kehidupan sosial.
Dalam
konteks Keluarga Besar Badan Peradilan Agama, menurut hemat penulis, keshalihan
harus terbentuk dari tiga unsur yang integral: keshalihan individu, institusi,
dan sosial. Ketiga bentuk ini harus berjalan seiring-sejalan, tidak boleh
pincang. Unsur keshalihan tidak dapat berdiri sendiri. Jika ada salah satu saja
dari ketiga keshalihan tersebut tidak terpenuhi, maka hilanglah predikat shalih.
Pertama:
keshalihan individu. Keshalihan individu merupakan bentuk keshalihan “ke
dalam”. Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, sesuai
perintah Allah dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat khusus bagi pelakunya,
dan tidak ada relasi dengan pihak lain.
Dalam
konteks kaidah ushul fiqh, bentuk keshalihan individu dikenal dengan istilah al-qashir
(ibadah terbatas; individual). Keshalihan ini merupakan peribadatan mahdhah
(murni), seperti berzikir, qiyam al-lail, membaca al-Qur’an, haji, umrah
dan lain sebagainya. Ibadah murni inilah yang sering menjebak pemahaman kita,
bahwa hanya ibadah tipe inilah yang benar-benar dinilai sebagai ibadah. Padahal,
masih begitu banyak ibadah lain yang juga dapat dipastikan bernilai ibadah.
Kedua:
keshalihan institusi. Keshalihan institusi merupakan serangkaian totalitas
kerja yang berorientasi pada kebaikan institusi. Sejatinya, kesalihan institusi
merupakan keshalihan social terbatas. Keshalihan ini merupakan sebentuk
perilaku baik, sesuai perintah Allah dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat
bagi pelakunya, dan berkontribusi positif bagi sebuah institusi.
Keshalihan institusi dalam konteks
Peradilan Agama dapat didefinisikan sebagai segala bentuk totalitas kerja yang
berorientasi pada tercapainya manajemen organisasi yang baik yakni dengan cara mengembangkan
dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi,
pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat
diterima oleh seluruh masyarakat.
Target
dari system organisasi yang baik tersebut adalah tercapainya visi dan misi
badan peradilan agama. Sebagai pengingat, visi kita adalah: Terwujudnya Badan
Peradilan Agama yang Agung. Sedangkan misi: 1. Meningkatkan Profesionalisme
Aparatur Peradilan, 2. Mewujudkan Managemen Peradilan Agama yang Modern, 3.
Meningkatkan Kualitas Sistem Pemberkasan Perkara Kasasi, 4. Meningkatkan Kajian
Syari’ah Sebagai Sumber Hukum Materi Peradilan Agama.
Untuk
menggapai keshalihan institusi tentunya masing-masing organisme berperan
maksimal sesuai dengan tupoksinya. Kerja sama intensif dalam bidang planning
(perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating
(pelaksanaan), dan controlling (pengawasan), mutlak diperlukan untuk
sebuah pencapaian keshalihan institusi.
Selaian
upaya positif tersebut, perilaku-perilaku negatif—sebagaimana dijelaskan oleh
Sayyid Quthub—seperti rakus, keraguan tak berdasar, meladeni godaan syahwat
(menguasai harta yang bukan haknya; korupsi, melalaikan tanggungjawab, unprofessional
conduct, ddl.) dalam sebuah lingkungan institusi wajib ditinggalkan.
Ketiga:
keshalihan sosial. Keshalihan sosial merupakan bentuk keshalihan “ke luar”.
Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, sesuai perintah Allah
dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat bagi pelakunya, dan juga berkontribusinya
terhadap pihak lain secara luas. Dalam konteks kaidah ushul fiqh, bentuk ini
dikenal dengan istilah al-muta’addy (ibadah berdampak). Keshalihan ini
memiliki bentuk yang sangat bervarian, antaranya: zakat, infaq, sedekah,
santunan anak yatim, toleransi, silaturahmi, ta’lim-muta’allim, kerjasama, bekerja
profesional, amanah, menjadi pemimpin bijak, penyelamatan lingkungan dan lain
sebagainya.
Kaidah Ushul Fiqh mengatakan: al-muta’addy
afdhal min al-sashir. Artinya, ibadah yang berdampak (berkontribusi
positif) lebih diutamakan daripada ibadah yang terbatas (individu). Inilah
kelebihan ibadah sosial. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’qub, dalil
ayat al-Qur’an maupun hadits justru lebih banyak yang menjelaskan soal ibadah
sosial dari pada ibadah individual. Inilah alasan mengapa umat harus mereorientasi
atas ibadahnya. Jika selama ini hanya memprioritaskan ibadah individual, maka
perlu disempurnakan ke arah sosial.
Kesimpulan
Ramadhan
merupakan wahana penggemblengan bagi seluruh umat Islam yang berorientasi pada
ketaqwaan. Nilai ketaqwaan ini harus diejawantahkan (dikonversikan) menjadi
keshalihan. Keshalihan haruslah bersifat integral-total: keshalihan individu,
institusi, dan sosial.
Keshalihan
individu merupakan bentuk keshalihan yang al-qashir (bersifat terbatas).
Artinya, bermanfaat khusus bagi pelakunya, dan tidak kontribusinya terhadap
pihak lain. Keshalihan ini berada pada dimensi ibadah mahdhah (murni).
Keshalihan institusi merupakan
keshalihan sosial terbatas. Keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku kerja
yang baik, selain bermanfaat bagi diri pelaku keshalihan bentuk ini juga berkontribusi
positif pada tercapainya kepemerintahan (baca: Peradilan Agama) yang baik: good
governance.
Sedangkan
keshalihan sosial merupakan bentuk keshalihan yang muta’addy (berdampak).
Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, bermanfaat bagi
pelakunya, dan juga berkontribusinya terhadap lingkungan sosial secara luas.
Totalitas
keshalihan individu, institusi, dan sosial inilah masterpiece yang
digadang-gadang oleh Ramadhan. Siapapun yang tidak membumikan keshalihan total
itu pada masa-masa mendatang, dia adalah produk gagal dari Kawah Candradimuka
Ramadhan. Semoga kita selamat dari kondisi itu. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar