Rabu, 26 Maret 2014

refleksi syawal

Refleksi Syawal:
MENUJU KESHALIHAN INDIVIDU, INSTITUSI, DAN SOSIAL
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.
(Calon Hakim Angkatan II PPC Terpadu. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri)

Sekapur Sirih
Ramadhan telah berakhir. Dengan demikian, berakhir pula masa penggemblengan di Kawah Candradimuka itu. Ramadhan yang penuh dengan nilai-nilai edukasi telah mewisuda umat dari kampus sucinya. Sungguh, ini adalah perpisahan yang memilukan. Untungnya, momen istimewa nan agung itu telah banyak mewariskan modal-nilai yang dapat dipedomani umat untuk mengarungi kehidupan pada masa mendatang.
Capaian tertinggi (ghayah) dari penggemblengan tersebut—sebagaiamana ditegaskan dalam al-Qur’an—adalah membentuk pribadi taqwa. Pribadi taqwa adalah pribadi yang mengindahkan segala nilai luhur yang disyari’atkan Allah sekaligus menolak nilai kontraproduktif yang dilarang-Nya.
Ketaqwaan harus selalu menyertai umat dalam menjalankan titahnya sebagai abdullah (hamba Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Allah) di bumi ini. Idealitas seperti inilah yang harus dimaknai secara kongkrit dan diejawantahkan dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan jalan inilah manusia dapat mencapai derajat keshalihan kamil (sempurna; total).
Artikel ini berusaha memotret eksistensi Ramadhan sebagai pembentuk pribadi taqwa, menguraikan konversi ketaqwaan menjadi sebuah keshalihan, sekaligus merumuskan konstruksi keshalihan total yang harus dibumikan oleh seluruh warga Peradilan Agama: bukan sekedar keshalihan individu, tetapi juga institusi, dan sosial.
Ramadhan = Kawah Candradimuka
Konon, dalam kisah Mahabarata, Kawah Candradimuka merupakan wahana penggemblengan para kesatria. Di situlah mereka ditempa dengan berbagai ilmu kedigdayaan. Tujuannya: memperoleh kekuatan sejati. Kawah di pegunungan Jamurdipa itu terbukti ampuh mencetak kesatria tangguh yang konsisten membela kebenaran dan memerangi kejahatan.
Dalam konteks ke-Islaman, Ramadhan memiliki kesamaan ideal moral dengan Kawah Candradimuka. Aksiologi keduanya berjalan searah: mencetak pribadi religius, luhur, tangguh, setia pada kebenaran dan keadilan, dan memerangi segala bentuk kefasidan.
Tak ubahnya penggemblengan di Kawah Candradimuka, satu bulan penuh Ramadhan menggembleng jiwa (esoterik) dan raga (eksoterik) umat manusia dengan media ritus puasa dan ibadah lainnya. Saat itulah jiwa manusia disucikan dari muatan-muatan negatif (dosa) dan spirit pengabdian kepada Rabb semesta alam ditanamkan dalam-dalam, hingga terciptalah “manusia baru” yang bertaqwa dan siap menjadi abdullah dan khalifatullah di bumi ini.
Ketaqwaan merupakan unsur primordial dalam Islam. Tidak ada hal apapun yang mampu membedakan strata (baca: derajat) manusia di hadapan Tuhannya kecuali tingkat ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur ini, sangat logis jika Allah menciptakan Kawah Candradimuka yang bernama Ramadhan untuk mengembleng manusia, agar mereka bertaqwa.
            Sebagaimana juga Kawah Candradimuka yang mewisuda para kesatria saat mereka telah matang dalam penggemblengan, Ramadhan juga demikian adanya. Bulan istimewa itu juga bersifat temporal. Ia berakhir pada hari pertama bulan Syawal. Saat itulah Ramadhan mewisuda umat, kemudian menuntut mereka untuk membuktikan kekuatan sejati yang diperoleh selama penggemblengan.
            Lantas, ketaqwaan yang diperoleh selama penggemblengan Ramadhan itu mau dibawa ke mana? Cukupkah ketaqwaan itu dikonversikan menjadi keshalihan individual yang hanya bermanfaat bagi diri kesatria? Atau harus menjadi keshalihan total, yang selain berguna bagi diri kesatria juga berkontribusi positif bagi  institusi dan sosialnya?.
Menuju Keshalihan Total: Individu, Institusi, dan Sosial
Aksiologi puasa Ramadhan, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an (Q.S: 2: 83) adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Dalam tafsir al-Qurtuby, taqwa didenifisikan sebagai berikut:
هي امتثال أو امره واجتناب نواهيه
Artinya: dia (taqwa) adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam sebuah atsar juga dinarasikan, batas makna taqwa adalah sebagai berikut:
ورد أن عمر ابن الخطاب - رضي الله عنه - سأل أبي بن كعب عن التقوى فقال له : أما سلكت طريقاً ذا شوك؟ قال بلى! قال : فما عملت؟ قال : شمرت واجتهدت . قال : فذلك التقوى .
Artinya: dikisahkan, bahwasannya Umar Ibn al-Khattab r.a. bertanya kepada Ubay ibn Ka’ab, tentang taqwa. Ubay bertanya kembali, “Bukankan Anda pernah melewati jalan berduri” Umar menjawab, “Ya”. Ubay bertanya kembali, “Apakah yang anda lakukan saat itu?” Umar menjawab, “Saya bersiap-siap dan berjalan hati-hati”, Ubay kemudian berkata “Itulah taqwa”.
Sayyid Quthub, dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menggambarkan taqwa adalah sebuah kepekaan bathin, kelembutan perasaan, rasa takut (atas maksiat) yang terus menerus, selalu waspada dan hati-hati, menghindari “duri-duri jalanan” karena jalan kehidupan selalu ditaburi duri yang berwujud godaan sahwat, kerakusan, angan-angan, kekhawatiran, keraguan, dan ketakutan palsu yang tidak wajar, serta “duri-duri” lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditarik benang merah, sejatinya taqwa merupakan sebentuk ketaatan penuh untuk menjalankan semua kemashlahatan yang diperintahkan Allah sekaligus meninggalkan segala kemadharatan yang dilarang oleh-Nya.
Perintah dan larangan Tuhan tersebut terpilah menjadi dua taksonomi: Pertama: dalam relasi manusia dengan Tuhannya (habl min Allah). Relasi vertikal ini terejawantahkan dalam ritus-ritus peridabatan murni manusia pada Tuhannya. Kedua: relasi manuasia dengan sesamanya (habl  min an-annas). Dimensi horizontal ini memiliki wilayah yang jauh lebih luas, mencakup seluruh urusan manusia dengan dunia sosialnya.
Ketaqwaan tersebutlah yang kemudian menghantarkan manusia pada sebuah predikat keshalihan. Dimensi keshalihan haruslah memasuki seluruh sendi kehidupan; baik dalam ranah khusus hubungan manusia dengan Tuhan ataupun hubungan manusia dengan kehidupan sosial.
            Dalam konteks Keluarga Besar Badan Peradilan Agama, menurut hemat penulis, keshalihan harus terbentuk dari tiga unsur yang integral: keshalihan individu, institusi, dan sosial. Ketiga bentuk ini harus berjalan seiring-sejalan, tidak boleh pincang. Unsur keshalihan tidak dapat berdiri sendiri. Jika ada salah satu saja dari ketiga keshalihan tersebut tidak terpenuhi, maka hilanglah predikat shalih.
            Pertama: keshalihan individu. Keshalihan individu merupakan bentuk keshalihan “ke dalam”. Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, sesuai perintah Allah dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat khusus bagi pelakunya, dan tidak ada relasi dengan pihak lain.
Dalam konteks kaidah ushul fiqh, bentuk keshalihan individu dikenal dengan istilah al-qashir (ibadah terbatas; individual). Keshalihan ini merupakan peribadatan mahdhah (murni), seperti berzikir, qiyam al-lail, membaca al-Qur’an, haji, umrah dan lain sebagainya. Ibadah murni inilah yang sering menjebak pemahaman kita, bahwa hanya ibadah tipe inilah yang benar-benar dinilai sebagai ibadah. Padahal, masih begitu banyak ibadah lain yang juga dapat dipastikan bernilai ibadah.
Kedua: keshalihan institusi. Keshalihan institusi merupakan serangkaian totalitas kerja yang berorientasi pada kebaikan institusi. Sejatinya, kesalihan institusi merupakan keshalihan social terbatas. Keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, sesuai perintah Allah dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat bagi pelakunya, dan berkontribusi positif bagi sebuah institusi.
Keshalihan institusi dalam konteks Peradilan Agama dapat didefinisikan sebagai segala bentuk totalitas kerja yang berorientasi pada tercapainya manajemen organisasi yang baik yakni dengan cara mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
Target dari system organisasi yang baik tersebut adalah tercapainya visi dan misi badan peradilan agama. Sebagai pengingat, visi kita adalah: Terwujudnya Badan Peradilan Agama yang Agung. Sedangkan misi: 1. Meningkatkan Profesionalisme Aparatur Peradilan, 2. Mewujudkan Managemen Peradilan Agama yang Modern, 3. Meningkatkan Kualitas Sistem Pemberkasan Perkara Kasasi, 4. Meningkatkan Kajian Syari’ah Sebagai Sumber Hukum Materi Peradilan Agama.
Untuk menggapai keshalihan institusi tentunya masing-masing organisme berperan maksimal sesuai dengan tupoksinya. Kerja sama intensif dalam bidang planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengawasan), mutlak diperlukan untuk sebuah pencapaian keshalihan institusi.
Selaian upaya positif tersebut, perilaku-perilaku negatif—sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Quthub—seperti rakus, keraguan tak berdasar, meladeni godaan syahwat (menguasai harta yang bukan haknya; korupsi, melalaikan tanggungjawab, unprofessional conduct, ddl.) dalam sebuah lingkungan institusi wajib ditinggalkan.
Ketiga: keshalihan sosial. Keshalihan sosial merupakan bentuk keshalihan “ke luar”. Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, sesuai perintah Allah dan menjauh dari larangan-Nya, bermanfaat bagi pelakunya, dan juga berkontribusinya terhadap pihak lain secara luas. Dalam konteks kaidah ushul fiqh, bentuk ini dikenal dengan istilah al-muta’addy (ibadah berdampak). Keshalihan ini memiliki bentuk yang sangat bervarian, antaranya: zakat, infaq, sedekah, santunan anak yatim, toleransi, silaturahmi, ta’lim-muta’allim, kerjasama, bekerja profesional, amanah, menjadi pemimpin bijak, penyelamatan lingkungan dan lain sebagainya.
Kaidah Ushul Fiqh mengatakan: al-muta’addy afdhal min al-sashir. Artinya, ibadah yang berdampak (berkontribusi positif) lebih diutamakan daripada ibadah yang terbatas (individu). Inilah kelebihan ibadah sosial. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’qub, dalil ayat al-Qur’an maupun hadits justru lebih banyak yang menjelaskan soal ibadah sosial dari pada ibadah individual. Inilah alasan mengapa umat harus mereorientasi atas ibadahnya. Jika selama ini hanya memprioritaskan ibadah individual, maka perlu disempurnakan ke arah sosial.
Kesimpulan
Ramadhan merupakan wahana penggemblengan bagi seluruh umat Islam yang berorientasi pada ketaqwaan. Nilai ketaqwaan ini harus diejawantahkan (dikonversikan) menjadi keshalihan. Keshalihan haruslah bersifat integral-total: keshalihan individu, institusi, dan sosial.
Keshalihan individu merupakan bentuk keshalihan yang al-qashir (bersifat terbatas). Artinya, bermanfaat khusus bagi pelakunya, dan tidak kontribusinya terhadap pihak lain. Keshalihan ini berada pada dimensi ibadah mahdhah (murni).
Keshalihan institusi merupakan keshalihan sosial terbatas. Keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku kerja yang baik, selain bermanfaat bagi diri pelaku keshalihan bentuk ini juga berkontribusi positif pada tercapainya kepemerintahan (baca: Peradilan Agama) yang baik: good governance.
Sedangkan keshalihan sosial merupakan bentuk keshalihan yang muta’addy (berdampak). Artinya, keshalihan ini merupakan sebentuk perilaku baik, bermanfaat bagi pelakunya, dan juga berkontribusinya terhadap lingkungan sosial secara luas.
Totalitas keshalihan individu, institusi, dan sosial inilah masterpiece yang digadang-gadang oleh Ramadhan. Siapapun yang tidak membumikan keshalihan total itu pada masa-masa mendatang, dia adalah produk gagal dari Kawah Candradimuka Ramadhan. Semoga kita selamat dari kondisi itu. Amien.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar