Rabu, 26 Maret 2014

Artikel Sosiologi

Selamatkan Masa Depan Negeri Laskar Pelangi
Oleh: Z. Anam, M.S.I.[*]
(Dosen STAIN SAS Babel)
DSC_8469.JPG
Permadani sejarah Negeri Laskar Pelangi telah banyak tercoreng noda hitam. Daftar hitam perilaku amoralitas dan kriminalitas kian mendiaspora dari waktu ke waktu. Masa depan negeri yang sangat kita cintai ini sedang terancam. Akankah kita tetap apatis atas realitas yang menggelisahkan ini? Lantas, langkah nyata apa yang mesti kita perbuat untuk menyelamatkan “Biduk Serumpun Sebalai”?
Kondisi Faktual
Tinta ini terlalu terbatas untuk menuliskan rangkaian dekandesi moral yang sedang melanda Babel. Bumi Melayu yang seharusnya memiliki tatanan kehidupan Ketimuran (baca: beradab) ini sedang “sakit”. Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai berita rekam buruk perilaku masyarakat. Pergaulan bebas, Narkoba, Miras, pelecehan seksual, pembunuhan, pencurian kericuhan dan penipuan nampaknya telah menjadi “menu wajib” media massa.
Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) 2010 menempatkan Babel pada urutan ketujuh terbanyak kasus HIV di Indonesia. Sebuah kondisi yang sangat memperihatinkan. Negeri yang baru berumur satu dekade ini harus menerima “tamparan” memalukan di hadapan masyarakat nasional. Belum lagi kasus-kasus memperihatinkan lainnya, seperti pemerkosaan yang diikuti pembunuhan (Kelapa, Bangka Barat), pencurian (Pangkalbalam, Pangkalpinang) Penipuan dengan metode hipnotis (Tanjungpandan, Belitung), Pencabulan siswi (pangkalanbaru, Pangkalpinang),  kericuhan massa (Airgegas, Bangka), pesta Miras di berbagai tempat dan masih banyak lagi tindakan-tindakan demoralisasi yang tidak terekspos media.
Tanggungjawab Siapa?
            Siapa yang bertanggungjawab atas semua ini? Pemerintah lagi? Penulis tidak menyalahkan pemerintah atas semua fenomena memalukan ini. Pemerintah, melalui kepanjangtanganannya—seperti POLRI, Kementrian Agama, Kementrian Kesejahteraan Rakyat, dll.—telah berupaya serius untuk memberantas  dan mensosialisasikan madharat sekaligus sanksi dari semua perilaku negatif tersebut.
            Lalu, siapa yang harus pasang badan untuk menelan “pil pahit” ini? Tentunya seluruh lapisan masyarakat Babel, khususnya institusi paling dasar masyarakat (keluarga), dan lebih khusus, pembaca tulisan ini. Secara struktural, memang pemerintah lah yang berkewajiban merehabilitasi penyakit masyarakat akut ini. Namun, mungkin ada benarnya petuah yang diberikan Abang Iwan Fals, “Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau”. Pemerintah mungkin sudah terlalu lelah  dan jemu melihat kenakalan masyarakat.
Kini tiba saatnya pembenahan berangkat dari  masyarakat akar rumput (grassroot). Inilah waktunya memfungsikan kembali peran strategis  institusi-institusi dalam masyarakat. Bukan saatnya lagi kita mengeluh dan mengemis solusi. Bukankah menyalakan lilin, meskipun kecil, itu lebih baik daripada mengecam kegelapan?
Pemuda: Tunas Harapan
            Penyembuhan penyakit amoralitas dan kriminalitas di kehidupan modern yang begitu kompleks ini harus dilakukan dengan cermat. Penyelasaian masalah pada simpul yang tepat, mutlak diperlukan. Terapi ini terlalu berat dilakukan secara massif (menjangkau seluruh lapis generasi). Oleh karena itu, perlu ada bidikan prioritas generasi yang mesti digarap terlebih dahulu.
            Prioritas utama yang harus segera digembleng untuk menyelamatkan masa depan moralitas Babel adalah pemuda. Generasi muda merupakan generasi andalan. Mereka memiliki tingkat progresifitas, spirit, dan cita yang tinggi. Tak heran jika Bung Karno berujar, “Beri aku sepuluh pemuda, akan kugocang dunia”. Pepatah Arab mengatakan, syubbaan al-yaum rijaal al-gadh (pemuda hari ini adalah orang dewasa esok). Artinya, para pemuda merupakan generasi utama yang dapat diharapkan untuk menentukan masa depan.
Menyelamatkan Masa Depan
            Pemuda merupakan pilar utama yang pantas untuk digadang-gadangi sebagai garda depan pembangunan Babel. Mereka harus mendapatkan gemblengan pendidikan nilai-nilai moralitas. Namun yang menjadi persoalan, siapa yang mampu menanamkan nilai itu pada mereka?
Pendidikan di sekolah telah terbukti kurang berhasil—untuk menghindari kata gagal—dalam mensinergikan ilmu dan moral. Tolok ukur keberhasilan yang semata menggunakan Ujian Nasional telah menyeret sistem pendidikan kita melenceng dari cita-cita Undang-undang. Padahal, jelas, cita-cita Undang-undang No.20 Th. 2003 adalah mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Lantas, siapa lagi yang dapat  dijadikan  induk semang untuk menanamkan kuat-kuat nilai luhur moralitas itu? Sejatinya, masih ada dua institusi handal lagi: keluarga dan pesantren.
            Pertama, keluarga. Institusi ini adalah pilar yang sangat esensial dalam pendidikan nilai luhur bagi pemuda. Institusi ini, sebagaimana dijelaskan Azzumardi Azra, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan generasi penerusnya. Ia juga merupakan institusi paling strategis yang dapat dijadikan “kawah penggemblengan” moral pemuda. Di tempat strategis inilah, idealnya seorang pemuda mendapatkan bekal pakerti luhur untuk masa depannya.
            Namun, kompleksitas kebutuhan manusia (baik yang bersifat primer maupun sekunder) seringkali menggangu stabilitas peran keluarga dalam mendidik moral. Konsekuensinya, penanaman nilai itu seringkali tidak maksimal, terbengkalai, bahkan terancam gagal. Oleh karena itu, jika peran keluarga dirasa tidak maksimal, sebaiknya penggemblengan itu segera dilimpahkan pada institusi handal kedua: pesantren.
Kedua, pesantren. Ia merupakan institusi yang memiliki power dan pengaruh besar di masyarakat. Berbagai penelitian dan kajian ilmiah telah membuktikan bahwa pesantren memilki peran strategis dalam memobilisasi dan mengkonstruksi sosial-kemasyarakatan. Para peneliti, seperti Manfred Ziemek, Sidney Jones, Zamakhsary Dhofier, dan Hiroko Horikoshi, memiliki kesamaan kesimpulan, bahwa pesantren telah mampu menjadi garda depan perubahan sosial.
Pesantren memiliki sistem pendidikan yang ideal: sinergi antara aspek kognitif dan afektif. Moral and Intelectual Integrity benar-benar harga mati. Sistem pendidikan yang diterapkan dalam pesantren pun bersifat long life education. Selama penggemblengan digelar,  tidak ada satu detik pun momen yang terlewatkan oleh pengawasannya. Standar keberhasilan pendidikan pesantren tidak lah “dangkal” seperti pada pendidikan nasional kita. Tak mengherankan jika institusi ini banyak melahirkan pribadi-pribadi unggul dan bermoral sekelas Hasyim Asy’ary, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Mahfud MD, Jimly Assidiqy dan lain sebagainya.
Dua garda (keluarga dan pesantren) ini merupakan benteng terakhir untuk menyelamatkan masa depan moralitas Negeri Laskar Pelangi. Demi masa depan itu, keduanya harus dimaksimalkan peranannya. Atau, jika tidak, kabut tebal lah yang menyelimuti langit Negeri kita tercinta. (*)









[*] Email: AZ.Anam@yahoo.com phone: 081 578 011 848

Tidak ada komentar:

Posting Komentar