Selamatkan
Masa Depan Negeri Laskar Pelangi
Oleh: Z.
Anam, M.S.I.[*]
(Dosen
STAIN SAS Babel)

Permadani sejarah Negeri
Laskar Pelangi telah banyak tercoreng noda hitam. Daftar hitam perilaku
amoralitas dan kriminalitas kian mendiaspora dari waktu ke waktu. Masa depan
negeri yang sangat kita cintai ini sedang terancam. Akankah kita tetap apatis
atas realitas yang menggelisahkan ini? Lantas, langkah nyata apa yang mesti
kita perbuat untuk menyelamatkan “Biduk Serumpun Sebalai”?
Kondisi Faktual
Tinta ini terlalu terbatas
untuk menuliskan rangkaian dekandesi moral yang sedang melanda Babel. Bumi
Melayu yang seharusnya memiliki tatanan kehidupan Ketimuran (baca: beradab) ini
sedang “sakit”. Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai berita rekam buruk
perilaku masyarakat. Pergaulan bebas, Narkoba, Miras, pelecehan seksual, pembunuhan,
pencurian kericuhan dan penipuan nampaknya telah menjadi “menu wajib” media
massa.
Data Komisi Penanggulangan AIDS
(KPA) 2010 menempatkan Babel pada urutan ketujuh terbanyak kasus HIV di
Indonesia. Sebuah kondisi yang sangat memperihatinkan. Negeri yang baru berumur
satu dekade ini harus menerima “tamparan” memalukan di hadapan masyarakat nasional.
Belum lagi kasus-kasus memperihatinkan lainnya, seperti pemerkosaan yang
diikuti pembunuhan (Kelapa, Bangka Barat), pencurian (Pangkalbalam,
Pangkalpinang) Penipuan dengan metode hipnotis (Tanjungpandan, Belitung),
Pencabulan siswi (pangkalanbaru, Pangkalpinang), kericuhan massa (Airgegas, Bangka), pesta
Miras di berbagai tempat dan masih banyak lagi tindakan-tindakan demoralisasi
yang tidak terekspos media.
Tanggungjawab Siapa?
Siapa
yang bertanggungjawab atas semua ini? Pemerintah lagi? Penulis tidak menyalahkan
pemerintah atas semua fenomena memalukan ini. Pemerintah, melalui
kepanjangtanganannya—seperti POLRI, Kementrian Agama, Kementrian Kesejahteraan
Rakyat, dll.—telah berupaya serius untuk memberantas dan mensosialisasikan madharat sekaligus
sanksi dari semua perilaku negatif tersebut.
Lalu,
siapa yang harus pasang badan untuk menelan “pil pahit” ini? Tentunya seluruh
lapisan masyarakat Babel, khususnya institusi paling dasar masyarakat (keluarga),
dan lebih khusus, pembaca tulisan ini. Secara struktural, memang pemerintah lah
yang berkewajiban merehabilitasi penyakit masyarakat akut ini. Namun, mungkin
ada benarnya petuah yang diberikan Abang Iwan Fals, “Masalah moral, masalah
akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu,
peraturan yang sehat yang kami mau”. Pemerintah mungkin sudah terlalu lelah
dan jemu melihat kenakalan masyarakat.
Kini tiba saatnya pembenahan
berangkat dari masyarakat akar rumput (grassroot).
Inilah waktunya memfungsikan kembali peran strategis institusi-institusi dalam masyarakat. Bukan
saatnya lagi kita mengeluh dan mengemis solusi. Bukankah menyalakan lilin,
meskipun kecil, itu lebih baik daripada mengecam kegelapan?
Pemuda: Tunas Harapan
Penyembuhan
penyakit amoralitas dan kriminalitas di kehidupan modern yang begitu kompleks
ini harus dilakukan dengan cermat. Penyelasaian masalah pada simpul yang tepat,
mutlak diperlukan. Terapi ini terlalu berat dilakukan secara massif (menjangkau
seluruh lapis generasi). Oleh karena itu, perlu ada bidikan prioritas generasi
yang mesti digarap terlebih dahulu.
Prioritas
utama yang harus segera digembleng untuk menyelamatkan masa depan moralitas
Babel adalah pemuda. Generasi muda merupakan generasi andalan. Mereka memiliki
tingkat progresifitas, spirit, dan cita yang tinggi. Tak heran jika Bung Karno
berujar, “Beri aku sepuluh pemuda, akan kugocang dunia”. Pepatah Arab
mengatakan, syubbaan al-yaum rijaal al-gadh (pemuda hari ini adalah
orang dewasa esok). Artinya, para pemuda merupakan generasi utama yang dapat
diharapkan untuk menentukan masa depan.
Menyelamatkan Masa Depan
Pemuda
merupakan pilar utama yang pantas untuk digadang-gadangi sebagai garda depan
pembangunan Babel. Mereka harus mendapatkan gemblengan pendidikan
nilai-nilai moralitas. Namun yang menjadi persoalan, siapa yang mampu
menanamkan nilai itu pada mereka?
Pendidikan di sekolah telah
terbukti kurang berhasil—untuk menghindari kata gagal—dalam mensinergikan ilmu
dan moral. Tolok ukur keberhasilan yang semata menggunakan Ujian Nasional telah
menyeret sistem pendidikan kita melenceng dari cita-cita Undang-undang.
Padahal, jelas, cita-cita Undang-undang No.20 Th. 2003 adalah mengembangkan
potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Lantas,
siapa lagi yang dapat dijadikan induk semang untuk menanamkan kuat-kuat nilai
luhur moralitas itu? Sejatinya, masih ada dua institusi handal lagi:
keluarga dan pesantren.
Pertama,
keluarga. Institusi
ini adalah pilar yang sangat esensial dalam pendidikan nilai luhur bagi pemuda.
Institusi
ini, sebagaimana dijelaskan Azzumardi Azra, merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab atas perkembangan generasi penerusnya. Ia juga merupakan
institusi paling strategis yang dapat dijadikan “kawah penggemblengan” moral
pemuda. Di tempat strategis inilah, idealnya seorang pemuda mendapatkan bekal pakerti
luhur untuk masa depannya.
Namun,
kompleksitas kebutuhan manusia (baik yang bersifat primer maupun sekunder)
seringkali menggangu stabilitas peran keluarga dalam mendidik moral.
Konsekuensinya, penanaman nilai itu seringkali tidak maksimal, terbengkalai, bahkan
terancam gagal. Oleh karena itu, jika peran keluarga dirasa tidak maksimal,
sebaiknya penggemblengan itu segera dilimpahkan pada institusi handal kedua:
pesantren.
Kedua, pesantren. Ia
merupakan institusi yang memiliki power dan pengaruh besar di
masyarakat. Berbagai penelitian dan kajian ilmiah telah membuktikan bahwa
pesantren memilki peran strategis dalam memobilisasi dan mengkonstruksi sosial-kemasyarakatan.
Para peneliti, seperti Manfred Ziemek, Sidney Jones, Zamakhsary Dhofier, dan
Hiroko Horikoshi, memiliki kesamaan kesimpulan, bahwa pesantren telah mampu
menjadi garda depan perubahan sosial.
Pesantren memiliki sistem pendidikan yang ideal: sinergi antara aspek
kognitif dan afektif. Moral and Intelectual Integrity benar-benar harga
mati. Sistem pendidikan yang diterapkan dalam pesantren pun bersifat long
life education. Selama penggemblengan digelar, tidak ada satu detik pun momen yang
terlewatkan oleh pengawasannya. Standar keberhasilan pendidikan pesantren tidak
lah “dangkal” seperti pada pendidikan nasional kita. Tak mengherankan jika
institusi ini banyak melahirkan pribadi-pribadi unggul dan bermoral sekelas Hasyim
Asy’ary, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Mahfud MD, Jimly Assidiqy
dan lain sebagainya.
Dua garda (keluarga dan pesantren) ini merupakan benteng terakhir untuk
menyelamatkan masa depan moralitas Negeri Laskar Pelangi. Demi masa depan itu,
keduanya harus dimaksimalkan peranannya. Atau, jika tidak, kabut tebal lah yang
menyelimuti langit Negeri kita tercinta. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar