Rabu, 26 Maret 2014

Refleksi Syawal

Refleksi Syawal:
Menuju Keshalihan Individu dan Sosial
Oleh: Zed Anam, M.S.I.[*]
(Dosen STAIN SAS BABEL)
Usai sudah penggemblengan di “Kawah Candradimuka” itu. Ruang-waktu yang penuh rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka itu telah meluluskan umat manusia dari buaian asuhannya. Namun, sejatinya momen istimewa itu tidaklah melepaskan manusia begitu saja (dalam keadaan lemah). Telah begitu banyak bekal kekuatan yang diwariskan pada mereka guna meneruskan langkah kehidupan menuju insan kamil (manusia sempurna). Idealnya, mereka yang telah digembleng di kawah ini benar-benar mumpuni untuk melukis perjalanan hidup yang penuh ketaqwaan dalam menjalankan titahnya sebagai abdullah (hamba Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Allah) di bumi ini. Apa sesungguhnya esensi “Kawah Candradimuka” itu? Apa tujuan (Ideal moral) yang hendak dibentuk olehnya? Berhasilkah penggemblengan itu membangun pribadi manusia-manusia modern yang telah lama tenggelam dalam dunia yang kompleks dan artifisial?
Kawah Candradimuka Itu Bernama Ramadhan
Konon, dalam kisah pewayangan Mahabarata, Kawah Candradimuka merupakan sebuah tempat sakral untuk menggembleng para kesatria. Di tempat itu, para kesatria benar-benar ditempa dengan berbagai macam gemblengan, guna memperoleh kekuatan sejati. Kawah yang terletak di pegunungan Jamurdipa itu terbukti ampuh mencetak kader kesatria tangguh yang konsisten membela kebenaran dan memerangi kejahatan.
Dalam konteks ke-Islaman, Ramadhan memiliki kesamaan ideal moral dengan Kawah Candradimuka. Aksiologi keduanya berjalan searah: mencetak pribadi luhur, tangguh, religius, setia pada kebenaran, dan memerangi segala bentuk kejahatan. Tak ubahnya dengan Kawah Candradimuka, Ramadhan merupakan ruang penggemblengan yang sangat istimewa. Di bulan itu, jiwa dan raga manusia diuji dengan berbagai pengekangan nafsu badaniyyah (eksoterik) maupun bhatiniyyah (esoterik) dengan media ritus puasa. Di saat itu pula jiwa-jiwa kotor (dosa) manusia dibersihkan, hingga terciptalah “manusia baru” yang suci, kuat, dan siap menjalankan amanat Sang Pemelihara Jagat Raya.
Aksiologi puasa Ramadhan, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an (Q.S:2:83) adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Dalam definisi Syara’, taqwa berarti menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah dan larangan Tuhan—atau yang biasa disebut syara’—ini terpilah menjadi dua taksonomi: Pertama, hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah). dimensi vertikal ini terejawantahkan dalam ritus-ritus peridabatan murni manusia pada Tuhan-Nya, seperti perintah shalat, puasa dan haji serta larangan musyrik, meninggalkan shalat, dan melalaikan puasa. Kedua, hubungan manusia dengan sesamanya (hablun  minannas). Dimensi horizontal ini memiliki wilayah yang jauh lebih luas, mencakup seluruh urusan manusia dengan dunianya, seperti perintah berperilaku jujur, menepati janji, memegang amanah, menjadi pemimpin yang baik, menjaga keseimbangan alam serta larangan menipu, berhianat, eksploitasi alam dan menggapai sesuatu dengan cara yang tidak dibenarkan Syara’ (selayaknya korupsi, kolusi, nepotisme, mencuri merampas dan lain sebagainya).
Ketaqwaan merupakan unsur primordial dalam Islam. Tidak ada hal satu apaun yang mampu membedakan strata (baca: derajat) manusia di depan Tuhannya kecuali tingkat ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur ini, tak ayal jika Allah menciptakan “Kawah Candradimuka” yang bernama Ramadhan untuk mengembleng manusia agar mampu dan kuat untuk menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala bentuk keburukan yang bersumber dari hawa nafsu. Dengan riyadhah ini Allah mengharapkan manusia untuk terlahir sebagai manusia sempurna yang bertaqwa; kuat dan tangguh dalam melaksanakan segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya.  
Raport “Kawah Candradimuka”, Mau Dibawa Kemana?
            Kesadaran (internalisasi) manusia dalam menangkap realitas, sebagaimana dijelaskan Peter L. Berger (The Social Construction of Reality,1996), memiliki tingkatan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Ramadhan sebagai realitas pun diilhami berbeda-beda pula oleh masing-masing individu. Konsekuensinya, mereka tentu memiliki tingkat pemahaman dan  spirit yang berbeda dalam mengarugi bulan penggemblengan itu. Bagi sebagaian kelompok manusia, Ramadhan benar-benar dianggap sebagai momentum yang sangat istimewa. Bentuk determinasinya, mereka sangat bersemangat untuk meningkatkan segala bentuk amal shalih di bulan ini. Rahmat, ampunan, serta pembebasan dari api neraka benar-benar didamba oleh manusia tipikal ini. Namun bagi sebagian yang lain, Ramadhan dianggap sebagai hal biasa; ritus puasa pun diangap tidak sakral, biasa saja. Imbasnya, mereka pun lesu dalam menjalaninya, atau bahkan apatis terhadap kehadirannya.
            Realitas inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan nilai raport antar individu manusia. Mereka yang meningkat ketaqwaannya di Bulan Ramadhan, tentunya mendapat nilai raport yang bagus, begitu juga sebaliknya. Namun sejatinya, perbedaan nilai ini tidak akan jadi masalah, asalkan dapat diketahui rumus-rumus siasatnya. Bagi yang mendapatkan nilai bagus dalam penggemblengan itu, tentunya mereka harus konsisten dalam bertaqwa. Sedangkan bagi mereka yang mendapat raport mengecewakan, jangan patah arang. Masih ada satu kesempatan “ujian susulan” untuk lulus dengan memuaskan. Pintu kesadaran untuk berubah (baca: taubat) tidak pernah tertutup bagi siapa saja yang benar-benar menghendakinya. Syawal sebagai bulan instropeksi  merupakan saat-saat tepat bagi mereka untuk merenung, kemudian berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Syawal: Lembar Pertama dari Kesebelas Kanvas Putih
            Sebagaimana Kawah Candradimuka yang mewisuda para kesatria saat mereka telah matang dalam penggemblengan, Ramadhan juga demikian adanya. Bulan istimewa itu juga bersifat temporal, tidak sepanjang waktu. Ia berakhir pada hari hari pertama Bulan Syawal (Idul Fitri). Saat itulah manusia dituntut untuk membuktikan kekuatan yang diperoleh selama dididik di “Kawah Candradimuka” itu. Pasca penggemblengan sebulan penuh itu, semestinya terlahir pribadi-pribadi baru yang memiliki kapabilitas tinggi dalam menggoreskan warna-warna indah ketaqwaan dalam kehidupannya.
Manusia yang berhasil lulus menjadi pribadi luhur itu adalah mereka yang mampu memperoleh kekuatan sejati; kekuatan menjalankan segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya. Pribadi luhur seperti inilah ideal moral yang dikehendaki Tuhan melalui media “Kawah Candradimuka” itu. Pribadi semacam itu digadang-gadangi untuk mengabdi (menyembah) pada-Nya juga untuk mewakili-Nya sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Namun perlu diingat, mereka tidak boleh berbangga terlebih dahulu. Karena masih ada sebelas kanvas kehidupan (bulan-bulan pasca-Ramadhan) lagi yang menjadi tanggungjawabnya. Lembar-lembar kanvas putih itu mesti dilukis dengan amal-amal shalih, baik dalam keshalihan individual maupun keshalihan sosial. Oleh karena momentum penggemblengan itu telah menjadikannya pribadi yang bertaqwa, maka ia harus menjaganya. Jika tingkat ketaqwaan sebelas bulan pasca-Ramadhan lebih buruk (melemah) dari Ramadhan, bisa dipastikan dia adalah orang yang merugi.
            Lantas, siapa dan bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur gagal dalam pengemblengan itu? Mereka adalah orang yang tetap  saja enggan untuk bertaqwa, meskipun Ramadhan telah menghampirinya. Contoh riilnya adalah, mereka masih saja enggan mendirikan shalat, melaksanakan puasa, membayar zakat juga mereka yang masih saja memfitnah, menggunjing, menipu, menindas, mengacuhkan orang miskin dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta dan jabatan. Lalu bagaimana nasib mereka? Penulis berani menjamin, mereka tetap akan mampu memperoleh kekuatan sejati itu, dan menjadi pribadi luhur yang diidamkan Tuhan, dengan satu syarat!: beri’tikad untuk berubah, sebenar-benar berubah. Mereka harus merenung untuk menggali kembali hakikat dan tujuan hidup, kemudian melukiskannya pada kanvas-kanvas kehidupan selanjutnya. Hakikat hidup adalah mengabdi pada-Nya dengan menjadi hamba-Nya dan menjadi wakil-Nya di bumi. Sedangkan tujuan hidup tiada lain kecuali sa’adatuddarain (kebahagiaan dua dimensi alam: dunia dan akhirat). Dapatkah kebahagian dunia itu diperoleh dengan cara menyakiti, menindas dan mengambil hak orang lain? Dapatkah kebahgiaan akhirat itu dibeli dengan pembangkangan terhadap-Nya? Tentu tidak. Kebahagiaan dua dimensi alam itu hanya bisa dicapai dengan totalitas taqwa; shalih individu dan sosial. Wallahu a’lam.
             

           
           
           







[*] Email: AZ.Anam@yahoo.com phone: 081 578 011 848

Tidak ada komentar:

Posting Komentar