Refleksi Syawal:
Menuju
Keshalihan Individu dan Sosial
Oleh:
Zed Anam, M.S.I.[*]
(Dosen
STAIN SAS BABEL)
Usai sudah penggemblengan di “Kawah Candradimuka”
itu. Ruang-waktu yang penuh rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka itu
telah meluluskan umat manusia dari buaian asuhannya. Namun, sejatinya momen
istimewa itu tidaklah melepaskan manusia begitu saja (dalam keadaan lemah). Telah
begitu banyak bekal kekuatan yang diwariskan pada mereka guna meneruskan
langkah kehidupan menuju insan kamil (manusia sempurna). Idealnya, mereka yang
telah digembleng di kawah ini benar-benar mumpuni untuk melukis perjalanan
hidup yang penuh ketaqwaan dalam menjalankan titahnya sebagai abdullah (hamba
Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Allah) di bumi ini. Apa sesungguhnya
esensi “Kawah Candradimuka” itu? Apa tujuan (Ideal moral) yang hendak dibentuk
olehnya? Berhasilkah penggemblengan itu membangun pribadi manusia-manusia
modern yang telah lama tenggelam dalam dunia yang kompleks dan artifisial?
Kawah
Candradimuka Itu Bernama Ramadhan
Konon, dalam kisah pewayangan Mahabarata, Kawah
Candradimuka merupakan sebuah tempat sakral untuk menggembleng para kesatria. Di
tempat itu, para kesatria benar-benar ditempa dengan berbagai macam gemblengan,
guna memperoleh kekuatan sejati. Kawah yang terletak di pegunungan Jamurdipa
itu terbukti ampuh mencetak kader kesatria tangguh yang konsisten membela
kebenaran dan memerangi kejahatan.
Dalam konteks ke-Islaman, Ramadhan memiliki kesamaan
ideal moral dengan Kawah Candradimuka. Aksiologi keduanya berjalan searah:
mencetak pribadi luhur, tangguh, religius, setia pada kebenaran, dan memerangi
segala bentuk kejahatan. Tak ubahnya dengan Kawah Candradimuka, Ramadhan
merupakan ruang penggemblengan yang sangat istimewa. Di bulan itu, jiwa dan
raga manusia diuji dengan berbagai pengekangan nafsu badaniyyah (eksoterik)
maupun bhatiniyyah (esoterik) dengan media ritus puasa. Di saat itu pula jiwa-jiwa
kotor (dosa) manusia dibersihkan, hingga terciptalah “manusia baru” yang suci,
kuat, dan siap menjalankan amanat Sang Pemelihara Jagat Raya.
Aksiologi puasa Ramadhan, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an
(Q.S:2:83) adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Dalam definisi Syara’, taqwa
berarti menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.
Perintah dan larangan Tuhan—atau yang biasa disebut syara’—ini terpilah menjadi
dua taksonomi: Pertama, hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun
minallah). dimensi vertikal ini terejawantahkan dalam ritus-ritus
peridabatan murni manusia pada Tuhan-Nya, seperti perintah shalat, puasa dan haji
serta larangan musyrik, meninggalkan shalat, dan melalaikan puasa. Kedua,
hubungan manusia dengan sesamanya (hablun
minannas). Dimensi horizontal ini memiliki wilayah yang jauh lebih
luas, mencakup seluruh urusan manusia dengan dunianya, seperti perintah berperilaku
jujur, menepati janji, memegang amanah, menjadi pemimpin yang baik, menjaga
keseimbangan alam serta larangan menipu, berhianat, eksploitasi alam dan
menggapai sesuatu dengan cara yang tidak dibenarkan Syara’ (selayaknya korupsi,
kolusi, nepotisme, mencuri merampas dan lain sebagainya).
Ketaqwaan merupakan unsur primordial dalam Islam.
Tidak ada hal satu apaun yang mampu membedakan strata (baca: derajat) manusia
di depan Tuhannya kecuali tingkat ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur
ini, tak ayal jika Allah menciptakan “Kawah Candradimuka” yang bernama Ramadhan
untuk mengembleng manusia agar mampu dan kuat untuk menjalankan segala
perintah-Nya dan meninggalkan segala bentuk keburukan yang bersumber dari hawa
nafsu. Dengan riyadhah ini Allah mengharapkan manusia untuk terlahir
sebagai manusia sempurna yang bertaqwa; kuat dan tangguh dalam melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya.
Raport
“Kawah Candradimuka”, Mau Dibawa Kemana?
Kesadaran
(internalisasi) manusia dalam menangkap realitas, sebagaimana dijelaskan Peter
L. Berger (The Social Construction of
Reality,1996), memiliki tingkatan
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Ramadhan sebagai realitas pun diilhami
berbeda-beda pula oleh masing-masing individu. Konsekuensinya, mereka tentu memiliki
tingkat pemahaman dan spirit yang
berbeda dalam mengarugi bulan penggemblengan itu. Bagi sebagaian kelompok
manusia, Ramadhan benar-benar dianggap sebagai momentum yang sangat istimewa.
Bentuk determinasinya, mereka sangat bersemangat untuk meningkatkan segala
bentuk amal shalih di bulan ini. Rahmat, ampunan, serta pembebasan dari api
neraka benar-benar didamba oleh manusia tipikal ini. Namun bagi sebagian yang
lain, Ramadhan dianggap sebagai hal biasa; ritus puasa pun diangap tidak sakral,
biasa saja. Imbasnya, mereka pun lesu dalam menjalaninya, atau bahkan apatis
terhadap kehadirannya.
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan
perbedaan nilai raport antar individu manusia. Mereka yang meningkat
ketaqwaannya di Bulan Ramadhan, tentunya mendapat nilai raport yang bagus, begitu
juga sebaliknya. Namun sejatinya, perbedaan nilai ini tidak akan jadi masalah,
asalkan dapat diketahui rumus-rumus siasatnya. Bagi yang mendapatkan nilai
bagus dalam penggemblengan itu, tentunya mereka harus konsisten dalam bertaqwa.
Sedangkan bagi mereka yang mendapat raport mengecewakan, jangan patah arang. Masih
ada satu kesempatan “ujian susulan” untuk lulus dengan memuaskan. Pintu
kesadaran untuk berubah (baca: taubat) tidak pernah tertutup bagi siapa saja
yang benar-benar menghendakinya. Syawal sebagai bulan instropeksi merupakan saat-saat tepat bagi mereka untuk merenung,
kemudian berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Syawal:
Lembar Pertama dari Kesebelas Kanvas Putih
Sebagaimana
Kawah Candradimuka yang mewisuda para kesatria saat mereka telah matang dalam
penggemblengan, Ramadhan juga demikian adanya. Bulan istimewa itu
juga bersifat temporal, tidak sepanjang waktu. Ia berakhir pada hari hari
pertama Bulan Syawal (Idul Fitri). Saat itulah manusia dituntut untuk
membuktikan kekuatan yang diperoleh selama dididik di “Kawah Candradimuka” itu.
Pasca penggemblengan sebulan penuh itu, semestinya terlahir pribadi-pribadi
baru yang memiliki kapabilitas tinggi dalam menggoreskan warna-warna indah
ketaqwaan dalam kehidupannya.
Manusia yang berhasil lulus menjadi pribadi luhur
itu adalah mereka yang mampu memperoleh kekuatan sejati; kekuatan menjalankan
segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya. Pribadi luhur seperti
inilah ideal moral yang dikehendaki Tuhan melalui media “Kawah Candradimuka”
itu. Pribadi semacam itu digadang-gadangi untuk mengabdi (menyembah) pada-Nya
juga untuk mewakili-Nya sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Namun perlu
diingat, mereka tidak boleh berbangga terlebih dahulu. Karena masih ada sebelas
kanvas kehidupan (bulan-bulan pasca-Ramadhan) lagi yang menjadi
tanggungjawabnya. Lembar-lembar kanvas putih itu mesti dilukis dengan amal-amal
shalih, baik dalam keshalihan individual maupun keshalihan sosial. Oleh karena momentum
penggemblengan itu telah menjadikannya pribadi yang bertaqwa, maka ia harus menjaganya.
Jika tingkat ketaqwaan sebelas bulan pasca-Ramadhan lebih buruk (melemah) dari
Ramadhan, bisa dipastikan dia adalah orang yang merugi.
Lantas, siapa dan bagaimana dengan
mereka yang sudah terlanjur gagal dalam pengemblengan itu? Mereka adalah orang
yang tetap saja enggan untuk bertaqwa,
meskipun Ramadhan telah menghampirinya. Contoh riilnya adalah, mereka masih
saja enggan mendirikan shalat, melaksanakan puasa, membayar zakat juga mereka
yang masih saja memfitnah, menggunjing, menipu, menindas, mengacuhkan orang
miskin dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta dan jabatan. Lalu
bagaimana nasib mereka? Penulis berani menjamin, mereka tetap akan mampu
memperoleh kekuatan sejati itu, dan menjadi pribadi luhur yang diidamkan Tuhan,
dengan satu syarat!: beri’tikad untuk berubah, sebenar-benar berubah. Mereka
harus merenung untuk menggali kembali hakikat dan tujuan hidup, kemudian
melukiskannya pada kanvas-kanvas kehidupan selanjutnya. Hakikat hidup adalah
mengabdi pada-Nya dengan menjadi hamba-Nya dan menjadi wakil-Nya di bumi. Sedangkan
tujuan hidup tiada lain kecuali sa’adatuddarain (kebahagiaan dua dimensi
alam: dunia dan akhirat). Dapatkah kebahagian dunia itu diperoleh dengan cara
menyakiti, menindas dan mengambil hak orang lain? Dapatkah kebahgiaan akhirat
itu dibeli dengan pembangkangan terhadap-Nya? Tentu tidak. Kebahagiaan dua
dimensi alam itu hanya bisa dicapai dengan totalitas taqwa; shalih individu dan
sosial. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar