Peran
Koran:
Cerdaskan
Babel dengan Budaya Baca
Oleh: Z. Anam, M.S.I.[*]
(Dosen STAIN SAS Babel)

Iqra’ bismirabbika alldzi
khalaq (bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta).
Inilah wahyu pertama—pasca masa kekosongan kenabian—yang diturunkan Tuhan untuk
seluruh umat manusia, khususnya Islam. Betapa dahsyatnya kegiatan membaca ini. Sampai-sampai
Tuhan pun menjadikanya sebagai perintah perdana, yang tentunya primordial bagi
eksistensi kehidupan di jagat raya ini. Apa keistemawaan dari membaca?
Bagaimana konfigurasi koran di tengah realitas sosial? Mampukah ia menjadi
garda depan dalam menumbuhkembangkan minat baca? Dan, langkah nyata apa yang
mesti ditempuh untuk mencerdaskan masyarakat Serumpun Sebalai dengan media ini?
Urgensi
Budaya Baca
Open book, open mind
(buka buku, buka pikiran). Falsafah prestisius ini nampaknya tidak akan pernah lekang
oleh lindasan zaman. “book” dalam konteks ini, tentunya tidak terbatas pada
buku saja. Nilai universal dari kata tersebut adalah segala bacaan yang
memiliki kekayaan khazanah informasi (seperti koran, majalah, bulletin, hand-out,
dll). Kekayaan informasi yang diperoleh seseorang dari aktifitas membaca, tentu
akan membuka lebar cakrawala pemikirannya. Ini adalah sunnatullah; sebuah
keniscayaan.
Siapa yang menguasai
informasi, dialah yang akan menguasai dunia. Hampir semua orang sepakat dan
percaya akan kebenaran ungkapan ini. Realitas telah banyak membuktikannya di sepanjang
sejarah manusia. Seseorang yang memiliki informasi selalu memenangkan (baca:
menguasai) setiap kesempatan yang ada.
Tidak hanya sebatas itu, membaca juga memiliki sederet
sisi positif lain. Aid al-Qarni, dalam karya terbesarnya La Tahzan, mengemukakan
beberapa manfaat membaca. Diantaranya: menghilangkan
kecemasan, mengentaskan kebodohan, mengembangkan keluwesan dan sistematika
dalam bertutur kata, menjernihkan cara berpikir, meningkatkan memori dan
pemahaman, meneladani kearifan orang bijak, dan mengurai benang kusut
problematika kehidupan. Inilah secuil dari sekian luas khazanah membaca. Tidak
perlu diragukan lagi, membaca adalah kunci dari segala kebaikan dan kesuksesan.
Konfigurasi
Koran
Sebagai
pilar utama penghimpun dan penyampai berbagai informasi, koran memperoleh
tempat yang maha tinggi dalam konstelasi interaksi kehidupan individu manusia,
bangsa, negara, dan antar negara di tingkat internasional.
Bagaimana tidak, media ini telah menjadi rumah produksi untuk menghasilkan
informasi yang akan didistribusikan bagi warga masyarakat luas.
Kehadiran koran sebagai
perantara budaya (cultural broker), membuatnya tidak mampu dipisahkan
dengan kehidupan itu sendiri. Media ini mampu
mentransformasikan nilai-nilai dan pengetahuan dalam pendidikan informal
melalui informasi atau berita. Ia juga mampu memberikan informasi terbaru yang
beragam, bahkan kualitas informasinya dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya, jika rektor
UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), Rochmat Wahab, memberi gelar media cetak
ini sebagai pilar pendidikan yang kelima—setelah keluarga,
sekolah, masyarakat, dan rumah ibadah.
Fungsi dan peranan koran,
sebagai salah satu bagian dari pers, sebagaimana diatur dalam pasal 33 UU No.
40 tahun 1999 tentang pers, ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan
dan kontrol sosial. Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum
dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat
umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Aksiologi pers di atas
mengahntarkan koran, sebagai salah bagian terpenting dari pers, menempati
posisi yang sangat strategis dalam realitas sosial. Kehadirannya telah menjadi
“syarat wajib” perwujudan masyarakat madani. Konsistensi penyampaikan informasi aktual yang edukatif menjadi ciri
khas tersendiri baginya. Dibanding media lain—yang terkadang hanya mengejar profit
saja, tanpa memperhatikan sisi esesnsi dan etika informasi—koran jauh lebih mendekati
fitrah pers. Di titik inilah, tanggung jawab dan nama baiknya harus
dipertahankan. Ia harus tetap berada pada jalur konsistensi sebagai penyedia
informasi yang sarat nilai dan kontrol sosial.
Mencerdaskan
Babel
Luhurnya sebuah peradaban diindikasikan
tingginya tingkat baca. Semakin tingginya tingkat baca masyarakat, semakin
tinggi pula wawasan dan kedewasaan mereka. Oleh karena itu, untuk menuju
masyarakat Babel yang cerdas dan berperadaban luhur, minat baca masyarakat
wajib diprioritaskan.
Mengingat konsistensi
koran dalam mengemban tanggungjawabnya, maksimalisasi peran dan fungsinya layak
diperjuangkan. Hasrat masyarakat untuk membaca media ini harus lebih ditumbuhkembangkan
dan difasilitasi. Kuantitas dan kualitas penerbitannya juga mesti ditingkatkan.
Lantas, bagaimana cara menumbuhkembangkan dan memfasilitasinya? Siapa yang
memiliki kewenangan dan kompetensi untuk melakukan agenda luhur ini?
Pengalaman adalah guru
terbaik. Untuk merangsang minat baca masyarakat, tidak ada salahnya kita
belajar dari pengalaman Jogja. Daerah yang menyandang gelar kota pendidikan dan
budaya itu layak kita jadikan referensi dalam hal mencerdaskan masyarakat
melalui budaya baca.
Jogja memiliki cara unik
dalam memfasilitasi masyarakatnya untuk membaca. Pemerintah kelurahan/desa,
melalui kepanjangtanganannya, seperti ketua RW atau RT, biasanya membuat
semacam papan baca untuk menempel koran di tempat-tempat strategis (samping pos
ronda, dekat rumah ibadah, tepi persimpangan jalan dll.). Dengan fasilitas
seperti ini, masyarakat akan dengan mudahnya mengakses informasi dari media
ini.
Membaca
adalah perilaku positif. Perilaku ini harus diawali dengan pembiasaan (conditioning),
sebelum akhirnya mendarah daging dalam keseharian kita. Ketika aktivitas
membaca sudah menjadi kebiasaan, maka aktivitas membaca pun terus kita lakukan
tanpa harus dipaksa, bahkan menjadi kebutuhan. Dengan
“metode jogja” di atas, pada awalnya, masyarakat yang belum akrab dengan dunia
baca, dengan sendirinya akan tertarik untuk ikut-ikutan membaca, seperti kawan
sekampungnya. Selanjutnya, kegiatan membaca akan menjadi kebutuhan, bahkan “candu”
baginya.
Alternatif lain untuk
menumbuhkembangkan minat baca masyarakat adalah melalui institusi paling dasar
masyarakat: keluarga. Morrow dan Young (1997) berkesimpulan bahwa kegiatan membaca
bersama antara anak dan orang tuanya berpengaruh terhadap peningkatan minat
membaca anak. Selain kedua metode itu, kegiatan membaca bersama di lingkungan
kerja, asrama pelajar dan mahasiswa, rumah kos, pesantren, ataupun di
warung-warung juga sangat efektif menumbuhkembangkan minat baca masyarakat.
Inilah terobosan kongkrit untuk memfasilitasi minat baca
masyarakat Babel. Saat kebiasaan membaca sudah menjadi kebutuhan mereka, saat
itulah Masyarakat Negeri Serumpun Sebalai ini menjadi masyarakat berwawasan
luas, berfikir progresif dan bijak dalam bersikap. Mari kita sosngsong impian “Menuju
Babel cerdas dan berperadaban luhur”. Semoga. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar