Rabu, 26 Maret 2014

Cafe dan Keluarga

Café, Laju Perceraian dan Masa Depan Negeri Laskar Pelangi
Oleh: Ahmad Z. Anam, S.H.I, M.S.I.
(Calon Hakim Pengadilan Agama Tanjungpandan Belitung)
Institusi paling dasar dalam tatanan sosial-kemasyarakatan (baca: keluarga) di Belitung sedang dalam kondisi menghawatirkan. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka perceraian dari tahun ketahun. Fenomena ini juga sangat mungkin terjadi pada daerah lain di wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Problem tersebut harus menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen masyarakat. Karena, jika tidak, akan semakin hancurlah pondasi dasar tatanan sosial itu. Imbasnya, akan rapuh pula tatanan sosial yang dibangun di atasnya, dan puncaknya, cita-cita pembangunan menuju masyarakat  madani akan semakin jauh dari kenyataan.
Peran Strategis Keluarga
Keluarga merupakan pilar dasar dalam membangun suatu peradaban madani. Keluarga yang harmonis-sejahtera merupakan modal besar untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan berkebudayaan luhur. Keluarga memiliki peranan penting dalam mendidik anak dan membimbingnya menjadi generasi yang tidak saja cerdas dan terampil, tetapi juga berkepribadian dan memiliki ketakwaan kepada Tuhan.
Institusi dasar ini, sebagaimana dijelaskan Azzumardi Azra, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan generasi penerusnya. Kerapuhan keluarga secara tidak langsung akan berdampak terhadap lemahnya tatanan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu, keutuhan dan kesejahteraan keluarga mutlak harus bena-benar dijaga eksistensinya.
café  dan Eskalasi Perceraian
            Data Pengadilan Agama (PA) Tanjungpandan menunjukkan bahwa perceraian—baik cerai talak maupun cerai gugat—kian meningkat dari tahun ke tahun. Berikut data peningkatan angka perceraian pada empat tahun terakhir: tahun 2007: 369 perkara, 2008:  471 perkara, 2009: 508 perkara dan 2010: 646 perkara.
Alasan pengajuan perkara perceraian di Pengadilan Agama (PA) Tanjungpandan (yang mewilayahi Belitung dan Belitung Timur) memang beragam; masalah perselingkuhan, ekonomi, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan lain sebagainya. Namun, Belakangan ini, faktor penyebab perceraian yang menjadi isu menarik sekaligus menggelisahkan adalah masalah skandal perselingkuhan di café-café  yang tengah menjamur di tengah-tengah masyarakat.
Terhitung hingga bulan September kemarin, lebih dari 65 dari 569 kasus perceraian di pengadilan agama diajukan atas alasan skandal tersebut. Lazimnya, perceraian diajukan karena salah satu pihak suami-isteri (umumnya pihak isteri) beralasan tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, karena pasangannya lebih memilih “jajan” di café  daripada mendapat “servis” isteri di rumah. Sungguh, kondisi yang sangat ironis.
Café di Belitung bukanlah seperti jamaknya café di daerah atupun provinsi lain. Hampir seluruh masyarakat sepakat, bahwa café di Belitung adalah bukan sekedar warung kopi ataupun tempat nongkrong, akan tetapi juga sebagai tempat prostitusi terselubung. Perizinan usaha yang dikeluarkan instansi terkait sudah disalahgunakan untuk bisnis haram itu.
Realitas tersebut memang sudah menjadi isu penting bagi seluruh elemen masyarakat. Wacana untuk menghentikan menjamurnya praktek prostitusi terselubung itu pun sudah mulai diperbincangkan. Pada tanggal 08 Juli 2011 yang lalu, Sejumlah Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Silaturahmi Ormas Islam Kabupaten Belitung bersilaturahmi dengan Bupati Belitung untuk membicarakan permasalahan tersebut. Namun, hingga kini, nampaknya belum terlihat hasil yang signifikan  dari pertemuan itu. Hal ini bisa dimaklumi, karena persoalan ini teramat kompleks. Butuh problem solver yang tepat untuk mengurainya.
 Tawaran Solusi
            Realitas di atas merupakan ancaman serius bagi masa depan keluarga-keluarga di masyarakat, bahkan (dalam jangka panjang) juga masa depan Belitung. Ini tidak boleh dibiarkan bertambah parah. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerjasama untuk  menyelamatkan  bumi melayu sangat kita banggakan ini.
            Dengan segala hormat, Penulis menawarkan dua tahapan solusi agar kegiatan haram yang mengancam nasib kebudayaan kita ini tidak semakin mendiaspora:
Pertama: Mengembalikan café pada fungsi dasarnya. Kegiatan haram terselubung di café-café  yang kita kenal selama ini merupakan bentuk nyata penyimpangan café dari fitrahnya. Izin yang mereka kantongi diselewengkan untuk kegiatan yang semestinya tidak boleh dilakukan. Dalam konteks ini, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainya memiliki kewenangan penuh untuk menertibkan kembali penyelewengan tersebut. Supaya menuai hasil yang maksimal, upaya ini harus dilakukan dengan serius dan massif, dan idealnya dikawal oleh masyarakat melalui ormas-ormas yang mewakilinya.
            Kedua: Melokalisasi Kegiatan Prostitusi. Karena permaslahan ini begitu kompleks, penertiban perizinan café tidak serta akan menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi semakin runyam. Pelenyapan prostitusi terselubung di café  dapat membuat peluang baru bagi mereka untuk “buka praktek” di lokasi baru dengan modus baru yang mungkin lebih mudah diakses masyarakat, seperti pengalaman yang terjadi di beberapa daerah lain. Ini lebih berbahaya.
Melokalisasi (mendirikan lokalisasi) mungkin adalah ide yang “nyleneh”. Namun, menurut hemat penulis wacana ini adalah sebuah alternatif yang berdasar. Melegalkan lokalisasi bukan berarti menghalalkan sesuatu yang dilarang syari’at: ini adalah soal memilih madharat (resiko) paling kecil diantara dua pilihan sulit.
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan gagasan Rais ‘Am PBNU, K.H. Sahal Mahfud yang menyatakan prostitusi lebih baik dilokalisasi pada suatu tempat tertentu daripada dibiarkan tersebar di berbagai tempat, karena hal itu justru lebih besar dampak negatifnya. Sebuah kaidah fiqh menyatakan: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’dhamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima (jika ada dua madharat (resiko) yang berkumpul (dalam satu kasus hukum), maka madharat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil kemadharatan yang lebih ringan). Dalam artian, daripada kita membiarkan prostitusi terselubung yang sangat mudah diakses masyarakat (karena menjamur di berbagai tempat) lebih baik melokalisasi kemaksiatan itu dalam satu area yang terpantau dan terbatas aksesnya.
            Konsekuensi logis dari kontrol dan pembatasan paktek prostitusi adalah semakin berkurangnya kesempatan masyarakat untuk memasuki kubang haram itu. Dengan demikian, skandal perselingkuhan yang kerap merusak keutuhan keluarga sebagai pilar utama untuk menuju pembangunan masayakat akan bisa terminimalisir. Harapan capaian tertingginya, pembangunan menuju masyarakat madani pun akan semakin mendekati kenyataan.
Tawaran solusi di atas bukanlah satu-satunya alternatif untuk menyelesaiakn masalah prostitusi terselubung ini. Harapan utama penulisan artikel ini adalah untuk menggugah kesadaran kita bersama (khususnya instansi terkait yang bertanggungjawab) untuk segera tergerak dan serius dalam menyelesaiakan persoalan kompleks yang berlarut-larut ini. Masa depan peradaban kita ada ditangan kita. Mari menyelamatkannya, mulai sekarang!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar