Café, Laju Perceraian dan Masa Depan Negeri
Laskar Pelangi
Oleh: Ahmad Z. Anam, S.H.I, M.S.I.
(Calon Hakim Pengadilan Agama
Tanjungpandan Belitung)
Institusi
paling dasar dalam tatanan sosial-kemasyarakatan (baca: keluarga) di Belitung sedang
dalam kondisi menghawatirkan. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka
perceraian dari tahun ketahun. Fenomena ini juga sangat mungkin terjadi pada
daerah lain di wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Problem tersebut harus
menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen masyarakat. Karena, jika tidak,
akan semakin hancurlah pondasi dasar tatanan sosial itu. Imbasnya, akan rapuh
pula tatanan sosial yang dibangun di atasnya, dan puncaknya, cita-cita
pembangunan menuju masyarakat madani
akan semakin jauh dari kenyataan.
Peran Strategis Keluarga
Keluarga merupakan pilar dasar dalam
membangun suatu peradaban madani. Keluarga yang harmonis-sejahtera merupakan
modal besar untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan berkebudayaan luhur.
Keluarga
memiliki peranan penting dalam mendidik anak dan membimbingnya menjadi generasi
yang tidak saja cerdas dan terampil, tetapi juga berkepribadian dan memiliki
ketakwaan kepada Tuhan.
Institusi dasar ini, sebagaimana dijelaskan Azzumardi
Azra, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan generasi
penerusnya. Kerapuhan keluarga secara tidak langsung
akan berdampak terhadap lemahnya tatanan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena
itu, keutuhan dan kesejahteraan keluarga mutlak harus bena-benar dijaga
eksistensinya.
café
dan Eskalasi Perceraian
Data Pengadilan Agama (PA) Tanjungpandan
menunjukkan bahwa perceraian—baik cerai talak maupun cerai gugat—kian meningkat
dari tahun ke tahun. Berikut data peningkatan angka perceraian pada empat tahun
terakhir: tahun 2007: 369 perkara, 2008: 471 perkara, 2009: 508 perkara dan 2010: 646
perkara.
Alasan
pengajuan perkara perceraian di Pengadilan Agama (PA) Tanjungpandan (yang
mewilayahi Belitung dan Belitung Timur) memang beragam; masalah perselingkuhan,
ekonomi, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan lain sebagainya. Namun, Belakangan
ini, faktor penyebab perceraian yang menjadi isu menarik sekaligus menggelisahkan
adalah masalah skandal perselingkuhan di café-café yang tengah menjamur di tengah-tengah
masyarakat.
Terhitung
hingga bulan September kemarin, lebih dari 65 dari 569 kasus perceraian di
pengadilan agama diajukan atas alasan skandal tersebut. Lazimnya, perceraian
diajukan karena salah satu pihak suami-isteri (umumnya pihak isteri) beralasan
tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, karena pasangannya lebih
memilih “jajan” di café daripada mendapat
“servis” isteri di rumah. Sungguh, kondisi yang sangat ironis.
Café
di Belitung bukanlah seperti jamaknya café di daerah atupun provinsi lain.
Hampir seluruh masyarakat sepakat, bahwa café di Belitung adalah bukan sekedar
warung kopi ataupun tempat nongkrong, akan tetapi juga sebagai tempat
prostitusi terselubung. Perizinan usaha yang dikeluarkan instansi terkait sudah
disalahgunakan untuk bisnis haram itu.
Realitas
tersebut memang sudah menjadi isu penting bagi seluruh elemen masyarakat. Wacana
untuk menghentikan menjamurnya praktek prostitusi terselubung itu pun sudah mulai
diperbincangkan. Pada tanggal 08 Juli 2011 yang lalu, Sejumlah Organisasi
Masyarakat (ORMAS) yang tergabung dalam Forum
Komunikasi dan Silaturahmi Ormas Islam Kabupaten Belitung bersilaturahmi dengan
Bupati Belitung untuk
membicarakan permasalahan tersebut. Namun, hingga kini, nampaknya belum
terlihat hasil yang signifikan dari
pertemuan itu. Hal ini bisa dimaklumi, karena persoalan ini teramat kompleks.
Butuh problem solver yang tepat untuk mengurainya.
Tawaran
Solusi
Realitas
di atas merupakan ancaman serius bagi masa depan keluarga-keluarga di
masyarakat, bahkan (dalam jangka panjang) juga masa depan Belitung. Ini tidak
boleh dibiarkan bertambah parah. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerjasama
untuk menyelamatkan bumi melayu sangat kita banggakan ini.
Dengan
segala hormat, Penulis menawarkan dua tahapan solusi agar kegiatan haram yang
mengancam nasib kebudayaan kita ini tidak semakin mendiaspora:
Pertama:
Mengembalikan
café pada fungsi dasarnya.
Kegiatan haram terselubung di café-café yang
kita kenal selama ini merupakan bentuk nyata penyimpangan café dari fitrahnya. Izin
yang mereka kantongi diselewengkan untuk kegiatan yang semestinya tidak boleh
dilakukan. Dalam konteks ini, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainya memiliki
kewenangan penuh untuk menertibkan kembali penyelewengan tersebut. Supaya
menuai hasil yang maksimal, upaya ini harus dilakukan dengan serius dan massif,
dan idealnya dikawal oleh masyarakat melalui ormas-ormas yang mewakilinya.
Kedua:
Melokalisasi Kegiatan Prostitusi. Karena permaslahan ini begitu kompleks,
penertiban perizinan café tidak serta akan menyelesaikan masalah, bahkan bisa
jadi semakin runyam. Pelenyapan prostitusi terselubung di café dapat membuat peluang baru bagi mereka untuk
“buka praktek” di lokasi baru dengan modus baru yang mungkin lebih mudah diakses
masyarakat, seperti pengalaman yang terjadi di beberapa daerah lain. Ini lebih
berbahaya.
Melokalisasi
(mendirikan lokalisasi) mungkin adalah ide yang “nyleneh”. Namun, menurut hemat
penulis wacana ini adalah sebuah alternatif yang berdasar. Melegalkan
lokalisasi bukan berarti menghalalkan sesuatu yang dilarang syari’at: ini
adalah soal memilih madharat (resiko) paling kecil diantara dua pilihan sulit.
Dalam
konteks ini, penulis sependapat dengan gagasan Rais ‘Am PBNU, K.H. Sahal Mahfud
yang menyatakan prostitusi lebih baik dilokalisasi pada suatu tempat tertentu daripada
dibiarkan tersebar di berbagai tempat, karena hal itu justru lebih besar dampak
negatifnya. Sebuah kaidah fiqh menyatakan: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya
a’dhamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima (jika ada dua madharat (resiko)
yang berkumpul (dalam satu kasus hukum), maka madharat yang lebih besar harus
dihindari dengan cara mengambil kemadharatan yang lebih ringan). Dalam artian, daripada
kita membiarkan prostitusi terselubung yang sangat mudah diakses masyarakat (karena
menjamur di berbagai tempat) lebih baik melokalisasi kemaksiatan itu dalam satu
area yang terpantau dan terbatas aksesnya.
Konsekuensi
logis dari kontrol dan pembatasan paktek prostitusi adalah semakin berkurangnya
kesempatan masyarakat untuk memasuki kubang haram itu. Dengan demikian, skandal
perselingkuhan yang kerap merusak keutuhan keluarga sebagai pilar utama untuk
menuju pembangunan masayakat akan bisa terminimalisir. Harapan capaian tertingginya,
pembangunan menuju masyarakat madani pun akan semakin mendekati kenyataan.
Tawaran
solusi di atas bukanlah satu-satunya alternatif untuk menyelesaiakn masalah
prostitusi terselubung ini. Harapan utama penulisan artikel ini adalah untuk
menggugah kesadaran kita bersama (khususnya instansi terkait yang
bertanggungjawab) untuk segera tergerak dan serius dalam menyelesaiakan
persoalan kompleks yang berlarut-larut ini. Masa depan peradaban kita ada
ditangan kita. Mari menyelamatkannya, mulai sekarang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar