Dekandesi
Moral Remaja
Membendung Arus
Kawin Hamil

Lagi-lagi kita harus menerima fakta
miris anak zaman. Pelanggaran norma agama, hukum, dan adat kian menggejala di
kalangan remaja. Perilaku yang ditampilkan oleh generasi yang kita gadang-gadangi sebagai pemangku masa
depan tersebut kian menjauh dari ideal-moral yang seharusnya mereka tuju. Tunas
harapan kita benar-benar sedang sakit. Kondisi seperti ini tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. Kita harus segera mencari solusi cerdas untuk mengurai
permasalahan krusial-primordial ini tepat pada simpulnya.
Fakta
Miris
Salah
satu bentuk nyata mendiasporanya pelanggaran terhadap berlapis-lapis norma yang
diperagakan kaum remaja adalah kasus kawin hamil (pernikahan yang terpaksa dilangsungkan atas
sebab kehamilan di luar nikah). Bahkan, yang lebih miris, kondisi tersebut
juga melanda remaja usia dini. Ini adalah realitas yang terjadi di wilayah
hukum Pengadilan Agama Tanjungpandan Belitung. Namun, tidak tertutup
kemungkinan, kondisi seperti ini juga terjadi di daerah-daerah lain di wilayah Kepulauan
Bangka Belitung.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dalam pasal 53 ayat
(1,2, dan 3) memang telah memberikan ketentuan bahwa kawin hamil diperbolehkan.
Namun, upaya perlindungan hukum tersebut hanya merupakan pintu darurat (emergency exit) untuk
masalah orang yang hamil di luar nikah.
Terhitung
hingga saat ini, kasus kawin yang terjadi pada pasangan remaja usia dini
(umur di bawah 16 tahun bagi perempuan dan di bawah 19 tahun bagi laki-laki) telah
meningkat 150% bila dibandingkan tahun lalu. Fenomena tersebut dapat terbaca melalui
data perkara Pengadilan Agama Tanjungpandan yang mencatat bahwa pada tahun 2010
hanya terdapat 10 kasus, sedangkan pada tahun 2011 (terhitung sampai Oktober) telah
menembus 25 kasus. Perlu digarisbawahi, data tersebut hanya kasus yang
terdata dan terjadi pada remaja usia dini (belum cukup umur). Sementara itu,
kasus yang tidak terdata dan kasus yang melanda remaja yang telah dewasa (cukup
umur) kemungkinan jauh lebih tinggi.
Kondisi
tersebut telah mencapai batas mengkhawatirkan. Dengan semakin banyaknya
pernikahan yang dibangun atas dasar keterpaksaan semacam itu, semakin tinggi
pula potensi perceraian yang akan terjadi. Sedangkan sebagaimana kita sadari
bersama, perceraian hanya akan menyisakan sederet ekses negatif, terutama terhadap
perkembangan mental anak (remaja).
Budaya
Permisif
Dewasa ini, arus dunia teknologi-informasi
kian deras dan tak terbendung lagi. Tentu hal ini akan membawa berbagai informasi
budaya dunia global—baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan kepribadian
kebudayaan ketimuran—masuk ke tengah-tengah sendi kebudayaan kita, tak
terkecuali: budaya pergaulan remaja.
Idealnya, arus deras informasi
budaya global ini justru akan meneguhkan karakter budaya pergaulan remaja
ketimuran (khususnya melayu) di tengah pusaran budaya global. Pencapaian itu
hanya akan terwujud jika kita cermat menyerap sisi positif kebudayaan asing
dengan tetap memegang teguh local wisdom. Namun, faktanya, arus deras
tersebut justru membuat kita semakin tercerabut dari akar budaya orginal.
Karakter budaya ketimuran kian tergerus budaya asing (barat) yang sejatinya
tidak senafas dengan ruh kebudayaan yang selama ini kita banggakan. Konsekuensinya,
etika pergaulan remaja ala ketimuran nyaris menjadi kisah klasik masa lampau.
Realitas ini terjadi karena remaja
kita belum memiliki kesiapan mental kebudayaan. Mereka terlalu permisif dalam menerima
dan mengejawantahkan kebudayaan asing, dengan tanpa memfilter dan menginternalisasi
terlebih dahulu. Dengan alasan inilah remaja harus mendapatkan bimbingan,
asuhan, dan kontrol baik dalam perkembangan mental kebudayaannya.
Mengawal Perkembangan Mental Kebudayaan Remaja
Maraknya
kawin merupakan salah satu indikator gagalnya perkembangan mental kebudayaan remaja.
Namun, mereka tidak boleh disalahkan begitu saja atas rapor merah ini. Masa remaja
adalah masa labil, mereka membutuhkan patron dalam pembentukan karakter.
Ringkasnya, kegagalan tersebut bukan murni disebabkan faktor internal remaja,
tetapi lebih disebabkan oleh kegagalan proses
pendampingan terhadap mereka.
Siapa yang
paling bertanggungjawab atas proses pendampingan tersebut? Tanpa ragu, penulis
akan menjawab: keluarga. Tidak ada institusi lain yang lebih bertanggungjawab
atas perkembangan mental kebudayaan seorang remaja kecuali keluarga. Penulis
sependapat dengan gagasan Irkham, M.S.I. dalam tulisannya Keluarga, Biang
Kenakalan Remaja (Bangka Pos, 08 Oktober 2011) yang menyatakan secara lugas
bahwa, amoralitas remaja sepenuhnya adalah karena kegagalan orang tua dalam
mendampingi perkembangan mentalnya.
Keluarga
adalah pilar yang sangat esensial dalam pendidikan
nilai luhur bagi pemuda. Ia merupakan institusi paling strategis yang
dapat dijadikan kawah penggemblengan mental kebudayaan pemuda. Di tempat
strategis inilah, idealnya seorang pemuda mendapatkan bekal karakter budaya
luhur sebagai bekal masa depannya.
Namun, kesibukan, disharmony
(keretakan), kurangnya kompetensi, minimnya kesadaran, dan sederet permasalahan
keluarga lainnya seringkali menjadi penghambat peran keluarga dalam pendampingan
mental tersebut. Konsekuensinya, proses itu seringkali tidak maksimal, terbengkalai,
bahkan gagal.
Lantas, jika ternyata keluarga
mengalami hambatan serius, ataupun meragu untuk mendampingi perkembangan mental
kebudayaan remajanya, apa yang seyogyanya dilakukan? Jika demikian kondisinya, alangkah
bijaknya jika pendampingan itu
dipercayakan pada institusi yang fokus, terpercaya, dan serius bertanggungjawab
atas pencapaian karakter luhur seorang remaja. Salah satu institusi tersebut
adalah pesantren.
Pesantren
merupakan institusi yang mampu
mengkonstruksi mental kebudayaan masyarakat. Para peneliti, seperti Manfred
Ziemek, Sidney Jones, Zamakhsary Dhofier, dan Hiroko Horikoshi, memiliki
kesamaan kesimpulan, bahwa pesantren telah mampu menjadi garda depan perubahan
sosial-kebudayaan.
Pesantren memiliki sistem pendidikan yang ideal:
sinergi antara aspek kognitif dan afektif. Capaian dari sistem pendidikan ini
adalah Moral and Intelectual Integrity. Sistem pendidikan yang
diterapkan dalam pesantren pun bersifat long life education. Berdasarkan
banyak pengalaman yang ada, penulis sangat yakin pesantren mampu membimbing
remaja dalam proses pembentukan mentalnya.
Inilah saatnya kita membendung arus deras dekandesi moral
remaja yang tercermin oleh maraknya pergaulan bebas, bahkan sering berujung pada
married by accident (MBA). Hemat penulis, dua institusi (keluarga dan
pesantren) inilah yang dapat dipercaya untuk mendidik, mengasuh, dan mengawal remaja
dalam perkembangan mental kebudayaannya. Akan jauh lebih baik, jika kedua
institusi tersebut bersinergi dan bekerjasama dalam proses ini. Dengan demikian,
budaya pergaulan bebas yang sama sekali tidak sesuai dengan karakter budaya
luhur kita dapat terminimalisir. Konsekuensi logisnya, arus deras kawin hamil
yang selama ini mengancam masa depan remaja pun dapat terbendung. Semoga.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar