Rabu, 26 Maret 2014

Dekandesi Moral

Dekandesi Moral Remaja
Membendung Arus Kawin Hamil
DSC_8469.JPG
            Lagi-lagi kita harus menerima fakta miris anak zaman. Pelanggaran norma agama, hukum, dan adat kian menggejala di kalangan remaja. Perilaku yang ditampilkan oleh generasi yang  kita gadang-gadangi sebagai pemangku masa depan tersebut kian menjauh dari  ideal-moral yang seharusnya mereka tuju. Tunas harapan kita benar-benar sedang sakit. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita harus segera mencari solusi cerdas untuk mengurai permasalahan krusial-primordial ini tepat pada simpulnya.
Fakta Miris
Salah satu bentuk nyata mendiasporanya pelanggaran terhadap berlapis-lapis norma yang diperagakan kaum remaja adalah kasus kawin hamil  (pernikahan yang terpaksa dilangsungkan atas sebab kehamilan di luar nikah). Bahkan, yang lebih miris, kondisi tersebut juga melanda remaja usia dini. Ini adalah realitas yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Agama Tanjungpandan Belitung. Namun, tidak tertutup kemungkinan, kondisi seperti ini juga terjadi di daerah-daerah lain di wilayah Kepulauan Bangka Belitung.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal  53 ayat (1,2, dan 3) memang telah memberikan ketentuan bahwa kawin hamil diperbolehkan. Namun, upaya perlindungan hukum tersebut hanya merupakan  pintu darurat (emergency exit) untuk masalah orang yang hamil di luar nikah.  
Terhitung hingga saat ini, kasus kawin yang terjadi pada pasangan remaja usia dini (umur di bawah 16 tahun bagi perempuan dan di bawah 19 tahun bagi laki-laki) telah meningkat 150% bila dibandingkan tahun lalu. Fenomena tersebut dapat terbaca melalui data perkara Pengadilan Agama Tanjungpandan yang mencatat bahwa pada tahun 2010 hanya terdapat 10 kasus, sedangkan pada tahun 2011 (terhitung sampai Oktober) telah menembus 25 kasus. Perlu digarisbawahi, data tersebut hanya kasus yang terdata dan terjadi pada remaja usia dini (belum cukup umur). Sementara itu, kasus yang tidak terdata dan kasus yang melanda remaja yang telah dewasa (cukup umur) kemungkinan jauh lebih tinggi.
Kondisi tersebut telah mencapai batas mengkhawatirkan. Dengan semakin banyaknya pernikahan yang dibangun atas dasar keterpaksaan semacam itu, semakin tinggi pula potensi perceraian yang akan terjadi. Sedangkan sebagaimana kita sadari bersama, perceraian hanya akan menyisakan sederet ekses negatif, terutama terhadap perkembangan mental anak (remaja).
Budaya Permisif
            Dewasa ini, arus dunia teknologi-informasi kian deras dan tak terbendung lagi. Tentu hal ini akan membawa berbagai informasi budaya dunia global—baik yang sesuai maupun tidak sesuai dengan kepribadian kebudayaan ketimuran—masuk ke tengah-tengah sendi kebudayaan kita, tak terkecuali: budaya pergaulan remaja.
            Idealnya, arus deras informasi budaya global ini justru akan meneguhkan karakter budaya pergaulan remaja ketimuran (khususnya melayu) di tengah pusaran budaya global. Pencapaian itu hanya akan terwujud jika kita cermat menyerap sisi positif kebudayaan asing dengan tetap memegang teguh local wisdom. Namun, faktanya, arus deras tersebut justru membuat kita semakin tercerabut dari akar budaya orginal. Karakter budaya ketimuran kian tergerus budaya asing (barat) yang sejatinya tidak senafas dengan ruh kebudayaan yang selama ini kita banggakan. Konsekuensinya, etika pergaulan remaja ala ketimuran nyaris menjadi kisah klasik masa lampau.
            Realitas ini terjadi karena remaja kita belum memiliki kesiapan mental kebudayaan. Mereka terlalu permisif dalam menerima dan mengejawantahkan kebudayaan asing, dengan tanpa memfilter dan menginternalisasi terlebih dahulu. Dengan alasan inilah remaja harus mendapatkan bimbingan, asuhan, dan kontrol baik dalam perkembangan mental kebudayaannya.
 Mengawal Perkembangan Mental Kebudayaan Remaja
Maraknya kawin merupakan salah satu indikator gagalnya perkembangan mental kebudayaan remaja. Namun, mereka tidak boleh disalahkan begitu saja atas rapor merah ini. Masa remaja adalah masa labil, mereka membutuhkan patron dalam pembentukan karakter. Ringkasnya, kegagalan tersebut bukan murni disebabkan faktor internal remaja, tetapi lebih disebabkan oleh  kegagalan proses pendampingan terhadap mereka.
Siapa yang paling bertanggungjawab atas proses pendampingan tersebut? Tanpa ragu, penulis akan menjawab: keluarga. Tidak ada institusi lain yang lebih bertanggungjawab atas perkembangan mental kebudayaan seorang remaja kecuali keluarga. Penulis sependapat dengan gagasan Irkham, M.S.I. dalam tulisannya Keluarga, Biang Kenakalan Remaja (Bangka Pos, 08 Oktober 2011) yang menyatakan secara lugas bahwa, amoralitas remaja sepenuhnya adalah karena kegagalan orang tua dalam mendampingi perkembangan mentalnya.
Keluarga adalah  pilar yang sangat esensial dalam pendidikan nilai luhur bagi pemuda. Ia merupakan institusi paling strategis yang dapat dijadikan kawah penggemblengan mental kebudayaan pemuda. Di tempat strategis inilah, idealnya seorang pemuda mendapatkan bekal karakter budaya luhur sebagai bekal masa depannya.
            Namun, kesibukan, disharmony (keretakan), kurangnya kompetensi, minimnya kesadaran, dan sederet permasalahan keluarga lainnya seringkali menjadi penghambat peran keluarga dalam pendampingan mental tersebut. Konsekuensinya, proses itu seringkali tidak maksimal, terbengkalai, bahkan gagal.
            Lantas, jika ternyata keluarga mengalami hambatan serius, ataupun meragu untuk mendampingi perkembangan mental kebudayaan remajanya, apa yang seyogyanya dilakukan? Jika demikian kondisinya, alangkah bijaknya jika  pendampingan itu dipercayakan pada institusi yang fokus, terpercaya, dan serius bertanggungjawab atas pencapaian karakter luhur seorang remaja. Salah satu institusi tersebut adalah pesantren.
Pesantren merupakan institusi yang mampu mengkonstruksi mental kebudayaan masyarakat. Para peneliti, seperti Manfred Ziemek, Sidney Jones, Zamakhsary Dhofier, dan Hiroko Horikoshi, memiliki kesamaan kesimpulan, bahwa pesantren telah mampu menjadi garda depan perubahan sosial-kebudayaan.
Pesantren memiliki sistem pendidikan yang ideal: sinergi antara aspek kognitif dan afektif. Capaian dari sistem pendidikan ini adalah Moral and Intelectual Integrity. Sistem pendidikan yang diterapkan dalam pesantren pun bersifat long life education. Berdasarkan banyak pengalaman yang ada, penulis sangat yakin pesantren mampu membimbing remaja dalam proses pembentukan mentalnya.
Inilah saatnya kita membendung arus deras dekandesi moral remaja yang tercermin oleh maraknya pergaulan bebas, bahkan sering berujung pada married by accident (MBA). Hemat penulis, dua institusi (keluarga dan pesantren) inilah yang dapat dipercaya untuk mendidik, mengasuh, dan mengawal remaja dalam perkembangan mental kebudayaannya. Akan jauh lebih baik, jika kedua institusi tersebut bersinergi dan bekerjasama dalam proses ini. Dengan demikian, budaya pergaulan bebas yang sama sekali tidak sesuai dengan karakter budaya luhur kita dapat terminimalisir. Konsekuensi logisnya, arus deras kawin hamil yang selama ini mengancam masa depan remaja pun dapat terbendung. Semoga.(*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar