Rabu, 26 Maret 2014

menakar kualitas puasa

Sebuah Refleksi Akhir Ramadhan:
Sukseskah Puasa Kita?
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.
(Calon Hakim PA. Kab. Kediri)

Sukseskah puasa kita? Pertanyaan sederhana—namun begitu sarat makna ini—akan sulit terjawab jika kita belum menemukan standar yang dapat kita gunakan sebagai tolok ukur dalam menafsir kualitas sebuah ritus puasa. Memang benar, hanya Allah lah yang berwenang untuk menilai puasa hamba-Nya. Namun, sebagai makhluk yang diberi daya nalar kritis, manusia juga dituntut untuk  melakukan muhasabah (instropeksi) atas ibadah yang telah mereka lakukan; agar kualitas ibadah mereka kian meningkat dari waktu ke waktu. Artikel ini mencoba melacak kemudian menawarkan sebuah standar untuk menerka sukses atu tidaknya puasa seseorang.
Ramadhan: Sebuah Momentum Kebangkitan
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa;  penuh rahmat, ampunan, limpahan pahala dan pembebasan dari api neraka. Pada ‘Bulan Seribu Bulan’ ini, setiap tindakan mulia (ibadah) akan dilipat gandakan kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat. Begitu istimewanya bulan suci itu, tidak heran Nabi pernah bersabda: "Barang siapa yang gembira menyambut datangnya Bulan Ramadhan niscaya masuk surga" (al-hadits).
Lebih istimewa lagi,  bagi mereka yang menjalankan puasa dengan penuh keimanan dan mengharap ganjaran dari-Nya,  ia akan mendapat garansi ampunan dosa-dosa, baik dosa yang telah lampau ataupun  yang akan datang. Sungguh penawaran Allah yang  luar biasa. Apa maksud semua ini? Apakah Dia melimpahkan kemurahan-Nya begitu saja; dengan tanpa orientasi? Tentu tidak, pasti ada maqasid al-asliy (tujuan-tujuan fundamental) di balik simbol-simbol kemurahan pahala ini. Tugas manusia lah—termasuk penulis—untuk mencari makna di balik simbol itu.
Tujuan Pokok Pensyari’atan Puasa Ramadhan
Pesan Fundamental di balik tawaran berlipatnya pahala di bulan puasa adalah,  bahwasannya Allah menghendaki manusia untuk bersemangat dalam berlomba-lomba meingkatkan amal shalih. Pahala yang berlipat merupakan washilah (media) Allah untuk merangsang semangat hamba-Nya dalam beribadah. Pada momentum istimewa ini manusia diharapkan dapat bangkit menuju insan kamil (manusia sempurna).
Tujuan (ghayah) tertinggi dari puasa Ramadhan, sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah: 83) adalah membentuk pribadi yang bertaqwa. Ketaqwaan merupakan unsur primordial dalam Islam. Tidak ada hal satu apaun yang mampu membedakan strata atau derajat manusia di depan Tuhannya kecuali tingkat ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur ini, tak ayal jika wasiat untuk bertaqwa dijadikan ‘primadona’ dalam da’watul Islam.
            Dalam definisi Syara’, taqwa berarti menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah dan larangan Tuhan ini (atau yang biasa disebut syara’) ini terpilah menjadi dua ranah: Pertama, relasi Tuhan dengan manusia (hablun minallah). Derivasi bentuk relasi vertikal ini seperti kewajiban shalat, puasa, dan dzikir serta larangan meninggalkan ketiga perbuatan tersebut. Kedua, relasi manusia dengan sesamanya (hablun  minannas). Dimensi kedua (horizontal) ini memiliki wilayah yang jauh lebih luas; mencakup seluruh urusan manusia dengan sesama, seluruhnya, mulai dari cara berkeluarga, bertetangga, hingga bernegara.
Puasa mengarahkan manusia untuk mengendalikan segala bentuk hawa nafsu yang dapat merongrong ketaqwaan. Puasa juga berusaha mendekatkan manusia ke dimensi ketaqwaan sempurna dalam setiap sendi kehidupan. Sebagaimana telah kita ulas pada pembahasan di atas, untuk merangsang ghirah (semangat) umat muslim agar mau meningkatkan ketaqwaannya, Allah memberikan berbagai ‘iming-iming’ pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang mau beramal shalih. Namun, menurut hemat penulis, bukan itu maqasid al-ashliyyah (tujuan pokok) Allah dalam pensyari’atan puasa. Dalam perspektif Ushul Fiqh, pahala yang akan didapat manusia kelak di akhirat sebatas maqasid at-tabi’iyyah (tujuan tambahan) saja; sebagai bentuk kemurahan Allah yang memang Maha Pemurah, bukan tujuan berpuasa. Inilah aksiologi  puasa itu: menciptakan pribadi yang bertaqwa, sebenar-benar taqwa.           
Berhasil atau Gagalkah Puasa Kita?
            Bukan rahasia lagi jika pada momentum ramadhan seperti ini semua orang berlomba-lomba meningkatkan amal ibadahnya. Orang yang semula jarang ke masjid menjadi ‘aktifis’ masjid, yang jarang bersedekah menjadi pemurah, yang biasa malas baca al-Qur’an menjadi pegiat tadarusan, yang biasa menggunjing beralih ke mutiara dzikir, dll. Inilah hikmah puasa Ramdhan. Terlepas dari apapun motivasi yang melekat pada mereka, yang pasti pada bulan yang suci ini adalah bulan peningkatan amal shalih (baik) dan pengurangan amal thalih (buruk).

            Lantas, Apakah ‘tugas’ Puasa Ramadhan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa telah purna sampai di sini? Dapatkah puasa Ramadhan dikatakan sukses saat kita telah melakukan puasa tiga puluh hari penuh dan mengarungi Ramdhan dengan ketaqwaan tinggi? Jawabnya, belum. Konsistensi ketaqwaan pada bulan-bulan pasca-Ramadhan itulah yang menentukan berhasil (mencapai target) atau tidaknya puasa. Bukankah al-Qur’an (Q.S. Ali Imran: 200) memerintahkan kita untuk istiqamah pada jalur ketaqwaan pada Allah? Bukankah istiqamah (konsistensi) lebih bagus dari seribu karamah (kemuliaan)? Jadi jelas, sebuah puasa dapat dikategorikan sukses (mencapai target) hanya jika tingkat ketaqwaan shaim (orang yang berpuasa) pada bulan-bulan pasca-Ramadhan tetap tinggi-istiqamah seperti saat Ramadhan, atau, akan lebih baik jika meningkat. Namun, jika ketaqwaan hanya tinggi saat Ramadhan saja, dan melemah dikemudian, pantaskah puasa itu kita katakan berhasil? Renungkanlah.  Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar