Sebuah
Refleksi Akhir Ramadhan:
Sukseskah
Puasa Kita?
Oleh:
Ahmad Z. Anam, M.S.I.
(Calon
Hakim PA. Kab. Kediri)
Sukseskah puasa kita? Pertanyaan sederhana—namun begitu sarat makna
ini—akan sulit terjawab jika kita belum menemukan standar yang dapat kita gunakan
sebagai tolok ukur dalam menafsir kualitas sebuah ritus puasa. Memang benar,
hanya Allah lah yang berwenang untuk menilai puasa hamba-Nya. Namun, sebagai
makhluk yang diberi daya nalar kritis, manusia juga dituntut untuk melakukan muhasabah (instropeksi) atas
ibadah yang telah mereka lakukan; agar kualitas ibadah mereka kian meningkat
dari waktu ke waktu. Artikel ini mencoba melacak kemudian menawarkan sebuah
standar untuk menerka sukses atu tidaknya puasa seseorang.
Ramadhan:
Sebuah Momentum Kebangkitan
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang sangat
istimewa; penuh rahmat, ampunan, limpahan
pahala dan pembebasan dari api neraka. Pada ‘Bulan Seribu Bulan’ ini, setiap
tindakan mulia (ibadah) akan dilipat gandakan kebaikannya hingga tujuh ratus
kali lipat. Begitu
istimewanya bulan suci itu, tidak heran Nabi pernah bersabda: "Barang
siapa yang gembira menyambut datangnya Bulan Ramadhan niscaya masuk surga"
(al-hadits).
Lebih istimewa lagi, bagi mereka yang menjalankan puasa dengan penuh
keimanan dan mengharap ganjaran dari-Nya,
ia akan mendapat garansi ampunan dosa-dosa, baik dosa yang telah lampau
ataupun yang akan datang. Sungguh penawaran
Allah yang luar biasa. Apa maksud semua ini? Apakah
Dia melimpahkan kemurahan-Nya begitu saja; dengan tanpa orientasi? Tentu tidak,
pasti ada maqasid al-asliy (tujuan-tujuan fundamental) di balik
simbol-simbol kemurahan pahala ini. Tugas manusia lah—termasuk penulis—untuk
mencari makna di balik simbol itu.
Tujuan
Pokok Pensyari’atan Puasa Ramadhan
Pesan Fundamental di balik tawaran berlipatnya pahala di bulan
puasa adalah, bahwasannya Allah
menghendaki manusia untuk bersemangat dalam berlomba-lomba meingkatkan amal
shalih. Pahala yang berlipat merupakan washilah (media) Allah untuk
merangsang semangat hamba-Nya dalam beribadah. Pada momentum istimewa ini
manusia diharapkan dapat bangkit menuju insan kamil (manusia sempurna).
Tujuan (ghayah) tertinggi dari puasa Ramadhan, sebagaimana
ditegaskan Allah dalam al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah: 83) adalah membentuk pribadi
yang bertaqwa. Ketaqwaan merupakan unsur primordial dalam Islam. Tidak ada hal satu
apaun yang mampu membedakan strata atau derajat manusia di depan Tuhannya
kecuali tingkat ketaqwaannya. Karena begitu pentingnya unsur ini, tak ayal jika
wasiat untuk bertaqwa dijadikan ‘primadona’ dalam da’watul Islam.
Dalam definisi Syara’, taqwa berarti
menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah dan
larangan Tuhan ini (atau yang biasa disebut syara’) ini terpilah menjadi dua
ranah: Pertama, relasi Tuhan dengan manusia (hablun minallah). Derivasi
bentuk relasi vertikal ini seperti kewajiban shalat, puasa, dan dzikir serta
larangan meninggalkan ketiga perbuatan tersebut. Kedua, relasi manusia
dengan sesamanya (hablun minannas).
Dimensi kedua (horizontal) ini memiliki wilayah yang jauh lebih luas; mencakup
seluruh urusan manusia dengan sesama, seluruhnya, mulai dari cara berkeluarga,
bertetangga, hingga bernegara.
Puasa mengarahkan manusia untuk mengendalikan segala bentuk hawa nafsu
yang dapat merongrong ketaqwaan. Puasa juga berusaha mendekatkan manusia ke
dimensi ketaqwaan sempurna dalam setiap sendi kehidupan. Sebagaimana telah kita
ulas pada pembahasan di atas, untuk merangsang ghirah (semangat) umat
muslim agar mau meningkatkan ketaqwaannya, Allah memberikan berbagai ‘iming-iming’
pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang mau beramal shalih. Namun, menurut
hemat penulis, bukan itu maqasid al-ashliyyah (tujuan pokok) Allah dalam
pensyari’atan puasa. Dalam perspektif Ushul Fiqh, pahala yang akan didapat
manusia kelak di akhirat sebatas maqasid at-tabi’iyyah (tujuan tambahan)
saja; sebagai bentuk kemurahan Allah yang memang Maha Pemurah, bukan tujuan
berpuasa. Inilah aksiologi puasa itu:
menciptakan pribadi yang bertaqwa, sebenar-benar taqwa.
Berhasil
atau Gagalkah Puasa Kita?
Bukan rahasia lagi jika pada
momentum ramadhan seperti ini semua orang berlomba-lomba meningkatkan amal
ibadahnya. Orang yang semula jarang ke masjid menjadi ‘aktifis’ masjid, yang
jarang bersedekah menjadi pemurah, yang biasa malas baca al-Qur’an menjadi pegiat
tadarusan, yang biasa menggunjing beralih ke mutiara dzikir, dll. Inilah hikmah
puasa Ramdhan. Terlepas dari apapun motivasi yang melekat pada mereka, yang
pasti pada bulan yang suci ini adalah bulan peningkatan amal shalih (baik)
dan pengurangan amal thalih (buruk).
Lantas, Apakah
‘tugas’ Puasa Ramadhan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa telah purna sampai
di sini? Dapatkah puasa Ramadhan dikatakan sukses saat kita telah melakukan
puasa tiga puluh hari penuh dan mengarungi Ramdhan dengan ketaqwaan tinggi?
Jawabnya, belum. Konsistensi ketaqwaan pada bulan-bulan pasca-Ramadhan itulah
yang menentukan berhasil (mencapai target) atau tidaknya puasa. Bukankah
al-Qur’an (Q.S. Ali Imran: 200) memerintahkan kita untuk istiqamah pada jalur
ketaqwaan pada Allah? Bukankah istiqamah (konsistensi) lebih
bagus dari seribu karamah (kemuliaan)? Jadi jelas, sebuah puasa dapat
dikategorikan sukses (mencapai target) hanya jika tingkat ketaqwaan shaim (orang yang berpuasa) pada bulan-bulan
pasca-Ramadhan tetap tinggi-istiqamah seperti saat Ramadhan, atau, akan
lebih baik jika meningkat. Namun, jika ketaqwaan hanya tinggi saat Ramadhan saja,
dan melemah dikemudian, pantaskah puasa itu kita katakan berhasil?
Renungkanlah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar