KIAI DAN MASA DEPAN KONSTRUKSI SOSIAL:
A.
Kegelisahan
Akademik
Kiai merupakan tokoh berpengaruh dalam
masyarakat. Sosok kiai menempati posisi yang sangat stategis dalam dinamika
kehidupan sosial[3]. Peran yang
dimainkan seorang kiai cukup, bahkan sangat signifikan dalam pembentukan
karakter konstruksi sosial. Kiai merupakan panutan keagamaan yang paling
otentik,[4] sumber ilmu,
petunjuk, bahkan—sebagian orang memahaminya—sebagai cerobong terkabulnya hajat.
Salah satu peran
dan tangung jawab kiai adalah mengawal eksistensi kebudayaan.
Pengejawantahannya, tidak lain adalah menjaga ruh atau nafas dari kebudayaan
itu sendiri.[5] Sementara ruh dari kebudayaan itu adalah nilai
etik-moral kemanusiaan, yang terkait dan berkelindan dengan ajaran agama, salah
satunya: hukum keluaraga (lebih khusus konstruksi keluaraga)
Konfigurasi kiai
dalam realitas sosial kemasyarakatan yang selama ini mapan, tampaknya harus
terusik dengan semakin meningkatnya
perceraian pada hampir seluruh wilayah di Nusantara ini. Penelitian
(lapangan) singkat ini akan menguji keabsahan kiai dalam
mengemban tanggung jawab sosialnya. Lebih jauh, penelitian yang berbasis
sosiologi hukum keluarga ini diharapkan
mampu mencarikan arah baru kontruksi sosial, yang selama ini dinilai rapuh;
mengalami krisis multi-dimensional[6].
Untuk mengefektifkan penelitian
dengan waktu yang sangat singkat singkat
ini (sekitar lima hari), penulis melakukan penelitian di daerah kelahiran yang
juga merupakan kota munculnya pesantren pertama di Nusantara: Ponorogo. Meski
tidak mampu mewakili seluruh wilayah di Nusantara, namun penelitian ini
diharapkan mampu memberi gambaran
tentang peran kiai dalam hukum keluarga pada wilayah lain di Nusantara ini.
B.
Konfigurasi Kiai di
Tengah Dinamika Sosial Masyarakat
Dinamika kehidupan social kemasyarakatan selalu mencetak
elit local dalam setiap cabang kehidupannya.[7]
Elit lokal merupakan posisi puncak dalam struktur social. Sosok yang bertahta
dalam posisi ini bukanlah tercipta dengan sendirinya. Terwujudnya penokohan ini
merupakan hasil “ijtihad” sosial. Kiai, dengan kharisma dan pengetahuan
keagamaan yang dimilki, telah mengantarkan tokoh kharismatik ini pada posisi
tersebut; elit lokal.
Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan kiai sebagai alim ulama
Islam. Sementara Zamakhsari Dhofier menyatakan; kiai adalah gelar yang
diberikan oleh masyarakat lepada seorang ahli agama Islam yang mengajarkan
kitab-kitab pada santrinya.[8] Menurut Mukti Ali, kiai bukan
hanya memimpin pesantren, tetapi juga memiliki pesantren.[9] Pradjarta Dirjosanjoto menyimpulkan bahwa sosok kiai
adalah ahli agama yang mengajarkan ilmu agama, baik dalam pesantren, rumah,
maupun langgar.[10]
Sebutan ulama, sering kali
digunakan untuk menunjuk kiai. Ulama
dalam Islam telah menjadi kategori umat yang khas merujuk pada budaya
ke-Islaman yang humanistik. Namur harus
dicatat, bahwa ulama tidak sama dengan pendeta-pendeta dalam tradisi Agama
Kristen, atau tradisi agama lain. Islam tidak mengenal kependetaan yang menjadi
perantara manusia dengan Tuhan.[11]
K.H. Sahal Mahfud[12] mengutarakan, kiai
merupakan pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan dalam memberikan legitimasi
terhadap tindakan umat. Kiai
berarti juga elit agama. Ia memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengajarkan
ilmu agama Islam terhadap masyarakat.[13]
Lebih lanjut,
Azzumardi Azra[14] menuturkan, kiai
dalam wilayah pengajaran memiliki kesamaan dengan guru. Pembeda keduanya hanya
pada wilayah kultural yang berbeda: kiai berada dalam wilayah pendidikan
tradisional pada masyarakat santri, sedangkan guru mengajar di wilayah modern.
Keduanya sama-sama mereproduksi narasi agung: agama dan negara.
Dalam “Runtuhnya Singgasana Kiai”,
Zainal Arifin Thoha mengilustrasikan; di mata masyarakat, keberadaan kiai
dianggap membawa maslahah dan barraca. Kiai Bukan hanya merupakan
tokoh panutan sosial dalam kehidupan kiai, melainkan juga tokoh panutan ilmu (rijal
al-‘ilm) yang bersedia mengajar dan mewariskan pengetahuannya setiap waktu;
juga merupakan tokoh panutan agama (rijal ad-din) yang menajadi tempat
bertanya. Sedangkan di mata penguasa, keberadaan kiai selain dianggap penasihat
dan penyambung lidah penguasa, sekaligus juga dianggap sebagai (tokoh) oposisi
yang berbahaya bagi kelestarian kekuasaan.[15]
Kaidah fiqhiyyah tasharruf
al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah” merupakan pedoman bagi kiai untuk membina dan mengupayakan
kebaiakan pada masyarakat dalam setiap sendi kehidupan. Kiai berusaha
sungguh-sungguh menjadi pemimpin diri, keluarga, dan bagi masyarakatnya.[16]
Bersama lokomotif kiprahnya (baca;
pesantren), kiai bukan hanya membangun tradisi ilmiah, tetapi juga membangun
budaya yang memposisikan masyarakat tidak hanya sekedar menjadi objek,
melainkan menjadi subjek yang kelak secara bersama-sama menyusun “stategi
kebudayaan”.[17] Manfred Ziemek, seorang peneliti Jerman, menuturkan;
Kiai (kharismatik) dengan pesantrennya, telah mampu menunjukkan peranannya
dalam pembangunan desa atau daerah, hubungannya dengan perubahan sosial.[18]
Teori dan capaian penelitian yang mengukuhkan kiai
sebagai elit lokal berpengaruh kuat, dipertanyakan kembali oleh realitas
tersebut. Konstruksi keluarga sakinah yang selama ini berkiblat pada kiai,
berubah abu-abu oleh rapuhnya konstruksi keluarga dalam masyarakat—yang
berkonsekuensi terhadap tingginya angka perceraian. Fenomena ini kemudian
menjadi landasan untuk memantik pertanyaan mendasar: seberapa jauh peran dan
pengaruh sang Pemimpin umat (baca; kiai) dalam membangun konstruksi
sosial—dalam konteks ini, konsep keluarga sakinah?
C.
Konsep Keluarga
Sakinah
Sakinah merupakan visi utama dari sebuah ikatan “suci” perkawinan. Ia merupakan sebuah terminologi yang mudah
dilafadzkan, namun susah direalisasikan. Ulama
tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam Surat ar-Rum (30:21) adalah suasana damai
yang melingkupi rumah tangga--dimana masing-masing pihak
(suami-isteri)--menjalankan perintah Allah, s.w.t, dengan tekun, saling
menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul
rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa
bertanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.[19]
Ada
lima pilar untuk membentuk keluarga sakinah diantaranya sebagai berikut;
pertama, dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah Q.S.30:21). Mawaddah adalah
jenis cinta membara, yang menggebu-gebu .Sedangkan rahmah adalah jenis cinta
yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah
saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama
kelamaan menumbuhkan mawaddah.
Kedua,
hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti
pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,
Q.S. 2:187). Fungsi pakaian pada tiga, yaitu
menutup aurat, melindungi diri dari panas dingin, dan perhiasan.
menutup aurat, melindungi diri dari panas dingin, dan perhiasan.
Suami
terhadap istri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika istri
mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain,
begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau
membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil
membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan
terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot"
menyebalkan.
Ketiga, suami istri dalam bergaul memperhatikan hal-hal
yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`asyiruhunna
bil ma`ruf (Q.S.4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya
harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan
oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
Keempat, memiliki kecenderungan kepada agama, yang
muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, sederhana dalam
belanja, santun dalam bergaul dan selalu introspeksi.
Kelima, adanya faktor yang mendatangkan kebahagiaan
keluarga, yakni suami/isteri yang setia (saleh/salehah), anak-anak yang berbakti lingkungan sosial
yang sehat, dan dekat rizkinya.[20]
Prinsip menuju keluarga sakinah yaitu pernikahan harus
dipandang sebagai perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidza), yang
menuntut suami istri memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Setiap anggota keluarga (suami dan istri) adalah
pemimpin dalam kedudukannya masing-masing, dan akan Allah akan memintakan
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Sebuah keluarga harus
dikemudikan secara adil. Artinya, meletakkan semua fungsi itu secara memadai[21]
D.
Konstruksi Sosial-Keluaraga:
Peran dan Pengaruh Kiai dalam Konstruksi Keluarga Sakinah
Untuk
melihat pengaruh kiai dalam konstruksi keluarga, penulis menggunakan teori
konstruksi sosial yang digagas Peter L. Berger dan rekannya Thomas Luckman[22]. Maksud besar
dari teori ini adalah menggambarkan proses di mana melalui tindakan
dan interaksinya,
manusia menciptakan secara
terus-menerus sebuah kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami, secara faktual obyektif, tetapi penuh makna secara subyektif.
Terkait
dengan realitas sosial, setidaknya ada tiga teori yang
mempunyai pandangan
yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh masyarakat dan
lingkungan sosialnya.
Norma, struktur, dan institusi sosial
menentukan individu manusia dalam arti
luas. Segala tindakan, pemikiran, penilaian, dan cara pandang terhadap apa saja (termasuk peristiwa yang dihadapi)
tidak lepas
dari struktur sosialnya. Ia adalah penyambung lidah atau corong struktur sosialnya. Jadi, realitas dipandang
sebagai sesuatu
yang eksternal, objektif, dan ada. Ia merupakan kenyataan yang dapat
diperlakukan secara
objektif karena realitas bersifat tetap
dan membentuk kehidupan individu
dan masyarakat.
Sementara
itu, teori definisi
sosial beranggapan sebaliknya. Manusialah
yang membentuk perilaku masyarakat.
Norma, struktur, dan institusisosial dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-benar
otonom. Ia
bebas membentuk dan memaknakan realitas,
bahkan menciptakan-nya. Wacana-wacana
(discourses) ia ciptakan sesuai
dengan kehendaknya. Jadi,
realitas dipandang sebagai
sesuatu yang internal, subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu.
Kedua
teori itu dipandang sangat ekstrem
dan masing-masing sangatlah kasual.
Teori fakta sosial menafikan eksistensi individu yang mempunyai pikiran, rencana, cita-cita, dan kehendak.
Individu seolah
sebagai kapas yang geraknya tergantung
pada angin sosial. Sebaliknya, teori
definisi sosial sangat menonjolkan subjek individu, yang menafikan
struktur sosial.
Padahal, sebagai makhluk sosial, individu
sangat membutuhkan perilaku sosial:
penghargaan, prestise, dan kedudukan atau jabatan sosial.
Menyadari
kelemahan kedua teori itu, muncullah
teori konstruksi sosial. Teori yang
dikembangkan oleh Peter L Berger dan
Thomas Luckmann tersebut berpandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia
merupakan instrumen
dalam menciptakan realitas yang objektif
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan
realitas yang
subjektif. Dengan demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat, yang
keduanya berlangsung
secara dialektis: tesis, antitesis, dan sintesis. Kedialektisan itu
sekaligus menandakan bahwa
masyarakat tidak pernah sebagai
produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusia sebagai individu sosial pun tidak
pernah stagnan
selama ia hidup di tengah masyarakatnya. Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis,
dinamis, dan plural
secara
terus-menerus. Ia bukan realitas tunggal
yang statis dan final, melainkan merupakan
realitas yang bersifat dinamis dan
dialektis.
Realitas
bersifat plural ditandai dengan
adanya relativitas seseorang ketika
melihat kenyataan dan pengetahuan. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi
kembali terhadap
penghasilnya. Sebaliknya, manusia juga
produk masyarakat. Seseorang atau
individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi
entitas dari
masyarakatnya. Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann mempunyai
tiga momen,
yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Berger
dan Luckmann menyatakan "realitas terbentuk secara sosial" dan
sosiologi ilmu pengetahuan (sociology knowlwdge) harus menganalisa
proses bagaimana hal itu terjadi. Realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi
subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas
sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi sebagaimana realitas
sosial mempengaruhinya melalui proses internalisasi[23].
Berger dalam teorinya mendefinisikan kebudayaan sebagai totalitas
produk manusia. Artinya, kebudayaan bukan hanya dipahami sebagai sesuatu yang berwujud
material dan non-material saja, tetapi juga berupa refleksi atas isi
kesadaran manusia yang dijadikan sebagai pedoman
atau alat interpretasi dalam keseluruhan tindakan manusia. Di dalamnya terdapat
sisi obyektif dan sisi subyektif
kebudayaan. Refleksi di dalam isi kesadaran tersebut merupakan seperangkat kognisi, sedang aspek material
dan non-material adalah kelakuan
dan produk kelakuan.
Gagasan teori konstruksi sosial dengan demikian berbeda
dengan gagasan antropologi fungsional yang melihat refleksi isi kesadaran hanya sekedar
ide yang berada di luar kepala individu dan
bersifat memaksa.[24]
Berger
dan
Luckmann lebih mengedepankan pandangan dialektik ketika melihat hubungan antara manusia
dan masyarakat; manusia menciptakan masyarakat
demikian pula masyarakat menciptakan manusia yang dikenal dalam istilah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi
Cara kerja teori tersebut akan
penulis paparkan dalam anlisis penelitian sebagai berikut;
1.
Eksternalisasi:
Kiprah Kiai dalam Dinamika Sosial-Keluarga pada Masyarakat
Eksternalisasi
adalah usaha ekspresi diri
manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan
mental maupun fisik. Momen itu bersifat
kodrati manusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan,
itulah yang
membedakannya dengan binatang. Sejak
lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang sudah menyelesaikan masa
perkembangannya. Tetapi,
perkembangan manusia, supaya
bisa disebut manusia, belum selesai
pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses
dengan cara berinteraksi dengan lingkungan
dan mereaksinya terus-menerus baik
fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja,
dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama
hidup manusia selalu menemukan dirinya
dengan jalan mencurahkan dirinya dalam
dunia. Sifat belum selesai itu dilakukan
terus-menerus dalam rangka menemukan
dan membentuk eksistensi diri.
Interaksi sosial yang terjalin diantara berbagai elemen
masyarakat Ponorogo meniscayakan beragam informasi yang diterima individu
masyarakat. Kemudian, informasi tersebut akan menjadi sebentuk sumber
pengetahuan masyarakat. Bervariannya latar belakang ekonomi, pendidikan, dan
kultur keluarga semakin memperkaya sumber pengetahuan yang mengalir pada
institusi dasar masyarakat: keluarga.[25]
Salah satu arus informasi—yang cukup kuat—dan masuk dalam
institusi keluarga adalah interaksi anggota keluarga dengan elit lokal: kiai.
Interaksi yang terbangun, seperti yang dituturkan Zumri[26],
terbangun melalui sosialisasi yang bersifat formal (seperti pengajian rutin
setiap Ahad Pon, pengajian Jama’ah
Yasin, Pengajian Pernikahan, Pengajiian Piton-piton, Pengajian Lahiran,
dan lain-lain) ataupun interaksi dalam forum yang tidak formal (seperti momen sowan
kepada kiai, komunikasi setelah sholat berjama’ah di masjid, komunikasi saat Jagong,
dan lain-lain) meniscayakan adanya informasi yang sarat makna (khususnya
terkait dengan konstruksi keluarga) dari seorang kiai kepada masyarakat.
Proses sosial yang terjadi dari interaksi antara individu
masyarakat dengan kiai inilah yang menjadi sorotan objek penelitian ini.
Interaksi antara kiai dan masyarakat dipandang sebagai proses eksternalisasi
dalam konstruksi keluarga. Masing-masing dari kedua elemen masyarakat (kiai dan
masyarakat/santri) saling mengekspresikan diri masing-masing dalam wadah
interaksi sosial. Intensitas hubungan ini berkonsekuensi semakin kayanya informasi
tentang nilai sakinah dalam keluarga yang diterima masyarakat. Proses inilah
yang dalam teri Berger dan Luckmann disebut sebagai proses eksternalisasi.
2.
Obyektifikasi:
Keluarga Sakinah Sebagai Kenyataan Obyektif
Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia.
Hasilnya berupa
realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan si
penghasilnya. Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi
kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau
bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang
objektif (objektivikasi).
Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah
dengan individu penghasilnya. Bahkan,
dengan logikanya sendiri, ia bisa
memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh
cangkul yang
diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang
diciptakannya sendiri.
Bahkan, mereka bisa bersengketa dan
perang karena bahasa. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi
kenyataan empiris,
bisa dialami oleh setiap orang dan
kolektif.
Dalam penelitian ini, kiai memiliki sejumlah konsep yang
kemudian terkumpul menjadi teori untuk mewujudkan konstruksi keluarga sakinah.
Teori terebut, Menurut K. Masduki Bashori[27]
selalu diupayakan untuk ditransformasikan pada masyarakat. Transformasi nilai
yang diupayakan, baik melaui ceramah ataupun uswah khasanah (baca:
percontohan baik) dari kiai ini kemudian menjadi sebuah kenyataan obyektif.
Kiat-kiat untuk membangun keluarga sakinah seolah telah
terpisah dari masyrakat, bahkan kiai. Nilai sakinah yang digambarkan kiai,
sebagaimana dituturkan oleh Kiai Nurul Hamdi[28]
sebagai tatanan keluarga yang saling
menghormati; mengerti peran dan tanggung jawab dalam keluarga; mengedepankan
musyawarah; berbicara sopan dengan yang anggota keluarga lain telah menjadi
kenyataan obyektif dalam masyarakat. Karena obyektifitasnya, nilai itu bisa
menjadi tolak ukur kekuatan konstruksi keluarga sakinah dalam masyarakat.
Secara perlahan dan alamiah, nilai sakinah dalam keluarga
benar-benar menjadi sebuah kenyataan obyektif. Masyarakat memandang nilai
sakinah tersebut sebagai nilai “yang di luar”. Bidayati[29]
menuturkan, hanya dengan upaya seriuslah institusi keluarga mampu menyerap dan
membumikan nilai-nilai sakinah dalam kehidupan rumah tangga. Proses inilah yang
kemudian disebut sebagai obyektifikasi.
3.
Internalisasi:
Penyerapan Kembali Obyektifitas Konsep Sakinah oleh Masyarakat
Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi
oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan
ditangkap sebagai
gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi itu,
manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi
menyampaikan nilai-nilai
dan norma-norma sosial
(termasuk budaya) yang ada kepada generasi
berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berbagai kesempatan dan cara)
untuk hidup
sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya.
Generasi baru
dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivikasikan. Generasi baru
mengidentifikasi diri
dengan nilai-nilai tersebut. Mereka
tidak hanya mengenalnya tetapi juga
mempraktikkannya dalam segala gerak kehidupannya.
Berger
dan Luckmann berpandangan bahwa
realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan.
Sebaliknya, realitas
itu dibentuk dan dikonstruksi manusia.
Pemahaman itu menyiratkan bahwa
realitas berpotensi berwajah ganda dan plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat
pendidikan, lingkungan
atau pergaulan sosial tertentu akan
menafsirkan atau memaknakan realitas berdasarkan konstruksi-nya
masing-masing. Misalnya,
peristiwa demonstrasi mahasiswa yang
marak di Indonesia pada tahun 1997 dimaknakan atau ditafsirkan
berbeda-beda oleh
beberapa kelompok atau kalangan. Kelompok
tertentu mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan anarkis, di luar batas, mengganggu ketenteraman masyarakat, dan sebagai alat permainan
elit politik
tertentu. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kelompok lain mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan berjuang tanpa pamrih demi kepentingan rakyat. Kedua konstruksi yang berbeda
tersebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa yang mereka katakan dan mereka percayai itu adalah benar adanya, dan mempunyai
dasar atau
bukti yang kuat. Selain
plural, realitas (sebagai produk konstruksi)
juga bersifat dinamis. Demonstrasi mahasiswa (sebagai produk dari konstruksi sosial) selalu terjadi dalam dialektika sosial.
Menyorot penelitian ini, internalisasi nilai sakinah
dalam keluarga memiliki keragaman hasil; berbeda dari satu individu masyarakat
dengan lainnya. Loyalitas masyarakat terhadap kiai mempengaruhi kekuatan peran
kiai dalm konstruksi keluarga sakinah. Maimunah dan Zumri[30],
sebagai salah satu masyarakat santri yang begitu ta’dzim (baca: hormat;
loyal) kepada Kiai Nurul Hamdi benar-benar berusaha keras untuk mnerjemahkan
teori untuk membengun keluarga sakinah yang didakwahkan kiai dalam rumah
tangganya. Teori kiai yang telah menjadi kenyataan obyektif dalam masyarakat
benar-benar menjadi referensi utama dalam bangunan rumah tangganya.
Dalam konteks keluaraga sejenis ini, konfigurasi kiai di
tengah dinamika kehidupan sosial begitu benar-benar mapan. Posisi strategis
seperti ini mengantarkan kiai sebagai elit lokal yang diperhitungkan
ketokohannya. Dalam konteks seperti ini pengaruh kiai dalam konstruksi keluarga
sakinah benar-benar nyata.
Berbeda dengan Maimunah, Giyatno dan Jepun (bukan nama
asli)[31]
warga yang mengakhiri sejarah keluarganya dengan perceraian itu menuturkan,
intensitas interaksinya memang tidak begitu inten dengan kiai. Ia juga mengakui
tidak memiliki loyalitas tinggi terhadap kiai. Dalam hal internalisasi nilai
sakinah, ia menuturkan tidak begitu serius untuk membumikan konsep sakinah yang
didakwahkan kiai. Semakin kecil ke-ta’dziman seseorang terhadap seorang
kiai, maka semakin juga upaya pembumian teori keluarga sakinah yang didakwahkan
kiai.
Peneliti melihat, memang ada faktor yang menyebabkan kuat
atau tidaknya pengaruh kiai dalam konstruksi sosial-keluarga. Faktor terkuat adalah kultur yang ada pada masyarakat. Kultur
masyarakat santri; kawasan “islami”, selalu menghasilkan masyarakat yang
memiliki loyalitas tinggi terhadap kiai. Hal ini linear pula dengan pengaruh
kiai dalam konstruksi keluarga sakinah. Sedangkan masyarakat di daerah abangan,
memiliki kecenderungan semakin rendanhnya loyalitas masyarakat pada kiai.
Konsekuensinya, pengaruh kiai atas konstruksi keluarga sakinah juga melemah.
Sedangkan faktor ekonomi dan pendidikan tidak memiliki pengaruh signifikan dalam
konstruksi keluarga sakinah pada masyarakat.
E.
Kesimpulan
Kiai dipandang sebagai tokoh yang
memiliki kapabilitas tinggi dalam menafsirkan (hukum) agama. Kemampuan lebih
(Jawa: linuih) kiai inilah yang menjadi potensi besar untuk mengkonstruk
sosial-keluarga. Penelitian ini menguji teori kemapanan kiai sebagai elit
lokal. Hasil penelitian ini diharapkan
mampu merekomendasikan arah baru konstruksi sosial-keluarga yang lebih kokoh
dan sakinah.
Untuk melacak dinamika persoalan
hukum keluarga, dalam konteks ini keluarga sakinah, peneliti menggunakan teori
konstruksi sosial Berger dan Luckman. Capaian penelitiannya adalah: Eksternalisasi
(yang tercermin dalam dinamika sosial; interaksi kiai dan santri; dan kiprah dakwah kiai terkait konsep keluarga
sakinah), obyektifikasi (momen ketika nilai sakinah menjadi kenyataan
obyektif), dan internalisasi (penyerapan nilai sakinah oleh individu
masyarakat) selalu bergerak simultan membentuk realitas sosial.
Loyalitas masyarakat terhadap kiai
menentukan kuat-lemahnya peran kiai dalam konstruksi keluarga. Semakin besar
loyalitas masyarakat terhadap masyarakat, semakin kuat pula pengaruh kiai dalam
konstruksi keluarganya, begitu juga sebaliknya. Faktor kultur daerah (Abangan
dan Santri) memiliki pengaruh signifikan atas besar kecilnya pengaruh kiai dalam
masyarakat. Semakin “santri” kultur masyarakat, semakin besar pula pengaruh
kiai dalam konstruksi sosial-keluarga, begitu pula sebaliknya.
Daftar Pustaka
Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, “Problem Ulama” dalam
Charlez Khuzman (ed) Wacana Islam LiberalPemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-isu Global Jakarta: Paramadina, 2001.
Azzumardi Azra, “Kesalehan Kiai Jawa: Perspektif
Kekuasaan” Pengantar dalam Zainudin Maliki, Agama Priyai Makna Agama di
Tangan Elit Penguasa, Pustaka Marwah, 2004.
George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali
Press, 1985.
Haryanto, Kekuasaan
Elit Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: PLOD dan JIP Universitas Gajah Mada, 2005.
Maman
Imanulhaq Faqih, “Pesantren dan Budaya Lokal” dalam Jurnal Kalimah: Jalinan
Kreatif Agama dan Budaya, Edisi 1. tahun 1. Juni 2008.
Margaret.
M Poloma, Sosiologi Kontemporer Terj. Tim Penerjemah Yasogama, Cet ke-1, Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2000.
Mujammil Qomar, NU
“liberal”, Bandung: Mizan, 2002.
Mukti Ali, Metode
Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1991.
Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan, ter. Hasan Basari, Jakarta:LP3ES, 1990.
Peter L.
Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, ter. Hartono, Jakarta: LP3ES, 1991.
Pradjarta Dirjo Sanjot, Memelihara Amat, Kiai
Pesantren, kiai Langgar Jawa, Yogyakarta: LKiS,1999.
Sahal Mahfud, Nuansa
Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Soerjono
Sukamto dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet.18,
Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
Titus Dkk. Living Issues in Philosophy, terj. M. Rasyidi, Jakart: Bulan
Bintang, 1984.
Zainal Arifin Toha, Runtuhnya Singgasana
Kiai,NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai, Yogyakarta: Kutub, 2003.
[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah: Sosiologi Hukum Islam, Dosen Pengampu: Prof. Dr. Jawahir Tontowi.
[3]Sebagaimana
digambarkan dalam hadis yang diriwayatkan Imam ahmad:” Sesungguhnya perumpamaan
ulama di bumi itu bagaikan bintang di langit yang diambil oleh manusia di kegelapan darat dan laut”. Bagi masyarakat,
khususnya pedesaan, sosok ulama, tidak lain adalah ulama itu sendiri. Lebih
lanjut, lihat, Zainal Arifin Toha, Runtuhnya Singgasana Kiai,NU, Pesantren
dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai Cet.II (Yogyakarta :
Kutub, 2003) Hlm.172.
[4]
Mujammil Qomar, NU “liberal”, (Bandung: Mizan, 2002) Hlm. 88.
[6] Titus Dkk. Living Issues
in Philosophy, (terj.)M. Rasyidi, (Jakart: Bulan Bintang, 1984) hal. 436.
[7]
Haryanto, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar (Yogyakarta: PLOD dan
JIP Universitas Gajah Mada, 2005)bhlm. 66-67.
[8]
Zamaksyari Dhofier, Tradisi…hlm 55.
[9]
Lihat, A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Yakarta: Bulan
Bintang, 1991) hlm.9
[10]
lihat Pradjarta Dirjo Sanjot, Memelihara Amat, Kiai Pesantren, kiai Langgar
Jawa, (Yogyakarta: LKiS,1999). Hlm55.
[11]
Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, “Problem Ulama” dalam Charlez Khuzman (ed) Wacana
Islam LiberalPemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta:
Paramadina, 2001) hlm402.
[12]
Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994) hlm. 355.
[13] Bambang Purwoko,
“Perilaku Politik Elit dalam Dinamika Politik Lokal”, dalam Focus Group, hlm.1
[14] Azzumardi Azra,
“Kesalehan Kiai Jawa: Perspektif Kekuasaan” Pengantar dalam Zainudin Maliki, Agama
Priyai Makna Agama di Tangan Elit Penguasa (Pustaka Marwah, 2004) hlm. Xiv.
[15]
Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana…hlm.293.
[17] Lihat lebih lanjut,
Maman Imanulhaq Faqih, “Pesantren dan Budaya Lokal” dalam Jurnal Kalimah:
Jalinan Kreatif Agama dan Budaya, Edisi 1. tahun 1. Juni 2008.
[18] Sebagaimana dikutip oleh
Zainal Arifn Thoha. Runtuhnya Singgasana… Hlm. 24.
[20]http://tentang-pernikahan.com/article/articleindex.php?Aid=883&cid=2.
Akses tanggal 29 Januari 2010.
[21]http://www.slideshare.net/road_to_khilafah/menuju-keluarga-sakinah.
Akses tanggal 29 Januari 2010.
[22] Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan,
ter. Hasan Basari
(Jakarta:LP3ES, 1990), 28-65.
[23] Margaret. M Poloma, Sosiologi Kontemporer Terj. Tim
Penerjemah Yasogama, Cet ke-(Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2000) hlm. 303.
, hlm. 302.
[25] Data ini diperoleh dari observasi dan
wawancara peneliti dengan beberapa responden di Desa Joresan, Kecamatan Mlarak,
Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010)
[26] Responden penelitian di
desa Joresan Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010)
[27] Seorang kiai terkemuka di
Desa Semanding Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010)
[28] Seorang kiai terkemuka di
Desa Joresan Kecamatan Mlaraka Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010)
[29] Responden penelitian
(anggota jama’ah Pengajian Ahad Pon) di desa Joresan Kecamatan Mlarak,
Kabupaten Ponorogo (wawancara: 29 Januari 2010)
[30] Responden penelitian
(anggota jama’ah Pengajian Ahad Pon) di desa Joresan Kecamatan Mlarak,
Kabupaten Ponorogo (wawancara: 30 Januari 2010)
[31] Responden penelitian di Desa
Semanding Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo (wawancara: 30 Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar