Selasa, 01 April 2014

Hukum Formil

Mempertanyakan Legal Standing Calon Pengantin
(Studi Perkara Dispensasi Kawin)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Pendahuluan
Perkara dispensasi kawin terus meningkat dari tahun ke tahun.[2] Konsekuensinya, permasalahannya pun semakin kompleks. Dalam artikel ini, penulis akan berusaha mengkaji salah satu dari sekian permasalahan yang ada: apakah calon pengantin (catin) memiliki  legal standing untuk mengajukan dispensasi kawin?
Pasal 7 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, tegas menyatakan bahwa dispensasi kawin hanya dapat diajukan oleh kedua orang tua catin. Namun, jika kedua orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (3) memberikan kelonggaran. Menurut pasal itu, perkara dispensasi kawin juga dapat diajukan oleh wali yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.

Di sisi lain, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (buku II) memberikan ketentuan berbeda. Pada halaman 142 dijelaskan, bahwa selain orang tua, catin pun  juga memiliki legal standing untuk mengajukan dispensasi kawin.
Sepintas, terdapat kontradiksi pada kedua ketentuan tersebut. Pertanyaannya: mana yang harus kita pedomani? Apakah hanya orang tua, wali, dan keluarga sedarah dalam keturunan garis lurus ke atas yang memiliki legal standing mengajukan dispensai kawin? Atau, catin juga? Jika catin juga memiliki legal standing, bagaimana jika usianya belum mencapai batas dewasa (18 tahun)[3]? Apakah dia sudah cakap disebut sebagai subjek hukum dan sah mengajukan perkara di pengadilan?
Legal Standing Dispensasi Kawin
            Setelah melalukan penelusuran, penulis menemukan sedikitnya  dua ketentuan yang mengatur tentang siapa pihak yang berwenang untuk mengajukan perkara dispensasi kawin:
            Pertama: Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1,2, dan3) yang berbunyi:
1)      Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
2)      Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3)      Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Adapun bunyi Pasal 6 Ayat (3) dan (4) sebagaimana dimaksud Ayat (3) pasal di atas adalah sebagai berikut:
3)   Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
Singkat kata, menurut undang-undang organik perkawinan: dispensasi kawin hanya dapat diajukan kedua orang tua catin. Atau, dalam kondisi tertentu, dapat diajukan oleh salah satu orang tua. Dalam kondisi tertentu yang lain lagi, juga dapat diajukan oleh wali, dan atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. Namun, yang perlu digarisbawahi, undang-undang tersebut tidak memberikan celah bagi catin untuk mengajukan dispensasi kawin.
Kedua: Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Pada halaman 142, disebutkan:
“Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal. “
            Membaca ketentuan tersebut, jelas: calon mempelai pria maupun wanita dapat dibenarkan secara sendiri atau bersama dengan orang tuanya untuk mengajukan perkara dispensasi kawin.
Kedudukan Buku II dalam Konstelasi Hukum Nasional
Dalam tata hukum nasional, dikenal beberapa jenis sumber hukum yang berlaku[4]. Diantaranya:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.      Peraturan Pemerintah;
5.      Peraturan Presiden;
6.      Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lantas, dimana posisi buku II? Apakah buku tersebut juga merupakan satu dari sekian sumber hukum?
Buku II diberlakukan melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor: KMA/032/SK/IV/2006. Selanjutnya disempurnakan lagi dengan Keputusan KMA nomor: 012/KMA/SK/II/2007. Pasal 8  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa selain tujuh aturan perundangan yang termaktub di atas, juga terdapat beberapa aturan lain yang berlaku dan mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung.  Wujudnya: Keputusan KMA. Kesimpulannya, Buku II merupakan salah satu jenis aturan perundangan yang diakui dan berlaku.

Mengkompromikan UU No.1 Tahun 1974 dan Buku II
            Setelah membaca undang-undang tentang pembentukan peraturan perundangan, kita akan memahami: tidak ada yang perlu dipertentangkan antara Undang-undang No.1 tahun 1974 dengan buku II.  Buku II merupakan aturan yang melengkapi celah persoalan yang belum terbahas oleh Undang-undang No.1 tahun 1974.
            Penulis meyakini, diperbolehkannya catin mengajukan perkara dispensasi kawinnya tentu sangat beralasan. Bayangkan, jika seorang catin hendak menikah, sementara usianya belum mencapai 19 tahun (bagi catin pria) dan 16 tahun (bagi catin wanita). Parahnya, kedua orang tuanya tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut (adhal). Bagaimana kedua catin tersebut dapat mendapatkan haknya? Kalau mereka tidak boleh mengajukan perkaranya sendiri, sementara kedua orang tuanya tidak mau mengajukan.  Itulah urgensi kehadiran Buku II.
Jika Catin Belum Dewasa, Cakap Mengajukan Perkara?
            Meski telah jelas bahwa dispensasi dapat diajukan oleh catin, namun kemudian muncullah persoalan baru. Dalam hukum acara perdata, kita mengenal istilah subjek hukum. Dalam konteks ini: subjek hukum orang. Seseorang baru akan sah disebut sebagai subjek hukum jika telah mencapai batas dewasa (Pasal 1330 KUH Perdata). Dalam konteks hukum perkawinan, 18 tahun. Lalu bagaimana catin yang belum mencapai batas usia tersebut?
             Hukum acara merupakan rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan pertahankan hukum materiil. Ia wajib dipatuhi. Tidak boleh disimpangi. Demi kepastian hukum.
            Tanpa menafikan ketentuan Buku II yang memperbolehkan catin untuk mengajukan dispensasi kawin, namun peradilan tetap harus memdomani kepastian hukum formil. Batas usia cakap hukum harus diperhatikan. Dalam konteks perkawinan, hanya subjek hukum yang telah berusia 18 tahun ke atas lah yang dipandang cakap hukum. Pada batas ini lah seseorang dipandang mampu melakukan dan mempertanggungjawabkan perbuatan hukum, termasuk berperkara di pengadilan.
            Benang merahnya: hanya catin yang telah dewasa (18 tahun) lah yang cakap mengajukan perkara dispensasi kawin. Bagi yang masih belum mencapai itu, dia belumlah sah disebut subjek hukum. Di mata hukum, dia harus masih dalam pengampuan orang tua, atau walinya.
Penutup
Terdapat perbedaan aturan tentang siapa yang memiliki legal standing untuk mengajukan dispensasi kawin. UU No.1 tahun 1974 hanya memberikan peluang pada kedua orang tua, salah satu orang tua, wali atau saudara sedarah dalam garis keturunan lurus ke atas. Sedangkan buku II, memberikan peluang kepada catin, baik secara sendiri atau bersama orang tua. Kedua aturan tersebut tidak perlu dipertentangkan. Bahkan harus dikompromikan. Karena keduanya sama-sama merupakan sumber hukum yang berlaku.
Natijah komprominya: catin tetap dapat mengajukan perkara dispensasi kawinnya ke pengadilan, dengan catatan dia telah dewasa (18 tahun). Karena batas dewasa merupakan syarat mutlak subjek hukum. Hukum formil tetap harus ditegakkan, demi terjaganya hukum materiil.




Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005
Bangka Pos, Membendung Married by Accident, 30 Desember 2011
Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan



[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri
[2]  Berdasarkan penelitian penulis yang tertuang dalam artikel “Membendung Arus Maried By Accident, yang dipublikasikan dalam harian Bangka Pos dan Pos Belitung,  30 Desember 2011.
[3]  Batas dewasa 18 tahun ini berpatokan pada  pada undang-undang organik perkawinan: UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[4]  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar