Mempertanyakan Legal Standing Calon Pengantin
(Studi
Perkara Dispensasi Kawin)
Pendahuluan
Perkara dispensasi kawin terus meningkat dari tahun ke tahun.[2] Konsekuensinya, permasalahannya pun semakin kompleks.
Dalam artikel ini, penulis akan berusaha mengkaji salah satu dari sekian permasalahan
yang ada: apakah calon pengantin (catin) memiliki legal
standing untuk mengajukan dispensasi kawin?
Pasal 7 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974, tegas menyatakan bahwa dispensasi
kawin hanya dapat diajukan oleh kedua orang tua catin. Namun, jika kedua orang
tua telah meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, Pasal 6 Ayat (4) dan
Pasal 7 Ayat (3) memberikan kelonggaran. Menurut pasal itu, perkara dispensasi
kawin juga dapat diajukan oleh wali yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas.
Di sisi lain, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama (buku II) memberikan ketentuan berbeda. Pada halaman 142 dijelaskan,
bahwa selain orang tua, catin pun juga
memiliki legal standing untuk mengajukan dispensasi kawin.
Sepintas, terdapat kontradiksi pada kedua ketentuan tersebut.
Pertanyaannya: mana yang harus kita pedomani? Apakah hanya orang tua, wali, dan
keluarga sedarah dalam keturunan garis lurus ke atas yang memiliki legal standing mengajukan dispensai
kawin? Atau, catin juga? Jika catin
juga memiliki legal standing,
bagaimana jika usianya belum mencapai batas dewasa (18 tahun)[3]? Apakah dia sudah cakap disebut sebagai subjek
hukum dan sah mengajukan perkara di pengadilan?
Legal Standing Dispensasi Kawin
Setelah melalukan penelusuran,
penulis menemukan sedikitnya dua
ketentuan yang mengatur tentang siapa pihak yang berwenang untuk mengajukan
perkara dispensasi kawin:
Pertama: Undang-undang No.1 tahun
1974 tentang perkawinan. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1,2,
dan3) yang berbunyi:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak
wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Adapun bunyi Pasal 6 Ayat (3) dan (4) sebagaimana
dimaksud Ayat (3) pasal di atas adalah sebagai berikut:
3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
Singkat kata, menurut undang-undang
organik perkawinan: dispensasi kawin hanya dapat diajukan kedua orang tua catin.
Atau, dalam kondisi tertentu, dapat diajukan oleh salah satu orang tua. Dalam
kondisi tertentu yang lain lagi, juga dapat diajukan oleh wali, dan atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. Namun, yang perlu
digarisbawahi, undang-undang tersebut tidak memberikan celah bagi catin untuk
mengajukan dispensasi kawin.
Kedua: Buku II tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Pada halaman 142,
disebutkan:
“Permohonan dispensasi
kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon
mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai
tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dalam wilayah hukum
dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat
tinggal. “
Membaca ketentuan tersebut, jelas:
calon mempelai pria maupun wanita dapat dibenarkan secara sendiri atau bersama
dengan orang tuanya untuk mengajukan perkara dispensasi kawin.
Kedudukan Buku II dalam Konstelasi
Hukum Nasional
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah;
5.
Peraturan
Presiden;
6.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Lantas, dimana posisi buku II? Apakah buku tersebut juga merupakan satu
dari sekian sumber hukum?
Buku II diberlakukan melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung nomor:
KMA/032/SK/IV/2006. Selanjutnya disempurnakan lagi dengan Keputusan KMA nomor:
012/KMA/SK/II/2007. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa
selain tujuh aturan perundangan yang termaktub di atas, juga terdapat beberapa
aturan lain yang berlaku dan mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang
dikeluarkan Mahkamah Agung. Wujudnya: Keputusan
KMA. Kesimpulannya, Buku II merupakan salah satu jenis
aturan perundangan yang diakui dan berlaku.
Mengkompromikan UU No.1 Tahun 1974 dan
Buku II
Setelah membaca undang-undang tentang pembentukan
peraturan perundangan, kita akan memahami: tidak ada yang perlu dipertentangkan
antara Undang-undang No.1 tahun 1974 dengan buku II. Buku II merupakan aturan yang melengkapi
celah persoalan yang belum terbahas oleh Undang-undang No.1 tahun 1974.
Penulis meyakini, diperbolehkannya catin mengajukan
perkara dispensasi kawinnya tentu sangat beralasan. Bayangkan, jika seorang
catin hendak menikah, sementara usianya belum mencapai 19 tahun (bagi catin
pria) dan 16 tahun (bagi catin wanita). Parahnya, kedua orang tuanya tidak
menyetujui rencana perkawinan tersebut (adhal).
Bagaimana kedua catin tersebut dapat mendapatkan haknya? Kalau mereka tidak
boleh mengajukan perkaranya sendiri, sementara kedua orang tuanya tidak mau
mengajukan. Itulah urgensi
kehadiran Buku II.
Jika Catin Belum Dewasa, Cakap
Mengajukan Perkara?
Meski telah jelas bahwa dispensasi dapat diajukan
oleh catin, namun kemudian muncullah persoalan baru. Dalam hukum acara perdata,
kita mengenal istilah subjek hukum. Dalam konteks ini: subjek hukum orang.
Seseorang baru akan sah disebut sebagai subjek hukum jika telah mencapai batas
dewasa (Pasal 1330 KUH Perdata). Dalam konteks hukum perkawinan, 18 tahun. Lalu
bagaimana catin yang belum mencapai batas usia tersebut?
Hukum acara merupakan rangkaian
peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan pertahankan
hukum materiil. Ia wajib dipatuhi. Tidak boleh disimpangi. Demi kepastian
hukum.
Tanpa
menafikan ketentuan Buku II yang memperbolehkan catin untuk mengajukan
dispensasi kawin, namun peradilan tetap harus memdomani kepastian hukum formil.
Batas usia cakap hukum harus diperhatikan. Dalam konteks perkawinan, hanya subjek
hukum yang telah berusia 18 tahun ke atas lah yang dipandang cakap hukum. Pada
batas ini lah seseorang dipandang mampu melakukan dan mempertanggungjawabkan
perbuatan hukum, termasuk berperkara di pengadilan.
Benang
merahnya: hanya catin yang telah dewasa (18 tahun) lah yang cakap mengajukan
perkara dispensasi kawin. Bagi yang masih belum mencapai itu, dia belumlah sah
disebut subjek hukum. Di mata hukum, dia harus masih dalam pengampuan orang
tua, atau walinya.
Penutup
Terdapat perbedaan aturan tentang siapa yang memiliki legal standing untuk mengajukan
dispensasi kawin. UU No.1 tahun 1974 hanya memberikan peluang pada kedua orang
tua, salah satu orang tua, wali atau saudara sedarah dalam garis keturunan
lurus ke atas. Sedangkan buku II, memberikan peluang kepada catin, baik secara
sendiri atau bersama orang tua. Kedua aturan tersebut tidak perlu
dipertentangkan. Bahkan harus dikompromikan. Karena keduanya sama-sama
merupakan sumber hukum yang berlaku.
Natijah komprominya: catin tetap dapat mengajukan perkara dispensasi kawinnya
ke pengadilan, dengan catatan dia telah dewasa (18 tahun). Karena batas dewasa
merupakan syarat mutlak subjek hukum. Hukum formil tetap harus ditegakkan, demi
terjaganya hukum materiil.
Daftar Pustaka
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005
Bangka Pos, Membendung Married by Accident, 30
Desember 2011
Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[1] Calon Hakim
Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) MA-RI. Satker: Pengadilan Agama
Kab. Kediri
[2]
Berdasarkan penelitian penulis yang tertuang dalam artikel “Membendung
Arus Maried By Accident, yang
dipublikasikan dalam harian Bangka Pos dan Pos Belitung, 30 Desember 2011.
[3]
Batas dewasa 18 tahun ini berpatokan pada pada undang-undang organik perkawinan: UU
no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[4] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar