Senin, 07 April 2014

politik hukum

PK diatas PK
(Telaah atas Risalah Qadha’ Umar Ibn Khattab)
Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.[1]
Sekapur Sirih
Terhitung sejak pukul 15.00 Wib, Kamis, 6 Maret 2014, Peninjauan Kembali (PK) perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Itulah ruh dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 34/PUU-XI/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi: “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan perkara judicial review yang diajukan mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, S.H., M.H., Dkk. itu mengejutkan dunia hukum nasional. Beragam tanggapan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Mulai dari praktisi, akademisi, tak terkecuali: dari lingkungan Mahkamah Agung (MA). Ada yang merespon positif. Tapi jauh lebih banyak yang menilai negatif.[2]
Artikel ini sama sekali tidak berpretensi mengomentari reaksi dari pihak manapun, termasuk dari Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan judicial review diatas. Penulis tidak memiliki kompetensi untuk itu. Kajian ini sebatas melacak pemikiran Khalifah Umar Ibn Khattab, terkait dengan upaya hukum peradilan ulang, atau dalam konteks ke-Indonesiaan, populer disebut dengan: Peninjauan Kembali.
Aksiologi PK
            PK adalah upaya hukum yang luar biasa. PK berupaya memeriksa kembali putusan (baik tingkat pertama, banding, dan kasasi) yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun upaya hukum luar biasa ini tidak dapat menghalangi eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.[3]
            PK hadir sebagai upaya hukum pamungkas. Putusan PK dapat membatalkan putusan yang telah incrach. Kehadirannya diharapkan mampu memberikan keadilan bagi pihak dalam kondisi yang sangat tertentu, yang sudah terlanjur berkekuatan hukum tetap. Kondisi tertentu tersebut dapat dirinci sebagai berikut:[4]
a.      Terdapat kekhilafan hakim
Hakim adalah manusia biasa. Meskipun ia wakil tuhan, ia tetap bukanlah tuhan. Sehati-hati apapun pemeriksaan perkara oleh hakim, masih ada kemungkinan khilaf. Al-insanu mahal al-khatta’ wa an-nisyan.
b.      Terdapat kebohongan nyata
Kebohongan nyata seringkali terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk dalam persidangan. Saat kebohongan tersebut terbongkar, tentu harus ada upaya pelurusan kebenaran.
c.       Ditemukannya alat bukti baru (novum)
Bukti baru yang sangat menentukan seringkali hadir di waktu yang tidak tepat (pasca putusan berkekuatan hukum tetap). Selama proses persidangan berjalan, ia belumlah muncul. Atas kasus seperti ini, tetntu harus ada upaya peradilan ulang; untuk memeriksa alat bukti baru yang menentukan tersebut.
Mengingat beberapa kondisi tertentu diatas, Pasal 67 KUHP memberikan ketentuan: PK hanya dapat diajukan dengan syarat sebagai berikut:
a)      diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b)     apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c)      apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d)     apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e)      apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f)       apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Syarat dan ketentuan tersebut diciptakan untuk menghindari rekayasa hukum. Juga untuk memfilter perbuatan yang berorientasi mempermaiankan kepastian hukum. Ini cukup ideal.
Rekam Sejarah PK
Sejarah merekam beberapa dinamika aturan pemberlakuan PK. Sejumlah peraturan perundang-undangan dengan tegas menyatakan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali. Diantaranya: Pertama, Reglemen Acara Perdata (S.1847-52 jo. 1849-63), Bab XI Peninjauan Kembali. Pasal 400  Reglemen tersebut menyebutkan:
Setelah mengajukan Peninjauan Kembali entah itu diterima atau tidak maka tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali yang kedua, baik terhadap putusan yang diberikan dalam Peninjauan Kembali maupun terhadap putusan sesudah Peninjauan Kembali itu diterima dalam pokok perkaranya.
Kedua: dalam pasal 66 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diperkuat pada pasal 70 ayat 2 undang-undang yang sama, yang intinya Mahkamah Agung memutus permohonan Peninjauan Kembali pada tingkat pertama dan terakhir.
Ketiga: Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut menyatakan: “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
Sejarah berlanjut dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2009. Sejatinya, SEMA ini tetap mempertegas ketentuan bahwa PK hanya boleh diajukan satu kali. Namun, butir ke-2 SEMA tersebut memberikan sedikit celah PK lebih dari sekali. Butir tersebut menyatakan:
Apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung."
Perlu dicatat: butir kedua ini hanya berlaku pada perkara yang terdapat dua putusan PK yang saling bertentangan, tidak yang lain.[5] 
Terakhir, muncullah Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Inilah akhir ceritannya (mungkin sementara): PK diatas PK adalah sah.
PK Menurut Umar Ibn Khattab
            Embrio azaz peradilan sudah lama dicetuskan. Salah satu pencetusnya adalah Umar Ibn Khattab. Azaz peradilan (Islam) yang digagas Khalifah Umar termaktub lengkap dalam sebuah risalah. Biasa kita kenal dengan Risalah Qadha’Umar Ibn Khattab.
            Terdapat sejumlah azaz yang yang termaktub dalam risalah tersebut. Namun, dalam konteks ini, penulis akan berfokus pada azaz peradilan ulang (peninjauan kembali). Risalah tersebut menyatakan:
ولا يمنعك من قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
Artinya: “Tidak ada larangan bagimu untuk mengadili ulang atas keputusan yang telah engkau tetapkan. Kau meninjaunya kembali karena pengetahuan (baru)mu dan kau mendapat petunjuk (baru).  Seyogyanya engkau meninjau ulang perkara tersebut demi sebuah kebenaran. Sungguh, kenaran  itu adalah qodim dan tidak ada hal apapun yang dapat membatalkan kebenaran. Meninjau  ulang sebuah perkara demi kebenaran itu jauh lebih baik daripada terus menerus berkubang dalam kesesatan”.
            Hemat penulis, minimal ada tiga ide fundamental yang termaktub dalam teks tersebut.
Pertama:
ولا يمنعك من قضاء قضيته اليوم
Khalifah Umar menegaskan bahwa meninjau kembali putusan yang telah diputuskan dapat dibenarkan. Khalifah Umar sama sekali tidak membatasi berapakali perkara itu ditinjau ulang. Artinya: peninjauan kembali boleh dilakukan lebih dari satu kali.
Kedua:
فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك
Teks ini menunjukkan syarat sebuah perkara itu dapat diadili ulang. Khalifah memberi batasan bahwa peninjauan ulang tersebut harus berdasarkan petunjuk baru maupun alasan yang sangat valid. Tidak boleh meninjau keputusan dengan alasan yang belum valid. Karena putusan hakim merupakan natijah dari ijtihad. Bukan sekedar putusan serampangan. Membatalkannya pun harus dengan dalil yang lebih rajih.
Ketiga:   
أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
Pesan dari Khalifah umar: carilah kebenaran dengan meninjau ulang putusan. Ini perintah. Alasannya: kebenaran merupakan hal yang qodim. Tidak bisa dikalahkan dengan apapun, termasuk administrasi peradilan. Khalifah menegaskan bahwa meninjau ulang putusan (dengan segala resikonya) tetap jauh lebih baik daripada berkubang dalam kesalahan putusan.
Penutup
Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Ini amanat konstitusi. Sekeras apapun kritikan dan sesengit apapun perdebatan atas amanat itu, tak akan merubah apapun. Kita harus menghormati putusan  Mahkamah Konstitusi.
Risalah Qadha’ Umar Ibn Khattab adalah embrio azaz peradilan. Salah satu azaznya: putusan dapat ditinjau ulang, tanpa batasan berapa kali diajukan. Catatannya: peninjauan ulang tersebut harus berdasarkan pada petunjuk (baru) yang valid dan semata berorientasi untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Entah ada kaitan atau tidak, Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013 dan Risalah Qadha’ Umar Ibn Khattab memiliki nafas yang sama. Wallahu a’lam.






Daftar Pustaka
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013.
Risalah al-Qadha’ Umar Ibn Khattab




[1] Calon Hakim Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu  MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri
[2] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/07/n22a7m-ketua-ma-terkejut-dengan-putusan-mk-kenapa, 07 Maret 2014.
[3]  Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana), hlm. 361.
[4]  Ahmad Mujahidin, Pembaruan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia), hlm.275.
[5]  http://www.pelita.or.id/baca.php?id=87290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar