PK diatas PK
(Telaah atas Risalah Qadha’ Umar
Ibn Khattab)
Sekapur
Sirih
Terhitung
sejak pukul 15.00 Wib, Kamis, 6 Maret 2014, Peninjauan Kembali (PK) perkara
pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Itulah ruh dari putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) nomor: 34/PUU-XI/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi: “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja”, tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan
perkara judicial review yang diajukan
mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, S.H., M.H., Dkk. itu
mengejutkan dunia hukum nasional. Beragam tanggapan bermunculan bak cendawan di
musim hujan. Mulai dari praktisi, akademisi, tak terkecuali: dari lingkungan
Mahkamah Agung (MA). Ada yang merespon positif. Tapi jauh lebih banyak yang menilai
negatif.[2]
Artikel
ini sama sekali tidak berpretensi mengomentari reaksi dari pihak manapun, termasuk
dari Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan judicial
review diatas. Penulis tidak memiliki kompetensi untuk itu. Kajian ini sebatas
melacak pemikiran Khalifah Umar Ibn Khattab, terkait dengan upaya hukum
peradilan ulang, atau dalam konteks ke-Indonesiaan, populer disebut dengan: Peninjauan
Kembali.
Aksiologi PK
PK adalah upaya hukum yang luar
biasa. PK berupaya memeriksa kembali putusan (baik tingkat pertama, banding,
dan kasasi) yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun upaya hukum luar biasa
ini tidak dapat menghalangi eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.[3]
PK hadir sebagai upaya hukum
pamungkas. Putusan PK dapat membatalkan putusan yang telah incrach. Kehadirannya diharapkan mampu memberikan keadilan bagi pihak
dalam kondisi yang sangat tertentu, yang sudah terlanjur berkekuatan hukum tetap.
Kondisi tertentu tersebut dapat dirinci sebagai berikut:[4]
a.
Terdapat
kekhilafan hakim
Hakim adalah manusia biasa. Meskipun ia wakil tuhan,
ia tetap bukanlah tuhan. Sehati-hati apapun pemeriksaan perkara oleh hakim,
masih ada kemungkinan khilaf. Al-insanu
mahal al-khatta’ wa an-nisyan.
b.
Terdapat
kebohongan nyata
Kebohongan nyata seringkali terjadi dalam kehidupan
manusia, termasuk dalam persidangan. Saat kebohongan tersebut terbongkar, tentu
harus ada upaya pelurusan kebenaran.
c.
Ditemukannya alat
bukti baru (novum)
Bukti baru yang sangat menentukan seringkali hadir di waktu yang tidak
tepat (pasca putusan berkekuatan hukum tetap). Selama proses persidangan
berjalan, ia belumlah muncul. Atas kasus seperti ini, tetntu harus ada upaya
peradilan ulang; untuk memeriksa alat bukti baru yang menentukan tersebut.
Mengingat
beberapa kondisi tertentu diatas, Pasal 67 KUHP memberikan ketentuan: PK hanya
dapat diajukan dengan syarat sebagai berikut:
a) diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
b) apabila setelah perkara diputus,
ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa tidak dapat ditemukan;
c) apabila telah dikabulkan suatu hal
yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d) apabila mengenai sesuatu bagian dari
tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e) apabila antara pihak-pihak yang sama
mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang
lain;
f) apabila dalam suatu putusan terdapat
suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Syarat
dan ketentuan tersebut diciptakan untuk menghindari rekayasa hukum. Juga untuk memfilter
perbuatan yang berorientasi mempermaiankan kepastian hukum. Ini cukup ideal.
Rekam Sejarah PK
Sejarah merekam beberapa dinamika aturan pemberlakuan PK. Sejumlah
peraturan perundang-undangan dengan tegas menyatakan bahwa PK hanya dapat
dilakukan satu kali. Diantaranya: Pertama,
Reglemen Acara Perdata (S.1847-52 jo. 1849-63), Bab XI Peninjauan Kembali. Pasal
400 Reglemen tersebut menyebutkan:
“Setelah mengajukan
Peninjauan Kembali entah itu diterima atau tidak maka tidak dapat diajukan Peninjauan
Kembali yang kedua, baik terhadap putusan yang diberikan dalam Peninjauan
Kembali maupun terhadap putusan sesudah Peninjauan Kembali itu diterima dalam
pokok perkaranya.
Kedua: dalam pasal 66 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dan diperkuat pada pasal 70 ayat 2 undang-undang yang sama, yang intinya
Mahkamah Agung memutus permohonan Peninjauan Kembali pada tingkat pertama dan
terakhir.
Ketiga: Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut menyatakan: “permintaan Peninjauan Kembali atas suatu
putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
Sejarah berlanjut dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.10
Tahun 2009. Sejatinya, SEMA ini tetap mempertegas ketentuan bahwa PK hanya
boleh diajukan satu kali. Namun, butir ke-2 SEMA tersebut memberikan sedikit
celah PK lebih dari sekali. Butir tersebut menyatakan:
“Apabila
suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan Peninjauan Kembali yang
bertentangan satu dengan yang lain, baik dalam perkara perdata maupun perkara
pidana, dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar
permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap
dikirimkan ke Mahkamah Agung."
Perlu dicatat:
butir kedua ini hanya berlaku pada perkara yang terdapat dua putusan PK yang
saling bertentangan, tidak yang lain.[5]
Terakhir,
muncullah Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013.
Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal
268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
berbunyi: “Permintaan Peninjauan
Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Inilah
akhir ceritannya (mungkin sementara): PK diatas PK adalah sah.
PK Menurut Umar Ibn Khattab
Embrio azaz peradilan sudah lama dicetuskan. Salah
satu pencetusnya adalah Umar Ibn Khattab. Azaz peradilan (Islam) yang digagas Khalifah
Umar termaktub lengkap dalam sebuah risalah.
Biasa kita kenal dengan Risalah Qadha’Umar Ibn Khattab.
Terdapat sejumlah azaz yang yang
termaktub dalam risalah tersebut. Namun, dalam konteks ini, penulis akan
berfokus pada azaz peradilan ulang (peninjauan kembali). Risalah tersebut
menyatakan:
ولا يمنعك من قضاء قضيته
اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق
شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
Artinya: “Tidak ada larangan
bagimu untuk mengadili ulang atas keputusan yang telah engkau tetapkan. Kau
meninjaunya kembali karena pengetahuan (baru)mu dan kau mendapat petunjuk
(baru). Seyogyanya engkau meninjau ulang
perkara tersebut demi sebuah kebenaran. Sungguh, kenaran itu adalah qodim dan tidak ada hal apapun yang dapat membatalkan kebenaran.
Meninjau ulang sebuah perkara demi
kebenaran itu jauh lebih baik daripada terus menerus berkubang dalam
kesesatan”.
Hemat penulis, minimal ada tiga ide
fundamental yang termaktub dalam teks tersebut.
Pertama:
ولا يمنعك من قضاء قضيته
اليوم
Khalifah
Umar menegaskan bahwa meninjau kembali putusan yang telah diputuskan dapat
dibenarkan. Khalifah Umar sama sekali tidak membatasi berapakali perkara itu
ditinjau ulang. Artinya: peninjauan kembali boleh dilakukan lebih dari satu
kali.
Kedua:
فراجعت فيه لرأيك وهديت
فيه لرشدك
Teks
ini menunjukkan syarat sebuah perkara itu dapat diadili ulang. Khalifah memberi
batasan bahwa peninjauan ulang tersebut harus berdasarkan petunjuk baru maupun
alasan yang sangat valid. Tidak boleh meninjau keputusan dengan alasan yang
belum valid. Karena putusan hakim merupakan natijah dari ijtihad. Bukan sekedar
putusan serampangan. Membatalkannya pun harus dengan dalil yang lebih rajih.
Ketiga:
أن تراجع الحق لأن الحق
قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
Pesan
dari Khalifah umar: carilah kebenaran dengan meninjau ulang putusan. Ini
perintah. Alasannya: kebenaran merupakan hal yang qodim. Tidak bisa dikalahkan dengan
apapun, termasuk administrasi peradilan. Khalifah menegaskan bahwa meninjau
ulang putusan (dengan segala resikonya) tetap jauh lebih baik daripada
berkubang dalam kesalahan putusan.
Penutup
Peninjauan
Kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Ini amanat
konstitusi. Sekeras apapun kritikan dan sesengit apapun perdebatan atas amanat
itu, tak akan merubah apapun. Kita harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.
Risalah
Qadha’ Umar Ibn Khattab adalah embrio azaz peradilan. Salah satu azaznya:
putusan dapat ditinjau ulang, tanpa batasan berapa kali diajukan. Catatannya:
peninjauan ulang tersebut harus berdasarkan pada petunjuk (baru) yang valid dan
semata berorientasi untuk menemukan kebenaran dan keadilan. Entah ada kaitan
atau tidak, Putusan MK Nomor: 34/PUU-XI/2013 dan Risalah Qadha’ Umar Ibn
Khattab memiliki nafas yang sama. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format
Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika:
Jakarta, 2010.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013.
Risalah
al-Qadha’ Umar Ibn Khattab
[1] Calon Hakim
Angkatan II Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu MA-RI. Satker: Pengadilan Agama Kab. Kediri
[2]
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/03/07/n22a7m-ketua-ma-terkejut-dengan-putusan-mk-kenapa,
07 Maret 2014.
[3]
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana), hlm. 361.
[4]
Ahmad Mujahidin, Pembaruan Hukum
Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia), hlm.275.
[5]
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=87290
Tidak ada komentar:
Posting Komentar