Mendukung Capres Tertentu, Langgar Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim?
Oleh:
Ahmad Z. Anam, S.H.I., M.S.I.[1]
Sekapur
Sirih
Pilpres semakin
dekat.[2]
Aroma persaingan menuju RI 1 semakin kuat. Gairah publik untuk mendukung Capres
pilihannya pun semakin menggelora. Masing-masing pendukung memiliki ekspektasi
besar agar kandidatnya dapat terpilih menjadi presiden, hingga dapat membawa
bangsa ini menuju mukti wibawa. Itulah potret pembumian demokrasi.
Soal
dukung-mendukung, tiap individu tentu memiliki kecenderungan untuk melakukannya,
termasuk hakim. Ini wajar. Visi misi, kenegarawanan, popularitas, ketegasan, rekam
jejak, dan wibawa Capres seringkali membuat konstituen jatuh hati—bahkan dalam
kadar tertentu, mati-matian untuk memperjuangkan kemenangan tokoh tersebut. Ada
yang aneh? Tidak ada. Ini tetap sah-sah
saja.
Hakim sebagai
konstituen, juga memiliki hak dukung dan hak pilih yang sama. Selama dukungan
tersebut bersifat tertutup (tidak dinyatakan dan dikampanyekan pada publik),
pasti tidak akan jadi persoalan. Namun yang menjadi persoalan adalah: bagaimana
jika hakim—yang entah dengan sadar atau tidak—menyatakan dukungan tersebut
secara terbuka? Lewat jejaring sosial,
misalnya. Apakah dukungan terbuka tersebut melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim? Jika iya, bagaimana argumentasinya?
Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim
Peradilan harus mandiri, netral,
kompeten, transparan, akuntabel, dan beribawa. Hakim sebagai pilar utama
peradilan merupakan pihak paling bertanggungjawab untuk membumikan cita-cita
tersebut. Oleh karena itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim wajib
dirumuskan dan selanjutnya dipedomani.
Secara
sederhana, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dapat diartikan sebagai suatu
tatanan etika-perilaku yang berisi pola aturan, tata cara, serta pedoman etis
dalam melakukan pekerjaan menerima, memeriksa, memutus, serta menyelesaikan
perkara. Perlu dicatat: tatanan etika perilaku ini berlaku dalam totalitas
kehidupan hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.
Embrio Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hukum terbentuk sejak tahun 1966, pada Kongres IV Luar Biasa IKAHI di Semarang.
Selanjutnya disempurnakan kembali pada Munas IKAHI XIII di Bandung, tahun 2000.
Konsep tentang kode etik tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja
Mahkamah Agung tahun 2002 di Surabaya. Rapat kerja tersebut menghasilkan
sepuluh prinsip Pedoman Perilaku Hakim.
Pada tahun 2006, Mahkamah Agung kemudian
menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/104
A/SK/XII/2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim. Menyusul selanjutnya, terbit
juga Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku
Hakim.
Selain Mahkamah Agung, Komisi Yudisial
sebagai pengawas eksternal, juga telah melakukan kajian mendalam tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Komisi Yudiasial mengadakan kegiatan
Konsultasi Publik di delapan kota besar yang melibatkan hakim, praktisi hukum, akademisi, serta unsur
masyarakat.
Setelah melalui fase panjang tersebut,
kemudian terbitlah Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik
dan Pedoman Peilaku Hakim. Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan wujud
kristalisasi perjuangan Mahkamah Agung serta Komisi Yudiasial menuju peradilan
yang lebih baik.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir penjabarannya. Sepuluh
prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3.
Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegritas tinggi,
6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisiplin tinggi, 9.
Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.
Memang, pada tahun 2011, terdapat
beberapa pengurangan butir atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tersebut.
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 36 P/HUM/2011 menghapus butir 8.1, 8.2,
8.3, 8.4, serta Butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. Namun demikian, tidak ada
prinsip dasar yang diubah, ditambah, ataupun dikurangi. Garis besarnya masih
utuh.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
tersebutlah yang kemudian menjadi tolok ukur Badan Pengawasan Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim. Pelanggaran atas aturan
tersebut, berkonsekuensi mendapatkan sanki, sesuai tingkat pelanggaran.
Dukung Capres Tertentu, Langgar Kode Etik?
Pada prinsipnya, tak ada larangan sama
sekali bagi siapapun untuk mendukung partai atau Capres tertentu. Itu hak yang
dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, termasuk bagi hakim. Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim pun tak melarang hakim untuk memilih dan mendukung salah satu partai
politik atau Capres tertentu. Namun yang menjadi soal adalah: Bagaimana jika
dukungan itu dinyatakan oleh hakim secara terbuka?
Jamak kita jumpai, jelang pilpres ini,
hakim—baik yang secara sadar ataupun tidak—menyatakan dukungan terbuka terhadap
Capres tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, juga aktif menyerang (baca:
menyudutkan) Capres lawan. Kalau ini
terjadi orang umum (non-hakim) tentu tak akan jadi persoalan. Ini hal lumrah
dalam politik. Namun, bagaimana jika yang melakukan adalah hakim?
Poin 3.3 (3) Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim menyebutkan: “Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota
dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap
salah satu partai politik, atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat menimbulkan prasangka beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu
partai politik”.
Memang, dalam butir di atas tidak
dijabarkan secara gamblang tentang larangan bagi hakim untuk menyatakan
dukungan tebuka pada Capres tertentu. Poin tersebut hanya menyatakan bahwa
hakim dilarang menyatakan dukungan secara terbuka terhadap salah satu partai
politik saja. Meskipun tak dilarang secara tegas, namun kemudian muncullah
pertanyaan: siapa yang berhak mengajukan Capres? Jawabannya: partai politik. Undang-undang mengamanatkan
bahwa hanya partai politiklah yang dapat mengajukan Capres.[3]
Tidak ada peluang bagi Capres independen. Ini berarti Capres juga termasuk
bagian dari pusaran partai politik itu
sendiri. Mungkin saja hakim yang menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres
tertentu, juga dipersamakan mendukung
partai pengusungnya.
Atau, bisa jadi mendukung secara
terbuka terhadap Capres tertentu berpotensi terjerat pada butir yang berbunyi:
“hakim tidak boleh terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka
beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik”? Logis saja, jika
menyatakan dukungan terhadap Capres tertentu dapat menimbulkan prasangka bahwa
hakim tersebut merupakan kader partai pengusung Capres.
Analisis penulis di atas hanya
merupakan potensi. Bukan kemutlakan. Oleh karenanya penulis menggunakan diksi
“mungkin dan bisa jadi”. Karena hanya Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Pedoman Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim dan menentukan telah terjadi pelanggaran atau tidak.
Tetapi penulis tegaskan: potensi pelanggaran itu ada.
Manfaat Vs Madharat
Meski
tak ada teks tegas yang melarang hakim untuk mendukung secara terbuka terhadap Capres
tertentu, ada bijaknya perbuatan tersebut dihindari. Sebaiknya, Capres idaman
tersebut tetap tersimpan rapi dalam pikiran dan hati hakim, selanjutnya dituangkan
dalam kertas suara 09 Juli 2014 mendatang.
Meskipun
mungkin ada manfaat jika ikut mendukung secara terbuka terhadap Capres, tapi
penulis meyakini banyak madharat yang mengintai, antara lain:
Pertama: berpotensi
melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ya, memang sampai saat ini
belum ada kasus tentang ini. Namun, bagaimana jika ada pihak yang tidak puas
atas putusan hakim, lalu mencari-cari celah pelanggaran kode etik? Kemudian
melaporkan hakim tersebut dengan dalih menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres
tertentu? Perlu diketahui: menyatakan dukungan terbuka terhadap partai tertentu
atau melakukan kegiatan yang menimbulkan prasangka beralasan bahwa hakim mendukung suatu parpol tertentu
adalah pelanggaran berat.[4]
Kedua:
Merongrong wibawa peradian. Sebagaimana cita-cita yang termaktub dalam
pembukaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peradilan seharusnya mandiri,
netral, dan tidak memihak. jika mendukung terhadap Capres tertentu, tentu nilai-nilai
tersebut akan pudar dan menjauh dari peradilan. Penelitian ilmiah telah
mencatatkan keterlibatan seorang tokoh/panutan/orang yang dimuliakan terhadap
politik akan meruntuhkan wibawanya di mata publik.[5]
Ketiga:
Menimbulakn kerenggangan antara sesama hakim, hakim dengan pegawai, atu hakim
dengan usur lainnya. Tentu kita masih
ingat berita beberapa waktu lalu, dua orang tukang becak bertengkar hebat bahkan
sampai berkelahi karena beda pilihan Capres. Akan sangat naif jika hal tersebut terjadi pada hakim. Menurut
beberapa sumber, kasus seperti ini mulai menggejala di lingkungan peradilan
agama. Mari kita cegah.
Penutup
Demi wibawa peradilan, Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim wajib dijunjung tinggi. Perilaku yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran atasnya harus dihindari. Dar’ul mafaasid muqaddam
‘alaa jalb al-mashaalih.[6]
Menghindari kemadharatan besar yang dapat terjadi jika hakim menyatakan
dukungan terbuka terhadap Capres tertentu, harus lebih diutamakan.
Meski tak ada teks tegas yang melarang
hakim mendukung secara terbuka terhadap Capres tertentu, namun potensi
terjadinya pelanggaran itu tetap ada, melalui dua celah. Adh-dharar (kemadharatan) harus yuzal
(ditiadakan). Hakim yang bijak akan
tetap memberikan suara, tanpa berkoar-koar mendukung jagoannya. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Ahmad Z. Anam, Kiai dan Masa Depan Konstruksi Sosial,
Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Imam as-Suyuty, Al-Asybah
wa An-Nadzair, Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-Undang
Dasar 1945.
Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:215/KMA/SK/XII/2007.
Surat
Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009
dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim.
www.republika.co.id.
[2]
Komisi Pemilihan Umum menjadwalkan Pilpres pada tanggal 09 Juli 2014,
lihat www.republika.co.id.
[3] Pasal 1 (4) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[4]
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007.
[5]
Ahmad Z. Anam, Kiai dan Masa Depan Konstruksi Sosial (Tesis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012).
[6] Imam as-Suyuty, Al-Asybah wa
An-Nadzair, Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar