Selasa, 24 Juni 2014

Kode Etik dan Pilpres

Mendukung Capres Tertentu, Langgar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?
Oleh: Ahmad Z. Anam, S.H.I., M.S.I.[1]
Sekapur Sirih
Pilpres semakin dekat.[2] Aroma persaingan menuju RI 1 semakin kuat. Gairah publik untuk mendukung Capres pilihannya pun semakin menggelora. Masing-masing pendukung memiliki ekspektasi besar agar kandidatnya dapat terpilih menjadi presiden, hingga dapat membawa bangsa ini menuju mukti wibawa. Itulah potret pembumian demokrasi.
Soal dukung-mendukung, tiap individu tentu memiliki kecenderungan untuk melakukannya, termasuk hakim. Ini wajar. Visi misi, kenegarawanan, popularitas, ketegasan, rekam jejak, dan wibawa Capres seringkali membuat konstituen jatuh hati—bahkan dalam kadar tertentu, mati-matian untuk memperjuangkan kemenangan tokoh tersebut. Ada yang aneh? Tidak ada.  Ini tetap sah-sah saja.

Hakim sebagai konstituen, juga memiliki hak dukung dan hak pilih yang sama. Selama dukungan tersebut bersifat tertutup (tidak dinyatakan dan dikampanyekan pada publik), pasti tidak akan jadi persoalan. Namun yang menjadi persoalan adalah: bagaimana jika hakim—yang entah dengan sadar atau tidak—menyatakan dukungan tersebut secara terbuka?  Lewat jejaring sosial, misalnya. Apakah dukungan terbuka tersebut melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim? Jika iya, bagaimana argumentasinya?

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Peradilan harus mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel, dan beribawa. Hakim sebagai pilar utama peradilan merupakan pihak paling bertanggungjawab untuk membumikan cita-cita tersebut. Oleh karena itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim wajib dirumuskan dan selanjutnya dipedomani.
Secara sederhana, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dapat diartikan sebagai suatu tatanan etika-perilaku yang berisi pola aturan, tata cara, serta pedoman etis dalam melakukan pekerjaan menerima, memeriksa, memutus, serta menyelesaikan perkara. Perlu dicatat: tatanan etika perilaku ini berlaku dalam totalitas kehidupan hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.
Embrio Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hukum terbentuk sejak tahun 1966, pada Kongres IV Luar Biasa IKAHI di Semarang. Selanjutnya disempurnakan kembali pada Munas IKAHI XIII di Bandung, tahun 2000. Konsep tentang kode etik tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung tahun 2002 di Surabaya. Rapat kerja tersebut menghasilkan sepuluh prinsip Pedoman Perilaku Hakim.
Pada tahun 2006, Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/104 A/SK/XII/2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim. Menyusul selanjutnya, terbit juga Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007,  tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.
Selain Mahkamah Agung, Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, juga telah melakukan kajian mendalam tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Komisi Yudiasial mengadakan kegiatan Konsultasi Publik di delapan kota besar yang melibatkan hakim,  praktisi hukum, akademisi, serta unsur masyarakat.
Setelah melalui fase panjang tersebut, kemudian terbitlah Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim. Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan wujud kristalisasi perjuangan Mahkamah Agung serta Komisi Yudiasial menuju peradilan yang lebih baik.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir penjabarannya. Sepuluh prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegritas tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisiplin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.
Memang, pada tahun 2011, terdapat beberapa pengurangan butir atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tersebut. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 36 P/HUM/2011 menghapus butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta Butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. Namun demikian, tidak ada prinsip dasar yang diubah, ditambah, ataupun dikurangi. Garis besarnya masih utuh.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebutlah yang kemudian menjadi tolok ukur Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim. Pelanggaran atas aturan tersebut, berkonsekuensi mendapatkan sanki, sesuai tingkat pelanggaran.


Dukung Capres Tertentu, Langgar Kode Etik?
Pada prinsipnya, tak ada larangan sama sekali bagi siapapun untuk mendukung partai atau Capres tertentu. Itu hak yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, termasuk bagi hakim. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pun tak melarang hakim untuk memilih dan mendukung salah satu partai politik atau Capres tertentu. Namun yang menjadi soal adalah: Bagaimana jika dukungan itu dinyatakan oleh hakim secara terbuka?
Jamak kita jumpai, jelang pilpres ini, hakim—baik yang secara sadar ataupun tidak—menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, juga aktif menyerang (baca: menyudutkan) Capres lawan.  Kalau ini terjadi orang umum (non-hakim) tentu tak akan jadi persoalan. Ini hal lumrah dalam politik. Namun, bagaimana jika yang melakukan adalah hakim?
Poin 3.3 (3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menyebutkan: “Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik, atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik”.
Memang, dalam butir di atas tidak dijabarkan secara gamblang tentang larangan bagi hakim untuk menyatakan dukungan tebuka pada Capres tertentu. Poin tersebut hanya menyatakan bahwa hakim dilarang menyatakan dukungan secara terbuka terhadap salah satu partai politik saja. Meskipun tak dilarang secara tegas, namun kemudian muncullah pertanyaan: siapa yang berhak mengajukan Capres? Jawabannya:  partai politik. Undang-undang mengamanatkan bahwa hanya partai politiklah yang dapat mengajukan Capres.[3] Tidak ada peluang bagi Capres independen. Ini berarti Capres juga termasuk bagian dari  pusaran partai politik itu sendiri. Mungkin saja hakim yang menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres tertentu, juga dipersamakan  mendukung partai pengusungnya.
Atau, bisa jadi mendukung secara terbuka terhadap Capres tertentu berpotensi terjerat pada butir yang berbunyi: “hakim tidak boleh terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik”? Logis saja, jika menyatakan dukungan terhadap Capres tertentu dapat menimbulkan prasangka bahwa hakim tersebut merupakan kader partai pengusung Capres.
Analisis penulis di atas hanya merupakan potensi. Bukan kemutlakan. Oleh karenanya penulis menggunakan diksi “mungkin dan bisa jadi”. Karena hanya Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Pedoman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan menentukan telah terjadi pelanggaran atau tidak. Tetapi penulis tegaskan: potensi pelanggaran itu ada.
Manfaat Vs Madharat
            Meski tak ada teks tegas yang melarang hakim untuk mendukung secara terbuka terhadap Capres tertentu, ada bijaknya perbuatan tersebut dihindari. Sebaiknya, Capres idaman tersebut tetap tersimpan rapi dalam pikiran dan hati hakim, selanjutnya dituangkan dalam kertas suara 09 Juli 2014 mendatang.
            Meskipun mungkin ada manfaat jika ikut mendukung secara terbuka terhadap Capres, tapi penulis meyakini banyak madharat yang mengintai, antara lain:
Pertama: berpotensi melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ya, memang sampai saat ini belum ada kasus tentang ini. Namun, bagaimana jika ada pihak yang tidak puas atas putusan hakim, lalu mencari-cari celah pelanggaran kode etik? Kemudian melaporkan hakim tersebut dengan dalih menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres tertentu? Perlu diketahui: menyatakan dukungan terbuka terhadap partai tertentu atau melakukan kegiatan yang menimbulkan prasangka beralasan  bahwa hakim mendukung suatu parpol tertentu adalah pelanggaran berat.[4]
Kedua: Merongrong wibawa peradian. Sebagaimana cita-cita yang termaktub dalam pembukaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peradilan seharusnya mandiri, netral, dan tidak memihak. jika mendukung terhadap Capres tertentu, tentu nilai-nilai tersebut akan pudar dan menjauh dari peradilan. Penelitian ilmiah telah mencatatkan keterlibatan seorang tokoh/panutan/orang yang dimuliakan terhadap politik akan meruntuhkan wibawanya di mata publik.[5]
Ketiga: Menimbulakn kerenggangan antara sesama hakim, hakim dengan pegawai, atu hakim dengan usur lainnya.  Tentu kita masih ingat berita beberapa waktu lalu, dua orang tukang becak bertengkar hebat bahkan sampai berkelahi karena beda pilihan Capres. Akan sangat naif  jika hal tersebut terjadi pada hakim. Menurut beberapa sumber, kasus seperti ini mulai menggejala di lingkungan peradilan agama. Mari kita cegah.
Penutup
Demi wibawa peradilan, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim wajib dijunjung tinggi. Perilaku yang berpotensi menimbulkan pelanggaran atasnya harus dihindari. Dar’ul mafaasid muqaddam ‘alaa jalb al-mashaalih.[6] Menghindari kemadharatan besar yang dapat terjadi jika hakim menyatakan dukungan terbuka terhadap Capres tertentu, harus lebih diutamakan.
Meski tak ada teks tegas yang melarang hakim mendukung secara terbuka terhadap Capres tertentu, namun potensi terjadinya pelanggaran itu tetap ada, melalui dua celah.  Adh-dharar (kemadharatan) harus yuzal (ditiadakan).  Hakim yang bijak akan tetap memberikan suara, tanpa berkoar-koar mendukung jagoannya. Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka
Ahmad Z. Anam, Kiai dan Masa Depan Konstruksi Sosial, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Imam as-Suyuty, Al-Asybah wa An-Nadzair, Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008  Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Dasar 1945.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:215/KMA/SK/XII/2007.
Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim.
www.republika.co.id.



[1]  Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri,  Peserta Diklat PPC Terpadu MA-RI Angkatan II.
[2]  Komisi Pemilihan Umum menjadwalkan Pilpres pada tanggal 09 Juli 2014, lihat www.republika.co.id.
[3] Pasal 1 (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008  Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[4]  Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007.
[5]  Ahmad Z. Anam, Kiai dan Masa Depan Konstruksi Sosial (Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012).
[6] Imam as-Suyuty, Al-Asybah wa An-Nadzair, Darul Kutub Al-Ilmiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar