MEREDAM
WACANA PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA SYARI’AH
Abstract
An
Islamic economic development in Indonesia has been transformed into the biggest
Islamic retail banking in the world. Consequently, the Religious Court as the
only court competent to hear disputes of syari’ah economy is challenged to
overcome any exiting of disputes. However, it seems which the implementation of
the assignment is not as smooth as the fairy story. Every criticism has not
been believed rampant disturst incresingly. The culmination, point was born the idea of
the establishment of the Commercial Court of Syari’ah, as the peak of distrust
in Religious Courts. The issue is what should be answered clearly by the future
of an Islamic economic, Religious Court, as well as nation constitutional.
Kata Kunci: Hakim, Pengadilan Agama,
Ekonomi Syari’ah, Pengadilan Niaga Syari’ah.
Pendahuluan
Ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah berhembus lagi. Kali ini,
gagasan tersebut lahir dari buah pikir Dian Edian Ray, Kepala Perwakilan Bank
Indonesia Wilayah Jawa Barat Banten.
Ray beragumentasi bahwa sengketa niaga syari’ah tidak dapat lagi diselesaikan
di Pengadilan Agama, karena selama ini Pengadilan Agama hanya berpengalaman
menyelesaikan masalah perkawinan, perceraian, dan fatwa tentang hak waris saja.
Masih menurut Ray, ditinjau dari segi kompetensi peradilan,
Pengadilan Agama Sebenarnya juga tidak berkompeten untuk menangani sengketa
ekonomi syari’ah, jika pihak yang bersengketa beragama non-Islam. Mungkin,
menurut pemahamannya: Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara sesama
muslim. Tanpa mempertimbangkan akad. Tanpa memahami lebih jauh asas
personalitas ke-Islaman.
Penggagas lahirnya
Pengadilan Niaga Syariah menyatakan bahwa tujuan pembentukan pengadilan
tersebut agar setiap sengketa ekonomi syari’ah (dalam jalur litigasi)
diselesaikan oleh hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang itu. Embrio
gagasan ini juga tidak lepas dari pengalaman di bentuknya Pengadilan Niaga pada
lingkungan Peradilan Umum.
Bertolak dari
wacana tersebut, lahirlah pertanyaan mendasar: bagaimana kesiapan Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah? Ikhtiyar apa yang telah
dilakukan Mahkamah Agung, lebih khususnya Badan Peradilan Agama guna merespon
perluasan kompetensi tersebut? Dan, seberapa besar urgensi pembentukan Pengadilan
Niaga Syari’ah? Urgen, atau justru kontraproduktif?