Jumat, 10 Oktober 2014

BELAJAR DARI PELAIHARI
(Upaya Sederhana Sukseskan Program Penempatan, Promosi, dan Mutasi)

Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
September 2014 adalah musim penempatan, promosi, dan mutasi. Mahkamah Agung, dalam konteks ini Direktorat Jenderal Peradilan Agama memiliki dua agenda besar di bulan tersebut: 1. Penempatan Calon Hakim Peradilan Agama, termaktub dalam surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI Nomor 1978/DJA/Kp.00.3/IX/2014, tanggal 03 September 2014, dan 2. Pelaksanaan Hasil Rapat TPM Mahkamah Agung, sebagaimana tertuang dalam Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI Nomor  2203/DJA/KP.04.6/IX/2014, tanggal 30 September 2014.

Selasa, 07 Oktober 2014

MEREDAM WACANA PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA SYARI’AH
Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Abstract
An Islamic economic development in Indonesia has been transformed into the biggest Islamic retail banking in the world. Consequently, the Religious Court as the only court competent to hear disputes of syari’ah economy is challenged to overcome any exiting of disputes. However, it seems which the implementation of the assignment is not as smooth as the fairy story. Every criticism has not been believed rampant disturst incresingly.  The culmination, point was born the idea of the establishment of the Commercial Court of Syari’ah, as the peak of distrust in Religious Courts. The issue is what should be answered clearly by the future of an Islamic economic, Religious Court, as well as nation constitutional.
Kata Kunci: Hakim, Pengadilan Agama, Ekonomi Syari’ah, Pengadilan Niaga Syari’ah.
Pendahuluan
Ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah berhembus lagi. Kali ini, gagasan tersebut lahir dari buah pikir Dian Edian Ray, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Jawa Barat Banten.[2] Ray beragumentasi bahwa sengketa niaga syari’ah tidak dapat lagi diselesaikan di Pengadilan Agama, karena selama ini Pengadilan Agama hanya berpengalaman menyelesaikan masalah perkawinan, perceraian, dan fatwa tentang hak waris saja.
Masih menurut Ray, ditinjau dari segi kompetensi peradilan, Pengadilan Agama Sebenarnya juga tidak berkompeten untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, jika pihak yang bersengketa beragama non-Islam. Mungkin, menurut pemahamannya: Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara sesama muslim. Tanpa mempertimbangkan akad. Tanpa memahami lebih jauh asas personalitas ke-Islaman.[3]
 Penggagas lahirnya Pengadilan Niaga Syariah menyatakan bahwa tujuan pembentukan pengadilan tersebut agar setiap sengketa ekonomi syari’ah (dalam jalur litigasi) diselesaikan oleh hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang itu. Embrio gagasan ini juga tidak lepas dari pengalaman di bentuknya Pengadilan Niaga pada lingkungan Peradilan Umum.[4]
Bertolak dari wacana tersebut, lahirlah pertanyaan mendasar: bagaimana kesiapan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah? Ikhtiyar apa yang telah dilakukan Mahkamah Agung, lebih khususnya Badan Peradilan Agama guna merespon perluasan kompetensi tersebut? Dan, seberapa besar urgensi pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah? Urgen, atau justru kontraproduktif?