MEREDAM
WACANA PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA SYARI’AH
Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Abstract
An
Islamic economic development in Indonesia has been transformed into the biggest
Islamic retail banking in the world. Consequently, the Religious Court as the
only court competent to hear disputes of syari’ah economy is challenged to
overcome any exiting of disputes. However, it seems which the implementation of
the assignment is not as smooth as the fairy story. Every criticism has not
been believed rampant disturst incresingly. The culmination, point was born the idea of
the establishment of the Commercial Court of Syari’ah, as the peak of distrust
in Religious Courts. The issue is what should be answered clearly by the future
of an Islamic economic, Religious Court, as well as nation constitutional.
Kata Kunci: Hakim, Pengadilan Agama,
Ekonomi Syari’ah, Pengadilan Niaga Syari’ah.
Pendahuluan
Ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah berhembus lagi. Kali ini,
gagasan tersebut lahir dari buah pikir Dian Edian Ray, Kepala Perwakilan Bank
Indonesia Wilayah Jawa Barat Banten.[2]
Ray beragumentasi bahwa sengketa niaga syari’ah tidak dapat lagi diselesaikan
di Pengadilan Agama, karena selama ini Pengadilan Agama hanya berpengalaman
menyelesaikan masalah perkawinan, perceraian, dan fatwa tentang hak waris saja.
Masih menurut Ray, ditinjau dari segi kompetensi peradilan,
Pengadilan Agama Sebenarnya juga tidak berkompeten untuk menangani sengketa
ekonomi syari’ah, jika pihak yang bersengketa beragama non-Islam. Mungkin,
menurut pemahamannya: Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara sesama
muslim. Tanpa mempertimbangkan akad. Tanpa memahami lebih jauh asas
personalitas ke-Islaman.[3]
Penggagas lahirnya
Pengadilan Niaga Syariah menyatakan bahwa tujuan pembentukan pengadilan
tersebut agar setiap sengketa ekonomi syari’ah (dalam jalur litigasi)
diselesaikan oleh hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang itu. Embrio
gagasan ini juga tidak lepas dari pengalaman di bentuknya Pengadilan Niaga pada
lingkungan Peradilan Umum.[4]
Bertolak dari
wacana tersebut, lahirlah pertanyaan mendasar: bagaimana kesiapan Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah? Ikhtiyar apa yang telah
dilakukan Mahkamah Agung, lebih khususnya Badan Peradilan Agama guna merespon
perluasan kompetensi tersebut? Dan, seberapa besar urgensi pembentukan Pengadilan
Niaga Syari’ah? Urgen, atau justru kontraproduktif?
Pembahasan
A.
Peta
Kompetensi Pasca Putusan MK
Dalam
sejarahnya, penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah memang pernah mengalami pilihan
hukum (choice of forum). Ini akibat aturan perundangan yang saling
berbenturan. Penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah memberikan isyarat bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk
menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah. Namun, penjelasan pasal tersebut
sangatlah berbenturan dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa sengketa ekonomi syari’ah merupakan
kewenangan absolut Pengadilan Agama.[5]
Namun, terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus
2013, tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa perkara perbankan syari’ah.[6]
Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa
penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penjelasan
pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tersebutlah yang selama ini menjadi
biang kemunculan pilihan penyelesaian sengketa. Konsekuensi
konstitusionalnya: sejak putusan tersebut diketok, Pengadilan Agama menjadi
satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili perkara perbankan syari’ah.
Putusan tersebut
sebenarnya telah menjawab tudingan Ray yang menyatakan Pengadilan Agama tidak
berwenang menyelesaiakan ekonomi syari’ah, jika pihaknya non-muslim. Asas
personalitas ke-Islaman dalam dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah
mutlak berpatokan pada akad syari’ahnya, bukan agama pelaku bisnis.
B.
Ketidakpercayaan
Publik
Keraguan pelaku bisnis terhadap
Pengadilan Agama tidak dapat ditepis. Achmad K. Permana, Sekretaris Jenderal
Asosiasi Perbankan Syari’ah Indonesia (Asibindo) menyatakan bahwa jika sengketa
perbankan syari’ah diputus oleh Pengadilan Agama adalah tidak tepat dan
menimbulkan masalah. [7]
Permana menyatakan aturan
penyelesaian sangat penting dan fundamental. Namun, di saat yang sama dia yakin
Pengadilan Agama tidak siap memutuskan aturan sengketa perbankan. Hal ini
karena Pengadilan Agama belum terbiasa mengatur urusan bisnis. Oleh karena itu,
ia berharap ada opsi lain dengan menyertakan penyelesaian sengketa ke Pengadilan
Negeri.
Natsir Asnawi, menegaskan bahwa keraguan tersebut
cukup beralasan. Karena penetapan UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur kewenangan Pengadilan
Agama untuk menangani perkara ekonomi syariah dianggap kurang perencanaan yang
matang, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, perluasan kewenangan Pengadilan
Agama tidak disertai dengan perangkat peraturan pendukung yang signifikan
mengenai mekanisme beracara dalam perkara ekonomi syariah serta mekanisme
pemeriksaan dan penyelesaian perkara ekonomi syariah. Kedua, banyak hakim Pengadilan
Agama belum mendapatkan pengkajian massif mengenai ekonomi syariah, baik di
lingkungan akademik maupun di institusi pengadilan agama itu sendiri.[8]
Tak ada yang salah atas realitas tersebut. Meminjam
istilah Hegel, [9]
itu adalah fase dialektika yang harus dilewati: tesis, antitesis, selanjutnya
pasti ada sintesis. Boleh saja Pengadilan Agama saat ini masih dalam fase
antitesis. Tapi Penulis sangat yakin, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, ia
akan segera bergerak masuk pada fase sintesis.
C.
Kesiapan
Pengadilan Agama
Keraguan
pelaku bisnis syari’ah terhadap Pengadilan Agama sejatinya tidak lepas dari
kesiapan hakimnya. Minimnya pengalaman dalam menyelesaikan sengketa menjadi
alasan utama. Oleh karena itu, keahlian hakim Pengadilan Agama memang wajar
jika dipertanyakan, bahkan dikritik. Ini bisa dimaklumi.
Dirjen badilag, Drs. H.
Purwosusilo, S.H., M.H. memberikan wejangan agar seluruh hakim Pengadilan Agama
tidak menanggapi kritikan itu dengan ucapan dan tindakan yang reaksioner-kontraproduktif.
Kritikan tersebut akan lebih baik ditanggapi dengan putusan yang baik. Dengan
demikian, kepercayaan publik akan tumbuh-berkembang dengan sendirinya.[10]
Sejatinya, kalau ditelisik lebih dalam, ketidakpercayaan pelaku
bisnis terhadap Pengadilan Agama tidak lebih dari sekedar asumsi belaka. Tidak
ada bukti apapun yang menyatakan hakim Pengadilan Agama tidak siap. Terlebih
lagi, dewasa ini berbagai pelatihan ekonomi syari’ah untuk hakim Pengadilan
Agama telah banyak diselenggarakan, baik yang diselenggarakan di dalam negeri
maupun di manca negara.[11]
Hal yang lebih membanggakan lagi, dalam beberapa pelatihan, prakarsanya bukan
hanya dari internal Badilag, namun juga dari Bank Indonesia (BI), juga dari
Komisi Yudisial (KY).[12]
Selain BI dan KY, juga ada lembaga lain yang siap dan telah
terbukti bekerjasama dengan Badilag untuk meningkatkan kualitas hakim
Pengadilan Agama dalam menyelesaiakan sengketaa ekonomi syari’ah, yakni:
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan Badilag dan OJK telah menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) guna kepentingan itu.
Sebagaimana kita ketahui, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan pada
sektor jasa keuangan. Sedangkan tugas kongkrit OJK adalah melakukan pengaturan
dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar
modal, dan industri keuangan non-bank.[13]
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mualiman D. Haddad menegaskan bahwa
hakim-hakim peradilan agama merupakan patner dalam membangun industri keuangan syari’ah
secara nasional. Haddad juga menegaskan dukungannya terhadap Pengadilan Agama
untuk mengemban amanah konstitusi dalam menyelesaikan ekonomi syari’ah.
Sebagai bukti bahwa hakim-hakim dalam Lingkungan Peradilan Agama
telah digembleng dalam “kawah ekonomi syari’ah”, berikut Penulis sajikan data pendidikan,
pelatihan, sertifikasi ataupun pembinaan ekonomi syari’ah yang telah terselenggara:
1.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama
Seluruh Indonesia, yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2009,
peserta 80 hakim.
2.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan
Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun
2010, peserta 99 hakim.
3.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan
Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun
2011, peserta 50 hakim.
4.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan
Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun
2012, peserta 40 hakim.
5.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan
Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun
2013, peserta 100 hakim.
6.
Pendidikan
dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan
Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun
2013, peserta 120 hakim.
7.
Pelatihan
Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Tangerang tahun 2014, peserta
30 hakim.
8.
Pelatihan
Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Komisi Yudisial, tahun 2013, peserta 54 hakim.
9.
Pelatahan
ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Komisi Yudisial, tahun 2013, peserta 30
hakim.
10.
Pelatihan
Tematik Ekonomi Syariah yang diselenggarakan Komisi Yudisial tahun 2014,
peserta 40 hakim.
11.
Training
of Trainer (ToT) yang diselengggarakan Badilag untuk hakim tahun 2014, peserta
30 hakim.
12.
Pelatihan
ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Riyadh, Arab Saudi, Desember 2008-Januari
2009, peserta 30 hakim.
13.
Pelatihan
ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Riyadh, Arab Saudi, Mei-Juni
2009, peserta 40 hakim.
14.
Pelatihan Kompetensi Ekonomi Syari’ah/Perbankan Syari’ah
sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) Banten bekerja sama dengan Departemen Perbankan Syariah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun 2014.
15.
Pembinaan Teknis Ekonomi Syari’ah dan Pembinaan
Administrasi Kepegawaian di Lingkungan Pengadilan Tinggi Agama Makassar, tahun
2014.
16. Sosialisasi
Hukum Acara Ekonomi Syari’ah wilayah Pengadilaan Tinggi Agama Surabaya, tahun
2014.
17.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama Banjarmasin, tahun 2014.
18.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung, tahun 2014.
19.
Bimtek Ekonomi Syari’ah dan Kejurusitaan yang diselenggarakan
Pengadilan Tinggi Agama Palembang, tahun 2014.
20.
Bimtek Ekonomi Syari’ah sewilayah Papua dan Papua Barat,
tahun 2014.
21.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta, tahun 2014.
22.
Diskusi Hukum Ekonomi Syari’ah ke-5 di bawah Koordinator
IKAHI Cab. Bandung.
23.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Mahkamah Syar’iyah Aceh, tahun 2014.
24.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama Jambi, tahun 2014
25.
Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan
Tinggi Agama Kendari, tahun 2014.
26.
Bimtek Ekonomi Syari’ah Hakim Pengadilan Agama sewilayah
Sulawesi Tenggara, tahun 2014.
27.
Pendelegasian
tujuh orang hakim ke Sudan oleh Badilag untuk mengkaji ekonomi syari’ah.
28.
Pemberian
beasiswa pada tiga hakim oleh Badilag untuk menempuh S3 ekonomi syari’ah di
Sudan;
29.
Pendelegasian
pelatihan 20 hakim oleh Badilag untuk mengikuti pelatihan ekonomi syari’ah di
Inggris;
30.
Diskusi Hukum Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan
Badilag tahun 2014, dengan menghadirkan Mualiman D Haddad, P.hd., Ketua
Otoritas Jasa Keuangan sebagai narasumber.
Di samping itu, secara kelembagaan, Badilag juga telah memiliki
Subdit Syariah yang berada di bawah naungan Direktorat Pranata
dan Tatalaksana. Ini sudah lebih dari cukup.
Majalah Peradilan Agama, edisi 4 Juli 2014, menyajikan berbagai
statemen dari pengamat hukum yang percaya penuh atas kapasitas hakim Pengadilan
Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Tokoh-tokoh tersebut
diantaranya: JM. Muslimin, Ph.D (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta),
Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia),
Prof. Mark Cammack (Guru Besar Southwestern Law School, California, USA).[14]
Bertolak dari
data di atas, sangat logis jika Dirjen Badilag, juga segenap insan Peradilan
Agama, tegas menyatakan bahwa Pengadilan Agama sangat siap menangani sengketa
ekonomi syari’ah.
D.
Pengadilan
Niaga Syari’ah Kontraproduktif
Sebenarnya ide
pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah ini bukanlah persoalan besar yang harus
dikaji secara komperehensif. Terlebih lagi, ide tersebut bukan lahir dari
kajian yang mendalam. Namun demikian, untuk menghindari bola salju yang membesar,
ada baiknya ide tersebut diuji urgensinya.
Hemat penulis, minimal ada lima
alasan mengapa ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah harus diredam dan
dibekukan:
Pertama, kegelisahan Penggagas
ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah bertolak dari ketidakpercayaannya
kepada hakim Pengadilan Agama. Kekhawatiran tersebut, secara obyektif telah terjawab
oleh data-data yang menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama telah kaya dengan
berbagai pelatihan dan sertifikasi ekonomi syari’ah, sebagaimana telah penulis
paparkan di atas. Oleh karenanya, kualitas hakim Pengadilan Agama tentu sudah
jauh lebih baik dari yang dipersangkakan selama ini.
Jika memang pelatihan-pelatihan tersebut belum cukup mampu untuk
menjawab setiap kode unik sengketa, masih ada jurus jitu lain untuk membumikan
putusan yang ideal-profesional-berkeadilan: menghadirkan ahli[15]
dalam penyelesaian sengketa. Tentu, ini
hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu yang memang membutuhkan keterangan ahli.
Asas ius curia novit harus dimaknai sebagai kata kerja
dinamis, bukan kata benda statis. Asas tersebut harus dimaknai hakim harus
berusaha aktif-maksimal untuk mengetahui dan menggali hukum yang berlaku. Bukan
dimaknai bahwa hakim secara ujug-ujug tahu segala hukum, tak perlu
belajar lagi. Bukan seperti itu. Salah satu bentuk pengejawantahan asas tersebut
adalah dengan menggali keterangan ahli/pakar di bidangnya. Inilah nafas yang diserukan Pasal 8 Ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.[16]
Kehadiran ahli dalam sidang diatur dalam Pasal 70 dan 154 H.I.R. jo
Pasal 181 R.Bg. jo Pasal 215 Rv. yang pada pokoknya menyatakan, jika
menurut Pengadilan, suatu perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau
penetapan ahli, maka karena jabatan, atau atas permintaan pihak, pengadilan dapat
menghadirkan dan mengangkat ahli tersebut.
Menurut Prof. Dr. Abdul Manan,
keterangan ahli memiliki derajat kekuatan pembuktian yang setara dengan
saksi.[17]
Oleh karenaya ia memiliki kekuatan bebas (vrijbewijskracht). Sepenuhnya
diserahkan pada hakim.[18]
Dalam praktek, pemeriksaan ahli digelar dengan beberapa ketentua sebagai
berikut: 1) Majelis membuka sidang khusus untuk pemeriksaan ahli, 2) Keterangan
ahli disampaikan di bawah sumpah, 3) Keterangan ahli dapat disampaikan secara
lisan atau tertulis, 4) Keterangan ahli ditulis dalam Berita Acara Sidang, 4)
Ahli yang lalai dapat dituntut ganti rugi oleh Pengadilan yang memeriksa
perkara, 5) Keterangan ahli tidak mengenal asas unus testis nulus testis[19], dan 6) Jika keterangan ahli sejalan dengan
pendapat hakim, maka keterangan tersebut
dapat diambil alih menjadi pendapat hakim yang memeriksa perkara.
Sebagai perbandingan, belajar dari pengalaman Mahkamah Konstitusi,
apakah kesembilan Hakim Konstitusi tersebut juga menguasai seluruh materi
aturan perundangan yang berlaku di Indonesia? Tentu tidak, Namun MK selalu
tuntas menyelesaikan tiap judicial review yang ada. Kuncinya terletak pada penghadiran
ahli dalam sidang. Ini patut dijadikan referensi.
Kedua, selain
tentang kualitas hakim, para pelaku bisnis juga mengkritisi perangkat hukum
Pengadilan Agama yang belum ada. Sebenarnya pernyataan ini juga tidak
sepenuhnya benar. Karena sejak 10 September 2008, telah ada Perma Nomor 02
Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.[20]
Memang, saat ini belum terbit Hukum Acara Ekonomi Syari’ah, namun belakangan
ini Badilag tengah gencar mensosialisasikan draft HAES tersebut. Dalam waktu
yang tidak terlalu lama, tentu akan segera terbit. Toh, juga masih ada
perangkat hukum acara perdata umum yang dapat diterapkan dalam perkara ekonomi
syari’ah.
Ketiga, Pengalaman
dari Pengadilan Negeri. Belajar dari pembentukan Pengadilan Niaga dalam
lingkungan Pengadilan Negeri, proses pembentukan dan perkembangan pengadilan
tersebut mengalami begitu banyak hambatan:
hambatan payung hukum
(membutuhkan waktu yang lama hanya untuk
menunggu landasan hukum untuk membentuk satu pengadilan), hambatan administrasi,
serta hambatan pengawasan.
Selain hambatan tersebut, juga ada hambatan lain terkait sumber daya manusia (hakim ad hoc).
Pada realitasnya, hakim ad hoc jarang dimanfaatkan, karena perannya untuk
memberi masukan pengetahuan hukum perniagaan,
seringkali—dan memang dapat—digantikan dengan keterangan ahli.[21] Ini mubadzir. Perlu dijadikan ibrah.
Keempat, Bertentangan
dengan azas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kalau tidak salah, hingga saat
ini baru ada lima Pengadilan Niaga di seluruh indonesia (Pengadilan Niaga
Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar)[22].
Ini bisa dimaklumi. Mengingat pembentukan sebuah pengadilan harus ada payung
hukum yang jelas (Kepres). Itu butuh waktu lama. Selain itu juga butuh
infrastuktur yang memadahi. Juga butuh waktu lama.
Dapat dibayangkan jika nantinya ide pembentukan Niaga Syari’ah
benar direalisasikan. Tentu keberadaannya terbatas pada ibu kota dan sedikit
kota besar. Katakanlah Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Lantas, bagaimana jika
sengketanya terjadi di Jayapura, Tahuna,
Natuna, atau Sabang? Butuh berapa kali lipat waktu, butuh berapa kali lipat
tenaga, butuh berapa kali lipat biaya? Yang jelas azas sederhana, cepat, biaya ringan hanya akan
menjadi mimpi yang terkubur mimpi.
Kelima, untuk kepentingan
kepercayaan publik, tidak harus membentuk lemabaga baru yang berlabel syari’ah.
Hal itu dapat diupayakan dengan penggantian nama Pengadilan Agama menjadi
Pengadilan Syari’ah. Belum lama ini, Ketua Kamar Peradilan Agama MA RI, Dr. H.
Andi Syamsu Alam, S.H. melontarkan wacana penggantian nama Pengadilan Agama
menjadi Pengadilan Syari’ah. Tentu ini sebagai bentuk respon atas kewenangan
Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah.
Hemat Penulis, wacana tersebut 100% tepat. Ditinjau dari segala
aspek. Pertama, dari aspek diksi (pilihan kata). Jujur, hemat Penulis, nama “Pengadilan
Agama” sangat rancu. Agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[23]. Kerancuannya: Apakah
memang Pengadilan Agama mengurusi sistem tata keimanan, dan lain-lain,
sebagaimana dijelaskan oleh definisi tersebut? Tidak. Pengadilan Agama hanya menyelesaiakan masalah
Hukum Islam, itu pun sangat terbatas. Kerancuan selanjutnya: agama apa saja
yang sengketanya diselesaikan di Pengadilan Agama? Semua Agama? Tentu tidak
juga, Pengadilan Agama memiliki batas asas personalitas ke-Islaman. Ini tentu
berbeda dengan nama “Kementrian Agama” yang memang mengurusi semua agama.
Kedua, dari sisi image. Publik terlanjur mempunyai stigma bahwa Pengadilan
Agama adalah pengadilan cerai, atau paling tinggi fatwa waris. Diakui atau
tidak, suka atau tidak, ini sudah realitas. Nama Pengadilan Syari’ah diharapkan
dapat membantu meruntuhkan image yang membonsai tersebut.
Nama Pengadilan Syari’ah memang lebih tepat,
atau setidaknya mendekati kata tepat. Merujuk pada Q.S. al-Maidah ayat 48, yang
berbunyi:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا
عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا
Lafadz
syari’ah—merujuk pada ayat di atas—dapat didefinisikan sebagai norma atau hukum
amaliah (terapan) yang diciptakan Allah Swt. untuk mengatur tingkah laku
manusia, baik individual maupun kolektif. akupan syari’ah dalam konteks ini terbatas
pada ushul fiqh, kaidah fiqh, dan fiqh. Para pakar hukum Islam menyebut
definisi ini sebagai definisi syari’ah dalam arti sempit. Bertolak dari
definisi syari’ah tersebut, nama “Pengadilan Syari’ah” tentu lebih tepat,
ilmiah, dan tidak absurd.
Penutup
a.
Kesimpulan
Pembentukan
Pengadilan Niaga Syari’ah kontraproduktif. Minimal ada lima dalil mengapa gagasan pembentukan lembaga tersebut harus diredam dan dibekukan: 1.
Hakim Pengadilan Agama telah benar-benar siap menangani sengketa ekonomi
syari’ah, 2. Perangkat hukum materiil ekonomi syari’ah telah siap, sedangkan
hukum formil nyaris terwujud, 3. Menghindari pengalaman kurang baik dari
pembentukan Pengadilan Niaga di lingkungan Pengadilan Negeri, 4. Bertentangan
dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan 5. Untuk membangin image,
tak perlu membangun lembaga baru yang berlabel syari’ah, tapi cukup
mengganti nama Pengadilan Agama dengan nama Pengadilan Syari’ah.
b.
Saran
1.
Untuk
Pelaku Bisnis
Yakinlah, Pengadilan Agama siap menyelesaiakan sengketa ekonomi
syari’ah. Kesiapan tersebut bukan ilusi belaka. Tapi berdasarkan data. Jika
memang pelatihan, sertifikasi, perkuliahan, dan forum diskusi belum mampu untuk
mengurai kerumitan bisnis yang kalian sengketakan, Pengadilan Agama akan berijtihad
maksimal untuk menggali hukum tersebut, dengan menghadirkan ahli yang
bertanggungjawab dalam bidangnya.
2.
Untuk
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Hemat penulis,
tidak ada kata lain yang tepat untuk mengapresiasi jerih payah Badilag dalam
merespon amanat konstitusi kecuali kata “salut”. Badilag benar-benar bekerja
total. Pekerjaan rumah yang belum tuntas adalah merampung-legalkan Hukum
Acara Ekonomi Syari’ah. Oleh karena iru, saran yang dapat penulis sampaikan
hanyalah: lanjutkan!
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi
revisi. Semarang: Kumudasmoro Grafindo, 1994.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, cet. Ke-6, Jakarta: Kencana, 2012.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
A. Mukti Arto, Praktek
Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
M. Natsir Asnawi, Hukum
Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2013.
Ahmad Mujahidin Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
di Indonesia, Bogor: Galia Indonesia, 2010.
Andriani Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa Niaga di
Pengadilan Negeri Sebagai Cikal Penyelesaian Ekonomi Syari’ah di Pengadilan
Agama, artikel disampaiakan pada Seminar Nasional tentang Reformulasi
Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Hotel Grand Candi Semarang.
Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-undang
No. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Herzien
Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten
Java en Madura (R.bg.).
Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
Undang-undang
No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang
No.3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang
No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
Keputusan Presiden
No. 97 Tahun 1999.
Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Desember
2013-Februari 2014.
Majalah Peradilan Agama, Edisi 4 I
Juli 2014
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/05/08/n57xgm-pengadilan-agama-dinilai-tak-siap-sidangkan-sengketa-perbankan-syariah
http://natsirasnawi.blogspot.com/2008/05/kesiapan-hakim-pengadilan-agama.html
http://kbbi.web.id/agama
Curiculum
Vitae
Nama : Ahmad Zainul
Anam, S.H.I., M.S.I.
Nip :
198412282011011008
Pangkat/Golongan
Ruang : Penata Muda Tingkat I/IIIb
Satker :
Pengadilan Agama Kab. Kediri
Jabatan :
Panitera Pengganti Lokal/Cakim
Surat
Pernyataan Keaslian
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Ahmad Zainul Anam, S.H.I., M.S.I.
NIP
:
1989412282011011008
Satker :
Pengadilan Agama Kab. Kediri
Judul
Artikel : Meredam Wacana Pembentukan
Pengadilan Niaga Syari’ah
Menyatakan bahwa artikel tersebut adalah benar-benar karya asli saya sendiri. Saya akan bersedia menanggung
segala tuntutan jika di kemudian hari ada pihak yang merasa dirugikan baik
secara pribadi maupun tuntutan secara hukum.
Demikian
surat pernyataan ini saya buat untuk digunakan sebagaimana mestinnya
Kediri
21 Juli 2014
Hormat
kami,

Ahmad
Z. Anam
[1] Panitera Pengganti Lokal dan Cakim pada
Pengadilan Agama Kab. Kediri.
[3] Padahal,
sejatinya asas personalitas ke-Islaman dalam perkara ekonomi syari’ah terletak
pada bentuk akad yang dibangun. Lihat: Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Prosedur
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Galia Indonesia:
Bogor, 2010) hlm. 31.
[4] Andriani
Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai
Cikal Penyelesaian Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, artikel
disampaikan pada Seminar Nasional tentang Reformulasi Ekonomi Syari’ah dan
Legislasi Nasional, Hotel Grand Candi Semarang, 08 Juni 2006.
[5]
Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah
diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama
berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g.
infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Penjelasan: Yang imaksud
dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi
syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga
berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i.
pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis
syari'ah.
[6] Pencantuman
waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian penutup
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
[7]
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/05/08/n57xgm-pengadilan-agama-dinilai-tak-siap-sidangkan-sengketa-perbankan-syariah
[8] Natsir
Asnawi, Kesiapan Hakim Pengadilan Agama Menangani Sengketa Ekonomi Syariah,
artikel dalam
http://natsirasnawi.blogspot.com/2008/05/kesiapan-hakim-pengadilan-agama.html
[9] Dialektik (dialektika) berasal dari kata dialog
yang berarti komunikasi dua
arah, istilah ini telah ada sejak masa yunani
kuno ketika diintrodusir pemahaman bahwa segala sesuatu berubah
(panta rei). Kemudian Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan
menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam trilogi tesis,
anti-tesis dan sintesis.
Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena berlaku hukum dialektik,
yang absolut hanyalah semangat revolusionernya
(perubahan/pertentangan atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis) http://id.wikipedia.org/wiki/Dialektik
[10] Pengadilan
Agama Sangat Siap Menangani Sengketa Ekonomi Syari’ah, Majalah Peradilan
Agama, Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014, hlm. 45.
[11]
Berdasarkan surat nomor 0738/DJA/PP.00./V/2012, Dirjen telah memanggil sejumlah
Hakim Pengadilan Agama untuk mengikuti Pelatihan Hukum Ekonomi Syari'ah ke Arab
Saudi.
[12]
Kompas, Sengketa
Bank Syariah Diputus Lewat Peradilan Agama, tanggal 03 Mei 2013.
[13]
www.badilag.net
[14]
Majalah
Peradilan Agama, Edisi 4 I Juli 2014, hlm.3
[15] Dalam praktek seringkali terjadi kesalah-kaprahan penyebutan dengan
istilah: “saksi ahli”, yang lebih tepat (sesuai perundangan) :“ahli”.
[16] Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
[17]
Prof. Dr. H.
Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana, 2005) hlm. 272.
[18]
M. Natsir
Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (UII Press: Yogyakarta, 2013) hlm. 100.
[19] Drs. H. A.
Mukti Arto, S.H., Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. Ke-VIII
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 200.
[20] Pasal 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa selain tujuh aturan
perundangan yang baku, juga terdapat beberapa aturan lain yang berlaku dan
mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung (PERMA).
[21] Andriani Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa...hlm.
16.
[22] Keputusan
Presiden No. 97 Tahun 1999.
[23]
http://kbbi.web.id/agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar