Selasa, 07 Oktober 2014

MEREDAM WACANA PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA SYARI’AH
Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Abstract
An Islamic economic development in Indonesia has been transformed into the biggest Islamic retail banking in the world. Consequently, the Religious Court as the only court competent to hear disputes of syari’ah economy is challenged to overcome any exiting of disputes. However, it seems which the implementation of the assignment is not as smooth as the fairy story. Every criticism has not been believed rampant disturst incresingly.  The culmination, point was born the idea of the establishment of the Commercial Court of Syari’ah, as the peak of distrust in Religious Courts. The issue is what should be answered clearly by the future of an Islamic economic, Religious Court, as well as nation constitutional.
Kata Kunci: Hakim, Pengadilan Agama, Ekonomi Syari’ah, Pengadilan Niaga Syari’ah.
Pendahuluan
Ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah berhembus lagi. Kali ini, gagasan tersebut lahir dari buah pikir Dian Edian Ray, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Jawa Barat Banten.[2] Ray beragumentasi bahwa sengketa niaga syari’ah tidak dapat lagi diselesaikan di Pengadilan Agama, karena selama ini Pengadilan Agama hanya berpengalaman menyelesaikan masalah perkawinan, perceraian, dan fatwa tentang hak waris saja.
Masih menurut Ray, ditinjau dari segi kompetensi peradilan, Pengadilan Agama Sebenarnya juga tidak berkompeten untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, jika pihak yang bersengketa beragama non-Islam. Mungkin, menurut pemahamannya: Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara sesama muslim. Tanpa mempertimbangkan akad. Tanpa memahami lebih jauh asas personalitas ke-Islaman.[3]
 Penggagas lahirnya Pengadilan Niaga Syariah menyatakan bahwa tujuan pembentukan pengadilan tersebut agar setiap sengketa ekonomi syari’ah (dalam jalur litigasi) diselesaikan oleh hakim yang memiliki keahlian khusus di bidang itu. Embrio gagasan ini juga tidak lepas dari pengalaman di bentuknya Pengadilan Niaga pada lingkungan Peradilan Umum.[4]
Bertolak dari wacana tersebut, lahirlah pertanyaan mendasar: bagaimana kesiapan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah? Ikhtiyar apa yang telah dilakukan Mahkamah Agung, lebih khususnya Badan Peradilan Agama guna merespon perluasan kompetensi tersebut? Dan, seberapa besar urgensi pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah? Urgen, atau justru kontraproduktif?

Pembahasan
A.      Peta Kompetensi Pasca Putusan MK
Dalam sejarahnya, penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah memang pernah mengalami pilihan hukum (choice of forum). Ini akibat aturan perundangan yang saling berbenturan. Penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah memberikan isyarat bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah. Namun, penjelasan pasal tersebut sangatlah berbenturan dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa sengketa ekonomi syari’ah merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama.[5]
Namun, terhitung tepat sejak pukul 09.41 WIB, tanggal 29 Agustus 2013, tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa perkara perbankan syari’ah.[6] Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 93/PUU-X/2012 menegaskan bahwa penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tersebutlah yang selama ini menjadi biang kemunculan pilihan penyelesaian sengketa. Konsekuensi konstitusionalnya: sejak putusan tersebut diketok, Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili perkara perbankan syari’ah.
Putusan tersebut sebenarnya telah menjawab tudingan Ray yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang menyelesaiakan ekonomi syari’ah, jika pihaknya non-muslim. Asas personalitas ke-Islaman dalam dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah mutlak berpatokan pada akad syari’ahnya, bukan agama pelaku bisnis.
B.       Ketidakpercayaan Publik
Keraguan pelaku bisnis terhadap Pengadilan Agama tidak dapat ditepis. Achmad K. Permana, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perbankan Syari’ah Indonesia (Asibindo) menyatakan bahwa jika sengketa perbankan syari’ah diputus oleh Pengadilan Agama adalah tidak tepat dan menimbulkan masalah. [7]
Permana menyatakan aturan penyelesaian sangat penting dan fundamental. Namun, di saat yang sama dia yakin Pengadilan Agama tidak siap memutuskan aturan sengketa perbankan. Hal ini karena Pengadilan Agama belum terbiasa mengatur urusan bisnis. Oleh karena itu, ia berharap ada opsi lain dengan menyertakan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri.
Natsir Asnawi, menegaskan bahwa keraguan tersebut cukup beralasan. Karena penetapan UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani perkara ekonomi syariah dianggap kurang perencanaan yang matang, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, perluasan kewenangan Pengadilan Agama tidak disertai dengan perangkat peraturan pendukung yang signifikan mengenai mekanisme beracara dalam perkara ekonomi syariah serta mekanisme pemeriksaan dan penyelesaian perkara ekonomi syariah. Kedua, banyak hakim Pengadilan Agama belum mendapatkan pengkajian massif mengenai ekonomi syariah, baik di lingkungan akademik maupun di institusi pengadilan agama itu sendiri.[8]
Tak ada yang salah atas realitas tersebut. Meminjam istilah Hegel, [9] itu adalah fase dialektika yang harus dilewati: tesis, antitesis, selanjutnya pasti ada sintesis. Boleh saja Pengadilan Agama saat ini masih dalam fase antitesis. Tapi Penulis sangat yakin, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, ia akan segera bergerak masuk pada fase sintesis.
C.       Kesiapan Pengadilan Agama
Keraguan pelaku bisnis syari’ah terhadap Pengadilan Agama sejatinya tidak lepas dari kesiapan hakimnya. Minimnya pengalaman dalam menyelesaikan sengketa menjadi alasan utama. Oleh karena itu, keahlian hakim Pengadilan Agama memang wajar jika dipertanyakan, bahkan dikritik. Ini bisa dimaklumi.
Dirjen badilag,  Drs. H. Purwosusilo, S.H., M.H. memberikan wejangan agar seluruh hakim Pengadilan Agama tidak menanggapi kritikan itu dengan ucapan dan tindakan yang reaksioner-kontraproduktif. Kritikan tersebut akan lebih baik ditanggapi dengan putusan yang baik. Dengan demikian, kepercayaan publik akan tumbuh-berkembang dengan sendirinya.[10]
Sejatinya, kalau ditelisik lebih dalam, ketidakpercayaan pelaku bisnis terhadap Pengadilan Agama tidak lebih dari sekedar asumsi belaka. Tidak ada bukti apapun yang menyatakan hakim Pengadilan Agama tidak siap. Terlebih lagi, dewasa ini berbagai pelatihan ekonomi syari’ah untuk hakim Pengadilan Agama telah banyak diselenggarakan, baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di manca negara.[11] Hal yang lebih membanggakan lagi, dalam beberapa pelatihan, prakarsanya bukan hanya dari internal Badilag, namun juga dari Bank Indonesia (BI), juga dari Komisi Yudisial (KY).[12]
Selain BI dan KY, juga ada lembaga lain yang siap dan telah terbukti bekerjasama dengan Badilag untuk meningkatkan kualitas hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaiakan sengketaa ekonomi syari’ah, yakni: Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan Badilag dan OJK telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) guna kepentingan itu.
Sebagaimana kita ketahui, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan pada sektor jasa keuangan. Sedangkan tugas kongkrit OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank.[13]
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mualiman D. Haddad menegaskan bahwa hakim-hakim peradilan agama merupakan patner dalam membangun industri keuangan syari’ah secara nasional. Haddad juga menegaskan dukungannya terhadap Pengadilan Agama untuk mengemban amanah konstitusi dalam menyelesaikan ekonomi syari’ah.  
Sebagai bukti bahwa hakim-hakim dalam Lingkungan Peradilan Agama telah digembleng dalam “kawah ekonomi syari’ah”, berikut Penulis sajikan data pendidikan, pelatihan, sertifikasi ataupun pembinaan ekonomi syari’ah yang telah terselenggara:
1.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia, yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2009, peserta 80 hakim.
2.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2010, peserta 99 hakim.
3.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2011, peserta 50 hakim.
4.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2012, peserta 40 hakim.
5.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2013, peserta 100 hakim.
6.        Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Perkara Ekonomi Syari’ah Lingkungan Peradilan Agama Seluruh Indonesia yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA tahun 2013, peserta 120 hakim.
7.        Pelatihan Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Tangerang tahun 2014, peserta 30 hakim.
8.        Pelatihan Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Komisi Yudisial, tahun 2013, peserta 54 hakim.
9.        Pelatahan ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Komisi Yudisial, tahun 2013, peserta 30 hakim.
10.    Pelatihan Tematik Ekonomi Syariah yang diselenggarakan Komisi Yudisial tahun 2014, peserta 40 hakim.
11.    Training of Trainer (ToT) yang diselengggarakan Badilag untuk hakim tahun 2014, peserta 30 hakim.
12.    Pelatihan ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Riyadh, Arab Saudi, Desember 2008-Januari 2009, peserta 30 hakim.
13.    Pelatihan ekonomi syari’ah yang diselenggarakan Badilag di Riyadh, Arab Saudi, Mei-Juni 2009, peserta 40 hakim.
14.    Pelatihan Kompetensi Ekonomi Syari’ah/Perbankan Syari’ah sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Banten bekerja sama dengan Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun 2014.
15.     Pembinaan Teknis Ekonomi Syari’ah dan Pembinaan Administrasi Kepegawaian di Lingkungan Pengadilan Tinggi Agama Makassar, tahun 2014.
16.    Sosialisasi Hukum Acara Ekonomi Syari’ah wilayah Pengadilaan Tinggi Agama Surabaya, tahun 2014.
17.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin, tahun 2014.
18.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung, tahun 2014.
19.    Bimtek Ekonomi Syari’ah dan Kejurusitaan yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Palembang, tahun 2014.
20.    Bimtek Ekonomi Syari’ah sewilayah Papua dan Papua Barat, tahun 2014.
21.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, tahun 2014.
22.    Diskusi Hukum Ekonomi Syari’ah ke-5 di bawah Koordinator IKAHI Cab. Bandung.
23.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Mahkamah Syar’iyah Aceh, tahun 2014.
24.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Jambi, tahun 2014
25.    Bimtek Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Kendari, tahun 2014.
26.    Bimtek Ekonomi Syari’ah Hakim Pengadilan Agama sewilayah Sulawesi Tenggara, tahun 2014.
27.    Pendelegasian tujuh orang hakim ke Sudan oleh Badilag untuk mengkaji ekonomi syari’ah.
28.    Pemberian beasiswa pada tiga hakim oleh Badilag untuk menempuh S3 ekonomi syari’ah di Sudan;
29.    Pendelegasian pelatihan 20 hakim oleh Badilag untuk mengikuti pelatihan ekonomi syari’ah di Inggris;
30.    Diskusi  Hukum Ekonomi Syari’ah yang diselenggarakan Badilag tahun 2014, dengan menghadirkan Mualiman D Haddad, P.hd., Ketua Otoritas Jasa Keuangan sebagai narasumber.
Di samping itu, secara kelembagaan, Badilag juga telah memiliki Subdit Syariah yang berada di bawah naungan Direktorat  Pranata  dan   Tatalaksana. Ini sudah lebih dari cukup.
Majalah Peradilan Agama, edisi 4 Juli 2014, menyajikan berbagai statemen dari pengamat hukum yang percaya penuh atas kapasitas hakim Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya: JM. Muslimin, Ph.D (Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta), Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Prof. Mark Cammack (Guru Besar Southwestern Law School, California, USA).[14]
Bertolak dari data di atas, sangat logis jika Dirjen Badilag, juga segenap insan Peradilan Agama, tegas menyatakan bahwa Pengadilan Agama sangat siap menangani sengketa ekonomi syari’ah.
D.      Pengadilan Niaga Syari’ah Kontraproduktif
Sebenarnya ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah ini bukanlah persoalan besar yang harus dikaji secara komperehensif. Terlebih lagi, ide tersebut bukan lahir dari kajian yang mendalam. Namun demikian, untuk menghindari bola salju yang membesar, ada baiknya ide tersebut diuji urgensinya.
            Hemat penulis, minimal ada lima alasan mengapa ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah harus diredam dan dibekukan:          
Pertama, kegelisahan Penggagas ide pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah bertolak dari ketidakpercayaannya kepada hakim Pengadilan Agama. Kekhawatiran tersebut, secara obyektif telah terjawab oleh data-data yang menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama telah kaya dengan berbagai pelatihan dan sertifikasi ekonomi syari’ah, sebagaimana telah penulis paparkan di atas. Oleh karenanya, kualitas hakim Pengadilan Agama tentu sudah jauh lebih baik dari yang dipersangkakan selama ini.
Jika memang pelatihan-pelatihan tersebut belum cukup mampu untuk menjawab setiap kode unik sengketa, masih ada jurus jitu lain untuk membumikan putusan yang ideal-profesional-berkeadilan: menghadirkan ahli[15] dalam penyelesaian sengketa.  Tentu, ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu yang memang membutuhkan keterangan ahli.
Asas ius curia novit harus dimaknai sebagai kata kerja dinamis, bukan kata benda statis. Asas tersebut harus dimaknai hakim harus berusaha aktif-maksimal untuk mengetahui dan menggali hukum yang berlaku. Bukan dimaknai bahwa hakim secara ujug-ujug tahu segala hukum, tak perlu belajar lagi. Bukan seperti itu. Salah satu bentuk pengejawantahan asas tersebut adalah dengan menggali keterangan ahli/pakar di bidangnya.  Inilah nafas yang diserukan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.[16]
Kehadiran ahli dalam sidang diatur dalam Pasal 70 dan 154 H.I.R. jo Pasal 181 R.Bg. jo Pasal 215 Rv. yang pada pokoknya menyatakan, jika menurut Pengadilan, suatu perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penetapan ahli, maka karena jabatan, atau atas permintaan pihak, pengadilan dapat menghadirkan dan mengangkat ahli tersebut.
Menurut Prof. Dr. Abdul Manan,  keterangan ahli memiliki derajat kekuatan pembuktian yang setara dengan saksi.[17] Oleh karenaya ia memiliki kekuatan bebas (vrijbewijskracht). Sepenuhnya diserahkan pada hakim.[18] Dalam praktek, pemeriksaan ahli digelar dengan beberapa ketentua sebagai berikut: 1) Majelis membuka sidang khusus untuk pemeriksaan ahli, 2) Keterangan ahli disampaikan di bawah sumpah, 3) Keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan atau tertulis, 4) Keterangan ahli ditulis dalam Berita Acara Sidang, 4) Ahli yang lalai dapat dituntut ganti rugi oleh Pengadilan yang memeriksa perkara, 5) Keterangan ahli tidak mengenal asas unus testis nulus testis[19], dan 6) Jika keterangan ahli sejalan dengan pendapat hakim,  maka keterangan tersebut dapat diambil alih menjadi pendapat hakim yang memeriksa perkara.
Sebagai perbandingan, belajar dari pengalaman Mahkamah Konstitusi, apakah kesembilan Hakim Konstitusi tersebut juga menguasai seluruh materi aturan perundangan yang berlaku di Indonesia? Tentu tidak, Namun MK selalu tuntas menyelesaikan tiap judicial review  yang ada. Kuncinya terletak pada penghadiran ahli dalam sidang. Ini patut dijadikan referensi.
Kedua, selain tentang kualitas hakim, para pelaku bisnis juga mengkritisi perangkat hukum Pengadilan Agama yang belum ada. Sebenarnya pernyataan ini juga tidak sepenuhnya benar. Karena sejak 10 September 2008, telah ada Perma Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.[20] Memang, saat ini belum terbit Hukum Acara Ekonomi Syari’ah, namun belakangan ini Badilag tengah gencar mensosialisasikan draft HAES tersebut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentu akan segera terbit. Toh, juga masih ada perangkat hukum acara perdata umum yang dapat diterapkan dalam perkara ekonomi syari’ah.
Ketiga, Pengalaman dari Pengadilan Negeri. Belajar dari pembentukan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Pengadilan Negeri, proses pembentukan dan perkembangan pengadilan tersebut mengalami begitu banyak hambatan:   hambatan payung hukum (membutuhkan waktu  yang lama hanya untuk menunggu landasan hukum untuk membentuk satu pengadilan), hambatan administrasi, serta hambatan pengawasan.
Selain hambatan tersebut, juga ada hambatan lain  terkait sumber daya manusia (hakim ad hoc). Pada realitasnya, hakim ad hoc jarang dimanfaatkan, karena perannya untuk memberi masukan pengetahuan hukum perniagaan,  seringkali—dan memang dapat—digantikan dengan keterangan ahli.[21]  Ini mubadzir. Perlu dijadikan ibrah.
Keempat, Bertentangan dengan azas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kalau tidak salah, hingga saat ini baru ada lima Pengadilan Niaga di seluruh indonesia (Pengadilan Niaga Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar)[22]. Ini bisa dimaklumi. Mengingat pembentukan sebuah pengadilan harus ada payung hukum yang jelas (Kepres). Itu butuh waktu lama. Selain itu juga butuh infrastuktur yang memadahi. Juga butuh waktu lama.
Dapat dibayangkan jika nantinya ide pembentukan Niaga Syari’ah benar direalisasikan. Tentu keberadaannya terbatas pada ibu kota dan sedikit kota besar. Katakanlah Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Lantas, bagaimana jika sengketanya terjadi di Jayapura,  Tahuna, Natuna, atau Sabang? Butuh berapa kali lipat waktu, butuh berapa kali lipat tenaga, butuh berapa kali lipat biaya? Yang jelas azas  sederhana, cepat, biaya ringan hanya akan menjadi mimpi yang terkubur mimpi.
Kelima, untuk kepentingan kepercayaan publik, tidak harus membentuk lemabaga baru yang berlabel syari’ah. Hal itu dapat diupayakan dengan penggantian nama Pengadilan Agama menjadi Pengadilan Syari’ah. Belum lama ini, Ketua Kamar Peradilan Agama MA RI, Dr. H. Andi Syamsu Alam, S.H. melontarkan wacana penggantian nama Pengadilan Agama menjadi Pengadilan Syari’ah. Tentu ini sebagai bentuk respon atas kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah.
Hemat Penulis, wacana tersebut 100% tepat. Ditinjau dari segala aspek. Pertama, dari aspek diksi (pilihan kata). Jujur, hemat Penulis, nama “Pengadilan Agama” sangat rancu. Agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya[23]. Kerancuannya: Apakah memang Pengadilan Agama mengurusi sistem tata keimanan, dan lain-lain, sebagaimana dijelaskan oleh definisi tersebut? Tidak.  Pengadilan Agama hanya menyelesaiakan masalah Hukum Islam, itu pun sangat terbatas. Kerancuan selanjutnya: agama apa saja yang sengketanya diselesaikan di Pengadilan Agama? Semua Agama? Tentu tidak juga, Pengadilan Agama memiliki batas asas personalitas ke-Islaman. Ini tentu berbeda dengan nama “Kementrian Agama” yang memang mengurusi semua agama. Kedua, dari sisi image. Publik terlanjur mempunyai stigma bahwa Pengadilan Agama adalah pengadilan cerai, atau paling tinggi fatwa waris. Diakui atau tidak, suka atau tidak, ini sudah realitas. Nama Pengadilan Syari’ah diharapkan dapat membantu meruntuhkan image yang membonsai tersebut.
Nama Pengadilan Syari’ah memang lebih tepat, atau setidaknya mendekati kata tepat. Merujuk pada Q.S. al-Maidah ayat 48, yang berbunyi:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Lafadz syari’ah—merujuk pada ayat di atas—dapat didefinisikan sebagai norma atau hukum amaliah (terapan) yang diciptakan Allah Swt. untuk mengatur tingkah laku manusia, baik individual maupun kolektif. akupan syari’ah dalam konteks ini terbatas pada ushul fiqh, kaidah fiqh, dan fiqh. Para pakar hukum Islam menyebut definisi ini sebagai definisi syari’ah dalam arti sempit. Bertolak dari definisi syari’ah tersebut, nama “Pengadilan Syari’ah” tentu lebih tepat, ilmiah, dan tidak absurd.
Penutup
a.    Kesimpulan
Pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah kontraproduktif. Minimal ada lima dalil  mengapa  gagasan pembentukan  lembaga tersebut harus diredam dan dibekukan: 1. Hakim Pengadilan Agama telah benar-benar siap menangani sengketa ekonomi syari’ah, 2. Perangkat hukum materiil ekonomi syari’ah telah siap, sedangkan hukum formil nyaris terwujud, 3. Menghindari pengalaman kurang baik dari pembentukan Pengadilan Niaga di lingkungan Pengadilan Negeri, 4. Bertentangan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan 5. Untuk membangin image, tak perlu membangun lembaga baru yang berlabel syari’ah, tapi cukup mengganti nama Pengadilan Agama dengan nama Pengadilan Syari’ah.
b.    Saran
1.      Untuk Pelaku Bisnis
Yakinlah, Pengadilan Agama siap menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah. Kesiapan tersebut bukan ilusi belaka. Tapi berdasarkan data. Jika memang pelatihan, sertifikasi, perkuliahan, dan forum diskusi belum mampu untuk mengurai kerumitan bisnis yang kalian sengketakan, Pengadilan Agama akan berijtihad maksimal untuk menggali hukum tersebut, dengan menghadirkan ahli yang bertanggungjawab dalam bidangnya.

2.      Untuk Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Hemat penulis, tidak ada kata lain yang tepat untuk mengapresiasi jerih payah Badilag dalam merespon amanat konstitusi kecuali kata “salut”. Badilag benar-benar bekerja total. Pekerjaan rumah yang belum tuntas adalah merampung-legalkan Hukum Acara Ekonomi Syari’ah. Oleh karena iru, saran yang dapat penulis sampaikan hanyalah: lanjutkan!









Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, edisi revisi. Semarang: Kumudasmoro Grafindo, 1994.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6,  Jakarta: Kencana, 2012.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Yogyakarta:  UII Press, 2013.
Ahmad Mujahidin Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Bogor: Galia Indonesia, 2010.
Andriani Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai Cikal Penyelesaian Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, artikel disampaiakan pada Seminar Nasional tentang Reformulasi Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Hotel Grand Candi Semarang.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Undang-undang No. 12 tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang No. 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (R.bg.).
Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014.
Majalah Peradilan Agama, Edisi 4 I Juli 2014
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/05/08/n57xgm-pengadilan-agama-dinilai-tak-siap-sidangkan-sengketa-perbankan-syariah

http://natsirasnawi.blogspot.com/2008/05/kesiapan-hakim-pengadilan-agama.html

http://kbbi.web.id/agama

























Curiculum Vitae

Nama                                       : Ahmad Zainul Anam, S.H.I., M.S.I.
Nip                                          : 198412282011011008
Pangkat/Golongan Ruang       : Penata Muda Tingkat I/IIIb
Satker                                      : Pengadilan Agama Kab. Kediri
Jabatan                                                : Panitera Pengganti Lokal/Cakim

























Surat Pernyataan Keaslian

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                       : Ahmad Zainul Anam, S.H.I., M.S.I.
NIP                           : 1989412282011011008
Satker                        : Pengadilan Agama Kab. Kediri       
Judul Artikel             : Meredam Wacana Pembentukan Pengadilan Niaga Syari’ah
Menyatakan bahwa artikel tersebut  adalah benar-benar karya asli  saya sendiri. Saya akan bersedia menanggung segala tuntutan jika di kemudian hari ada pihak yang merasa dirugikan baik secara pribadi maupun tuntutan secara hukum.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk digunakan sebagaimana mestinnya
Kediri 21 Juli 2014
Hormat kami,
                                                                                   
                                                                                    Ahmad Z. Anam







[1]  Panitera Pengganti Lokal dan Cakim pada Pengadilan Agama Kab. Kediri.
[3] Padahal, sejatinya asas personalitas ke-Islaman dalam perkara ekonomi syari’ah terletak pada bentuk akad yang dibangun. Lihat: Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Galia Indonesia: Bogor, 2010) hlm. 31.  
[4] Andriani Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai Cikal Penyelesaian Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, artikel disampaikan pada Seminar Nasional tentang Reformulasi Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Hotel Grand Candi Semarang, 08 Juni 2006.
[5] Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Penjelasan: Yang imaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.
[6] Pencantuman waktu selesainya pembacaan putusan tersebut termaktub dalam bagian penutup putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
[7] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/05/08/n57xgm-pengadilan-agama-dinilai-tak-siap-sidangkan-sengketa-perbankan-syariah

[8] Natsir Asnawi, Kesiapan Hakim Pengadilan Agama Menangani Sengketa Ekonomi Syariah, artikel dalam http://natsirasnawi.blogspot.com/2008/05/kesiapan-hakim-pengadilan-agama.html

[9] Dialektik (dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak masa yunani kuno ketika diintrodusir pemahaman bahwa segala sesuatu berubah (panta rei). Kemudian Hegel menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam trilogi tesis, anti-tesis dan sintesis. Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena berlaku hukum dialektik, yang absolut hanyalah semangat revolusionernya (perubahan/pertentangan atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis) http://id.wikipedia.org/wiki/Dialektik
[10] Pengadilan Agama Sangat Siap Menangani Sengketa Ekonomi Syari’ah, Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014, hlm. 45.
[11] Berdasarkan surat nomor 0738/DJA/PP.00./V/2012, Dirjen telah memanggil sejumlah Hakim Pengadilan Agama untuk mengikuti Pelatihan Hukum Ekonomi Syari'ah ke Arab Saudi.
[12] Kompas, Sengketa Bank Syariah Diputus Lewat Peradilan Agama, tanggal 03 Mei 2013.
[13] www.badilag.net
[14] Majalah Peradilan Agama, Edisi 4 I Juli 2014, hlm.3 
[15]   Dalam praktek seringkali terjadi kesalah-kaprahan penyebutan dengan istilah: “saksi ahli”, yang lebih tepat (sesuai perundangan) :“ahli”.
[16]  Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
[17] Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana, 2005) hlm. 272.
[18] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia,  (UII Press: Yogyakarta, 2013) hlm. 100.
[19] Drs. H. A. Mukti Arto, S.H., Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. Ke-VIII (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm. 200.
[20] Pasal 8  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan: bahwa selain tujuh aturan perundangan yang baku, juga terdapat beberapa aturan lain yang berlaku dan mengikat. Salah satunya adalah peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung (PERMA).
[21]  Andriani Nurdin, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa...hlm. 16.
[22]  Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999.
[23] http://kbbi.web.id/agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar