Senin, 21 Desember 2015

Tadarus Risalah Al-Qadha' Umar ibn Khattab
(Kajian Asas Peradilan Perdata Islam)

Ahmad  Z. Anam[1]

Kita terlalu terbiasa menutur dan menulis istilah keinggris-inggrisan, juga kebelanda-belandaan dalam setiap terminologi hukum, termasuk dalam asas peradilan. Misal: audi et alteram partem, equality under the law, pact sunt servanda, dan lex superior derograt legi inferiori. Terlihat lebih keren? Mungkin. Ini sah-sah saja; tak ada yang melarang.
Terlepas dari itu semua, sebaiknya kita tidak tercerabut dari akar. Dalam khazanah keilmuan (hukum) Islam sendiri, asas peradilan telah lama dicetuskan, kisaran 1400 tahun yang lalu. Salah satunya adalah asas peradilan yang termaktub dalam Risalah Al-Qadha' Umar ibn Khattab. Inilah tema tadarus kita pada tulisan ini.
Sebelum jauh mengkaji, ada baiknya kita baca risalah tersebut:

عن أبى العوام البصرى قال : كتب عمر إلى أبى موسى الأشعرى أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له

وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك

البينة على من ادعى واليمين على من أنكر

والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحل حراما أو حرم حلالا

ومن ادعى حقا غائبا أو بينة فاضرب له أمدا ينتهى إليه ، فإن جاء ببينة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضية فإن ذلك ابلغ فى العذر وأجلى للعمى

ولا يمنعك من قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل

والمسلمون عدول بعضهم على بعض فى الشهادة إلا مجلودا فى حد أو مجربا عليه شهادة الزور أو ظنينا فى ولاء أو قرابة فإن الله تولى من العباد السرائر وستر عليهم الحدود إلا بالبينات والأيمان

ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه ، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق

وإياك والغضب والقلق والضجر والتأذى بالناس عند الخصومة والتنكر فإن القضاء فى مواطن الحق يوجب الله له الأجر ويحسن له الذخر فمن خلصت نيته فى الحق ولو كان على نفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس ، ومن تزين لهم بما ليس فى قلبه شانه الله فإن الله لا يقبل من العباد إلا ما كان له خالصا وما ظنك بثواب الله فى عاجل رزقه وخزائن رحمته والسلام
Menurut hemat penulis, artinya kurang lebih sebagai berikut (maaf jika kurang tepat);

Diriwayatkan dari Abu al-Awwam Al-Bashri, Beliau berkata: Umar bin Khattab menulis surat (keputusan) kepada Abu Musa Al-As’ary, amma ba’du: Sesungguhnya peradilan adalah kewajiban yang telah ditetapkan dan sunnah yang wajib diikuti. Fahamilah, jika perkara diajukan kepadamu, karena sesungguhnya pernyataan tentang suatu kebenaran tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan (dieksekusi).
Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu (pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang yang mulia (memiliki kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu dayamu dan orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu.
Pembuktian itu dibebankan kepada yang mendalilkan hak, adapun sumpah dibebankan kepada yang mengingkarinya.
Perdamaian dibenarkan bagi (orang yang bersengketa) dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara halal.
Barang siapa mendalihkan hak yang belum jelas atau sesuatu yang jelas, maka (jika bukti-bukti yang akan diajukan belum terkumpul) berikanlah ia waktu (penundaan pemeriksaan). Jika ia dapat mengajukan bukti-bukti tersebut, maka berikanlah haknya. Jika ia tidak dapat mengajukan bukti, maka engkau bebas memberikan putusan padanya. Karena pemberian waktu yang ditentukan (penundaan) itu  adalah sebaik-baiknya penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang samar.
Tidak ada larangan bagimu untuk mengadili ulang atas keputusan yang engkau tetapkan di hari yang lampau, yakni dengan meninjaunya kembali. Hal ini diperbolehkan jika engkau mendapat petunjuk (baru).  Seyogyanya engkau meninjau ulang perkara tersebut demi sebuah kebenaran. Sungguh, kebenaran  itu adalah qodim dan tidak ada hal apapun yang dapat membatalkan kebenaran. Meninjau  ulang sebuah perkara demi kebenaran itu jauh lebih baik daripada terus menerus berkubang dalam kesesatan.
Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka dalam persaksian, kecuali orang yang pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukuman jilid (dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya sebab kerabat. Sesungguhnya Allah menguasai rahasia hati hamba-Nya dan melindungi mereka dari hukuman kecuali telah ternyata bersalah  dengan berdasar bukti-bukti yang sah  atau sumpah.
Kemudian fahamilah. fahamilah. Jika engkau diserahi suatu perkara yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau as-Sunnah. Pergunakanlah qiyas terhadap perkara tersebut; kaji dan telitilah contoh-contoh perkara lain (yang serupa), kemudian berpeganglah pada keyakinanmu atas hal  yang terbaik di sisi Allah dan hal yang paling mendekati kebenaran.
Jauhilah sifat membenci, mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia saat terjadi persengketaan atau permusuhan. Sesungguhnya peradilan itu berada di wilayah (posisi) yang haq. Allah telah mewajibkan pahala di dalamnya dan juga memberikan peringatan yang baik. Siapapun yang berniat ikhlas untuk menegakkan kebenaran, walaupun atas dirinya sendiri, Allah akan mencukupkan (kebutuhan) antara dirinya dan  manusia lain. Barang siapa yang berhias diri dengan apa yang tidak ada pada hatinya (bertindak tidak sesuai nurani), maka Allah akan memberikan aib kepadanya. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima (amal perbuatan) dari hamba-Nya kecuali dilandasi keikhlasan. Adapun pahala yang engkau harapkan  dalam hal peradilan ini, insyaallah, Dia akan menganugerahkan kepadamu, berkat kebesaran rahmatnya. Wassalam.
Dari risalah tersebut, minimal ada tujuh asas peradilan yang dicetuskan Umar ibn Khattab yang mungkin saja jarang, atau bahkan tidak pernah kita kaji lebih dalam.
Pertama:
فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك

Sesungguhnya peradilan adalah kewajiban yang telah ditetapkan dan sunnah yang harus diikuti. Fahamilah, jika perkara diajukan kepadamu.”

Dalam konteks ini, kita garisbawahi kata إذا أدلى إليك, lafad أدلى  merupakan fi’il majhul (kata kerja pasif), tidak ada fa’il-nya. Jadi, kalimat إذا أدلى إليك dapat diterjemahkan dengan: jika (perkara) diajukan kepadamu.  Artinya, bukan hakim yang mencari-cari perkara untuk diselesaikan. Tapi perkaralah yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa, diadili, diputus, dan diselesaikan. Hakim dalam hukum perdata bersifat pasif. Belakangan ini, asas tersebut biasa kita sebut dengan Lijdelijkeheid Van De Rehter.

Kedua:
وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك
“Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu (pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang yang mulia (memiliki kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu dayamu dan orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu”.
Hakim harus berlaku adil. Perilaku tersebut merupakan salah satu poin Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang harus diresapi dan dibumikan. Hakim harus memperlakukan sama semua orang di depan hukum, baik dalam masa pra-persidangan, selama dalam persidangan, juga pasca-persidangan. Orang “modern” menyebut asas tersebut dengan asas equality before the law, equality under the law, impartiality, dan juga audi et alteram partem.

Ketiga:
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
“Pembuktian itu dibebankan kepada yang mendalihkan hak, adapun sumpah dibebankan kepada yang mengingkarinya”
Dalam teori pembuktian, antara pihak yang mendalilkan hak dengan orang yang mengingkari hak, harus sama-sama diberi hak berimbang untuk menguatkan dalil atau sanggahannya. Pemberian kesempatan pembuktian yang tidak berimbang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang, dan putusannya dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Asas pembuktian berimbang inilah yang biasa kita sebut dengan istilah populer bewijstals yang imparsial.

Keempat:
والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحل حراما أو حرم حلالا
“Perdamaian dibenarkan bagi (orang yang bersengketa) dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara halal.”
Perdamaian adalah sayyid al-ahkam. Ia merupakan cita-cita tertinggi hukum. Al-Qur’an tegas mengatakan bahwa wa ash-shulhu khair. Perdamaian merupakan solusi yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan sebuah sengketa. Oleh karena itu, keberadaannya diakui dalam kontelasi hukum nasional. Sebuah perdamaian yang dukukuhkan dalam putusan secara otomatis memiliki kekatan hukum mengikat. Dalam istilah hukum nasional, perdamaian ini biasa disebut asas Pacta Sunt Servanda.
Kelima:
فإن جاء ببينة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه
“Jika ia dapat mengajukan bukti-bukti tersebut, maka berikanlah haknya. Jika ia tidak dapat mengajukan bukti, maka engkau bebas memberikan putusan padanya”
Poin yang kita cermati dalam statemen di atas adalah pentingnya rasionalisasi dan argumentasi hakim dalam putusan. Tidak boleh ada putusan yang ujug-ujug; tiba-tiba muncul. Setiap amar putusan harus disertai alasan yang berdasar hukum. Atau, dalam konteks sekarang, kita sebut dengan asas setiap putusan hakim harus disertai legal reasoning.
Keenam:
ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه
“Kemudian fahamilah. fahamilah. Jika engkau diserahi suatu perkara yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau as-Sunnah. Pergunakanlah qiyas terhadap perkara tersebut; kaji dan telitilah contoh-contoh perkara lain (yang serupa)”
Hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Hakim harus berupaya menggali hukum yang hidup dalam realitas kehidupan sosial. Hakim harus berijtihad, karena dianggap tahu tentang semua hukum. Pakar hukum modern menyebut asas tersebut dengan istilah  ius curia novit.
Ketujuh:
 ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق
“Kemudian berpeganglah pada keyakinanmu atas hal  yang terbaik di sisi Allah dan hal yang paling mendekati kebenaran”
Terakhir, asas yang paling fundamental: putusan harus harus diorientasikan pada keadilan Ilahiyyah. Sebuah putusan dapat dibatalkan demi hukum jika tidak bersandar pada asas tersebut. Implementasinya, setiap putusan harus mencantumkan irah-irah “Demi keadilan berdasarakan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah asas terpenting yang seharusnya bukan hanya dijadikan irah-irah dalam teks putusan hakim, tapi lebih dari itu: irah-irah hati para hakim. Amien.
Demikianlah setetes khazanah keilmuan Hukum Islam dari jutaan, milyaran, atau bahakan trilyunan khazanah lainnya. Bolehlah kita berbangga dengan peristilahan modern, namun harus tetap memahami akar keilmuan qadhim. Untuk apa? Sederhana saja: agar kita tidak kuwalat; agar tidak menjadi generasi yang tercerabut dari akar, dan agar tidak “dikutuk” menjadi menjadi kacang yang lupa kulit. Wassalam.




[1] Hakim Pengadilan Agama Mentok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar