Tadarus Risalah
Al-Qadha' Umar ibn Khattab
(Kajian Asas Peradilan
Perdata Islam)
Ahmad Z. Anam[1]
Kita terlalu terbiasa menutur dan menulis istilah
keinggris-inggrisan, juga kebelanda-belandaan dalam setiap terminologi hukum,
termasuk dalam asas peradilan. Misal: audi et alteram partem, equality under
the law, pact sunt servanda, dan lex superior derograt legi inferiori. Terlihat
lebih keren? Mungkin. Ini sah-sah saja; tak ada yang melarang.
Terlepas dari itu semua, sebaiknya kita tidak tercerabut
dari akar. Dalam khazanah keilmuan (hukum) Islam sendiri, asas peradilan telah lama
dicetuskan, kisaran 1400 tahun yang lalu. Salah satunya adalah asas peradilan yang
termaktub dalam Risalah Al-Qadha' Umar ibn Khattab. Inilah tema tadarus
kita pada tulisan ini.
عن أبى العوام البصرى قال : كتب عمر إلى أبى موسى الأشعرى أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له
وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا
ييأس ضعيف من عدلك
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحل حراما أو حرم حلالا
ومن ادعى حقا غائبا أو بينة فاضرب له أمدا ينتهى إليه ، فإن جاء
ببينة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضية فإن ذلك ابلغ فى العذر
وأجلى للعمى
ولا يمنعك من قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن
تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل
والمسلمون عدول بعضهم على بعض فى الشهادة إلا مجلودا فى حد أو مجربا
عليه شهادة الزور أو ظنينا فى ولاء أو قرابة فإن الله تولى من العباد السرائر وستر
عليهم الحدود إلا بالبينات والأيمان
ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس
الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه ، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى
وأشبهها بالحق
وإياك والغضب والقلق والضجر والتأذى بالناس عند الخصومة والتنكر فإن
القضاء فى مواطن الحق يوجب الله له الأجر ويحسن له الذخر فمن خلصت نيته فى الحق
ولو كان على نفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس ، ومن تزين لهم بما ليس فى قلبه
شانه الله فإن الله لا يقبل من العباد إلا ما كان له خالصا وما ظنك بثواب الله فى
عاجل رزقه وخزائن رحمته والسلام
Menurut hemat penulis, artinya kurang
lebih sebagai berikut (maaf jika kurang tepat);
Diriwayatkan dari Abu al-Awwam Al-Bashri, Beliau
berkata: Umar bin Khattab menulis surat (keputusan) kepada Abu Musa Al-As’ary,
amma ba’du: Sesungguhnya peradilan adalah kewajiban yang telah ditetapkan dan
sunnah yang wajib diikuti. Fahamilah, jika perkara diajukan kepadamu, karena
sesungguhnya pernyataan tentang suatu kebenaran tidak akan berarti apa-apa jika
tidak dapat dilaksanakan (dieksekusi).
Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu
(pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang yang mulia (memiliki
kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu dayamu dan orang yang lemah tidak berputus
asa dari keadilanmu.
Pembuktian itu dibebankan kepada yang mendalilkan
hak, adapun sumpah dibebankan kepada yang mengingkarinya.
Perdamaian dibenarkan bagi (orang yang
bersengketa) dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara
haram atau mengharamkan perkara halal.
Barang siapa mendalihkan hak yang belum jelas
atau sesuatu yang jelas, maka (jika bukti-bukti yang akan diajukan belum
terkumpul) berikanlah ia waktu (penundaan pemeriksaan). Jika ia dapat
mengajukan bukti-bukti tersebut, maka berikanlah haknya. Jika ia tidak dapat
mengajukan bukti, maka engkau bebas memberikan putusan padanya. Karena
pemberian waktu yang ditentukan (penundaan) itu
adalah sebaik-baiknya penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang
samar.
Tidak ada larangan bagimu untuk mengadili ulang
atas keputusan yang engkau tetapkan di hari yang lampau, yakni dengan
meninjaunya kembali. Hal ini diperbolehkan jika engkau mendapat petunjuk
(baru). Seyogyanya engkau meninjau ulang
perkara tersebut demi sebuah kebenaran. Sungguh, kebenaran itu
adalah qodim dan tidak ada hal apapun yang dapat membatalkan kebenaran.
Meninjau ulang sebuah perkara demi
kebenaran itu jauh lebih baik daripada terus menerus berkubang dalam kesesatan.
Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang adil
terhadap sesama mereka dalam persaksian, kecuali orang yang pernah bersumpah
palsu atau orang yang pernah dikenakan hukuman jilid (dera) atau orang yang
tertuduh dalam kesaksiannya sebab kerabat. Sesungguhnya Allah menguasai rahasia
hati hamba-Nya dan melindungi mereka dari hukuman kecuali telah ternyata
bersalah dengan berdasar bukti-bukti
yang sah atau sumpah.
Kemudian fahamilah. fahamilah. Jika engkau diserahi suatu perkara
yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau as-Sunnah. Pergunakanlah qiyas
terhadap perkara tersebut; kaji dan telitilah contoh-contoh perkara lain (yang
serupa), kemudian berpeganglah pada keyakinanmu atas hal yang terbaik di sisi Allah dan hal yang
paling mendekati kebenaran.
Jauhilah sifat membenci, mengacau, membosankan,
menyakiti hati manusia saat terjadi persengketaan atau permusuhan. Sesungguhnya
peradilan itu berada di wilayah (posisi) yang haq. Allah telah mewajibkan
pahala di dalamnya dan juga memberikan peringatan yang baik. Siapapun yang
berniat ikhlas untuk menegakkan kebenaran, walaupun atas dirinya sendiri, Allah
akan mencukupkan (kebutuhan) antara dirinya dan
manusia lain. Barang siapa yang berhias diri dengan apa yang tidak ada
pada hatinya (bertindak tidak sesuai nurani), maka Allah akan memberikan aib
kepadanya. Sesungguhnya Allah tidak
akan menerima (amal perbuatan) dari hamba-Nya kecuali dilandasi keikhlasan.
Adapun pahala yang engkau harapkan dalam
hal peradilan ini, insyaallah, Dia akan menganugerahkan kepadamu, berkat
kebesaran rahmatnya. Wassalam.
Dari risalah tersebut, minimal ada tujuh asas peradilan yang
dicetuskan Umar ibn Khattab yang mungkin saja jarang, atau bahkan tidak pernah
kita kaji lebih dalam.
Pertama:
فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك
“Sesungguhnya
peradilan adalah kewajiban yang telah ditetapkan dan sunnah yang harus diikuti.
Fahamilah, jika perkara diajukan kepadamu.”
Dalam konteks ini,
kita garisbawahi kata إذا
أدلى إليك, lafad أدلى
merupakan fi’il majhul (kata kerja pasif), tidak ada fa’il-nya.
Jadi, kalimat إذا
أدلى إليك
dapat diterjemahkan dengan: jika (perkara) diajukan kepadamu. Artinya, bukan hakim yang mencari-cari
perkara untuk diselesaikan. Tapi perkaralah yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa, diadili, diputus, dan diselesaikan. Hakim dalam hukum perdata bersifat
pasif. Belakangan ini, asas tersebut biasa kita sebut dengan Lijdelijkeheid
Van De Rehter.
Kedua:
وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا
ييأس ضعيف من عدلك
“Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu
(pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu, sehingga orang yang mulia (memiliki
kekuasaan) tidak tamak terhadap tipu dayamu dan orang yang lemah tidak berputus
asa dari keadilanmu”.
Hakim harus berlaku adil. Perilaku tersebut
merupakan salah satu poin Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang
harus diresapi dan dibumikan. Hakim harus memperlakukan sama semua orang di
depan hukum, baik dalam masa pra-persidangan, selama dalam persidangan, juga pasca-persidangan.
Orang “modern” menyebut asas tersebut dengan asas equality before the law,
equality under the law, impartiality, dan juga audi et alteram partem.
Ketiga:
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
“Pembuktian itu dibebankan kepada yang mendalihkan hak, adapun
sumpah dibebankan kepada yang mengingkarinya”
Dalam teori pembuktian, antara pihak yang
mendalilkan hak dengan orang yang mengingkari hak, harus sama-sama diberi hak
berimbang untuk menguatkan dalil atau sanggahannya. Pemberian kesempatan
pembuktian yang tidak berimbang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang,
dan putusannya dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Asas
pembuktian berimbang inilah yang biasa kita sebut dengan istilah populer bewijstals
yang imparsial.
Keempat:
والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحل حراما أو حرم حلالا
“Perdamaian dibenarkan bagi (orang yang bersengketa) dari
kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara haram atau
mengharamkan perkara halal.”
Perdamaian adalah sayyid al-ahkam. Ia
merupakan cita-cita tertinggi hukum. Al-Qur’an tegas mengatakan bahwa wa
ash-shulhu khair. Perdamaian merupakan
solusi yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan sebuah sengketa. Oleh
karena itu, keberadaannya diakui dalam kontelasi hukum nasional. Sebuah
perdamaian yang dukukuhkan dalam putusan secara otomatis memiliki kekatan hukum
mengikat. Dalam istilah hukum nasional, perdamaian ini biasa disebut asas Pacta
Sunt Servanda.
Kelima:
فإن جاء ببينة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه
“Jika ia dapat mengajukan bukti-bukti
tersebut, maka berikanlah haknya. Jika ia tidak dapat mengajukan bukti, maka
engkau bebas memberikan putusan padanya”
Poin yang kita cermati dalam statemen di
atas adalah pentingnya rasionalisasi dan argumentasi hakim dalam putusan. Tidak
boleh ada putusan yang ujug-ujug; tiba-tiba muncul. Setiap amar
putusan harus disertai alasan yang berdasar hukum. Atau, dalam konteks
sekarang, kita sebut dengan asas setiap putusan hakim harus disertai legal
reasoning.
Keenam:
ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس
الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه
“Kemudian fahamilah. fahamilah. Jika engkau diserahi suatu perkara
yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau as-Sunnah. Pergunakanlah qiyas
terhadap perkara tersebut; kaji dan telitilah contoh-contoh perkara lain (yang
serupa)”
Hakim tidak boleh menolak memeriksa perkara
dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur. Hakim harus berupaya menggali
hukum yang hidup dalam realitas kehidupan sosial. Hakim harus berijtihad,
karena dianggap tahu tentang semua hukum. Pakar hukum modern menyebut asas
tersebut dengan istilah ius curia
novit.
Ketujuh:
ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها
بالحق
“Kemudian berpeganglah pada keyakinanmu
atas hal yang terbaik di sisi Allah dan
hal yang paling mendekati kebenaran”
Terakhir, asas yang paling fundamental:
putusan harus harus diorientasikan pada keadilan Ilahiyyah. Sebuah putusan dapat
dibatalkan demi hukum jika tidak bersandar pada asas tersebut. Implementasinya,
setiap putusan harus mencantumkan irah-irah “Demi keadilan berdasarakan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah asas terpenting yang seharusnya bukan hanya
dijadikan irah-irah dalam teks putusan hakim, tapi lebih dari itu: irah-irah
hati para hakim. Amien.
Demikianlah setetes
khazanah keilmuan Hukum Islam dari jutaan, milyaran, atau bahakan trilyunan
khazanah lainnya. Bolehlah kita berbangga dengan peristilahan modern, namun
harus tetap memahami akar keilmuan qadhim. Untuk apa? Sederhana saja:
agar kita tidak kuwalat; agar tidak menjadi generasi yang tercerabut
dari akar, dan agar tidak “dikutuk” menjadi menjadi kacang yang lupa kulit.
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar