Senin, 21 Desember 2015

Menyikapi Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan
Oleh:
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pratama Muda PA Mentok)
MUI memfatwakan bahwa BPJS Kesehatan tak sesuai syari’ah. Istilah fikihnya: haram. Hal ini disebabkan karena pengelolaannya dinilai mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (pertaruhan), dan riba. Fatwa itu kini jadi polemik. Ada pihak yang pro, kontra, bahkan bingung.

Langkah kurang tepat
MUI memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Pihak manapun tidak akan mempersoalkan kewenangan MUI untuk berfatwa kepada mustafti (orang atau pihak yang meminta fatwa). Sampai di titik ini, tidak ada yang salah.
Masalah baru muncul saat MUI kurang tepat melangkah. Lembaga fatwa tersebut menyampaikan fatwanya tidak sebatas kepada pihak mustafti, tapi ke seluruh umat Islam Indonesia, melalui konferensi pers. Walhasil, dalam hitungan jam “chaos” pun terjadi.
Umat adalah kemajemukan. Memiliki tingkat sensitifitas berbeda-beda. Umat butuh diayomi. Bukan dibuat bingung. Ini yang harus difahami MUI. Kurang tepat rasanya, jika MUI, sebagai pembimbing umat, tiba-tiba mengebom fatwa BPJS Kesehatan haram, di tengah stabilitas “ke-BPJS-an”. MUI seperti “melempar petasan di tengah keramaian”.
Seharusnya MUI menempuh langkah yang lebih elegan. Berkoordinasi dengan para pemangku kebijakan (BPJS, Menkes, serta OJK) adalah pilihan bijak. Upaya ini tentu dapat menghindarkan kegaduhan umat, serta lebih efektif-efisien untuk mencapai tujuan.
Kekuatan fatwa
Terdapat tiga jenis produk hukum Islam: qanun (aturan perundangan), qadha’ (putusan pengadilan), serta fatwa. Masing-masing memiliki kekuatan berbeda-beda.
Qanun bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Terdapat sanksi dan hukuman atas pelanggaran terhadapnya. Qadha’ juga memiliki kekuatan yang mengikat dan wajib dilaksanakan.  Bedanya, qadha’ hanya mengikat bagi pihak-pihak yang ditentukan dalam sebuah qadha’. Berbeda dengan qanun dan qadha’, fatwa tidak mempunyai kekuatan mengikat. Artinya, seorang muslim diberi kebebasan untuk menerima atau menolak sebuah fatwa. Tidak ada sanksi dan larangan (baca: dosa) bagi orang yang melanggar fatwa.
Sikap umat?
Polemik terlanjur terjadi. Lantas, harus bagaimana umat menyikapi relitas tersebut? Jika dikelompokkan, minimal ada tiga kelompok yang memiliki perbedaan pandangan atas fenomena fatwa ini:  setuju, tidak setuju, dan tidak (mau) tahu. Ketiga kelompok tersebut harus menampilkan sikap (reaksi) terbaik masing-masing. Agar polemik tidak berujung pada gaduh berkepanjangan. Sikap yang penulis tawarkan adalah:
A. Bagi kelompok pro fatwa
Secara subtantif, penulis juga sepakat dengan materi fatwa MUI. Minimal adal lima poin yang harus disoroti atas penyelenggaraan BPJS Kesehatan.
Pertama: akad. Menurut ketentuan syari’ah, akad sebuah transaksi harus jelas. Bagaimana status keperdataan BPJS Kesehatan dengan peserta harus gamblang dalam akad (minimal dalam formulir). Apakah sifat akadnya ta’awuni (mutual), jual beli servis, atau hibah? ini harus jelas. Realitasnya ini belumlah terpenuhi.
Kedua: status harta. Setelah dana iuran peserta terkumpul, lantas dana tersebut menjadi milik siapa? BPJSkah? Pesertakah?  Ini juga belum jelas.
Ketiga: investasi. Dana yang terkumpul di BPJS Kesehatan tidaklah kecil: mencapai trilyunan rupiah. Pertanyaannya adalah, atas dana yang terkumpul (yang belum terpakai) tersebut disimpan (diinvestasikan) dimana? Kalau diinvesatiskan di perbankan non-syari’ah, dengan sistem bunga, tentu ini riba. Jatuhnya haram.
Keempat: denda.  Pasal 17 A Ayat (2) dan (4) Perpres Nomor 111 tahun 2011 dan Pasal 35 Ayat (4) dan (5) Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 tahun 2014 mengatur denda (bunga) keterlambatan pembayaran iuran. Inilah celah ketidakadilan yang tidak sesuai syari’ah.  Lagi pula, tidak ada transparansi kemana uang denda ini berjalan. Apakah kembali ke dana amanat, atau other income.
Kelima: pemberhentian jaminan peserta. Jika dalam batas tempo yang telah ditentukan, peserta belum juga membayar iurannya, maka BPJS Kesehatan akan memberhentikan (sementara?) penjaminannya. Ini tentu juga merugikan peserta. Ini juga tentu mengandung unsur pertaruhan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Namun, meski penyelenggaraan BPJS Kesehatan belum 100% sesuai dengan syari’ah, tapi setidaknya tujuan utamanya telah linier dengan prinsip syari’ah: ta’awun, tolong-menolong. Kekurangan masih bisa disempurnakan. Sembari menunggu terwujudnya BPJS Kesehatan yang total syar’i, tidak ada salahnya kita tetap setia pada BPJS Kesehatan yang saat ini ada. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, hal yang tidak bisa didapatkan secara total, maka tidak boleh ditinggalkan secara total. Tidak perlu boikot; keluar dari kepesertaan. Toh, MUI juga menyarankan kita tetap mensupport BPJS Kesehatan yang saat ini ada.
B. Bagi kelompok kontra fatwa
Seperti yang telah disinggung di awal, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat. Sah-sah saja seoarang muslim menolak fatwa MUI tersebut. Toh ada pendapat lain, dari dr. Erwandi Tarmizi, yang menyatakan secara umum regulasi BPJS Kesehatan saat ini telah sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Bagi kelompok ini, tentunya mereka berada di zona nyaman. Namun demikian, tentunya harus tetap menghargai pendapat yang pro terhadap fatwa MUI. Tidak perlu ada saling serang argumen.
C. Bagi kelompok yang tidak (mau) tahu
Jujur, polemik ini cukup membingungkan. Saling sahut komentar antara MUI, BPJS, juga DPR RI membuat publik semakin bingung.  Dengan beberapa pemaparan di atas, semoga kebingungan tersebut dapat sedikit terurai.

Namun, jika hingga di titik ini tetap saja masih bingung, bolehlah kita apriori (acuh). Tetap perlakukan BPJS Kesehatan seperti sedia kala, seperti sebelum polemik ini muncul. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.  Toh, sekali lagi, fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar