Menyikapi
Fatwa MUI tentang BPJS
Kesehatan

Oleh:
Ahmad Z. Anam
(Hakim
Pratama Muda PA Mentok)
MUI memfatwakan bahwa BPJS Kesehatan tak sesuai
syari’ah. Istilah fikihnya: haram. Hal ini disebabkan karena pengelolaannya
dinilai mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir
(pertaruhan), dan riba. Fatwa itu kini jadi polemik. Ada pihak yang pro,
kontra, bahkan bingung.
Langkah kurang tepat
MUI memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Pihak
manapun tidak akan mempersoalkan kewenangan MUI untuk berfatwa kepada mustafti
(orang atau pihak yang meminta fatwa). Sampai di titik ini, tidak ada yang
salah.
Masalah baru muncul saat MUI kurang tepat melangkah. Lembaga fatwa tersebut menyampaikan
fatwanya tidak
sebatas kepada pihak mustafti, tapi ke seluruh umat Islam Indonesia,
melalui konferensi pers. Walhasil, dalam hitungan jam “chaos” pun
terjadi.
Umat adalah kemajemukan. Memiliki tingkat sensitifitas
berbeda-beda. Umat butuh diayomi. Bukan dibuat bingung. Ini yang harus difahami
MUI. Kurang tepat rasanya, jika MUI, sebagai pembimbing umat, tiba-tiba mengebom
fatwa BPJS Kesehatan haram, di tengah stabilitas “ke-BPJS-an”. MUI seperti
“melempar petasan di tengah keramaian”.
Seharusnya MUI menempuh langkah yang lebih elegan.
Berkoordinasi dengan para pemangku kebijakan (BPJS, Menkes, serta OJK) adalah pilihan
bijak. Upaya ini tentu dapat menghindarkan kegaduhan umat, serta lebih
efektif-efisien untuk mencapai tujuan.
Kekuatan fatwa
Terdapat tiga jenis produk hukum Islam: qanun (aturan
perundangan), qadha’ (putusan pengadilan), serta fatwa. Masing-masing
memiliki kekuatan berbeda-beda.
Qanun bersifat mengikat dan
wajib dilaksanakan. Terdapat sanksi dan hukuman atas pelanggaran terhadapnya. Qadha’
juga memiliki kekuatan yang mengikat dan wajib dilaksanakan. Bedanya, qadha’ hanya mengikat bagi pihak-pihak
yang ditentukan dalam sebuah qadha’. Berbeda dengan qanun dan qadha’,
fatwa tidak mempunyai kekuatan mengikat. Artinya, seorang muslim diberi
kebebasan untuk menerima atau menolak sebuah fatwa. Tidak ada sanksi dan
larangan (baca: dosa) bagi orang yang melanggar fatwa.
Sikap umat?
Polemik terlanjur
terjadi. Lantas, harus bagaimana umat menyikapi relitas tersebut? Jika
dikelompokkan, minimal ada tiga kelompok yang memiliki perbedaan pandangan atas
fenomena fatwa ini: setuju, tidak
setuju, dan tidak (mau) tahu. Ketiga kelompok tersebut harus menampilkan sikap (reaksi)
terbaik masing-masing. Agar polemik tidak berujung pada gaduh berkepanjangan. Sikap
yang penulis tawarkan adalah:
A. Bagi kelompok pro
fatwa
Secara subtantif,
penulis juga sepakat dengan materi fatwa MUI. Minimal adal lima poin yang harus
disoroti atas penyelenggaraan BPJS Kesehatan.
Pertama: akad. Menurut ketentuan
syari’ah, akad sebuah transaksi harus jelas. Bagaimana status keperdataan BPJS Kesehatan
dengan peserta harus gamblang dalam akad (minimal dalam formulir). Apakah sifat
akadnya ta’awuni (mutual), jual beli servis, atau hibah? ini harus
jelas. Realitasnya ini belumlah terpenuhi.
Kedua: status harta. Setelah
dana iuran peserta terkumpul, lantas dana tersebut menjadi milik siapa?
BPJSkah? Pesertakah? Ini juga belum
jelas.
Ketiga: investasi. Dana yang
terkumpul di BPJS Kesehatan tidaklah kecil: mencapai trilyunan rupiah.
Pertanyaannya adalah, atas dana yang terkumpul (yang belum terpakai) tersebut
disimpan (diinvestasikan) dimana? Kalau diinvesatiskan di perbankan
non-syari’ah, dengan sistem bunga, tentu ini riba. Jatuhnya haram.
Keempat: denda. Pasal 17 A Ayat (2) dan (4) Perpres Nomor 111
tahun 2011 dan Pasal 35 Ayat (4) dan (5) Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 tahun
2014 mengatur denda (bunga) keterlambatan pembayaran iuran. Inilah celah ketidakadilan
yang tidak sesuai syari’ah. Lagi pula,
tidak ada transparansi kemana uang denda ini berjalan. Apakah kembali ke dana
amanat, atau other income.
Kelima: pemberhentian jaminan
peserta. Jika dalam batas tempo yang telah ditentukan, peserta belum juga
membayar iurannya, maka BPJS Kesehatan akan memberhentikan (sementara?)
penjaminannya. Ini tentu juga merugikan peserta. Ini juga tentu mengandung
unsur pertaruhan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Namun, meski
penyelenggaraan BPJS Kesehatan belum 100% sesuai dengan syari’ah, tapi
setidaknya tujuan utamanya telah linier dengan prinsip syari’ah: ta’awun, tolong-menolong.
Kekurangan masih bisa disempurnakan. Sembari menunggu terwujudnya BPJS
Kesehatan yang total syar’i, tidak ada salahnya kita tetap setia pada BPJS Kesehatan
yang saat ini ada. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, hal yang
tidak bisa didapatkan secara total, maka tidak boleh ditinggalkan secara total.
Tidak perlu boikot; keluar dari kepesertaan. Toh, MUI juga menyarankan kita
tetap mensupport BPJS Kesehatan yang saat ini ada.
B. Bagi kelompok kontra
fatwa
Seperti yang telah
disinggung di awal, fatwa tidak memiliki kekuatan
mengikat. Sah-sah saja seoarang muslim menolak fatwa MUI tersebut. Toh ada pendapat lain, dari dr.
Erwandi Tarmizi, yang menyatakan secara umum regulasi BPJS Kesehatan saat ini telah sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Bagi kelompok ini, tentunya mereka berada di zona nyaman. Namun demikian, tentunya harus tetap
menghargai pendapat yang pro terhadap fatwa MUI. Tidak perlu ada saling serang argumen.
C. Bagi kelompok yang tidak (mau) tahu
Jujur, polemik ini cukup membingungkan. Saling sahut
komentar antara MUI, BPJS, juga DPR RI membuat publik semakin bingung. Dengan beberapa
pemaparan di atas, semoga kebingungan tersebut dapat sedikit
terurai.
Namun, jika hingga di titik ini tetap saja masih bingung, bolehlah kita apriori
(acuh). Tetap perlakukan BPJS Kesehatan seperti sedia kala, seperti sebelum polemik ini muncul. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Toh, sekali lagi, fatwa
tidak memiliki kekuatan mengikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar