Setelah
Promosi dan Mutasi, Mari Bicara Soal Kode Etik
Oleh:
Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
Beberapa
hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Desember 2015, hampir seluruh sorot mata
warga peradilan agama tertuju pada suhuf muntadzor (lembar yang
dinantikan) berjudul Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi Hakim Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Tahun 2015. Suka-cita (ada juga duka) tumpah-ruah
dalam khidmat pembacaan suhuf itu.
Berdasarkan
pengamatan sederhana, Tim Promosi Mutasi (TPM) telah berusaha maksimal untuk
membumikan promosi dan mutasi yang berperikemanusiaan. Simpelnya begini: Tim
mendengar aspirasi (usulan) tujuan mutasi dan Tim banyak memutasi hakim ke
pengadilan di wilayah yang dekat kampung halaman.
Dalam
fenomena hakim “balik kampung” tersebut, tentu telah berjajar-antri sederet
persoalan baru, salah satunya: kemungkinan lahirnya konflik kepentingan.
Banyaknya sanak-keluarga, sahabat, serta kolega di kawasan kampung halaman dan
sekitarnya dapat berpotensi memantik konflik kepentingan dalam menangani sebuah
perkara.
Lantas,
jika memang seperti itu realitasnya, apa kita harus gamang dan meragu dalam
menghadapi persoalan tersebut? jurus-jurus apa yang harus kita keluarkan agar
terbebas dari cengkeraman konflik kepentingan itu? Meski tak sempurna, artikel
ini berusaha untuk menjawabnya.
Pulang Kampung
Manusia adalah makhluk sosial.
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon. Artinya, manusia itu
adalah makhluk yang selalu hidup bermasyarakat. Terbentuknya masyarakat karena
adanya berbagai hasrat dari manusia itu sendiri.
Manusia
punya naluri gregariousness, yaitu naluri untuk selalu hidup berkelompok atau
bersama dengan orang lain. Dalam perkembangan kehidupan, di kampung
kelahirannya, setiap manusia (termasuk seseorang yang nantinya menjadi hakim)
tentu telah menjalankan kodratnya sebagai manusia untuk berinteraksi dengan
manusia lain (baca: masyarakat).
Interaksi
tersebut beragam basisnya. Ada interaksi yang terjalin karena adanya hubungan
kekerabatan, hubungan pendidikan (sekolah), teman bermain, patner organisasi, relasi
pekerjaan, kesamaan hobi, atau hubungan lainnya.
Interaksi natural dari
hubungan-hubungan tersebut adalah sebuah keniscayaan; sunnatullah. Tidak dapat
dihindarkan, atau dianggap tidak ada. Interaksi-interaksi tersebut, bagi
seorang yang nantinya menjadi hakim, tentu akan dapat memberikan pengayaan
wawasan dan pengalaman yang pastinya sangat berguna untuk menggali nilai hukum
yang hidup di masyarakat.
Konflik Kepentingan
Menurut
Wikipedia, konflik kepentingan adalah keadaan sewaktu seseorang pada posisi
yang memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif, atau
direktur suatu perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan
kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya.
Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak
menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi
kepercayaan terhadap seseorang atau suatu profesi.
Selain memiliki nilai positif,
interaksi sosial di kampung halaman juga memiliki potensi negatif bagi hakim
yang “balik kampung”. Peluang terjadinya konflik kepentingan sangat terbuka
lebar.
Sebagai
ilustrasi: (1) Sangat mungkin jika salah satu keluarga hakim menjadi para pihak
dalam sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan; (2) Bisa saja sahabat semasa
sekolah dahulu, kini menjadi advokat yang sering beracara di pengadilan sang
hakim bertugas; (3) Mungkin juga sahabat karib yang dulu jadi patner bermain gobag-sodor,
petak umpet (jompritan), dakon, gundu (nekeran), patil lele (enthik oleng), dan
permaian-permainan klasik lainnyalah yang mengajukan perkara; (4) Atau bisa
juga rekan seorganisasi lama (Kelompencapir, Partai Idaman, dan Karang Taruna, misalnya)
adalah yang menjadi penggugat dalam sebuah perkara di pengadilan; (5) Bahkan
bisa jadi rekan di MLM dahulu lah yang menjadi tergugat dalam sebuah perkara
(6) Dan juga mungkin saja terjadi, sahabat mancing ikan, kawan bemain footsal,
saudara segaple, dan patner tenis lah yang mengajukan sebuah perkara ke
pengadilan;
Dalam
kondisi seperti termaktub di atas—jika Ketua Pengadilan mengeluarkan Penetapan
Majelis Hakim yang menetapkan hakim “balik kampung” tersebut sebagai Ketua atau
salah satu Anggota Majelis Hakim—tentu konflik kepentingan sangat terbuka
lebar. Sulit rasanya untuk bertindak seobyektif dan seproporsinal mungkin dalam
kondisi tersebut. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
Kembali ke Kode Etik
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, cukup satu jawaban: kembali ke Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Ya, hanya itulah rumusnya.
Pada
poin 5. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah gamblang dijelaskan tentang
batasan-batasan bagi hakim untuk tetap mengadili atau wajib mengundurkan diri
dalam memeriksa, mengadili, serta memutus sebuah perkara.
Berikut
penulis kutipkan poin-poin penting yang bersinggungan dengan wajib atau
tidaknya mengundurkan diri seorang hakim dalam menangani sebuah perkara:
Poin 5.1.2: “Hakim tidak boleh
mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik hubungan
pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan”.
Pada
poin ini, tersurat batasan yang cukup ekstrim. Mengadili sebuah perkara yang patut
diduga mengandung konflik kepentingan pun tidak boleh, apalagi yang
nyata-nyata mengandung konflik kepentingan: lebih tidak boleh.
Poin 5.1.6: “Hakim wajib bersikap
terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan
tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara”.
Poin ini mengisyaratkan urgensi
transparansi. Seorang hakim, sebelum memeriksa dan mengadili sebuah perkara,
wajib memberitahukan ada atau tidak adanya konflik kepetingan.
Poin 5.2.1 (1): “Hakim dilarang
mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis,
Hakim Anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara
tersebut”.
Poin tersebut masih senada dengan poin
5.1.2, yang pada pokoknya hakim tidak boleh memeriksa dan mengadili sebuah
perkara jika memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ketua Majelis, Hakim Anggota
lain, Penuntut, juga advokat yang menangani pekara tersebut. Jelas, tidak hanya
dengan para pihak, namun dengan Ketua Majelis, Hakim Anggota lain, Panitera, Penuntut,
juga Advokat pun tidak boleh memiliki hubungan kekeluargaan.
Poin 5.2.1 (2): ”Hakim dilarang
mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang
akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara
tersebut”.
Seperti yang telah diilustrasikan di
atas, jika seorang hakim bersahabat karib dengan seseorang karena kesamaan hobi
memancing ikan, gaple, atau tenis misalnya, ia tidak boleh mengadili perkara
sahabat karib tersebut. Namun kemudian
muncul pertanyaan, bagaimana jika hubungannya sebatas sahabat yang agak akrab?
Kalau pendapat penulis, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: adhororu yuzaalu (kemadharatan harus dihindari) juga dar’ul
mafaasidi muqoddamun ‘alaa jalbi al-masholihi (menghindari kemdharatan
lebih diutamakan daripada mengupayakan kebaikan), lebih baik seorang hakim
tetap tidak mengadili perkara tersebut. Toh ini juga linear dengan poin 5.1.2.
yang pada pokoknya menyatakan hakim tidak boleh mengadili perkara jika diduga
memiliki konflik kepentingan.
Poin 5.2.2 (2): “Hakim dilarang
mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan
dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan
atau profesi lain sebelum menjadi hakim”.
Bisa jadi, seorang hakim adalah mantan
anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau
bisa jadi mantan advokat. Jika demikian adanya, maka hakim tersebut dilarang
mengadili atas perkara yang dirinya memiliki hubungan dengan perkara tersebut
saat ia berprofesi sebagai anggota LBH atau Advokat di waktu yang lampau.
Poin 5.2.2 (4): “Hakim dilarang
mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok
masyarakat, atau partai politik, apabila hakim tersebut pernah atau masih aktif
dalam organisasi, kelompok masyarakat, atau partai politik tersebut”.
Dimungkinkan juga seorang hakim adalah
mantan pembina sebuah yayasan pendidikian di kampung halaman. Bisa saja, status
wakaf tanah yayasan tersebut tersebut sedang diperkarakan di pengadilan. Dalam
kondisi tersebut, seorang hakim dilarang mengadili perkaranya, karena terdapat konflik
kepentingan.
Poin 5.2.4: “Hakim dilarang
mengadili suatu perkara apabila hakim tersebut telah memiliki persangkaan yang
berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang
berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan”.
Poin ini juga sangat dimungkinkan terjadi.
Contoh sederhananya: seorang tetangga hakim di kampung halaman akan mengajukan
gugatan waris. Sedangkan hakim tersebut tahu persis, bahkan menjadi saksi,
bahwa sebagian besar harta warisan yang digugat tersebut sebenarnya bukanlah tirkah,
karena sudah dibeli oleh ahli waris lain, sewaktu pewaris masih hidup. Dalam
kondisi seperti ini, hakim tidak boleh mengadili perkara tersebut.
Jika seorang hakim berada dalam salah
satu dari sekian kondisi simalakama di atas, maka apa yang harus dilakukannya?
Jawabnya adalah: mengajukan pengunduran diri kepada Ketua Pengadilan.
Pengunduran diri ini diatur dalam poin 5.2.1. yang berbunyi: “Hakim yang
memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam poin 5.2 wajib
mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.
Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi
dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilaan atau persangkaan
bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak”. Itulah
solusi yang digariskan oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bagi seluruh
hakim, khususnya hakim yang dimutasi ke wilayah kampung halaman.
Kesimpulan
Menurut pengematan sederhana, sistem
promosi dan mutasi di Badilag saat ini lebih aspiratif dari sebelumnya.
Faktanya, banyak hakim yang dimutasi ke pengadilan di wilayah kampung halaman
dan sekitarnya.
Hakim—khusunya yang “balik kampung”,
lebih rentan terlibat konflik kepentingan, baik itu dengan pihak berperkara atau
pun advokat. Untuk itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim wajib dijadikan khittah
yang harus dirujuk untuk menghindari konflik kepentingan tersebut.
Untuk menghindari konflik kepentingan
tersebut, seawal mungkin, hakim wajib mengajukan pengunduran diri kepada Ketua
Pengadilan. Demikian artikel ini kami tulis. Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar