Senin, 21 Desember 2015

Setelah Promosi dan Mutasi, Mari Bicara Soal Kode Etik
Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
            Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Desember 2015, hampir seluruh sorot mata warga peradilan agama tertuju pada suhu­f muntadzor (lembar yang dinantikan) berjudul Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Tahun 2015. Suka-cita (ada juga duka) tumpah-ruah dalam khidmat pembacaan suhuf itu.
            Berdasarkan pengamatan sederhana, Tim Promosi Mutasi (TPM) telah berusaha maksimal untuk membumikan promosi dan mutasi yang berperikemanusiaan. Simpelnya begini: Tim mendengar aspirasi (usulan) tujuan mutasi dan Tim banyak memutasi hakim ke pengadilan di wilayah yang dekat kampung halaman.
            Dalam fenomena hakim “balik kampung” tersebut, tentu telah berjajar-antri sederet persoalan baru, salah satunya: kemungkinan lahirnya konflik kepentingan. Banyaknya sanak-keluarga, sahabat, serta kolega di kawasan kampung halaman dan sekitarnya dapat berpotensi memantik konflik kepentingan dalam menangani sebuah perkara.
            Lantas, jika memang seperti itu realitasnya, apa kita harus gamang dan meragu dalam menghadapi persoalan tersebut? jurus-jurus apa yang harus kita keluarkan agar terbebas dari cengkeraman konflik kepentingan itu? Meski tak sempurna, artikel ini berusaha untuk menjawabnya.

Pulang Kampung
Manusia adalah makhluk sosial. Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon. Artinya, manusia itu adalah makhluk yang selalu hidup bermasyarakat. Terbentuknya masyarakat karena adanya berbagai hasrat dari manusia itu sendiri.
Manusia punya naluri gregariousness, yaitu naluri untuk selalu hidup berkelompok atau bersama dengan orang lain. Dalam perkembangan kehidupan, di kampung kelahirannya, setiap manusia (termasuk seseorang yang nantinya menjadi hakim) tentu telah menjalankan kodratnya sebagai manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain (baca: masyarakat).
            Interaksi tersebut beragam basisnya. Ada interaksi yang terjalin karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan pendidikan (sekolah), teman bermain, patner organisasi, relasi pekerjaan, kesamaan hobi, atau hubungan lainnya.
Interaksi natural dari hubungan-hubungan tersebut adalah sebuah keniscayaan; sunnatullah. Tidak dapat dihindarkan, atau dianggap tidak ada. Interaksi-interaksi tersebut, bagi seorang yang nantinya menjadi hakim, tentu akan dapat memberikan pengayaan wawasan dan pengalaman yang pastinya sangat berguna untuk menggali nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Konflik Kepentingan
            Menurut Wikipedia, konflik kepentingan adalah keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif, atau direktur suatu perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau suatu profesi.     
Selain memiliki nilai positif, interaksi sosial di kampung halaman juga memiliki potensi negatif bagi hakim yang “balik kampung”. Peluang terjadinya konflik kepentingan sangat terbuka lebar.
            Sebagai ilustrasi: (1) Sangat mungkin jika salah satu keluarga hakim menjadi para pihak dalam sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan; (2) Bisa saja sahabat semasa sekolah dahulu, kini menjadi advokat yang sering beracara di pengadilan sang hakim bertugas; (3) Mungkin juga sahabat karib yang dulu jadi patner bermain gobag-sodor, petak umpet (jompritan), dakon, gundu (nekeran),  patil lele (enthik oleng), dan permaian-permainan klasik lainnyalah yang mengajukan perkara; (4) Atau bisa juga rekan seorganisasi lama (Kelompencapir, Partai Idaman, dan Karang Taruna, misalnya) adalah yang menjadi penggugat dalam sebuah perkara di pengadilan; (5) Bahkan bisa jadi rekan di MLM dahulu lah yang menjadi tergugat dalam sebuah perkara (6) Dan juga mungkin saja terjadi, sahabat mancing ikan, kawan bemain footsal, saudara segaple, dan patner tenis lah yang mengajukan sebuah perkara ke pengadilan;
            Dalam kondisi seperti termaktub di atas—jika Ketua Pengadilan mengeluarkan Penetapan Majelis Hakim yang menetapkan hakim “balik kampung” tersebut sebagai Ketua atau salah satu Anggota Majelis Hakim—tentu konflik kepentingan sangat terbuka lebar. Sulit rasanya untuk bertindak seobyektif dan seproporsinal mungkin dalam kondisi tersebut. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
Kembali ke Kode Etik
            Untuk menjawab pertanyaan di atas, cukup satu jawaban: kembali ke Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ya, hanya itulah rumusnya.
            Pada poin 5. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah gamblang dijelaskan tentang batasan-batasan bagi hakim untuk tetap mengadili atau wajib mengundurkan diri dalam memeriksa, mengadili, serta memutus sebuah perkara.
            Berikut penulis kutipkan poin-poin penting yang bersinggungan dengan wajib atau tidaknya mengundurkan diri seorang hakim dalam menangani sebuah perkara:
Poin 5.1.2: “Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan”.
            Pada poin ini, tersurat batasan yang cukup ekstrim. Mengadili sebuah perkara yang patut diduga mengandung konflik kepentingan pun tidak boleh, apalagi yang nyata-nyata mengandung konflik kepentingan: lebih tidak boleh.
Poin 5.1.6: “Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara”.
Poin ini mengisyaratkan urgensi transparansi. Seorang hakim, sebelum memeriksa dan mengadili sebuah perkara, wajib memberitahukan ada atau tidak adanya konflik kepetingan.
Poin 5.2.1 (1): “Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim Anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut”.
Poin tersebut masih senada dengan poin 5.1.2, yang pada pokoknya hakim tidak boleh memeriksa dan mengadili sebuah perkara jika memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ketua Majelis, Hakim Anggota lain, Penuntut, juga advokat yang menangani pekara tersebut. Jelas, tidak hanya dengan para pihak, namun dengan Ketua Majelis, Hakim Anggota lain, Panitera, Penuntut, juga Advokat pun tidak boleh memiliki hubungan kekeluargaan.
Poin 5.2.1 (2): ”Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut”.
Seperti yang telah diilustrasikan di atas, jika seorang hakim bersahabat karib dengan seseorang karena kesamaan hobi memancing ikan, gaple, atau tenis misalnya, ia tidak boleh mengadili perkara sahabat karib tersebut.  Namun kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika hubungannya sebatas sahabat yang agak akrab? Kalau pendapat penulis, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: adhororu yuzaalu  (kemadharatan harus dihindari) juga dar’ul mafaasidi muqoddamun ‘alaa jalbi al-masholihi (menghindari kemdharatan lebih diutamakan daripada mengupayakan kebaikan), lebih baik seorang hakim tetap tidak mengadili perkara tersebut. Toh ini juga linear dengan poin 5.1.2. yang pada pokoknya menyatakan hakim tidak boleh mengadili perkara jika diduga memiliki konflik kepentingan.
Poin 5.2.2 (2): “Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi hakim”.
Bisa jadi, seorang hakim adalah mantan anggota Lembaga Bantuan Hukum  (LBH) atau bisa jadi mantan advokat. Jika demikian adanya, maka hakim tersebut dilarang mengadili atas perkara yang dirinya memiliki hubungan dengan perkara tersebut saat ia berprofesi sebagai anggota LBH atau Advokat di waktu yang lampau.
Poin 5.2.2 (4): “Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat, atau partai politik, apabila hakim tersebut pernah atau masih aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat, atau partai politik tersebut”.
Dimungkinkan juga seorang hakim adalah mantan pembina sebuah yayasan pendidikian di kampung halaman. Bisa saja, status wakaf tanah yayasan tersebut tersebut sedang diperkarakan di pengadilan. Dalam kondisi tersebut, seorang hakim dilarang mengadili  perkaranya, karena terdapat konflik kepentingan.
Poin 5.2.4: “Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim tersebut telah memiliki persangkaan yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan”.
Poin ini juga sangat dimungkinkan terjadi. Contoh sederhananya: seorang tetangga hakim di kampung halaman akan mengajukan gugatan waris. Sedangkan hakim tersebut tahu persis, bahkan menjadi saksi, bahwa sebagian besar harta warisan yang digugat tersebut sebenarnya bukanlah tirkah, karena sudah dibeli oleh ahli waris lain, sewaktu pewaris masih hidup. Dalam kondisi seperti ini, hakim tidak boleh mengadili perkara tersebut.
Jika seorang hakim berada dalam salah satu dari sekian kondisi simalakama di atas, maka apa yang harus dilakukannya? Jawabnya adalah: mengajukan pengunduran diri kepada Ketua Pengadilan. Pengunduran diri ini diatur dalam poin 5.2.1. yang berbunyi: “Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam poin 5.2 wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilaan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak”. Itulah solusi yang digariskan oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bagi seluruh hakim, khususnya hakim yang dimutasi ke wilayah kampung halaman.


Kesimpulan
Menurut pengematan sederhana, sistem promosi dan mutasi di Badilag saat ini lebih aspiratif dari sebelumnya. Faktanya, banyak hakim yang dimutasi ke pengadilan di wilayah kampung halaman dan sekitarnya.
Hakim—khusunya yang “balik kampung”, lebih rentan terlibat konflik kepentingan, baik itu dengan pihak berperkara atau pun advokat. Untuk itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim wajib dijadikan khittah yang harus dirujuk untuk menghindari konflik kepentingan tersebut.
Untuk menghindari konflik kepentingan tersebut, seawal mungkin, hakim wajib mengajukan pengunduran diri kepada Ketua Pengadilan. Demikian artikel ini kami tulis. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.




[1] Hakim Pratama Muda PA Mentok 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar