Hakim
[Masih] Wakil Tuhan?
Oleh:
Ahmad
Z. Anam
(Hakim
Pratama Muda PA Mentok)
Wajah korps hakim kembali tercoreng. 10 Juli 2015
kemarin, KPK menangkap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Medan. Keempat pejabat peradilan tersebut dicokok KPK dalam sebuah
operasi tangkap tangan (OTT). Inilah “parcel pahit” dunia peradilan, jelang perayaan
Idul Fitri 1436 H.
Tiga hakim yang tertangkap dalam operasi tersebut
adalah Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Amir Fauzi (Hakim Anggota), Dermawan
Ginting (Hakim Anggota), serta seorang panitera, Syamsir Yusfan. Turut
digelandang pula dalam operasi tersebut seorang pengacara dari kantor advokat
ternama, O.C. Kaligis & Associates, M Yagari Bhastara Guntur alias Gerry.
Belakangan diketahui, KPK menetapkan status tersangka
kepada nama-nama tersebut atas dugaan suap terkait pengurusan perkara dana
Bansos di PTUN Medan, yang diajukan oleh Achmad Fuad Lubis, Kabiro Keuangan
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam penyidikan
KPK. Buntut panjangnya, O.C. Kaligis dan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo
Nugroho pun telah ditetapkan sebagai tersangka.
Meski belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (incraht) atas kasus penyuapan hakim PTUN tersebut, namun
setidaknya kasus ini telah menodai wibawa peradilan Tanah Air, khususnya korps
hakim. Konsekuensinya, Visi Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan Indonesia
yang agung, tampaknya harus ditunda terlebih dahulu.
Hakim, Masih Wakil Tuhan?
Katanya, hakim adalah wakil Tuhan. Setiap putusan hakim
wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” (Pasal 2 Ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman). Tanpa irah-irah tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa: non-executable.
Artinya, hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekedar
bertanggungjawab pada hukum, pada dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan,
tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan. Sang pencipta dan pemilik
hukum. Hakim hakikatnya hanyalah
kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah hukum.
Hakim adalah profesi yang mulia (officium nobile).
Di sisi lain, hakim adalah profesi yang sangat beresiko. Saking mulianya, hanya
hakim yang berhak mendapat gelar “Yang Mulia”. Tidak ada pejabat lain yang
berhak, bahkan presiden sekalipun. Dan saking beresikonya, Nabi Muhammad Saw. menegaskan
ada tiga tipikal hakim. Dari ketiganya, dua masuk neraka, dan hanya satu yang
masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran,
serta memutus dengan kebenaran. Sedangkan dua tipe hakim tersisa, yaitu hakim
yang mengetahui kebenaran, namun tidak memutus dengan kebenaran dan hakim yang
tidak mengetahui kebenaran dan memutus dengan ketidak-benaran itu, maka
nerakalah yang siap melahap mereka.
Hakim adalah kawal terakhir penegakan hukum. Sejak
disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: fiat
justicia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit
runtuh). Ini kodrat hakim.
Memang, sejatinya hakim adalah profesi mulia. Namun
fenomena suap di PTUN Medan seolah-olah menggugat status itu: apakah hakim
masih pantas disebut wakil Tuhan? Atau jangan-jangan lebih tepat disebut wakil setan?
Bukankah hakim saat ini justeru berperan sebagai perusak hukum (rule breaker)?
Tidak. Opini tidak boleh digiring serampangan seperti
itu. Perbuatan oknum tertentu tidak boleh diidentikkan dengan organisasi induk.
Tidak boleh ada gebyah uyah. Setiap kelompok masyarakat, suku, instansi,
atau korps apapun pasti ada oknum yang menyimpang dari idealitas. Satu hal yang
terpenting: mudah-mudahan saja oknum nakal di korps hakim tidak terlalu banyak.
Hakim sebagai korps akan tetap sebagai berperan sebagai
wakil Tuhan. Sampai kapan pun. Bukan wakil setan. Salah satu perlambang hakim
adalah simbol kartika, yang berarti setiap putusan hakim akan
dipertanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Adil. Adapun terkait oknum hakim
yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terserah publik akan menjuluki
apa: wakil setan, atau bahkan wakil iblis sekalipun, tidak jadi soal.
Kawal Martabat Hakim
Hakim telah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH). Pelaksana pengawasan hakim, juga telah ada. Sudah lengkap. Paket
komplit. Ini semata bertujuan untuk menjaga dan menegakkan marwah hakim.
KEPPH terbit berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim. Surat
Keputusan Bersama tersebut merupakan wujud kristalisasi perjuangan Mahkamah
Agung serta Komisi Yudisial menuju peradilan yang merdeka dan imparsial.
KEPPH tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir
penjabarannya. Sepuluh prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2.
Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5.
Berintegritas tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8.
Berdisiplin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.
Memang, pada tahun 2011, terdapat beberapa pengurangan
butir atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tersebut. Mahkamah Agung
melalui Putusan Nomor: 36 P/HUM/2011 menghapus butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta
Butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. Namun demikian, tidak ada prinsip dasar yang
diubah, ditambah, ataupun dikurangi. Garis besarnya masih utuh.
Terkait lembaga pengawasan hakim, ada dua bentuk
pengawasan. Pertama: pengawasan internal oleh Mahkamah Agung, dalam
konteks ini deperankan oleh Badan Pengawasan. Pengawasan internal ini diatur
oleh Pasal 39 Ayat (4) UU. No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Kedua: Pengawasan Eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini
diatur dalam pasal 40 Ayat (1 dan 2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal UU. No. 22 tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Tidak hanya itu, selain kedua bentuk pengawasan tersebut, tentu masih
ada pengawasan yang tidak melekat. Seperti pengawasan oleh publik, atau
pantauan KPK, misalnya.
Selama ini, kedua bentuk pengawasan tersebut berjalan
efektif. Bahkan dapat dikatakan sangat efektif. Keduanya bersinergi dalam
mengawasi etika dan perilaku hakim. Prosedurnya, jika ada hakim bermasalah,
kedua lembaga pengawas tersebut akan menggelar Majelis Kehormatan Hakim (MKH),
untuk memberi kebijakan bagi hakim bermasalah tersebut.
KEPPH tersebutlah yang kemudian menjadi tolok ukur
Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku
hakim. Pelanggaran atas aturan tersebut, berkonsekuensi mendapatkan sanksi,
sesuai tingkat pelanggaran.
Meski KEPPH telah ada dan pengawasan telah maksimal,
namun kenyataannya, perilaku koruptif masih tetap saja terjadi, bahkan makin
berani. Ada apa ini? Apa karena gaji dan tunjangan hakim minim? Tidak. Tidak benar.
Sejak bergulirnya Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012, tunjangan jabatan
hakim naik signifikan. Sebagai contoh, Tripeni Irianto Putro, sebagai Ketua
PTUN Medan, memiliki take home pay (gaji, tunjangan jabatan, dan uang
makan) kurang lebih Rp. 29.000.000. (dua puluh sembilan juta rupiah) perbulan.
Untuk orang yang “normal”, penghasilan tersebut tentu sudah cukup.
Kalau semua aspek sudah maksimal, lantas upaya apalagi yang
dapat ditempuh untuk memberangus tindakan-tindakan koruptif hakim?
Kembali ke Nurani
Ada sebuah hadits, yang menurut hemat penulis, merupakan
inti pedoman perilaku bagi seluruh umat
manusia, apapun agamanya. Bunyinya: Istafti qalbak, al-birr maa ithma’anna ilayhi al-nafs wa
athma’anna ilayhi al-qalb wa al-itsmu maa
haaka fi al-nafs wa taraddad fi al-shuduur. [H.R. Ahmad dan al-Darimi].
Artinya: Mintalah fatwa pada nuranimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat
hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.
Hadits
tersebut cukup sederhana, tegas, dan lugas. Untuk mengetahui dan mengontrol
perilaku manusia, cukup tanyakan pada nurani. Nurani akan menuntun manusia pada
jalan kebenaran; jalan yang diridhoi Tuhan.
Inilah senjata pamungkas, paling ampuh, paling mungkin
diterapkan untuk mencegah perilaku koruptif. KEPPH, Badan Pengawasan Mahkamah
Agung, dan Komisi Yudisial masih bisa ditipu. Dikibuli. Diakali. Tapi kalau
nurani, dia tidak akan pernah bohong,. Juga tidak akan dapat dibohongi.
Ketika ada tanda-tanda rayuan untuk bertindak korupsi, hakim
harus segera konfirmasi pada nurani. Nuranilah yang akan membimbing pada jalan
Tuhan. Bahkan nurani orang terjahat di dunia pun, penulis yakin, dia akan
mengatakan bahwa korupsi itu merupakan tindakan salah. Tindakan keji. Tindakan
yang akan membuat hati gelisah. Tidak mungkin, seorang hakim yang baru saja
menerima suap, lantas ia update status di media sosial, “Syukur pada
Ilahi, dapat suap 100 juta. Jadi tenang hati ini”. Mustahil.
Seluruh hakim di Indonesia, wajib berkiblat ke nurani.
Kecerdasan nurani, atau dalam konteks kekinian disebut sebagai kecerdasan
spiritual, merupakan inti dari segala kecerdasan yang ada. Nurani tentu
berkait-berkelindan dengan ajaran luhur setiap agama. Nurani pasti akan
mengingatkan hakim untuk senantiasa menjaga amanatnya, untuk mewakili Tuhan.
Kepercayaaan dan Harapan
Di penghujung dunia peradilan yang semakin semrawut
ini, masih tersisa dua hal: kepercayaan dan harapan.
Kepercayaan adalah kekuatan besar untuk mewujudkan
cita-cita. Kepercayaan publik, atas profesinalisme hakim, tentu sangat mensupport
hakim untuk memberi hukum yang berkeadilan.
Sedangkan harapan terwujudnya peradilan Indonesia yang
agung, adalah alasan primer bagi penegak hukum untuk berbuat lebih baik. Lebih profesianal.
Lebih bersih. Lebih transparan. Lebih berkeadilan. Juga lebih “meghadirkan”
Tuhan dalam setiap putusannya.
Semoga penegak hukum di Indonesia, khususnya hakim,
senantiasa berpegang teguh pada nurani. Sehingga praktek-praktek perilaku
koruptif yang dapat menjungkalkan keadilan, dapat segera sirna dari bumi
pertiwi ini. Semoga hakim indonesia, seluruhnya, seutuhnya, tetap pantas menyandang
gelar wakil Tuhan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar