KECAKAPAN SAKSI KELUARGA SEDARAH DI LUAR JAWA DAN
MADURA
Telaah Perkara Perceraian dengan Alasan Pasal 19 (f) PP
No. 9 Tahun 1975
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pengadilan Agama Mentok)
Pada artikel
sebelumnya,[1]
penulis telah mengkaji dan menyimpulkan: keluarga sedarah cakap bersaksi untuk
perkara perceraian. Tidak hanya sebatas dalam perkara syiqaq, tapi
segala jenis perkara perceraian. Konklusi tersebut mengacu pada
penjelasan Pasal 145 H.I.R.[2] Artinya,
untuk wilayah keberlakuan H.I.R (Jawa dan Madura), telah nyata terdapat lex
specialis: saksi keluarga sedarah cakap bersaksi dalam segala jenis perkara
perceraian.
Masalah baru muncul
saat penulis pindah tugas ke luar Jawa. Setelah beberapa kali melakukan
penelusuran, penulis tidak menjumpai Pasal dalam R.Bg. ataupun penjelasannya,
yang menyatakan bahwa saksi keluarga sedarah cakap bersaksi dalam perkara
perceraian, sebagaimana ketentuan penjelasan Pasal 145 H.I.R.
Selanjutnya muncul
pertanyaan: kalau demikian adanya, apakah di luar Jawa dan Madura, harus
kembali kepada hukum pembuktian perdata umum yang melarang keluarga sedarah
untuk bersaksi? Atau, ada aturan dan atau tafsiran lain, hingga saksi keluarga
sedarah tetap dianggap cakap bersaksi dalam perkara perceraian dengan alasan
Pasal 19 (f) PP No.9 tahun 1975?
Mereka yang Cakap dan Tidak Cakap Bersaksi
Pada
prinsipnya, setiap orang cakap menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan
tidak cakap oleh undang-undang. Pasal 145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910
KUH Perdata menyatakan beberapa orang yang tidak cakap didengar keterangannya
adalah sebagai berikut:
a.
Pasal 145 H.I.R. menyatakan saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1)
Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2)
Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3)
Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan
4) Orang gila meskipun ia terkadang-kadang
mempunyai ingatan terang;
b.
Pasal 172 R.Bg. ayat (1) menerangkan mereka yang tidak boleh menjadi saksi
adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau
karena perkawinan dengan salah satu pihak, 2) Saudara-saudara lelaki atau
perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara
perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjaang
hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu, 3) suami atau istri
salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai, 4) Anak-anak yang belum dapat
dipastikan sudah berumur lima belas tahun, 5) Orang gila, meskipun ia
kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.
c.
Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar
keterangannya adalah: 1) Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu
pihak dalam garis lurus, dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Ada juga kelompok saksi yang memiliki hak
pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai saksi, tetapi mereka menyatakan kesiapannya untuk bersaksi,
tetap dapat didengar keterangannya.[3] Kelompok orang
yang memiliki hak pengunduran
diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174 R.Bg., mereka adalah: 1)
Saudara laki dan saudara perempuan serta ipar laki-laki dan ipar perempuan dari
salah satu pihak, 2) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara
laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak, 3) Semua orang
yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan
rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan
padanya.
Melihat beberapa ketentuan tersebut, dalam
konteks kajian ini, dapat disimpulkan: saksi keluarga sedarah tidak cakap
didengar keterangannya. Kecuali dalam beberapa perkara yang memang sudah diatur
khusus.
Lex
Specialis Kecakapan Saksi Keluarga
Dalam
perkara-perkara tertentu, terdapat pengecualian atas larangan keluarga sedarah
dan semenda menjadi saksi. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 145 H.I.R
ayat (2) yang berbunyi:
“Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga
semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua
belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu
perjanjian pekerjaan.”
Juga dalam Pasal 172 ayat (2) R.Bg. yang
berbunyi:
“Namun keluarga sedarah atau karena perkawinan
dalam sengketa mengenai kedudukan para pihak atau mengenai suatu perjanjian
kerja berwenang untuk menjadi saksi.”
Serta diatur dalam Pasal 1910 KUH Perdata berbunyi:
“…Namun demikian anggota keluarga sedarah dan
semenda cakap untuk menjadi saksi:
1
dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan
salah satu pihak;
2
dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar
menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak
belum dewasa;
3
dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan
yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau
perwalian;
4
dalam perkara mengenai suatu perjanjian
kerja. Dalam perkara-perkara ini, mereka
yang disebutkan dalam pasal 1909 nomor 1° dan 2°, tidak berhak untuk minta
dibebaskan dan kewajiban memberikan kesaksian.
Selain pengecualian tersebut di atas, juga terdapat ketentuan lex
specialis terkait kecakapan keluarga sedarah dan semenda untuk menjadi
saksi, yakni dalam perkara gugat cerai dengan alasan syiqaq. Pasal 76
ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang isinya
tidak dirubah dalam UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, menyatakan:
“Apabila
gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.
Untuk
wilayah hukum Jawa dan Madura, seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan
artikel ini, memang sudah tidak ada masalah. Penjelasan Pasal 145 H.I.R
tersebut di atas menyatakan:
Yang dimaksud "tentang keadaan menurut
hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa
Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan
tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
Penjelasan pasal tersebut secara
tegas menyatakan saksi keluarga cakap didengar kesaksiannya dalam “seperti
misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain
sebagainya”. Bertolak dari redaksi penjelasan pasal tersebut, dapat ditarik
benang merah: maksud dari “perkara perselisihan kedua belah pihak tentang
keadaan menurut hukum perdata” dalam Pasal 145 H.I.R tersebut adalah perkara
perkawinan, perceraian, keturunan dan lain-lain. Konklusinya: saksi keluarga sedarah cakap
bersaksi untuk perselisihan perceraian di Jawa dan Madura. Lantas, bagaimana
dengan wilayah hukum luar Jawa dan luar Madura?
Keluarga Sedarah Cakap Bersaksi di
Luar Jawa dan Madura
Penulis
memang tidak menemukan pasal, atau minimal penjelasan pasal dalam R.Bg. tentang
kecakapan saksi keluarga sedarah dalam perkara perceraian dengan alasan sebagaimana
Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975. Namun berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor: 495/KAG/2000,
tanggal 17 Januari 2003, saksi keluarga sedarah cakap didengar keterangannya
dalam perkara perceraian sebagaimana Pasal
19 (f) PP Nomor 9 tahun 1975.
Sebatas untuk diketahui, putusan Mahkamah Agung
yang telah menjadi yurisprudensi tersebut, merupakan kasus perceraian, yang
pada tingkat pertamanya diadili oleh PA Sorong, sedangkan tingkat bandinya
diadili oleh PTA Jayapura. Jelas: ini adalah perkara di luar Jawa.
Meskipun yurisprudensi bukanlah sumber hukum acara
yang berlaku mengikat (karena hukum di Indonesia tidak menganut the binding
force of precedent), namun yurisprudensi tetap dapat dijadikan sumber hukum
acara yang legal. Oleh sebab itu, Majelis Hakim di luar Jawa dan Madura dapat
merujuk yurisprudensi tersebut untuk menyatakan: saksi keluarga sedarah cakap
didengar keterangannya dalam perkara perceraian dengan alasan sebagaimana Pasal
19 huru (f) PP Nomor 9 tahun 1975.
Harus Disertai Alasan
Asas
hukum penting yang sering kita lupakan adalah: setiap putusan harus disertai
alasan. Atau istilah jaman sekarang: legal reasoning. Inilah sebenarnya item
yang mendukung kemegahan mahkota hakim itu.
Dalam
banyak putusan perceraian dengan alasan Pasal 19 huruf (f) PP tahun 1975, kita
sering menggunakan ilmu ujug-ujug. Tanpa pertimbangan apapun, tahu-tahu
kita putus sebuah perkara dengan bukti saksi keluarga sedarah; bapak kandung
atau ibu kandung, misalnya.
Bagi
para pihak, terutama yang diwakili kuasa hukum, yang sedikit-banyak tahu
tentang hukum, tentu akan kebingungan. Karena, mungkin, sepengetahuan mereka,
saksi keluarga sedarah tidak cakap didengar kesaksiannya. Dalam bathin, mungkin
mereka bergumam “Bagaimana hakim PA ni? Tahu tidak hukum acara?”. Tenang. Tidak
perlu emosi. Mungkin itu salah kita sendiri, karena tidak menjabarkan argumen
dalam putusan. Untuk menghindari pil pahit tersebut, hakim harus
mempertimbangkan keadaan lex specialis kecakapan saksi keluarga.
Penulis
memiliki usulan redaksi, boleh diterima atau dibuang jauh-jauh, yang diharapkan
dapat menjelaskan alasan hukum kecakapan saksi keluarga sedarah dalam perkara
perceraian Pasal 19 huruf (f) PP tahun 1975:
“Menimbang, bahwa meskipun saksi yang dihadirkan Pemohon/Penggugat
adalah keluarga sedarah, yang menurut hukum pembuktian perdata umum dilarang
untuk didengar kesaksiannya, namun berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung
495/KAG/2000, tanggal 17 Januari 2003, yang abstraksi hukumnya menyatakan bahwa
saksi keluarga sedarah cakap didengar dalam pekara perceraian dengan alasan
sebagaimana Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka dalam
perkara a quo berlaku asas lex spesialis derogat legi generali: sasksi
keluarga sedarah yang diajukan Pemohon/Penggugat cakap didengar kesaksiannya;”
Redaksi
tersebut hanya usulan. Pasti banyak redaksi lain yang lebih tepat untuk
menimbang kecakapan saksi sedarah. Poin pentingnya bukan diksi dalam redaksi,
tapi: harus ada pertimbangan. Itu semua demi akuntabilitas dan transparansi
putusan. Demi kemegahan mahkota hakim. Dan yang paling penting: demi marwah Peradilan Agama. Semoga
berkontribusi.
Daftar Pustaka
Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika:
Jakarta, 2010.
http://www.badilag.net/artikel/16174-saksi-keluarga-untuk-seluruh-jenis perkara-perceraia-cakapkah--oleh-ahmad-z-anam-msi-87.html
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de
Gewesten Buiten Java en Madura (R.bg.).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie).
Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.
[1]http://www.badilag.net/artikel/16174-saksi-keluarga-untuk-seluruh-jenis-perkara-perceraia-cakapkah--oleh-ahmad-z-anam-msi-87.html
[2] Pasal 145 H.I.R berbunyi: “Sebagai saksi tidak
dapat didengar 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan
yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada
perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima
belas tahun, dan 4) Orang gila meskipun
ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang. Akan tetapi kaum keluarga sedarah
dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara
perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata
atau tentang sesuatu perjanjian pekerjaan”. Penjelasan pasal tersebut
menjelaskan: “Yang dimaksud "tentang keadaan menurut
hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa
Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan
tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.”
[3] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar
Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 639.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar