Minggu, 17 Mei 2015

Peradilan Agama

KECAKAPAN SAKSI KELUARGA SEDARAH DI LUAR JAWA DAN MADURA
Telaah Perkara Perceraian dengan Alasan Pasal 19 (f) PP No. 9 Tahun 1975
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pengadilan Agama Mentok)
Pada artikel sebelumnya,[1] penulis telah mengkaji dan menyimpulkan: keluarga sedarah cakap bersaksi untuk perkara perceraian. Tidak hanya sebatas dalam perkara syiqaq, tapi segala jenis perkara perceraian. Konklusi tersebut mengacu pada penjelasan Pasal  145 H.I.R.[2] Artinya, untuk wilayah keberlakuan H.I.R (Jawa dan Madura), telah nyata terdapat lex specialis: saksi keluarga sedarah cakap bersaksi dalam segala jenis perkara perceraian.
Masalah baru muncul saat penulis pindah tugas ke luar Jawa. Setelah beberapa kali melakukan penelusuran, penulis tidak menjumpai Pasal dalam R.Bg. ataupun penjelasannya, yang menyatakan bahwa saksi keluarga sedarah cakap bersaksi dalam perkara perceraian, sebagaimana ketentuan penjelasan Pasal 145 H.I.R.

Selanjutnya muncul pertanyaan: kalau demikian adanya, apakah di luar Jawa dan Madura, harus kembali kepada hukum pembuktian perdata umum yang melarang keluarga sedarah untuk bersaksi? Atau, ada aturan dan atau tafsiran lain, hingga saksi keluarga sedarah tetap dianggap cakap bersaksi dalam perkara perceraian dengan alasan Pasal 19 (f) PP No.9 tahun 1975?
Mereka yang Cakap dan Tidak Cakap Bersaksi
Pada prinsipnya, setiap orang cakap menjadi saksi kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. Pasal 145 H.I.R., Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan beberapa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah sebagai berikut:
a.      Pasal 145 H.I.R. menyatakan saksi yang tidak dapat didengar yaitu: 1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan 4)  Orang gila meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang;
b.      Pasal 172 R.Bg. ayat (1) menerangkan mereka yang tidak boleh menjadi saksi adalah: 1) Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak, 2) Saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara  perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjaang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu, 3) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai, 4) Anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun, 5) Orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik.
c.       Pasal 1910 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap didengar keterangannya adalah: 1) Anggota keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak dalam garis lurus, dan 2) Suami ataupun isteri, meskipun telah bercerai;
Ada juga kelompok saksi yang memiliki hak pengunduran diri (verschoningrecht) sebagai saksi, tetapi  mereka menyatakan kesiapannya untuk bersaksi, tetap dapat didengar keterangannya.[3] Kelompok orang  yang memiliki hak pengunduran  diri diatur dalam Pasal 146 H.I.R dan 174 R.Bg., mereka adalah: 1) Saudara laki dan saudara perempuan serta ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak, 2) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak, 3) Semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.
Melihat beberapa ketentuan tersebut, dalam konteks kajian ini, dapat disimpulkan: saksi keluarga sedarah tidak cakap didengar keterangannya. Kecuali dalam beberapa perkara yang memang sudah diatur khusus.
Lex Specialis Kecakapan Saksi Keluarga
            Dalam perkara-perkara tertentu, terdapat pengecualian atas larangan keluarga sedarah dan semenda menjadi saksi. Pengecualian tersebut diatur dalam Pasal 145 H.I.R ayat (2) yang berbunyi:
“Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu perjanjian pekerjaan.
Juga dalam Pasal 172 ayat (2) R.Bg. yang berbunyi:
“Namun keluarga sedarah atau karena perkawinan dalam sengketa mengenai kedudukan para pihak atau mengenai suatu perjanjian kerja berwenang untuk menjadi saksi.”
Serta diatur dalam Pasal 1910 KUH Perdata berbunyi:
            “…Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk menjadi saksi:
1          dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
2          dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa;
3          dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
4          dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja.  Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan dalam pasal 1909 nomor 1° dan 2°, tidak berhak untuk minta dibebaskan dan kewajiban memberikan kesaksian.
Selain pengecualian tersebut di atas, juga terdapat ketentuan lex specialis terkait kecakapan keluarga sedarah dan semenda untuk menjadi saksi, yakni dalam perkara gugat cerai dengan alasan syiqaq. Pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989  yang isinya tidak dirubah dalam UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, menyatakan:
“Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.
            Untuk wilayah hukum Jawa dan Madura, seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan artikel ini, memang sudah tidak ada masalah. Penjelasan Pasal 145 H.I.R tersebut di atas menyatakan:
            Yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
            Penjelasan pasal tersebut secara tegas menyatakan saksi keluarga cakap didengar kesaksiannya dalam “seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya”. Bertolak dari redaksi penjelasan pasal tersebut, dapat ditarik benang merah: maksud dari “perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata” dalam Pasal 145 H.I.R tersebut adalah perkara perkawinan, perceraian, keturunan dan lain-lain.  Konklusinya: saksi keluarga sedarah cakap bersaksi untuk perselisihan perceraian di Jawa dan Madura. Lantas, bagaimana dengan wilayah hukum luar Jawa dan luar Madura?
Keluarga Sedarah Cakap Bersaksi di Luar Jawa dan Madura
Penulis memang tidak menemukan pasal, atau minimal penjelasan pasal dalam R.Bg. tentang kecakapan saksi keluarga sedarah dalam perkara perceraian dengan alasan sebagaimana Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975. Namun berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 495/KAG/2000, tanggal 17 Januari 2003, saksi keluarga sedarah cakap didengar keterangannya dalam perkara perceraian  sebagaimana Pasal 19 (f) PP Nomor 9 tahun 1975.
Sebatas untuk diketahui, putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi yurisprudensi tersebut, merupakan kasus perceraian, yang pada tingkat pertamanya diadili oleh PA Sorong, sedangkan tingkat bandinya diadili oleh PTA Jayapura. Jelas: ini adalah perkara di luar Jawa.
Meskipun yurisprudensi bukanlah sumber hukum acara yang berlaku mengikat (karena hukum di Indonesia tidak menganut the binding force of precedent), namun yurisprudensi tetap dapat dijadikan sumber hukum acara yang legal. Oleh sebab itu, Majelis Hakim di luar Jawa dan Madura dapat merujuk yurisprudensi tersebut untuk menyatakan: saksi keluarga sedarah cakap didengar keterangannya dalam perkara perceraian dengan alasan sebagaimana Pasal 19 huru (f) PP Nomor 9 tahun 1975.
Harus Disertai Alasan
            Asas hukum penting yang sering kita lupakan adalah: setiap putusan harus disertai alasan. Atau istilah jaman sekarang: legal reasoning. Inilah sebenarnya item yang mendukung kemegahan mahkota hakim itu.
            Dalam banyak putusan perceraian dengan alasan Pasal 19 huruf (f) PP tahun 1975, kita sering menggunakan ilmu ujug-ujug. Tanpa pertimbangan apapun, tahu-tahu kita putus sebuah perkara dengan bukti saksi keluarga sedarah; bapak kandung atau ibu kandung, misalnya.
            Bagi para pihak, terutama yang diwakili kuasa hukum, yang sedikit-banyak tahu tentang hukum, tentu akan kebingungan. Karena, mungkin, sepengetahuan mereka, saksi keluarga sedarah tidak cakap didengar kesaksiannya. Dalam bathin, mungkin mereka bergumam “Bagaimana hakim PA ni? Tahu tidak hukum acara?”. Tenang. Tidak perlu emosi. Mungkin itu salah kita sendiri, karena tidak menjabarkan argumen dalam putusan. Untuk menghindari pil pahit tersebut, hakim harus mempertimbangkan keadaan lex specialis kecakapan saksi keluarga.
            Penulis memiliki usulan redaksi, boleh diterima atau dibuang jauh-jauh, yang diharapkan dapat menjelaskan alasan hukum kecakapan saksi keluarga sedarah dalam perkara perceraian Pasal 19 huruf (f) PP tahun 1975:
“Menimbang, bahwa meskipun saksi yang dihadirkan Pemohon/Penggugat adalah keluarga sedarah, yang menurut hukum pembuktian perdata umum dilarang untuk didengar kesaksiannya, namun berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung 495/KAG/2000, tanggal 17 Januari 2003, yang abstraksi hukumnya menyatakan bahwa saksi keluarga sedarah cakap didengar dalam pekara perceraian dengan alasan sebagaimana Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka dalam perkara a quo berlaku asas lex spesialis derogat legi generali: sasksi keluarga sedarah yang diajukan Pemohon/Penggugat  cakap didengar kesaksiannya;”
            Redaksi tersebut hanya usulan. Pasti banyak redaksi lain yang lebih tepat untuk menimbang kecakapan saksi sedarah. Poin pentingnya bukan diksi dalam redaksi, tapi: harus ada pertimbangan. Itu semua demi akuntabilitas dan transparansi putusan. Demi kemegahan mahkota hakim. Dan yang paling penting:  demi marwah Peradilan Agama. Semoga berkontribusi.
Daftar Pustaka
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010.
http://www.badilag.net/artikel/16174-saksi-keluarga-untuk-seluruh-jenis perkara-perceraia-cakapkah--oleh-ahmad-z-anam-msi-87.html
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.).
Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura (R.bg.).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Undang-undang No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.3 tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
Undang-undang No.50 tahun 2009, tentang Peradilan Agama.



[1]http://www.badilag.net/artikel/16174-saksi-keluarga-untuk-seluruh-jenis-perkara-perceraia-cakapkah--oleh-ahmad-z-anam-msi-87.html
[2]  Pasal 145 H.I.R berbunyi: “Sebagai saksi tidak dapat didengar  1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, 2) Suami atau Isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian, 3) Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umur lima belas tahun, dan 4)  Orang gila meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang. Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang sesuatu perjanjian pekerjaan”. Penjelasan pasal tersebut menjelaskan: “Yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
[3] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm. 639.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar