ITSBAT
NIKAH TERPADU:
Proyek atau
Implementasi “Justice for All”?
Sekapur Sirih
Jujur saja, artikel ini saya tulis dengan
otak panas. Emosi teraduk-aduk. Nurani berteriak. Maaf saja jika tulisannya
amburadul, tidak sistematis. Bagaimana tidak, di tengah gencarnya spirit “justice
for all” yang digaungkan Mahkamah Agung, masih ada saja oknum pejabat
yang tak mengerti cita-cita itu. Bahkan tindakannya justeru terkesan menggerus-menggerogot-merongrong
cita-cita luhur itu.
Semua orang butuh uang. Semua orang harus cari uang.
Itu keniscayaan; sunnatullah. Tak ada yang salah. Namun, tentu pencarian uang tersebut harus
tetap mengacu pada nilai-nilai kepatutan dan kehalalan. Bukan keserakahan.
Bukan ketamakan.
Contoh kecil, ya, kecil saja: dalam pelayanan itsbat
nikah terpadu. Mahkamah Agung, dengan sangat bijaknya mengeluarkan Sema Nomor 3
Tahun 2014, tentang Tata Cara Pelayanan dan Pelaksanaan Perkara Voluntair
Itsbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu. Dalam poin (e), dijelaskan bahwa,
“Jurusita dapat menyerahkan relaas panggilan sidang kepada para Pemohon secara
kolektif melalui instansi/pelaksana yang bertanggung jawab melaksanakan
pelayanan terpadu”. Selanjutnya, dalam poin (f), sangat gamblang dinyatakan, “untuk
biaya pembukuan biaya panggilan, yang dimasukkan dalam buku jurnal adalah
radius terjauh/tersulit, apabila radiusnya sama, maka hanya salah satu biaya
panggilan, sedangkan yang lain diisi NIHIL”.
Jelas sudah. Mahkamah Agung, melalui Sema di atas,
sangat mendambakan “justice for all”. Sebuah strategi yang sangat linear
salah satu misinya: Memberikan Pelayanan Hukum yang Berkeadilan Kepada Pencari
Keadilan.
Selanjutnya, apakah
yang terjadi? dalam praktek di lapangan, ikhlaskah segelintir oknum pejabat itu
melewatkan “bagi hasil” biaya panggilan sidang—yang dinihilkan—dari perkara-perkara
itsbat nikah terpadu tersebut? Ah, berat. Mereka berujar “Coba bayangkan, kalau
ada 100 perkara itsbat, dilakukan panggilan di tempat (di kantor), berapa duit
kita dapat?”. Naif.
Cetak Biru Mahkamah Agung
Mahkamah Agung telah
mencanangkan cetak biru (blue print) 2010-2035. Cetak biru tersebut
merupakan acuan perkembangan Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan di
bawahnya untuk 25 tahun ke depan.
Dalam cetak biru
tersebut dicantumkan, bahwa seluruh warga peradilan wajib membumikan
nilai-nilai utama badan peradilan. Demi terwujudnya visi dan misi institusi
peradilan. Salah satu dari sekian nilai tersebut adalah: integritas dan kejujuran.
Selain dari pengilhaman dari cetak
biru, integritas dan kejujuran merupakan wujud pembumian Pasal 5 Ayat (2)
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, jujur, adil, dan profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Dalam cetak biru Mahkamah Agung
ditegaskan, bahwa perilaku hakim harus menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku
hakim yang jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan
masyarakat akan kredibilitas putusannya. Integritas dan kejujuran wajib dijiwai
oleh setiap aparatur peradilan.
Dalam konteks
artikel ini, integritas dan kejujuran dapat diartikan dengan penuntasan tugas
menyidangkan itsbat nikah terpadu secara profesional (karena hakim sudah digaji
dan diberikan tunjangan besar untuk melakukan tugas itu) dan jujur (tidak
mencari-cari penghasilan lain dari “bagi hasil” relaas panggilan di tempat).
Peyimpangan
Seperti biasanya, das
sollen sering kali tak selaras dengan das sein. Tidak perlu
disebut siapa dan dari satker mana. Masih ada saja oknum yang tidak mengamini
spirit justice for all. Bahkan
kebijakannya justeru terkesan tamak, serakah, dan hedonis.
Sebut saja di daerah X, satker X.
Inisiatif penyelenggaraan itsbat nikah terpadu datang dari Pemerintah Daerah
setempat, dalam konteks ini diprakarsai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Selanjutnya terjadilah audiensi antara Dukcapil, Kemenag, dan Pengadilan Agama.
Dinas Dukcapil memberi gambaran
besaran anggaran yang diperuntukkan untuk kegiatan tersebut. Harapannya dengan
terbatasnya dana, Dukcapil mengharapkan setidaknya ada 60 pasangan nikah sirri
yang akan diitsbatkan.
Setelah perwakilan dari Pengadilan
Agama menjelaskan biaya perkara (biaya pembuatan permohonan, biaya pendaftaran,
biaya proses, biaya panggilan, redaksi, dan materai) pihak Dinas Dukcapil pun
melongo; tercengang. Mereka berbisik, “berarti hanya sekitar 10 pasangan saja ya
yang dapat kita prakarsai itsbatnya?”. Nelangsa.
Perwakilan dari Pengadilan Agama
yang menjelaskan tentang biaya perkara tersebut bukanlah sembarang orang. Dia
berpengetahuan luas. Termasuk juga mengetahui tentang adanya Sema Nomor 3 tahun
2014 yang mengatur tentang biaya panggilan sidang itsbat nikah terpadu yang hanya
diambil satu perkara radius terjauh/tersulit, selebihnya, untuk perkara lain
dinihilkan, alias digratiskan. Namun sayangnya, orang tersebut hanyalah utusan
yang dibeberi wewenang untuk menyampaiakan hasil rapat yang sudah disepakati
dalam rapat internal Pengadilan Agama.
Beberapa hari sebelum audiensi
dengan pihak luar, pihak Pengadilan Agama memang sudah mengadakan rapat, khusus
membahas proyek, ya, proyek itsbat nikah terpadu. Dalam keputusan finalnya,
Pengadilan Agama tidak mau kehilangan momen sama sekali. Pengadilan Agama sudah
ketok palu untuk tidak menggubris Sema Nomor 3 tahun tahun 2014. Memang sih,
dalam rapat tersebut masih ada ide dari manusia peserta rapat yang idealis,
yang mengusulkan penerepan Sema tersebut, dengan biaya panggilan yang
dinihilkan, demi kemaslahatan, demi terwujudnya “justice for all”. Tapi
apalah daya, kekuatan nafsu perut masih terlalu dominan. Ide polos-suci yang
muncul dari nurani tersebut terkapar tak berdaya. Forum akhirnya sepakat untuk
mengambil keuntungan materi dari biaya panggilan, untuk dibagi-bagi.
Singkat cerita, akhirnya sidang
itsbat nikah terpadu yang diprakarsai Pemda setempat hanya dapat membantu 12
pasangan. Karena terbatasnya anggaran, dan karena mahalnya biaya panggilan.
Padahal seharusnya biaya panggilan cukup diambil satu perkara, selebihnya
dinihilkan. Tuntaslah cerita.
Mari
Kita Insyaf Berjama’ah
Peraturan
Pemerintah nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan fasilitas Hakim yang
Berada di Bawah Mahkamah Agung hadir untuk menjamin kesejahteraan hakim.
Meskipun belum semua hak-hak terpenuhi, tapi tunjangan jabatan hakim sudah
cukup besar. Hal tersebut seharusnya dapat dijadikan spirit untuk mengabdi pada
pencari keadilan. Bukan justeru malah semakin haus dan liar.
Sebenarnya, malu jika kita bicarakan
uang yang hanya beberapa puluh atau maksimal beberapa ratus ribu dari uang
panggilan perkara itsbat nikah terpadu. Selain itu menghianati amanat Sema
Nomor 3 tahun 2014, kelakuan tersebut juga dapat memasukkan kita pada titik
nadir: hakim recehan. Recehan kalau halal 100 persen itu baik, tidak masalah.
Lha ini, duit relaas kok dimakan hakim. Bakal kaya tidak, malu pasti. Sudahlah,
begini saja: Mari kita insyaf. Kita, ya Kita semua. Insyaf berjamaah.
Penutup
Hakim adalah wakil
tuhan. Tidak seyogyanya wakil Tuhan memakan uang relaas yang bukan haknya. Toh,
di Sema Nomor 3 tahun 2014, biaya relaas itsbat nikah terpadu hanya diambil
satu perkara dengan radius terjauh/tersulit, perkara lain dinihilkan. Untuk sementara, kalau sudah terlanjur,
biarlah. Yang lalu biar berlalu. Tapi mari bersama bertekad semangat
implementasi “justice for all” dan mari insyaf berjama’ah. Demi
keluhuran martabat hakim. Wallahu a’lam. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar