Minggu, 17 Mei 2015

Peradilan Agama

ITSBAT NIKAH TERPADU:
  Proyek atau Implementasi “Justice for All”?
Sekapur Sirih
Jujur saja, artikel ini saya tulis dengan otak panas. Emosi teraduk-aduk. Nurani berteriak. Maaf saja jika tulisannya amburadul, tidak sistematis. Bagaimana tidak, di tengah gencarnya spirit “justice for all” yang digaungkan Mahkamah Agung, masih ada saja oknum pejabat yang tak mengerti cita-cita itu. Bahkan tindakannya justeru terkesan menggerus-menggerogot-merongrong  cita-cita luhur itu.
Semua orang butuh uang. Semua orang harus cari uang. Itu keniscayaan; sunnatullah. Tak ada yang salah.  Namun, tentu pencarian uang tersebut harus tetap mengacu pada nilai-nilai kepatutan dan kehalalan. Bukan keserakahan. Bukan ketamakan.
Contoh kecil, ya, kecil saja: dalam pelayanan itsbat nikah terpadu. Mahkamah Agung, dengan sangat bijaknya mengeluarkan Sema Nomor 3 Tahun 2014, tentang Tata Cara Pelayanan dan Pelaksanaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu. Dalam poin (e), dijelaskan bahwa, “Jurusita dapat menyerahkan relaas panggilan sidang kepada para Pemohon secara kolektif melalui instansi/pelaksana yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan terpadu”. Selanjutnya, dalam poin (f), sangat gamblang dinyatakan, “untuk biaya pembukuan biaya panggilan, yang dimasukkan dalam buku jurnal adalah radius terjauh/tersulit, apabila radiusnya sama, maka hanya salah satu biaya panggilan, sedangkan yang lain diisi NIHIL”.

Jelas sudah. Mahkamah Agung, melalui Sema di atas, sangat mendambakan “justice for all”. Sebuah strategi yang sangat linear salah satu misinya: Memberikan Pelayanan Hukum yang Berkeadilan Kepada Pencari Keadilan.
            Selanjutnya, apakah yang terjadi? dalam praktek di lapangan, ikhlaskah segelintir oknum pejabat itu melewatkan “bagi hasil” biaya panggilan sidang—yang dinihilkan—dari perkara-perkara itsbat nikah terpadu tersebut? Ah, berat. Mereka berujar “Coba bayangkan, kalau ada 100 perkara itsbat, dilakukan panggilan di tempat (di kantor), berapa duit kita dapat?”. Naif.
Cetak Biru Mahkamah Agung
            Mahkamah Agung telah mencanangkan cetak biru (blue print) 2010-2035. Cetak biru tersebut merupakan acuan perkembangan Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan di bawahnya untuk 25 tahun ke depan.
            Dalam cetak biru tersebut dicantumkan, bahwa seluruh warga peradilan wajib membumikan nilai-nilai utama badan peradilan. Demi terwujudnya visi dan misi institusi peradilan. Salah satu dari sekian nilai tersebut adalah: integritas dan  kejujuran.
            Selain dari pengilhaman dari cetak biru, integritas dan kejujuran merupakan wujud pembumian Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
            Dalam cetak biru Mahkamah Agung ditegaskan, bahwa perilaku hakim harus menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku hakim yang jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan kredibilitas putusannya. Integritas dan kejujuran wajib dijiwai oleh setiap aparatur peradilan.
            Dalam konteks artikel ini, integritas dan kejujuran dapat diartikan dengan penuntasan tugas menyidangkan itsbat nikah terpadu secara profesional (karena hakim sudah digaji dan diberikan tunjangan besar untuk melakukan tugas itu) dan jujur (tidak mencari-cari penghasilan lain dari “bagi hasil” relaas panggilan di tempat).
Peyimpangan
            Seperti biasanya, das sollen sering kali tak selaras dengan das sein. Tidak perlu disebut siapa dan dari satker mana. Masih ada saja oknum yang tidak mengamini spirit justice for all.  Bahkan kebijakannya justeru terkesan tamak, serakah, dan hedonis.
            Sebut saja di daerah X, satker X. Inisiatif penyelenggaraan itsbat nikah terpadu datang dari Pemerintah Daerah setempat, dalam konteks ini diprakarsai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Selanjutnya terjadilah audiensi antara Dukcapil, Kemenag, dan Pengadilan  Agama.
            Dinas Dukcapil memberi gambaran besaran anggaran yang diperuntukkan untuk kegiatan tersebut. Harapannya dengan terbatasnya dana, Dukcapil mengharapkan setidaknya ada 60 pasangan nikah sirri yang akan diitsbatkan.
            Setelah perwakilan dari Pengadilan Agama menjelaskan biaya perkara (biaya pembuatan permohonan, biaya pendaftaran, biaya proses, biaya panggilan, redaksi, dan materai) pihak Dinas Dukcapil pun melongo; tercengang. Mereka berbisik, “berarti hanya sekitar 10 pasangan saja ya yang dapat kita prakarsai itsbatnya?”. Nelangsa.
            Perwakilan dari Pengadilan Agama yang menjelaskan tentang biaya perkara tersebut bukanlah sembarang orang. Dia berpengetahuan luas. Termasuk juga mengetahui tentang adanya Sema Nomor 3 tahun 2014 yang mengatur tentang biaya panggilan sidang itsbat nikah terpadu yang hanya diambil satu perkara radius terjauh/tersulit, selebihnya, untuk perkara lain dinihilkan, alias digratiskan. Namun sayangnya, orang tersebut hanyalah utusan yang dibeberi wewenang untuk menyampaiakan hasil rapat yang sudah disepakati dalam rapat internal Pengadilan Agama.
            Beberapa hari sebelum audiensi dengan pihak luar, pihak Pengadilan Agama memang sudah mengadakan rapat, khusus membahas proyek, ya, proyek itsbat nikah terpadu. Dalam keputusan finalnya, Pengadilan Agama tidak mau kehilangan momen sama sekali. Pengadilan Agama sudah ketok palu untuk tidak menggubris Sema Nomor 3 tahun tahun 2014. Memang sih, dalam rapat tersebut masih ada ide dari manusia peserta rapat yang idealis, yang mengusulkan penerepan Sema tersebut, dengan biaya panggilan yang dinihilkan, demi kemaslahatan, demi terwujudnya “justice for all”. Tapi apalah daya, kekuatan nafsu perut masih terlalu dominan. Ide polos-suci yang muncul dari nurani tersebut terkapar tak berdaya. Forum akhirnya sepakat untuk mengambil keuntungan materi dari biaya panggilan, untuk dibagi-bagi.
            Singkat cerita, akhirnya sidang itsbat nikah terpadu yang diprakarsai Pemda setempat hanya dapat membantu 12 pasangan. Karena terbatasnya anggaran, dan karena mahalnya biaya panggilan. Padahal seharusnya biaya panggilan cukup diambil satu perkara, selebihnya dinihilkan. Tuntaslah cerita.

Mari Kita Insyaf Berjama’ah
            Peraturan Pemerintah nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung hadir untuk menjamin kesejahteraan hakim. Meskipun belum semua hak-hak terpenuhi, tapi tunjangan jabatan hakim sudah cukup besar. Hal tersebut seharusnya dapat dijadikan spirit untuk mengabdi pada pencari keadilan. Bukan justeru malah semakin haus dan liar.
            Sebenarnya, malu jika kita bicarakan uang yang hanya beberapa puluh atau maksimal beberapa ratus ribu dari uang panggilan perkara itsbat nikah terpadu. Selain itu menghianati amanat Sema Nomor 3 tahun 2014, kelakuan tersebut juga dapat memasukkan kita pada titik nadir: hakim recehan. Recehan kalau halal 100 persen itu baik, tidak masalah. Lha ini, duit relaas kok dimakan hakim. Bakal kaya tidak, malu pasti. Sudahlah, begini saja: Mari kita insyaf. Kita, ya Kita semua. Insyaf berjamaah.
Penutup

            Hakim adalah wakil tuhan. Tidak seyogyanya wakil Tuhan memakan uang relaas yang bukan haknya. Toh, di Sema Nomor 3 tahun 2014, biaya relaas itsbat nikah terpadu hanya diambil satu perkara dengan radius terjauh/tersulit, perkara lain dinihilkan.  Untuk sementara, kalau sudah terlanjur, biarlah. Yang lalu biar berlalu. Tapi mari bersama bertekad semangat implementasi “justice for all” dan mari insyaf berjama’ah. Demi keluhuran martabat hakim. Wallahu a’lam. Sekian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar