Jumat, 20 Oktober 2017

Izin Cerai Karyawan BUMN

Izin Perceraian Bagi Karyawan BUMN, Masih Wajib?

Oleh: Ahmad Z. Anam, S.H.I., M.S.I.[1]
Norma hukum Pasal 1 Huruf a Angka 2c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 tahun 1990, menyatakan bahwa ketentuan aturan perkawinan dan perceraian bagi karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipersamakan dengan aturan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Selanjutnya, pada Pasal 3 PP Nomor 10 tahun 1983 ditegaskan bahwa PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin dari pejabat.[2] Jika ada PNS yang nekat bercerai dengan tanpa izin, juga tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.[3]
Dari dua norma hukum tersebut, dapat ditarik sebuah konklusi: sebagaimana PNS, Karyawan BUMN juga wajib memperoleh izin pejabat untuk dapat melakukan perceraian di Pengadilan. Jika tidak, akan ada sanksi  yang setia menunggu.
Namun, kemudian hari, kemapanan aturan tentang perceraian bagi karyawan BUMN pada akhirnya harus terusik dengan lahirnya PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Pada Pasal 95 Ayat 2 Peraturan Pemerintah tersebut, tercantum kalimat “Bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.”
Lantas, dengan hadirnya PP Nomor 45 tahun 2005 tersebut, apakah serta merta ketentuan izin perceraian bagi karyawan BUMN sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 tidak berlaku lagi?

Perbedaan Ketentuan Panggilan Perdata Umum dan Perdata Cerai

PERBEDAAN KETENTUAN PANGGILAN ANTARA PERKARA PERDATA UMUM DAN PERDATA-PERCERAIAN
Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
            Surat panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.[2]
Relaas merupakan instrumen vital dalam berkas perkara. Ia merupakan akta autentik[3] yang menjadi kunci bagi hakim untuk dapat meneruskan atau tidak meneruskan sebuah pemeriksaan perkara. Tanpanya, mustahil sebuah perkara dapat diperiksa, diadili, dan diputuskan.
            Hal yang sering jadi perdebatan adalah: jika para pihak tidak hadir pada sidang yang telah ditentukan, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, apakah pada sidang lanjutan pihak tersebut wajib dipanggil lagi? Atau panggilan selanjutnya tersebut hanya bersifat “ibahah” saja?