Rabu, 26 Maret 2014

hadits dan humaniora

Hadis Dalam Optik Keilmuan Humaniora: Sebuah Pendekatan Historis
Oleh: Ahmad Z. Anam

"إنّ مفهوم السنّة الاًصولى الّذي غلّف بالمقدّسة وأصبح ضمنا لا مفكّر فيه لرسوخ اعتقاد الضّمير الإسلاميّ فى صحّته ومشروعيّته المتأصّلة في تعاليم الله ليس إلاّ مفهوما صاغه الأصليون نتيجة مقتضيات مذهبيّة وتاريخيّة معيّنة وهو بالتالي مفهوم تارحىّ ونسبىّّ لايعرفه النّبي" (حمّاذي ذويب)

Pendahuluan
Membincang hadis dalam optik humaniora, bak mengarungi samudra, begitu luas areanya. Cakupan keilmuan cabang ini meliputi: bahasa, moral, filsafat, seni, dan historis (sejarah). Sebagai upaya spesifikasi dan pembatasan kajian, dalam paper ini hanya akan membahas fan atau cabang historisitas hadis. Alasannya, kajian kesejarahan diilhami sebagai pendekatan yang begitu penting dalam studi hadis,   hanya dengan pendekatan ini, hadis dapat diketahui jluntrung paraning dumadi-nya. Sehingga something goes behind-nya dapat terdeteksi, sebagai upaya kritis pemilahan dan pemilihan hadis yang dapat dijadikan hujjah asy-syar’iyyah.
Bagi orang yang berfikir kritis atas hadis, tentu mereka akan mememukan kesangsian yang luar biasa atasnya, karena dihadapkan dengan adanya—bahkan banyak—hadis yang tidak sesuai dengan pandangan hidup al-Qur'an. Mereka tidak akan dengan dengan mudah menerima hadis begitu saja—tanpa serangkaian kajian kritis yang komperehensif atas hadis.
Faktor utama dibutuhkannya nalar kritis dalam memahami hadis adalah perjalanan hadis itu sendiri—meliputi masa informalàsemi formalàformal.[1] Oleh karena itu, kajian historis tentang hadis menjadi begitu penting adanya dalam proses pemahaman hadis, kemudian berorientasi pada tujuan living sunnah.[2]
Paper ini mencoba mengeksplor urgensi pendekatan historis dalam hadis, meliputi: Fungsi pendekatan, kajian-kajian penting dalam kesejarahan—seperti halnya analisis politik, dan aliran rijal al-hadis, demikian juga hadis dalam sorotan masa kini.
Fungsi Analisis Historis
Untuk menemukan fungsi analisis Historis, nampaknya kita membutuhkan pengantar yang agak panjang berikut:[3]
            Ada dua riwayat yang bertentangan mengenai peristiwa detik-detik terakhir wafatnya Nabi saw. Anehnya, kedua periwayatan itu bersumber pada orang yang sama: 'Aisyah ra. Menurut riwayat pertama, ada dua orang perempuan yang bertanya pada 'Aisyah ra. "Wahai Um al-Mukminin! ceritakan kepada kami tentang Ali!. 'Aisyah berkata" Untuk apa kalian bertanya tentang laki-laki yang meletakkan tangannya pada satu tempat (di tubuh) Rasulullah saw?. Nafasnya (yang terakhir) berhembus lewat tangannya itu, lalu ia ia mengusapkannya pada wajahnya. Ia berkata" Sesungguhnya tanah yang paling dicintai oleh Alllah adalah adalah tempat Ia mewafatkan nabi-Nya. Kata perempuan itu? "Mengapa anda memerangi dia? 'Aisyah ra. Menjawab" Ini peristiwa yang telah terjadi. Sungguh aku ingin menebus peristiwa ini dengan apa saja yang ada di bumi.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir 3:5. Pada halaman yang sama, ia juga meriwayatkan hadis dari 'Aisyah: menjelang akhir hayat nabi, Rasulullah berkata, "Panggilkan kekasihku... kemudian mereka memangil Ali: ketika ia datang dan melihat beliau, Ali membuka baju dan menyelimuti beliau dengan baju itu. Tidak henti-hentinya Ali memeluknya, sampai beliau meninggal dunia. Dari dua hadis ini kita dapat menyimpulkan bahwa pada detik-detik terakhir hayatnya, Rasulullah berada pada pelukan Ali ra.
Tetapi, dalam Shahih bukhari, bab al-washaya dalam kitab fath al-Bary 5:357 (syarah kitab matn al-Bukhari), dan shahih Muslim dengan bab yang sama, diriwayatkan sebagai berikut (dengan redaksi Muslim):
"Di hadapan 'Aisyah orang-orang menyebutkan bahwa Ali berkata: Kapan  ia berwasiat? Jawab 'Aisyah ra." Beliau bersandar padaku (atau ia berkata: pada pangkuanku). Beliau meminta air. Sungguh beliau terkulai pada pangkuanku. Aku tidak menyadari bahwa beliau telah meninggal. Bedasarkan hadis ini, Rasulullah menghembuskan nafas terakhir pada pangkuan 'Aisyah ra. Bila kedua hadis ini dikumpulkan dari berbagai sumber, menurut sanadnya, kedua riwayat ini shahih. Yang menjadi persoalan, mengapa terjadi dua periwayatan bertentangan melalaui sumber yang sama?.
Dengan mempelajari sejarah agama Islam, kita akan mendapatkan penjelasan menarik. Sejarah mencatat peperangan yang dipimpin 'Aisyah ra—bersama Thalhah dan Zubair—memberontak Ali ra. Pada periode ini 'Aisyah tidak pernah meriwayatkan keutamaan Ali. Bahkan jika periwayatan melibatkan Ali, 'Aisyah cukup menyebutkannya dengan kata "rajul" saja, dengan tanpa menyebutkan namanya. Sebagai contoh, dalam Shahih Buchari, bab sholat al-musafir,  'Aisah mengisahkan "rajul" "seorang laki-laki" yang diutus oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan dan salat jama'ah. Orang itu selalu membaca "Qul huwaallahu..." ketika peristiwa itu dlaporkan pada Nabi saw. Beliau berkata" tanyalah dia mengapa melakukan hal yang demikian. Orang itu berkata "Surat ini menjelaskan sifat Allah ar-Rahman. Saya senang membacanya. Kata Rasulullah : "Sampaikan padanya  Bahwa Allah mencintainya. Dalam riwayat dari Umar bin Hussain ra. orang itu disebutkan sebagai Ali bin Abi Thalib, dijelaskan dalam Tafsir Majma' al-Bayan 5:567.
Saat musim beralih, zaman bertukar, ketika Muawiyyah berkuasa, ia memerintahkan pada para Khatib untuk mengutuk Ali di mimbar-mimbar. Ketika Marwan bin Hakam—atas perintah Muawiyyah meminta penduduk Madinah berbai'at pada Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar mengkritiknya. Marwan memerintahkan supaya Abdurahman ditangkap. Ia lalu melarikan diri ke rumah 'Aisyah ra. Lalu marwan berkata "Sesungguhnya ayat—"Orang yang berkata kepada orang tuanya: cis!!bagi kamu berdua! Apakah kamu mengecam aku! (al-Ahqaf 17)—turun berkenaan dengan Abdurahman. Tentu saja, 'Aisyah marah dan menuding Marwan berdusta. Ia malah menyebutkan hadis Nabi saw. yang mengatakan Marwan sebagai percikan laknat Allah (fath al-Bary 10: 97-198).
Tidak lama setelah itu, Abdurrahman ditemukan sudah meninggal secara tiba-tiba di Al-Jusya'. 'Aisyah menduga Abdurrahman dibunuh secara misterius oleh kaki tangan Muawiyyah. Sebagai Upaya perlawanan Muawiyyah yang selalu melaknat ali, pada periode ini 'Aisyah meriwayatkan keutamaan Ali, dengan kalimat-kalimat yang tegas (Sharih).
Dari rekaman sejarah tersebut, kita dapat menarik beberapa hal penting:
 Pertama: pada masa sahabat, hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai oleh suasana politik pada waktu itu. Hanya dengan mengetahui kondisi pada zaman tersebutlah, kita dapat menjelaskan inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sejarah dapat membantu kita untuk menerima, menolak, atau mentarjih hadis, yang mana hal tersebut merupakan kajian penting dalam pemahaman hadis[4]. Hal ini penting adanya, sebagai upaya penjelasan perbedaan pemahaman menyangkut sekian banyak sunnah Nabi, kemudian mendudukan masalahnya, baik dengan menjelaskan hadis maupun menolak kesahihannya.[5]
Kedua: untuk memahami hadis, kita perlu mengetahui latar belakang politis rijal al-hadis, termasuk didalamnya sahabat-sahabat Nabi saw. Buku-buku rijal al-hadis seperti al-Ishabah, al-Isti'ab, dan Mizan al-'I'tidal, hendaknya disempurnakan dengan karya-karya berikutnya yang dilengkapi dengan sejarah Islam klasik. Histografi Islam dapat membantu kita dalam menganalisa hadis secara kritis.
Ketiga: karena pemihkan politis, para periwayat hadis sering kali mengurangai atau setidaknya mengaburkan matn al-hadis. Ketika al-Bukhari mengatakan "sesuatu" ia tidak ingin menyampaikan kritik Abdurrahman terhadap Muawiyyah. Karena itu, analisi historis dapat menolong kita untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat absurd.
Keempat: karena kita menyimpulkan sunnah dari hadis, maka latar belakang sejarah dari suatu peristiwa menjadi sangat urgen. Kita tahu, bahwa tidak semua riwayat yang disandarkan pada Nabi saw. Menunjukkan sunnah. Sunnah hanya berlaku pada ketentuan yang sesuai dan pantas dijadikan hujjah syar'iyah—sesuai dengan pendefinisian para Ulama' Ushul terhadap sunnah.

Analisis Situasi Politilk
Seperti yang kita ketahui, sejarah kebudayaan Islam menyatakan  pasca wafatnya Rasulullah terdapat beberapa kelompok politik: Muhajirin, Anshar, dan pengikut Ali (sebagian besar dari Bani Hasim). Masing-masing kelompok mengutip hadis Nabi saw. untuk membenarkan kepemimpinan mereka. Pada waktu itu muncullah hadis fadla'il (keutamaan sahabat-sahabat tertentu). Hadis-hadis itu memang sebagian (besar) dari Rasulullah.
Dalam perjalannannya, nampaknya pendukung Ali meriwayatkan hadis lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Seperti halnya hadis yang menyatakan bahwa Ali adalah orang yang paling dipercaya, bahkan hingga detik-detik wafatnya Rasulullah. Maka menjadi wajar adanya, jika kelompok-kelompok lain berusaha untuk melarang periwayatan hadis.
Dengan latar belakang historis seperti ini, kita tidak lagi heran jika ada sahabat yang melarang periwayatan hadis, bahkan menisbatkan pelarangan ini pada Rasulullah, walaupun banyak hadis yang memerintahkan penulisan hadis.
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar menyatakan: hadis semakin banyak pada masa Umar. Kemudian ia memerintahkan untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut. Setelah terkumpul, ia meletakkannnya diatas bara api (at-Thabaqat al-Kubra 5:188).
Quzrah bin Ka'ab meriwayatkan," ketika kami pergi dari Madinah ke Irak, Umar mengiringi kami hingga pinggiran kota, Ia berkata padaku, "Tahukah kamu mengapa aku mengantarmu?. Kata kami" Engkau bermaksud mengantar kami dan memuliakan kami". Ia berkata "Aku mempunyai kepentingan. Kamu akan mendatang penduduk yang menyuarakan al-Qur'an seperti gemuruh suara kurma. Jangan palingkan suara mereka dengan hadis-hadis Rasulullah. Aku menjadi mitra kamu". Ketika Quzrah bin Ka'ab datang, orang-orang berkata" Sampaikan pada kami hadis. Ia berkata" Umar melarang kami. Hadis ini diriwayatkan Ibnu Abdil Barr dan Adz-Dzahabi.[6]
Akibat pelarangan hadis ini, banyak hadis yang hilang dari peredaran. Pada saat yang sama, pihak-pihak tertentu dapat memasukkan hadis untuk kepentingan mereka. Tanpa penulisan, periwayatan hadis berdasarkan maknanya saja sangatlah umum. Tidak jarang orang menolak sebuah sunnah, karena sunnah tersebut dijalankan dengan setia oleh kelompok lain. Lalu, hadis dikeluarkan untuk menjustifikasi perbuatan itu.

Analisis Aliran Politik Rijal al-Hadis
An-Nisabury, dalam tafsirnya (Tafsir an-nisabury, Hamisy Tafsir at-Thabary 1:79) menyatakan "Ali mengeraskan bacaan basmalah" .Pada zaman bani Umayyah, mereka berusaha melarang bacaan jahr basmalah, sebagai upaya pengkaburan jejak Ali.
Jika terdapat perbedaan matan diantara beberapa sanad hadis, kita dapat melacak aliran politik setiap rijal-nya. kita dapat membandingkan rijal pada hadis-hadis yang meriwayatkan basmalah jahr dan basmalah sirr. Rijal  yang pertama umumnya berada di kelompok Ali, sementara yang kedua berada di kelompok Muawiyah.
            Dengan hadirnya contoh kasus diatas, dapat dilihat, betapa aliran politik seseorang begitu mempengaruhi terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan, meskipun tidak semua perawi menguikuti arus ini. Oleh karena itu, studi aliran rijal menjadi penting adanya untuk menemukan seberapa netral sebuah hadis, kemudian menentukan layak atau tidaknya untuk menjadi hujjah syar'iyyah.

Hadis Dalam Sorotan: konteks Masa Kini
Hadis, dalam perjalanannya mengalami pasang surut yang luar biasa, ada masa kejayaan ada masa kemunduran. Untuk saat ini bagaimana peneropongan Umat Islam terhadap hadis, barangkali dapat direfleksikan oleh hadis itu sendiri. Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya adalah aspek sosial-ideologis, sosial-paradigmatis, sosial budaya, dan sosial-keagamaan.[7]
Hadis dalam perspektif sosial-ideologis dapat dikemukakan beberapa hal berikut, pertama, di era informasi ini, ideologi masyarakat yang banyak dianut sebagian besar tokoh di berbagai bidang adalah ideologi kapitalisme. Ideologi ini bermuara pada siapa yang memiliki modal dialah yang berkesempatan memimpin  dunia. Di pihak lain, siapa yang tidak memiliki modal maka dia akan dikuasai pihak lain. Dalam kaitannya dengan hadis dengan ideologinya sendiri yaitu ideologi normatif, maka dengan senndirinya muncul kondisi dilematis umat Islam. Di satu sisi umat Islam telah digempur dengan ideologi kapitalis yang ternyata sudah melanda sebagian besar umat Islam. Di sisi lain, hadis sebagai sumber ajaran, umat islam harus menerima ideologi normatif yang hanya berbicara salah-benar dan halal-haram. Implikasinya, muncul kegamangan yang luar biasa dalam diri umat.
Kedua, berkaitan dengan pernyataan pertama, ideologi yang dominan adalah ideologi kapitalis, maka peminggiran ideologi normatif yang cenderung kaku tidak terelakkan. Hal ini tidak saja terjadi di wilayah eksternal, namun juga marak dikalangan internal umat islam sendiri.
Hadis dalam perspektif sosial-epistemologis, dapat dikatakan sebagai korban proyek epistemologi dunia. Sebagaimana di ketahui, bahwa epistemologi yang paling dominan saat ini adalah epistemologi positivistik yang mengedepankan objektivitas, netralitas, empiris, dan pragmatis. Epistemologi tersebut dengan sendirinya akan menggempur epistemologi hadis yang selama ini telah mapan, yakni epistemologi bayani—seperti yang dibahasakan al-Jabiri—yang hanya mengedepankan orasional-linguistik. Episteomologi ini mengalami beberapa kendala yang berarti, di antaranya: adanya kesenjangan pemahaman antara generasi satu dengan generasi yang lain, perbedaan penafsiran, dan kepentingan umat saat ini jauh berbeda dengan kepentingan masa lalu.
Hadis dalam perspektif sosial-paradigmatik dapat dikemukakan bahwa paradigma yang berkembang dalam umat islam bahkan sampai saat ini adalah paradigna parsialistik. Ada pandangan umat Islam yang konservatif dengan pandangan bahwa segala sesuatu telah telah diatur oleh Allah sesuai dengan pemahaman literalistik pada al-Qur'an maupun as-Sunnah. Hadis dipahami sebagai sesuatu yang final—baik leksikal, maupun kandungan maknannya. Di lain pihak, ada kelompok yang berparadigma liberal dengan paradigma bahwa dalam berfifkir dan bertindak tidak perlu menggunkan rambu-rambu tradisi lama, termasuk di dalamnya adalah hadis. Kelompok yang terakhir adalah kelompok kritis, yang menghendaki adanya analisis dan kajian yang kritis terhadap seluruh wacana dalam konteks masyarakat saat ini. Dalam kacamata kelompok terakhir ini, hadis tidaklah dipahami sebagai tradisi tanpa arti, tidak juga sesuatu yang fiinal, akan tetapi dipahami sebagai sebagai turas yang harus digali kekayaan maknanya, agar tidak bersifat kaku dan statis dan diapandang sebagai entitas sumber ajaran Islam.
Hadis dalam perspektif sosial-budaya, dapat dikatakan bahwa budaya yang ada pada saat ini lebih mengedepankan budaya kompitisi, serba instan, serba cepat, dan serba kulit. Popularitas melalui karya apapun tanpa memperhatikan tradisi, norma, dan aturan-aturan lama sudah menjadi fenomena yang lumrah. Sebaliknya menghargai dan nguri-uri adiluhung tradisi justru dianggap sebagai pihak yang menghambat kemajuan. Dalam konteks hadis, barang kali dapat dikatakan bahwa nilai kandungan hadis yang kelihatannya sangat rigid dan kaku dianggap bukanlah hal yang penting. Idealnya, hadis dalam perspektif sosial-budaya seharusnya dilakuakan penyeimbangan nilai-nilai yang ada dalam hadis dengan budaya-budaya yang muncul di generasi kemudian.
Hadis dalam perspektif sosial-keagamaan dapat diungkap disini bahwa telah terjadi fragmentasi yang cukup memperihatinkan diantara kelompok keagamaan saat ini., khususnya indonesia. Fragmentasi tersebut salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang berbeda dari sumber ajaran Islam—al-Qur'an dan as-Sunnah. Hadis dalam perspektif sosial-keagamaan saat ini telah mengalami reduksi dan degradasi status.
Dari deskripsi di atas, terlihat jelas bahwa hadis mendapat tantangan yang luar biasa dalam ranah penjagaan eksistensi dan kontinuitasnya, baik dari aspek sosial-ideologis, sosial-paradigmatis, sosial budaya, dan sosial-keagamaan. Namun demikian, sebagai Umat Islam yang berkarakter, itu bukanlah bencana yang harus dihindari, melainkan harus disikapi sebagai cambuk semangat untuk menjadi lebih berkualitas dan lebih berkarakter.

Penutup
Ketika Umat Islam mencari kebijakan, baik pada wilayah ilmu, budaya, sosial msyarakat, ekonomi maupun hukum, saat itu pula merujuk pada dua sumber utama—al-Qur'an dan as-Sunnah—adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin ditanggalkan. Pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu pada teks-teks landasan dasar Islam. Semua orang sepakat akan arti penting as-sunnah dalam pembaruan di tubuh Islam. Namun yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadapnya. Sikap kritis ini kemudian sering kali dicurigai akan menghilangkan hadis atau sunnah.
Mau tak mau, sadar ataupun tidak, kita telah terimbas "dosa sejarah" yang telah diperbuat "kepentingan" masa preseden—di mana perebutan posisi dilegitimasi dengan hujjah yang disandarkan pada Nabi. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya membumikan sunnah yang bersih dari "tunggangan" kelompok tertentu adalah berupaya kritis dalam studi hadis: salah satunya dengan pendekatan historis.
Studi hadis yang massif dan komperehensif—meliputi seluruh bidang keilmuan yang terkait sekaligus melintasai batas sekte aliran ke-Islaman—menjadi "syarat wajib" bagi kita dalam kajian hadis: hal ini dikarenakan keterbatasan kajian dan terjebak dalam sekte tertentu, dapat mereduksi mendistorsi dan pandangan hidup hadis itu sendiri.


Daftar Pustaka

'Ajaz al-Khatib, Mohammad, ­Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh, Lebanon: Dar al-Fikr, 2008.
Al-Ghazali, Muhammad, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw., Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, alih bahasa: Muhamad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Dzuwaib, Hammady, as-Sunnah bain al-Ushul wa at-tarikh, Lebanon: al-Markas at-Tsaqofiy, 2005. 
Mukri, Barmawi, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, Mengungkap Akar Implementasinya, Yogyakarta: Ide@l Press, 2005.
Rahman, Fazlur, Iskamic Metodology in History, karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965.
Rahmat, Jalaluddin, Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam Pengembangan Pemikiran Hadis, diedit oleh Yunahar Ilyas dan M.Mas'udi, Yogyakarta: LPPI, 1991.





[1] Fazlur Rahman, Iskamic Metodology in History, (karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965) Hlm. 69. Masa informal yang dimaksud disini adalah saat hadis masih berada di wilayah perbincangan umat, dimana Nabi masih hidup dan menjadi uswah hasanah. Sementara periode semi formal yakni ketika fenomena penulisan hadis yang masih belum terkoordinir menjadi unsur kesengajaan karena tuntutan generasi baru akan deskripsi kehidupan Nabi. Sementara periode formal dimulai dengan standarisasi, kodifikasi, dan penyeragaman hadis.
[2] Ibid., hlm. 5-9.

[3] Jalaluddin Rahmat, Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam Pengembangan Pemikiran Hadis, diedit oleh Yunahar Ilyas dan M.Mas'udi, (Yogyakarta: LPPI, 1991) hlm.141.
[4] Mohammad 'Ajaz al-Khatib, ­Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh, (Lebanon: Dar al-Fikr, 2008) hlm.3.
[5] Muhammad ai-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, alih bahasa: Muhamad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1998) hlm.11
[6]  Jalaluddin Rahmat, Pemahaman Hadis…hlm.147
[7]Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, Mengungkap Akar Implementasinya, ( Yogyakarta: Ide@l Press, 2005) hlm.ix

Tidak ada komentar:

Posting Komentar