Hadis Dalam Optik
Keilmuan Humaniora: Sebuah Pendekatan Historis
Oleh: Ahmad Z. Anam
"إنّ مفهوم السنّة الاًصولى الّذي غلّف بالمقدّسة وأصبح
ضمنا لا مفكّر فيه لرسوخ اعتقاد الضّمير الإسلاميّ فى صحّته ومشروعيّته المتأصّلة في
تعاليم الله ليس إلاّ مفهوما صاغه الأصليون نتيجة مقتضيات مذهبيّة وتاريخيّة معيّنة
وهو بالتالي مفهوم تارحىّ ونسبىّّ لايعرفه النّبي" (حمّاذي ذويب)
Pendahuluan
Membincang hadis dalam optik
humaniora, bak mengarungi samudra, begitu luas areanya. Cakupan keilmuan cabang
ini meliputi: bahasa, moral, filsafat, seni, dan historis (sejarah). Sebagai
upaya spesifikasi dan pembatasan kajian, dalam paper ini hanya akan membahas fan
atau cabang historisitas hadis. Alasannya, kajian kesejarahan diilhami
sebagai pendekatan yang begitu penting dalam studi hadis, hanya dengan pendekatan ini, hadis dapat
diketahui jluntrung paraning dumadi-nya. Sehingga something goes
behind-nya dapat terdeteksi, sebagai upaya kritis pemilahan dan pemilihan
hadis yang dapat dijadikan hujjah asy-syar’iyyah.
Bagi orang yang berfikir
kritis atas hadis, tentu mereka akan mememukan kesangsian yang luar biasa
atasnya, karena dihadapkan dengan adanya—bahkan banyak—hadis yang tidak sesuai
dengan pandangan hidup al-Qur'an. Mereka tidak akan dengan dengan mudah
menerima hadis begitu saja—tanpa serangkaian kajian kritis yang komperehensif
atas hadis.
Faktor utama dibutuhkannya
nalar kritis dalam memahami hadis adalah perjalanan hadis itu sendiri—meliputi masa
informalàsemi formalàformal.[1] Oleh karena itu, kajian
historis tentang hadis menjadi begitu penting adanya dalam proses pemahaman
hadis, kemudian berorientasi pada tujuan living sunnah.[2]
Paper ini mencoba mengeksplor
urgensi pendekatan historis dalam hadis, meliputi: Fungsi pendekatan,
kajian-kajian penting dalam kesejarahan—seperti halnya analisis politik, dan
aliran rijal al-hadis, demikian juga hadis dalam sorotan masa kini.
Fungsi Analisis Historis
Untuk menemukan fungsi analisis
Historis, nampaknya kita membutuhkan pengantar yang agak panjang berikut:[3]
Ada
dua riwayat yang bertentangan mengenai peristiwa detik-detik terakhir wafatnya Nabi
saw. Anehnya, kedua periwayatan itu bersumber pada orang yang sama: 'Aisyah ra.
Menurut riwayat pertama, ada dua orang perempuan yang bertanya pada 'Aisyah ra.
"Wahai Um al-Mukminin! ceritakan kepada kami tentang Ali!. 'Aisyah
berkata" Untuk apa kalian bertanya tentang laki-laki yang meletakkan
tangannya pada satu tempat (di tubuh) Rasulullah saw?. Nafasnya (yang terakhir)
berhembus lewat tangannya itu, lalu ia ia mengusapkannya pada wajahnya. Ia
berkata" Sesungguhnya tanah yang paling dicintai oleh Alllah adalah adalah
tempat Ia mewafatkan nabi-Nya. Kata perempuan itu? "Mengapa anda memerangi
dia? 'Aisyah ra. Menjawab" Ini peristiwa yang telah terjadi. Sungguh aku
ingin menebus peristiwa ini dengan apa saja yang ada di bumi.
Hadis tersebut diriwayatkan
oleh Ibnu 'Asakir 3:5. Pada halaman yang sama, ia juga meriwayatkan hadis dari 'Aisyah:
menjelang akhir hayat nabi, Rasulullah berkata, "Panggilkan kekasihku...
kemudian mereka memangil Ali: ketika ia datang dan melihat beliau, Ali membuka
baju dan menyelimuti beliau dengan baju itu. Tidak henti-hentinya Ali
memeluknya, sampai beliau meninggal dunia. Dari dua hadis ini kita dapat
menyimpulkan bahwa pada detik-detik terakhir hayatnya, Rasulullah berada pada
pelukan Ali ra.
Tetapi, dalam Shahih bukhari,
bab al-washaya dalam kitab fath al-Bary 5:357 (syarah
kitab matn al-Bukhari), dan shahih Muslim dengan
bab yang sama, diriwayatkan sebagai berikut (dengan redaksi Muslim):
"Di hadapan 'Aisyah
orang-orang menyebutkan bahwa Ali berkata: Kapan ia berwasiat? Jawab 'Aisyah ra." Beliau
bersandar padaku (atau ia berkata: pada pangkuanku). Beliau meminta air.
Sungguh beliau terkulai pada pangkuanku. Aku tidak menyadari bahwa beliau telah
meninggal. Bedasarkan hadis ini, Rasulullah menghembuskan nafas terakhir pada
pangkuan 'Aisyah ra. Bila kedua hadis ini dikumpulkan dari berbagai sumber,
menurut sanadnya, kedua riwayat ini shahih. Yang menjadi
persoalan, mengapa terjadi dua periwayatan bertentangan melalaui sumber yang
sama?.
Dengan mempelajari sejarah
agama Islam, kita akan mendapatkan penjelasan menarik. Sejarah mencatat
peperangan yang dipimpin 'Aisyah ra—bersama Thalhah dan Zubair—memberontak Ali
ra. Pada periode ini 'Aisyah tidak pernah meriwayatkan keutamaan Ali. Bahkan
jika periwayatan melibatkan Ali, 'Aisyah cukup menyebutkannya dengan kata
"rajul" saja, dengan tanpa menyebutkan namanya. Sebagai
contoh, dalam Shahih Buchari, bab sholat al-musafir, 'Aisah mengisahkan "rajul"
"seorang laki-laki" yang diutus oleh Rasulullah untuk memimpin
pasukan dan salat jama'ah. Orang itu selalu membaca "Qul huwaallahu..."
ketika peristiwa itu dlaporkan pada Nabi saw. Beliau berkata" tanyalah dia
mengapa melakukan hal yang demikian. Orang itu berkata "Surat ini
menjelaskan sifat Allah ar-Rahman. Saya senang membacanya. Kata Rasulullah :
"Sampaikan padanya Bahwa Allah
mencintainya. Dalam riwayat dari Umar bin Hussain ra. orang itu disebutkan
sebagai Ali bin Abi Thalib, dijelaskan dalam Tafsir Majma' al-Bayan 5:567.
Saat musim beralih, zaman
bertukar, ketika Muawiyyah berkuasa, ia memerintahkan pada para Khatib untuk
mengutuk Ali di mimbar-mimbar. Ketika Marwan bin Hakam—atas perintah Muawiyyah
meminta penduduk Madinah berbai'at pada Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar
mengkritiknya. Marwan memerintahkan supaya Abdurahman ditangkap. Ia lalu
melarikan diri ke rumah 'Aisyah ra. Lalu marwan berkata "Sesungguhnya
ayat—"Orang yang berkata kepada orang tuanya: cis!!bagi kamu berdua!
Apakah kamu mengecam aku! (al-Ahqaf 17)—turun berkenaan dengan Abdurahman.
Tentu saja, 'Aisyah marah dan menuding Marwan berdusta. Ia malah menyebutkan
hadis Nabi saw. yang mengatakan Marwan sebagai percikan laknat Allah (fath
al-Bary 10: 97-198).
Tidak lama setelah itu,
Abdurrahman ditemukan sudah meninggal secara tiba-tiba di Al-Jusya'. 'Aisyah
menduga Abdurrahman dibunuh secara misterius oleh kaki tangan Muawiyyah.
Sebagai Upaya perlawanan Muawiyyah yang selalu melaknat ali, pada periode ini
'Aisyah meriwayatkan keutamaan Ali, dengan kalimat-kalimat yang tegas (Sharih).
Dari rekaman sejarah
tersebut, kita dapat menarik beberapa hal penting:
Pertama: pada masa sahabat, hadis-hadis
yang disampaikan sangat diwarnai oleh suasana politik pada waktu itu. Hanya
dengan mengetahui kondisi pada zaman tersebutlah, kita dapat menjelaskan
inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sejarah dapat membantu kita untuk
menerima, menolak, atau mentarjih hadis, yang mana hal tersebut
merupakan kajian penting dalam pemahaman hadis[4]. Hal ini penting
adanya, sebagai upaya penjelasan perbedaan pemahaman menyangkut sekian
banyak sunnah Nabi, kemudian mendudukan masalahnya, baik dengan menjelaskan
hadis maupun menolak kesahihannya.[5]
Kedua: untuk memahami hadis, kita perlu
mengetahui latar belakang politis rijal al-hadis, termasuk didalamnya
sahabat-sahabat Nabi saw. Buku-buku rijal al-hadis seperti al-Ishabah,
al-Isti'ab, dan Mizan al-'I'tidal, hendaknya disempurnakan
dengan karya-karya berikutnya yang dilengkapi dengan sejarah Islam klasik.
Histografi Islam dapat membantu kita dalam menganalisa hadis secara kritis.
Ketiga: karena pemihkan politis, para periwayat
hadis sering kali mengurangai atau setidaknya mengaburkan matn al-hadis. Ketika
al-Bukhari mengatakan "sesuatu" ia tidak ingin menyampaikan kritik
Abdurrahman terhadap Muawiyyah. Karena itu, analisi historis dapat menolong
kita untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat absurd.
Keempat: karena kita menyimpulkan sunnah dari
hadis, maka latar belakang sejarah dari suatu peristiwa menjadi sangat urgen.
Kita tahu, bahwa tidak semua riwayat yang disandarkan pada Nabi saw.
Menunjukkan sunnah. Sunnah hanya berlaku pada ketentuan yang sesuai dan pantas
dijadikan hujjah syar'iyah—sesuai dengan pendefinisian para Ulama' Ushul
terhadap sunnah.
Analisis Situasi Politilk
Seperti yang kita ketahui,
sejarah kebudayaan Islam menyatakan
pasca wafatnya Rasulullah terdapat beberapa kelompok politik: Muhajirin,
Anshar, dan pengikut Ali (sebagian besar dari Bani Hasim). Masing-masing
kelompok mengutip hadis Nabi saw. untuk membenarkan kepemimpinan mereka. Pada
waktu itu muncullah hadis fadla'il (keutamaan sahabat-sahabat tertentu).
Hadis-hadis itu memang sebagian (besar) dari Rasulullah.
Dalam perjalannannya,
nampaknya pendukung Ali meriwayatkan hadis lebih banyak dibandingkan kelompok
lain. Seperti halnya hadis yang menyatakan bahwa Ali adalah orang yang paling
dipercaya, bahkan hingga detik-detik wafatnya Rasulullah. Maka menjadi wajar
adanya, jika kelompok-kelompok lain berusaha untuk melarang periwayatan hadis.
Dengan latar belakang
historis seperti ini, kita tidak lagi heran jika ada sahabat yang melarang
periwayatan hadis, bahkan menisbatkan pelarangan ini pada Rasulullah, walaupun banyak
hadis yang memerintahkan penulisan hadis.
Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar menyatakan: hadis semakin banyak pada masa Umar. Kemudian ia memerintahkan
untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut. Setelah terkumpul, ia meletakkannnya
diatas bara api (at-Thabaqat al-Kubra 5:188).
Quzrah bin Ka'ab
meriwayatkan," ketika kami pergi dari Madinah ke Irak, Umar mengiringi
kami hingga pinggiran kota, Ia berkata padaku, "Tahukah kamu mengapa aku
mengantarmu?. Kata kami" Engkau bermaksud mengantar kami dan memuliakan
kami". Ia berkata "Aku mempunyai kepentingan. Kamu akan mendatang
penduduk yang menyuarakan al-Qur'an seperti gemuruh suara kurma. Jangan
palingkan suara mereka dengan hadis-hadis Rasulullah. Aku menjadi mitra kamu".
Ketika Quzrah bin Ka'ab datang, orang-orang berkata" Sampaikan pada kami
hadis. Ia berkata" Umar melarang kami. Hadis ini diriwayatkan Ibnu Abdil
Barr dan Adz-Dzahabi.[6]
Akibat pelarangan hadis ini,
banyak hadis yang hilang dari peredaran. Pada saat yang sama, pihak-pihak
tertentu dapat memasukkan hadis untuk kepentingan mereka. Tanpa penulisan,
periwayatan hadis berdasarkan maknanya saja sangatlah umum. Tidak jarang orang
menolak sebuah sunnah, karena sunnah tersebut dijalankan dengan setia oleh
kelompok lain. Lalu, hadis dikeluarkan untuk menjustifikasi perbuatan itu.
Analisis Aliran Politik Rijal al-Hadis
An-Nisabury, dalam tafsirnya
(Tafsir an-nisabury, Hamisy Tafsir at-Thabary 1:79) menyatakan "Ali
mengeraskan bacaan basmalah" .Pada zaman bani Umayyah, mereka berusaha
melarang bacaan jahr basmalah, sebagai upaya pengkaburan jejak Ali.
Jika terdapat perbedaan matan
diantara beberapa sanad hadis, kita dapat melacak aliran politik setiap rijal-nya.
kita dapat membandingkan rijal pada hadis-hadis yang meriwayatkan basmalah
jahr dan basmalah sirr. Rijal yang pertama umumnya berada di kelompok Ali,
sementara yang kedua berada di kelompok Muawiyah.
Dengan
hadirnya contoh kasus diatas, dapat dilihat, betapa aliran politik seseorang
begitu mempengaruhi terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan, meskipun tidak
semua perawi menguikuti arus ini. Oleh karena itu, studi aliran rijal menjadi
penting adanya untuk menemukan seberapa netral sebuah hadis, kemudian
menentukan layak atau tidaknya untuk menjadi hujjah syar'iyyah.
Hadis Dalam Sorotan: konteks Masa Kini
Hadis, dalam perjalanannya
mengalami pasang surut yang luar biasa, ada masa kejayaan ada masa kemunduran.
Untuk saat ini bagaimana peneropongan Umat Islam terhadap hadis, barangkali
dapat direfleksikan oleh hadis itu sendiri. Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa
aspek. Di antaranya adalah aspek sosial-ideologis, sosial-paradigmatis, sosial
budaya, dan sosial-keagamaan.[7]
Hadis dalam
perspektif sosial-ideologis dapat dikemukakan beberapa hal berikut, pertama,
di era informasi ini, ideologi masyarakat yang banyak dianut sebagian besar tokoh
di berbagai bidang adalah ideologi kapitalisme. Ideologi ini bermuara pada
siapa yang memiliki modal dialah yang berkesempatan memimpin dunia. Di pihak lain, siapa yang tidak
memiliki modal maka dia akan dikuasai pihak lain. Dalam kaitannya dengan hadis
dengan ideologinya sendiri yaitu ideologi normatif, maka dengan senndirinya
muncul kondisi dilematis umat Islam. Di satu sisi umat Islam telah digempur dengan ideologi kapitalis yang
ternyata sudah melanda sebagian besar umat Islam. Di sisi lain, hadis sebagai
sumber ajaran, umat islam harus menerima ideologi normatif yang hanya berbicara
salah-benar dan halal-haram. Implikasinya, muncul kegamangan yang luar biasa
dalam diri umat.
Kedua, berkaitan dengan pernyataan pertama,
ideologi yang dominan adalah ideologi kapitalis, maka peminggiran ideologi
normatif yang cenderung kaku tidak terelakkan. Hal ini tidak saja terjadi di
wilayah eksternal, namun juga marak dikalangan internal umat islam sendiri.
Hadis dalam perspektif
sosial-epistemologis, dapat dikatakan sebagai korban proyek epistemologi dunia.
Sebagaimana di ketahui, bahwa epistemologi yang paling dominan saat ini adalah
epistemologi positivistik yang mengedepankan objektivitas, netralitas, empiris,
dan pragmatis. Epistemologi tersebut dengan sendirinya akan menggempur
epistemologi hadis yang selama ini telah mapan, yakni epistemologi
bayani—seperti yang dibahasakan al-Jabiri—yang hanya mengedepankan
orasional-linguistik. Episteomologi ini mengalami beberapa kendala yang
berarti, di antaranya: adanya kesenjangan pemahaman antara generasi satu dengan
generasi yang lain, perbedaan penafsiran, dan kepentingan umat saat ini jauh
berbeda dengan kepentingan masa lalu.
Hadis dalam perspektif
sosial-paradigmatik dapat dikemukakan bahwa paradigma yang berkembang dalam
umat islam bahkan sampai saat ini adalah paradigna parsialistik. Ada pandangan
umat Islam yang konservatif dengan pandangan bahwa segala sesuatu telah telah
diatur oleh Allah sesuai dengan pemahaman literalistik pada al-Qur'an maupun
as-Sunnah. Hadis dipahami sebagai sesuatu yang final—baik leksikal, maupun
kandungan maknannya. Di lain pihak, ada kelompok yang berparadigma liberal
dengan paradigma bahwa dalam berfifkir dan bertindak tidak perlu menggunkan
rambu-rambu tradisi lama, termasuk di dalamnya adalah hadis. Kelompok yang
terakhir adalah kelompok kritis, yang menghendaki adanya analisis dan kajian
yang kritis terhadap seluruh wacana dalam konteks masyarakat saat ini. Dalam
kacamata kelompok terakhir ini, hadis tidaklah dipahami sebagai tradisi tanpa
arti, tidak juga sesuatu yang fiinal, akan tetapi dipahami sebagai sebagai turas
yang harus digali kekayaan maknanya, agar tidak bersifat kaku dan statis
dan diapandang sebagai entitas sumber ajaran Islam.
Hadis dalam perspektif
sosial-budaya, dapat dikatakan bahwa budaya yang ada pada saat ini lebih
mengedepankan budaya kompitisi, serba instan, serba cepat, dan serba kulit.
Popularitas melalui karya apapun tanpa memperhatikan tradisi, norma, dan
aturan-aturan lama sudah menjadi fenomena yang lumrah. Sebaliknya menghargai
dan nguri-uri adiluhung tradisi justru dianggap sebagai pihak yang
menghambat kemajuan. Dalam konteks hadis, barang kali dapat dikatakan bahwa
nilai kandungan hadis yang kelihatannya sangat rigid dan kaku dianggap bukanlah
hal yang penting. Idealnya, hadis dalam perspektif sosial-budaya seharusnya
dilakuakan penyeimbangan nilai-nilai yang ada dalam hadis dengan budaya-budaya
yang muncul di generasi kemudian.
Hadis dalam perspektif
sosial-keagamaan dapat diungkap disini bahwa telah terjadi fragmentasi yang
cukup memperihatinkan diantara kelompok keagamaan saat ini., khususnya
indonesia. Fragmentasi tersebut salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang
berbeda dari sumber ajaran Islam—al-Qur'an dan as-Sunnah. Hadis dalam perspektif
sosial-keagamaan saat ini telah mengalami reduksi dan degradasi status.
Dari deskripsi di
atas, terlihat jelas bahwa hadis mendapat tantangan yang luar biasa dalam ranah
penjagaan eksistensi dan kontinuitasnya, baik dari aspek sosial-ideologis,
sosial-paradigmatis, sosial budaya, dan sosial-keagamaan. Namun demikian,
sebagai Umat Islam yang berkarakter, itu bukanlah bencana yang harus dihindari,
melainkan harus disikapi sebagai cambuk semangat untuk menjadi lebih berkualitas
dan lebih berkarakter.
Penutup
Ketika Umat Islam
mencari kebijakan, baik pada wilayah ilmu, budaya, sosial msyarakat, ekonomi
maupun hukum, saat itu pula merujuk pada dua sumber utama—al-Qur'an dan
as-Sunnah—adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin ditanggalkan. Pembaharuan
pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu pada teks-teks
landasan dasar Islam. Semua
orang sepakat akan arti penting as-sunnah dalam pembaruan di tubuh Islam. Namun
yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadapnya. Sikap kritis ini
kemudian sering kali dicurigai akan menghilangkan hadis atau sunnah.
Mau tak mau, sadar ataupun
tidak, kita telah terimbas "dosa sejarah" yang telah diperbuat
"kepentingan" masa preseden—di mana perebutan posisi dilegitimasi
dengan hujjah yang disandarkan pada Nabi. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya
membumikan sunnah yang bersih dari "tunggangan" kelompok tertentu
adalah berupaya kritis dalam studi hadis: salah satunya dengan pendekatan
historis.
Studi hadis yang
massif dan komperehensif—meliputi seluruh bidang keilmuan yang terkait
sekaligus melintasai batas sekte aliran ke-Islaman—menjadi "syarat
wajib" bagi kita dalam kajian hadis: hal ini dikarenakan keterbatasan
kajian dan terjebak dalam sekte tertentu, dapat mereduksi mendistorsi dan
pandangan hidup hadis itu sendiri.
Daftar Pustaka
'Ajaz al-Khatib, Mohammad, Ushul
al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh, Lebanon: Dar al-Fikr, 2008.
Al-Ghazali, Muhammad, Studi Kritis Atas Hadis Nabi
Saw., Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, alih bahasa: Muhamad
al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Dzuwaib, Hammady, as-Sunnah bain al-Ushul
wa at-tarikh, Lebanon: al-Markas at-Tsaqofiy, 2005.
Mukri, Barmawi, Kontekstualisasi
Hadis Rasulullah, Mengungkap Akar Implementasinya, Yogyakarta: Ide@l Press,
2005.
Rahman, Fazlur, Iskamic
Metodology in History, karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965.
Rahmat, Jalaluddin,
Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam Pengembangan Pemikiran Hadis, diedit
oleh Yunahar Ilyas dan M.Mas'udi, Yogyakarta: LPPI, 1991.
[1] Fazlur Rahman, Iskamic Metodology in History, (karachi:
Central Institut of Islamic Research, 1965) Hlm. 69. Masa informal yang
dimaksud disini adalah saat hadis masih berada di wilayah perbincangan umat,
dimana Nabi masih hidup dan menjadi uswah hasanah. Sementara periode semi
formal yakni ketika fenomena penulisan hadis yang masih belum terkoordinir
menjadi unsur kesengajaan karena tuntutan generasi baru akan deskripsi
kehidupan Nabi. Sementara periode formal dimulai dengan standarisasi,
kodifikasi, dan penyeragaman hadis.
[2] Ibid., hlm. 5-9.
[3] Jalaluddin Rahmat, Pemahaman Hadis: Perspektif Historis dalam
Pengembangan Pemikiran Hadis, diedit oleh Yunahar Ilyas dan M.Mas'udi, (Yogyakarta:
LPPI, 1991) hlm.141.
[4] Mohammad 'Ajaz al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh,
(Lebanon: Dar al-Fikr, 2008) hlm.3.
[5] Muhammad ai-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw, Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, alih bahasa: Muhamad al-Baqir,
(Bandung: Mizan, 1998) hlm.11
[7]Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis
Rasulullah, Mengungkap Akar Implementasinya,
( Yogyakarta:
Ide@l Press, 2005) hlm.ix
Tidak ada komentar:
Posting Komentar