Neo-Sufisme: Rekonstruksi Pemikiran Sufistik
Menuju
Rekonsiliasi Lahiri dan Bathini
Oleh: Ahmad Z. Anam
Pendahuluan
Islam, sebagai agama yang utuh dan kaffah, meniscayakan
penghayatan beribadah yang total pula dari pemeluknya. Baik dalam ranah
eksoterik (dhahiry) maupun esoterik (bathini). Penekanan
yang tak berimbang dari keduanya akan melahirkan kepincangan dalam ber-Islam:
menyalahi prinsip tawazzun. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang—bahkan
sering kali—kita menjumpai model beragama seperti ini: sementara orang
mengedepankan aspek dhahiriyyah dalam menjalani agamanya (ahl al-Dhawahir),
sementara di sisi lain banyak pula yang hanya memperhatikan sisi bhatiniyyah (ahl
al-bawatin)[1].
Oleh karena itu, menjadi wajar adanya jika tasawuf
lahir sebagai suatu "organisasi" yang menjadi wadah salah satu dari
kecenderungan model beragama tersebut. Namun sekali lagi, sayangnya—sepanjang
perjalanannya—ia sering kali belum mampu mengcover kedua aspek perilaku
beragama tersebut.
Terlepas dari stigma di atas, walau bagaimanapun juga,
tasawuf merupakan unsur yang begitu penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia
merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang menjadi tonggak kesejarahan
Islam, sepertu halnya fiqh, kalam, dan falsafah. Oleh karena itu, mengkaji dan
mengembangkannya merupakan suatu tanggung jawab akademik bagi siapa saja masih
mempunyai jiwa sense of belonging terhadap Islam.
Paper ini mencoba mencari jejak-jejak makna kesejarahan
dunia sufisme, kemudian menelusur perkembangannnya menuju neo-sufisme, sebuah
model penghayatan beribadah yang ideal dan berimbang: keseimbangan spiritualitas
bhatiny dan. lahiry
Tantangan Tasawuf
Hassan
hanafi,[2] mengemukakan bahwa awal
mula kemunculan tasawuf berhubungan erat dengan situasi sosio-cultural pada
masa kelahirannya. Oleh karena itu, sejak lahirnya, tasawuf menjadi bagian yang
tetap dari ilmu-ilmu kebudayaan Islam dan menjadi sangat menarik sejak
pertikaian antara Ali dan Muawiyyah. Kaum radikal berpihak pada Ali yang
mencerminkan keabsahan, kebenaran, kesalehan, kejujuran, dan memperhatiakan
kepentingan umum (al-mashlahah al-‘amah). Sementara itu, kaum realis,
kompromis, pengejar karir dan petualang berpihak pada Muawiyyah yang
menampakkan sistem nilai yang sebaliknya: Politik kekuasaan, ketidak absahan,
kegemaran akan kekuasaan dan kekayaan, serta mempertahankan kelas menengah yang
sedang menanjak untuk menjadi perangkat sebuah negara duniawi kelak.
Dengan
latar belakang itulah, kekalahan radkalisme dan kemenangan karirisme menjadikan
orang berbondong-bondong mengembalikan kesalehan pada asalnya, dalam roh
manusia. Mereka berfikir, dari pada di dunia ini harus menghapuskan kebaikan
atau melakukan keburukan, lebih baik “keluar” dari dunia. Sebagai legalitas,
mereka melirik al-Qur’an—dengan menafsirkan ayat-ayatnya sebagai sumber tsawuf.
Al-Qur’an menjadi bacaan mistik, Nabi dianggap sebagai pimpinan sufi,
sahabat-sahabatnya dinggap sebagai organisasi sufi yang pertama.[3] Namun demikian, sekalipun
para sahabat ada yang lebih cenderung pada kontemplasi—seperti dialamatkan pada
Abu Dzar al-Ghifari dan Abu Hurairah—tidak dapat semata dijadikan “jalan hidup”
yang terpisah dari etos mayoritas umat untuk membangun masyarakat, kenyataan
ini harus dapat dimanfaatkan untuk memperdalam kesadaran moral yang terlibat
dengan etos tersebut, seperti halnya Nabi yang pengalaman religiusnya pun
tampil dalam bentuk gerakan Islam.
Terkait
dengan kelahiran taswuf dalam konteks kesejarahan yang dihadapi untuk
menanggulangi kekalahan politik dan militer telah disublimasi dalam kemenangan
rohani, persoalan yang pantas muncul adalah: dapatkah tasawuf membantu
menanggulangi kekalahan ekonomi, mliter, sosial-poitik, dan teknologi yang nota
bene dewasa ini Islam termasuk dalan kategori terbelakang? Mungkinkah mereka
dapat merekonstruksi nilai jenjang-jenjang
moral, kondisi-kondisi psikologi, dan kesatuan mutlak menjadi konsep ideal
sehingga mampu membantu generasi modern dalam menghadapi tantangan meraka?
Jika
tasawuf berhasil mewujudkan kemenangan yang tidak dicapai generasi
pendahulunya, haruskah tasawuf kembali pada kerangka asal perjuangan antara
kebenaran dan kebatilan, antara keabsahan dan ketidakabsahan, dan antara
kesalehan dan etidak salehan? Oleh sebab itu, penting untuk mengangkat kembali
semangat rohaniyyah pada masa-masa sekarang—yang dianggap telah jauh dari
nilai-nilai spiritualits agama.
Kebangkitan Tasawuf
Bergairahnya kehidupan sufisme,
seperti yang diungkapkan sayyed Hussain Nasr[4], yang terindikasi dari
kebangkitan sufisme di Turki, Syiria, Iran, Pakistan, dan Asia Tenggara,
terutama di kalangan terdididik, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya
tarekat-tarekat sufi, disamping adanya usaha-usaha serius menggali kembali
pemikiran para tokoh sufi, khususnya Ibn al-‘Arabi dan mengaktualisasikannya
guna menjawab tantangan tantangan kemanusiaan dan kerohaniyyan di masa modrn.
Kebangkitan
tasawuf—khususnya tarekat—di masa belakangan ini, banyak menimbulkan pertanyaan
para pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam kondisi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, justru semakin marak dan banyak orang yang
tertarik dengan tasawuf? Memang, ada sebuah kesimpulan oleh Naisbit dan Aburdence,
dua orang futurolog, dalam megatrend 2000 (1990), bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan agama,
termasuk tasawuf, merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta pada
ilmu pengetahuan dan teknologi.[5]
Dewasa
ini, kehidupan yang bersifat bathini mendapat tempat. Oleh karena itu, yang
mengalami kebangkitan pada masa sekarang aadalah dunia spiritualitas, bukan organized
religion. Sebab, ajaran spiritualitas bukan saja diajarkan oleh satu agama,
tetapi semua agama. Terkait dengan tasawuf, tujuan kehidupan spiritualitas ini
tiada lain adalah membantu seseorang memelihara dan meningkatkan kesucian
jiwanya sehingga dirinya merasa damai dan bisa kembali ke tempat asal-muasalnya
dengan damai pula.[6]
Tak
dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan
kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Dalam
perkembangan akhir-akhir ini, kebutuhan religius, baik yang bersifat emosional
maupun sosiologikal, dipadukan dalam satu Islam yang seragam dan integral[7].
Rekonstruksi Pemikiran Sufistik
Tasawuf
merupakan sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik—ideologi
kemenangan bathin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan
mninggalkan kekalahan. Tasawuf merupakan jalan yang melewati tiga tahap: tahap
moral, tahap etika psikologi, dan tahap metafisik. Ketiga komponen ini akan menggiring pada
peralihan moral dari jiwa ke tubuh, bathin ke lahir, etika perseorangan ke
politik, dan dari meditasi menyendiri ke gerakan sosial politik. Jika kaum sufi
dan organisasi-organisasi tasawuf mampu mentransformasi moral seperti itu, mereka akan mampu mempertahankan masyarakat
muslim yang tangguh pada masa sekarang.
Dalam
rekonstroksi tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan
menyempukan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat
dipertahankan. Tahapan-tahapan ini meliputi:[8]
- Dari jiwa ke tubuh: sejak
awalnya, termasuk salah satu latar belakang kemunculannya, adalah
penyucian jiwa yang telah dikotori oleh nafsu serakah, ambisi perusakan
nilai-nilai dan lain lain-lain melalui latihan-latihan spiritual,
perbaikan moral. Pada kondisi sekarang, tubuh pun tidak kalah parah dengan
jiwa, penyakit-penyakit yang diakibatkan dari gizi buruk, kelaparan dan
lain sbagainya. oleh karena itu, sudah semestinya tasawuf juga sebagai
pendukung sekaligus pelaksana pemberantasan penyakit-penyakit yang melanda
tersebut.
- Dari rohani ke jasmani, tasawuf
lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani
yang material. Jika kekuasaan sosial dan politik merampas lahiriyyah,
tasawuf mempertahankan bathiniyyah. Dalam era sekarang ini, yang menjadi
masalah utama adalah dunia lahir, pembangunan pedesaan, industrialisasi
dll. Dengan demikian, tasawuf harus memberikan respon terhadap
persoalan-persoalan dunia lahir.
- Dari meditasi menyendiri ke
tindakan terbuka: sesuai dengan perkembangan zaman.
- Dari organisasi sufi ke gerakan
sosial-politik. Kegiatan seperti ini telah dimulai oleh Sanusiyyah di
Libiya dan Mahdiyyah di Sudan.
Dalam tahapan rekonstruksi, tahap
etika psikologi, tasawuf berkembang dari moralitas praktis ke psikologi
individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasaswuf tidak
lagi berhubungan dengan tindak lahir perilaku, melainkan tindakan bathin
kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada
tindakan-tindakan hati, yang selama ini bersifat pasif, dirubah menjadi langkah
moral yang aktif, yakni sebuah tindakan yang memberi warna terhadap kehidupan
sosial.
Rekonstruksi tahap methafisik
merupakan tahap puncak dan terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan
sebelumnya. Ia telah berada di dunia kelas atas. Pada kondisi sekarang, ia
harus mengembalikannya lagi ke tingkat bawah, dunia nyata: dari tahapan moral
yang tinggi ke periode sejarah. Oleh karena itu, methafisik kesatuan dalam
politik memainkan peranan penting untuk mencapai kesatuan sebagai tujuan
politik.
Pada situasi keagamaan sekarang ini,
kedamaian bathin merupakan hal yang diburu manusia. Dengan denikian, secara naluriah, manusia kini
merasakan betapa pentingnya meditasi dan kontemplasi[9]. Dalam hal ini, Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi
realisasi kerohanian dalam artian luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk
tujuan ini. Ia merupakan dimensi esoterik yang dalam prakteknya tidak bisa
dipishkan dengan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, secara sederhana, tasawuf
selalu dihubungkan dengan takwa dan ahlak, sejajar dengan kterkaitan antara
iman dan amal., hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia. Tasawuf
lebih berurusan dengan masalah-masalah inti keagamaan, maka ia juga berarti
merupakan inti keagamaan yang bersifat esoteris, dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan agama[10]. Dari sudut ini, ilmu
tasawuf adalah penjabaran secara nalar tentang apa sebenarnya taqwa .
Tasawuf tidak didasarkan atas
penarikan diri secara lair dari dunia, melainkan didasarkan atas pembebasan
batin. Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi masa kini "bukan aku yang
meninggalkan dunia, dunialah yang meninggalkanku".
Berbeda dengan, misalnya,
masyarakat Yahudi atau Kristen, Masyarakat Muslim klasik—yaitu pada masa Nabi
dan masa kekhalifahan—adalah suatu kesuluruhan homogen dengan kesadaran
keagamaan yang tinggi. Religius mereka melahirkan tingkah laku lahiriyyah yang
penuh dengan budi luhur. Oleh karena itu,
masyarakat inilah yang menjadi teladan untuk diwujudkan kembali oleh
umat sepanjang sejarah, termasuk oleh kaum sufi. Peneladanan kepada masyarakat
klasik ini akan mewujudkan kesatuan yang tak terpisahkan antara takwa dan
akhlak, antara religiusitas dan etika.[11]
Neo-Sufisme
Prof. Hamka, pantas untuk
mendapat gelar penggagas dasar-dasar neo-sufisme di Indonesia. Dalam buah
karyanya Tasawuf Modern beliau
memberikan apresiasi yang tidak berlebihan terhadap unsur esoteris Islam,
sekaligus memberikan "teguran" bahwa esoterisme tersebut harus tetap
berada pada standar garis Syari'ah. Sebenarnya, pemikiran Hamka ini merupakan
estafeta pemikiran al-Ghazali. Perbedaaanya dengan al-Ghazali, Hamka
menghendaki pemahaman esoteris yang mendalam dengan sama sekali tidak menerima
konsep 'uzlah (pengasingan diri), melainkan tetap aktif dalam dan
melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat. Hamka lebih cenderung mengikuti
jejak pemikiran Ibn at-Taimiyyah dan ibnu Qayyim, yang oleh Fazlur Rahman,
kedua tokoh ini dipandang sebagai peletak dasar neo-sufisme.
Neo-sufisme dapat dijelaskan
sebagai pemikiran sufistis yang terkait erat dengan syari'ah, atau menurut Ibnu
Taimiyyah: ialah jenis kesufian yang berada pada jalur al-Qur'an dan as-Sunnah
dan tetap berada pada pengawasan dua sumber utama tersebut dengan terlibat
aktif dalam sosial kemasyarakatan[12]. Lebih lanjut, Fazlur
Rahman mengemukakan bahwa sufisme baru itu memiliki ciri utama berupa pada
penekanan pada motif moral dan penerapan metode zikir serta muraqabah (konsentrasi
kerohanian menuju Tuhan), tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan
dengan doktrin salafi (ortodok) dan bertujuan meneguhkan keimanan kepada akidah
yang benar dan kemurnian jiwa. Oleh karena itu, gejala gejala yang dapat
disebut dengan neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme
salafi dan menanamkan kembali sikap positif pada dunia.
Dengan demikian, sufisme baru
menekankan keterlibatan secara intensif dalam relasi sosial-kemasyarakatan.
Pandangan zuhud (asketisme) klasik yang pasif dan anti dunia dapat dibandingkan
dengan pandangan zuhud modern sebagaimana terungkap dalam risalah kecil ar-Ruhaniyyat
al-Ijtima'iyyah[13]. Secara esensial, buku
ini mengcover beberapa gagasan utama:
1. Membaca dan merenungkan makna al-Qur'an
2. Menbaca kehadiran Nabi Muhammad saw.
Melalui sunnah
3. Memelihara hubungan dengan Orang-orang
shalih
4. Menjaga diri dari tingkah laku tercela
5. Mempelajari hal-hal yang terkait dengan
metaphisik al-Qur'an dan as-Sunnah drngan penuh lepercayaan
6. Melakukan Ibadah Wajib dan sunnah
7. Memberi peringatan keras terhadap palsunya
hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i'tizaliyyah)
Pesan mendasar dari buku
tersebut adalah: penekanan nilai kesimbangan atau tawazun yang mana hal
ini sebagai aktualisasi ajaran al-Qur'an[14]. Prinsip keseimbangan ini
merupakan sunnatullah untuk seluruh jagad raya ini, sehingga pelanggaran
atas keseimbangan ini merupakan dosa kosmis.
Kesimpulan
Pembaharuan,
merupakan sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang menginginkan relevansi dalam
setiap pergeseran masa, termasuk dunia sufistik. Model bertasawuf klasik:
dimana kecenderungan beragama hanya tertuju pada sayap kebathinan, dengan
mengesampingkan tindakan praktis sebagai cerminan kesalehan bathin, harus
segera disadari, direnungkan, kemudian direkonstruksi menuju rekonsiliasi
antara keduanya.
Neo-sufistik,
genre tasawuf modern yang memperjuangkan rekonsolisiasi antara spiritualitas
dan gerakan aktual dalam sosial-kemasyarakatan, dipandang sebagai konsep
bertasawuf ideal, dengan prinsip tawazun: menyeimbangkan lahiri dan
bathini, sebagaimana terefleksi oleh ke-Islaman masa preseden: masa Nabi
Muhammad --dimana kesalehan bathin tercermin dalam perilaku keseharian. Dalam
konteks sekarang, seorang sufi maupun organisasi-organisasi tarekat yang
ada—khususnya di Indonesia—sudah semestinya terlibat aktif dalam aksi sosial
masyarakat, sebagai pembumian kesalehan bathin yang mereka peroleh dalam thariqah-nya.
Bibliografi
Al-Gaazali, Mutiara Ihya'
Ulumiddin terjemahan Indonesia oleh
Irwan Kurniawan, Mizan: Bandungg. 1997.
Azra, Azzumardi, Neo-sufisme dan Masa Depannyad Dalam buku Rekonstruksi
dan Renungan Religius Islam,ed. Muhammad Mahyuddin Nafis, Paramadina: Jakarta. 1996.
Gazali, Adeng Muhtar, Pemikiran Islam Kontemporer,
Pustaka Setia: Bandung. 2005.
Hanafi, Hassan, Metodology
in History, Terjemah Anas Mahyuddin, Pustaka: Bandung. 1983.
Madjid, Nur
Cholis, Masyarakat Religius, Paramadina: Jakarta, 1997.
Rahman, Fazlur, Islamic Metodology, Pustaka:
Bandung. 1983.
[1] Kaum lahiry diwakili oleh orang-orang "syari'ah",
sementara kaum bhatiny diwakili oleh orang-orang thariqah. Dalam sejarah
pemikiran Islam, kedua kelompok ini pernah bersitegang. Masimg-masing menuduh
bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama yang benar. Lihat, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna
dan RelevansiDoktrin Islam dan Sejarah, Paramadina, 1995. Jakarta. hlm. 91.
[4] Dikutip dari Azzumardi Azra dalam “Neo-sufisme dan Masa
Depannya” dalam buku Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,ed.
Muhammad Mahyuddin Nafis (Paramadina: Jakarta) 1996, hlm 286.
[9] Ibid,. Ihlm.100
[10] Nur Cholis Madjid, Masyarakat Religius
(Paramadina: Jakarta, 1997) hlm 140.
[11]Ibid,. hlm. 14.
[12] Ibid,. hlm. 195.
[13] Buku ini diterbitkan oleh Islamic Centre pimpinan
Dr. Said Ramadlan di Jenewa Swiss. Lihat Nur Cholis Madjid…hlm. 95.
[14] Lihat. Q.s. ar-Rahman:7-8" dan langitpun
ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan agar
kamu tidak melanggar prinsip keseimbanagan itu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar