Rabu, 26 Maret 2014

sufisme


Neo-Sufisme: Rekonstruksi Pemikiran Sufistik Menuju Rekonsiliasi Lahiri dan Bathini

Oleh: Ahmad Z. Anam

Pendahuluan
Islam, sebagai agama yang utuh dan kaffah, meniscayakan penghayatan beribadah yang total pula dari pemeluknya. Baik dalam ranah eksoterik (dhahiry) maupun esoterik (bathini). Penekanan yang tak berimbang dari keduanya akan melahirkan kepincangan dalam ber-Islam: menyalahi prinsip tawazzun. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang—bahkan sering kali—kita menjumpai model beragama seperti ini: sementara orang mengedepankan aspek dhahiriyyah dalam menjalani agamanya (ahl al-Dhawahir), sementara di sisi lain banyak pula yang hanya memperhatikan sisi bhatiniyyah (ahl al-bawatin)[1].
Oleh karena itu, menjadi wajar adanya jika tasawuf lahir sebagai suatu "organisasi" yang menjadi wadah salah satu dari kecenderungan model beragama tersebut. Namun sekali lagi, sayangnya—sepanjang perjalanannya—ia sering kali belum mampu mengcover kedua aspek perilaku beragama tersebut.
Terlepas dari stigma di atas, walau bagaimanapun juga, tasawuf merupakan unsur yang begitu penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri yang menjadi tonggak kesejarahan Islam, sepertu halnya fiqh, kalam, dan falsafah. Oleh karena itu, mengkaji dan mengembangkannya merupakan suatu tanggung jawab akademik bagi siapa saja masih mempunyai jiwa sense of belonging terhadap Islam.
Paper ini mencoba mencari jejak-jejak makna kesejarahan dunia sufisme, kemudian menelusur perkembangannnya menuju neo-sufisme, sebuah model penghayatan beribadah yang ideal dan berimbang: keseimbangan spiritualitas bhatiny dan. lahiry


Tantangan Tasawuf
            Hassan hanafi,[2] mengemukakan bahwa awal mula kemunculan tasawuf berhubungan erat dengan situasi sosio-cultural pada masa kelahirannya. Oleh karena itu, sejak lahirnya, tasawuf menjadi bagian yang tetap dari ilmu-ilmu kebudayaan Islam dan menjadi sangat menarik sejak pertikaian antara Ali dan Muawiyyah. Kaum radikal berpihak pada Ali yang mencerminkan keabsahan, kebenaran, kesalehan, kejujuran, dan memperhatiakan kepentingan umum (al-mashlahah al-‘amah). Sementara itu, kaum realis, kompromis, pengejar karir dan petualang berpihak pada Muawiyyah yang menampakkan sistem nilai yang sebaliknya: Politik kekuasaan, ketidak absahan, kegemaran akan kekuasaan dan kekayaan, serta mempertahankan kelas menengah yang sedang menanjak untuk menjadi perangkat sebuah negara duniawi kelak.
            Dengan latar belakang itulah, kekalahan radkalisme dan kemenangan karirisme menjadikan orang berbondong-bondong mengembalikan kesalehan pada asalnya, dalam roh manusia. Mereka berfikir, dari pada di dunia ini harus menghapuskan kebaikan atau melakukan keburukan, lebih baik “keluar” dari dunia. Sebagai legalitas, mereka melirik al-Qur’an—dengan menafsirkan ayat-ayatnya sebagai sumber tsawuf. Al-Qur’an menjadi bacaan mistik, Nabi dianggap sebagai pimpinan sufi, sahabat-sahabatnya dinggap sebagai organisasi sufi yang pertama.[3] Namun demikian, sekalipun para sahabat ada yang lebih cenderung pada kontemplasi—seperti dialamatkan pada Abu Dzar al-Ghifari dan Abu Hurairah—tidak dapat semata dijadikan “jalan hidup” yang terpisah dari etos mayoritas umat untuk membangun masyarakat, kenyataan ini harus dapat dimanfaatkan untuk memperdalam kesadaran moral yang terlibat dengan etos tersebut, seperti halnya Nabi yang pengalaman religiusnya pun tampil dalam bentuk gerakan Islam.
            Terkait dengan kelahiran taswuf dalam konteks kesejarahan yang dihadapi untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer telah disublimasi dalam kemenangan rohani, persoalan yang pantas muncul adalah: dapatkah tasawuf membantu menanggulangi kekalahan ekonomi, mliter, sosial-poitik, dan teknologi yang nota bene dewasa ini Islam termasuk dalan kategori terbelakang? Mungkinkah mereka dapat merekonstruksi nilai  jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologi, dan kesatuan mutlak menjadi konsep ideal sehingga mampu membantu generasi modern dalam menghadapi tantangan meraka?
            Jika tasawuf berhasil mewujudkan kemenangan yang tidak dicapai generasi pendahulunya, haruskah tasawuf kembali pada kerangka asal perjuangan antara kebenaran dan kebatilan, antara keabsahan dan ketidakabsahan, dan antara kesalehan dan etidak salehan? Oleh sebab itu, penting untuk mengangkat kembali semangat rohaniyyah pada masa-masa sekarang—yang dianggap telah jauh dari nilai-nilai spiritualits agama.

Kebangkitan Tasawuf
Bergairahnya kehidupan sufisme, seperti yang diungkapkan sayyed Hussain Nasr[4], yang terindikasi dari kebangkitan sufisme di Turki, Syiria, Iran, Pakistan, dan Asia Tenggara, terutama di kalangan terdididik, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya tarekat-tarekat sufi, disamping adanya usaha-usaha serius menggali kembali pemikiran para tokoh sufi, khususnya Ibn al-‘Arabi dan mengaktualisasikannya guna menjawab tantangan tantangan kemanusiaan dan kerohaniyyan di masa modrn.
            Kebangkitan tasawuf—khususnya tarekat—di masa belakangan ini, banyak menimbulkan pertanyaan para pengkaji sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam kondisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, justru semakin marak dan banyak orang yang tertarik dengan tasawuf? Memang, ada sebuah kesimpulan oleh Naisbit dan Aburdence, dua orang futurolog, dalam megatrend 2000 (1990), bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberikan makna tentang kehidupan. Kebangkitan agama, termasuk tasawuf, merupakan penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta pada ilmu pengetahuan dan teknologi.[5]
            Dewasa ini, kehidupan yang bersifat bathini mendapat tempat. Oleh karena itu, yang mengalami kebangkitan pada masa sekarang aadalah dunia spiritualitas, bukan organized religion. Sebab, ajaran spiritualitas bukan saja diajarkan oleh satu agama, tetapi semua agama. Terkait dengan tasawuf, tujuan kehidupan spiritualitas ini tiada lain adalah membantu seseorang memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dirinya merasa damai dan bisa kembali ke tempat asal-muasalnya dengan damai pula.[6]
            Tak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, kebutuhan religius, baik yang bersifat emosional maupun sosiologikal, dipadukan dalam satu Islam yang seragam dan integral[7].

Rekonstruksi Pemikiran Sufistik
            Tasawuf merupakan sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik—ideologi kemenangan bathin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan mninggalkan kekalahan. Tasawuf merupakan jalan yang melewati tiga tahap: tahap moral, tahap etika psikologi, dan tahap metafisik.  Ketiga komponen ini akan menggiring pada peralihan moral dari jiwa ke tubuh, bathin ke lahir, etika perseorangan ke politik, dan dari meditasi menyendiri ke gerakan sosial politik. Jika kaum sufi dan organisasi-organisasi tasawuf mampu mentransformasi moral seperti itu,  mereka akan mampu mempertahankan masyarakat muslim yang tangguh pada masa sekarang.
            Dalam rekonstroksi tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan menyempukan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Tahapan-tahapan ini meliputi:[8]
  • Dari jiwa ke tubuh: sejak awalnya, termasuk salah satu latar belakang kemunculannya, adalah penyucian jiwa yang telah dikotori oleh nafsu serakah, ambisi perusakan nilai-nilai dan lain lain-lain melalui latihan-latihan spiritual, perbaikan moral. Pada kondisi sekarang, tubuh pun tidak kalah parah dengan jiwa, penyakit-penyakit yang diakibatkan dari gizi buruk, kelaparan dan lain sbagainya. oleh karena itu, sudah semestinya tasawuf juga sebagai pendukung sekaligus pelaksana pemberantasan penyakit-penyakit yang melanda tersebut.
  • Dari rohani ke jasmani, tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material. Jika kekuasaan sosial dan politik merampas lahiriyyah, tasawuf mempertahankan bathiniyyah. Dalam era sekarang ini, yang menjadi masalah utama adalah dunia lahir, pembangunan pedesaan, industrialisasi dll. Dengan demikian, tasawuf harus memberikan respon terhadap persoalan-persoalan dunia lahir.
  • Dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka: sesuai dengan perkembangan zaman.
  • Dari organisasi sufi ke gerakan sosial-politik. Kegiatan seperti ini telah dimulai oleh Sanusiyyah di Libiya dan Mahdiyyah di Sudan.
Dalam tahapan rekonstruksi, tahap etika psikologi, tasawuf berkembang dari moralitas praktis ke psikologi individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasaswuf tidak lagi berhubungan dengan tindak lahir perilaku, melainkan tindakan bathin kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati, yang selama ini bersifat pasif, dirubah menjadi langkah moral yang aktif, yakni sebuah tindakan yang memberi warna terhadap kehidupan sosial.
Rekonstruksi tahap methafisik merupakan tahap puncak dan terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya. Ia telah berada di dunia kelas atas. Pada kondisi sekarang, ia harus mengembalikannya lagi ke tingkat bawah, dunia nyata: dari tahapan moral yang tinggi ke periode sejarah. Oleh karena itu, methafisik kesatuan dalam politik memainkan peranan penting untuk mencapai kesatuan sebagai tujuan politik.
Pada situasi keagamaan sekarang ini, kedamaian bathin merupakan hal yang diburu manusia. Dengan denikian, secara naluriah, manusia kini merasakan betapa pentingnya meditasi dan kontemplasi[9]. Dalam hal ini,  Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Ia merupakan dimensi esoterik yang dalam prakteknya tidak bisa dipishkan dengan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, secara sederhana, tasawuf selalu dihubungkan dengan takwa dan ahlak, sejajar dengan kterkaitan antara iman dan amal., hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia. Tasawuf lebih berurusan dengan masalah-masalah inti keagamaan, maka ia juga berarti merupakan inti keagamaan yang bersifat esoteris, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan agama[10]. Dari sudut ini, ilmu tasawuf adalah penjabaran secara nalar tentang apa sebenarnya taqwa .
Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lair dari dunia, melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi masa kini "bukan aku yang meninggalkan dunia, dunialah yang meninggalkanku".
Berbeda dengan, misalnya, masyarakat Yahudi atau Kristen, Masyarakat Muslim klasik—yaitu pada masa Nabi dan masa kekhalifahan—adalah suatu kesuluruhan homogen dengan kesadaran keagamaan yang tinggi. Religius mereka melahirkan tingkah laku lahiriyyah yang penuh dengan budi luhur. Oleh karena itu,  masyarakat inilah yang menjadi teladan untuk diwujudkan kembali oleh umat sepanjang sejarah, termasuk oleh kaum sufi. Peneladanan kepada masyarakat klasik ini akan mewujudkan kesatuan yang tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, antara religiusitas dan etika.[11]

Neo-Sufisme
Prof. Hamka, pantas untuk mendapat gelar penggagas dasar-dasar neo-sufisme di Indonesia. Dalam buah karyanya Tasawuf Modern  beliau memberikan apresiasi yang tidak berlebihan terhadap unsur esoteris Islam, sekaligus memberikan "teguran" bahwa esoterisme tersebut harus tetap berada pada standar garis Syari'ah. Sebenarnya, pemikiran Hamka ini merupakan estafeta pemikiran al-Ghazali. Perbedaaanya dengan al-Ghazali, Hamka menghendaki pemahaman esoteris yang mendalam dengan sama sekali tidak menerima konsep 'uzlah (pengasingan diri), melainkan tetap aktif dalam dan melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat. Hamka lebih cenderung mengikuti jejak pemikiran Ibn at-Taimiyyah dan ibnu Qayyim, yang oleh Fazlur Rahman, kedua tokoh ini dipandang sebagai peletak dasar neo-sufisme.
Neo-sufisme dapat dijelaskan sebagai pemikiran sufistis yang terkait erat dengan syari'ah, atau menurut Ibnu Taimiyyah: ialah jenis kesufian yang berada pada jalur al-Qur'an dan as-Sunnah dan tetap berada pada pengawasan dua sumber utama tersebut dengan terlibat aktif dalam sosial kemasyarakatan[12]. Lebih lanjut, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa sufisme baru itu memiliki ciri utama berupa pada penekanan pada motif moral dan penerapan metode zikir serta muraqabah (konsentrasi kerohanian menuju Tuhan), tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodok) dan bertujuan meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian jiwa. Oleh karena itu, gejala gejala yang dapat disebut dengan neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif pada dunia.
Dengan demikian, sufisme baru menekankan keterlibatan secara intensif dalam relasi sosial-kemasyarakatan. Pandangan zuhud (asketisme) klasik yang pasif dan anti dunia dapat dibandingkan dengan pandangan zuhud modern sebagaimana terungkap dalam risalah kecil ar-Ruhaniyyat al-Ijtima'iyyah[13]. Secara esensial, buku ini mengcover beberapa gagasan utama:
1.      Membaca dan merenungkan makna al-Qur'an
2.      Menbaca kehadiran Nabi Muhammad saw. Melalui sunnah
3.      Memelihara hubungan dengan Orang-orang shalih
4.      Menjaga diri dari tingkah laku tercela
5.      Mempelajari hal-hal yang terkait dengan metaphisik al-Qur'an dan as-Sunnah drngan penuh lepercayaan
6.      Melakukan Ibadah Wajib dan sunnah
7.      Memberi peringatan keras terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i'tizaliyyah)
Pesan mendasar dari buku tersebut adalah: penekanan nilai kesimbangan atau tawazun yang mana hal ini sebagai aktualisasi ajaran al-Qur'an[14]. Prinsip keseimbangan ini merupakan sunnatullah untuk seluruh jagad raya ini, sehingga pelanggaran atas keseimbangan ini merupakan dosa kosmis.

Kesimpulan
            Pembaharuan, merupakan sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang menginginkan relevansi dalam setiap pergeseran masa, termasuk dunia sufistik. Model bertasawuf klasik: dimana kecenderungan beragama hanya tertuju pada sayap kebathinan, dengan mengesampingkan tindakan praktis sebagai cerminan kesalehan bathin, harus segera disadari, direnungkan, kemudian direkonstruksi menuju rekonsiliasi antara keduanya.
            Neo-sufistik, genre tasawuf modern yang memperjuangkan rekonsolisiasi antara spiritualitas dan gerakan aktual dalam sosial-kemasyarakatan, dipandang sebagai konsep bertasawuf ideal, dengan prinsip tawazun: menyeimbangkan lahiri dan bathini, sebagaimana terefleksi oleh ke-Islaman masa preseden: masa Nabi Muhammad --dimana kesalehan bathin tercermin dalam perilaku keseharian. Dalam konteks sekarang, seorang sufi maupun organisasi-organisasi tarekat yang ada—khususnya di Indonesia—sudah semestinya terlibat aktif dalam aksi sosial masyarakat, sebagai pembumian kesalehan bathin yang mereka peroleh dalam thariqah-nya.

Bibliografi

Al-Gaazali, Mutiara Ihya' Ulumiddin terjemahan  Indonesia oleh Irwan Kurniawan, Mizan: Bandungg. 1997.
Azra, Azzumardi, Neo-sufisme dan Masa Depannyad Dalam buku Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,ed. Muhammad Mahyuddin Nafis, Paramadina: Jakarta. 1996.

Gazali, Adeng Muhtar, Pemikiran Islam Kontemporer, Pustaka Setia: Bandung. 2005.

Hanafi, Hassan, Metodology in History, Terjemah Anas Mahyuddin, Pustaka: Bandung. 1983.

Madjid, Nur Cholis, Masyarakat Religius, Paramadina: Jakarta, 1997.

Rahman, Fazlur, Islamic Metodology, Pustaka: Bandung. 1983.
           






[1] Kaum lahiry diwakili oleh orang-orang "syari'ah", sementara kaum bhatiny diwakili oleh orang-orang thariqah. Dalam sejarah pemikiran Islam, kedua kelompok ini pernah bersitegang. Masimg-masing menuduh bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama yang benar. Lihat, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan RelevansiDoktrin Islam dan Sejarah, Paramadina, 1995. Jakarta. hlm. 91.
                [2] Hassan hanafi, Metodology in History, Terjemah Anas Mahyuddin (Pustaka: Bandung) 1983, hlm.164
                [3] Ibid. hlm..67
[4] Dikutip dari Azzumardi Azra dalam “Neo-sufisme dan Masa Depannyadalam buku Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,ed. Muhammad Mahyuddin Nafis (Paramadina: Jakarta) 1996, hlm 286.
                [5] Ibid., hlm. 287  
                [6] Ibid., hlm. 191  
                [7] Fazlur Rahman, Islamic Metodology (Pustaka: Bandung) 1983, hlm. 181.

                [8] Adeng Muhtar Gazali, Pemikiran Islam Kontemporer (Pustaka Setia: Bandung) 2005,hlm. 151
[9] Ibid,. Ihlm.100
[10] Nur Cholis Madjid, Masyarakat Religius (Paramadina: Jakarta, 1997)  hlm 140.
[11]Ibid,. hlm. 14.
[12] Ibid,. hlm. 195.
[13] Buku ini diterbitkan oleh Islamic Centre pimpinan Dr. Said Ramadlan di Jenewa Swiss. Lihat Nur Cholis Madjid…hlm. 95.
[14] Lihat. Q.s. ar-Rahman:7-8" dan langitpun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan agar kamu tidak melanggar prinsip keseimbanagan itu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar