Fiqh
Prioritas:
Oleh:
Ahmad Z. Anam / 08.231.476
a)
Pendahuluan
Fenomena meningkatnya calon jemaah haji—khususnya
Indonesia—adalah hal yang pantas mendapatkan acungan jempol. Hal ini
mengindikasikan tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia dan
perkembangan standar perekonomian masyarakat. Tingginya minat berhaji tidak
hanya dimiliki oleh jamaah yang belum pernah melaksanakan rukun Islam yang ke
lima itu, bahkan, banyak diantara mereka adalah orang yang yang telah ataupun
berkali-kali berhaji (hujjaj).
Di sisi lain, realita kemiskinan, keterbelakangan, dan
rendahnya tingkat pendidikan yang selalu
menggelayuti perjalanan bangsa ini tak kunjung reda. Hampir setiap hari kita
disajikan peristiwa-peristiwa mengenaskan yang berawal dari rendahnya tingkat
perekonmomian masyarakat. Gizi buruk, kelaparan, perebutan jatah sembako, dan
pengemis di jalanan merupakan contoh bagus untuk merepresentasikan fakta ini.
Sebuah kesenjangan yang luar biasa. Di satu wajah,
Indonesia adalah pengirim jemaah haji terbanyak[1], namun
pada wajah lain, masih begitu banyak masyarakat yang berada di bawah standar
kehidupan layak.
Pelaksanaan haji
berulang kali harus mendapat kajian serius—terutama dalam konteks
ke-Indonesiaan—. Karena, haji tersebut tidak wajib hukumnya, meskipun seseorang
memiliki harta yang melimpah. Adapun membantu terhadap yang lebih lemah,
menolong yang membutuhkan, dan mengentaskan penderitaan adalah suatu hal yang
wajib[2]. Nabi
Muhammad, sebagi sentral panutan umat Islam hanya berhaji sekali seumur
hidupnya[3]. Namun
sepanjang hayatnya beliau selalu memperhatikan mereka yang lemah dan tertindas.
Paper ini mencoba
menelusuri ruang ontologi, epistemologi, dan aksiologi haji. Kemudian, ketiganya
akan di bumikan dalam realitas social kemasyarakatan. Proses pengejawantahan makna ini akan
membuktikan bahwa haji merupakan embrio dan tuntunan kesalehan social, bukanlah
sebagai entitas yang “buta”
realitas—seperti yang selama ini kita saksikan.
b)
Ontologi dan
Epistemologi Haji
Haji (al-hajju) dalam bahasa Arab berarti al-Qasdu
yaitu menyengaja atau menuju. Dalam istilah syara’ haji bermakna: sengaja
mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu[4].
Seperti halnya salat, haji juga difardlukan bagi orang
Islam—sebatas bagi mereka ayang mampu. Orientasinya, ta’abud pada Allah
dan menyambungkan rahmat dan belas kasuhan kepada sesama manusia, sebagai mana
Allah memfardlukan zakat untuk mensucikan harta benda sebagai bentuan kepada
orang-orang fakir: sebagai mana juga salat berjamaah agar satu diantara mereka
saling bersosialisasi dengan yang lain.
Landasan normativ haji yaitu firman Allah:
وللّه علي الناّس حجّالبيت من استطاع
اليه سبيلا<ال عمران:97>
Artinya: “Dan untuk Allah segenap manusia mengunjungi baitullah,
yakni yang mempunyai kesanggupan pergi kepadanya” (ali Imran 9: 97)
Allah memerintahkan
kepada Ibrahim dan Isma’il supayamendirikan Baitullah di Makkah. Setelah
selesai dibina, Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengumumkan pada umatnya:
bahwa tempat itu didirikan untuk beribadah, dan bagi mereka wajib
mengunjunginya. Kemudian Ibrahim dan Isma’il memohon kepada Allah untuk
diberikan pelajaran tentang manasik-manasik haji.[5]
Dalam al-Qur’an
Allah telah menerangkan tentang tata cara berhaji. Baik manasik, msya’ir, hukum-hukum,
maupun hal-hal yang diperintah dan dilarang selama berhaji.
Rasulullah telah
menjelaskan tentang kaifiyyah yang tertera dalam al-Qur’an. Beliau telah
menjelaskan: miqat, hitungan sa’i, wukuf di ‘Arafah dan muzdalifah,
jama’ shalat ditempat-tempat itu, melempar jumrah, denda, dan lain sebagainya.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib
dilakukan bagi mereka yang mampu sekali seumur hidup. Pendapat ini disarikan
dari dalil-dalil syar’iyyah, baik al-Qur’an—seperti surat Ali Imran
97—maupun al-hadis—yaitu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.[6]
Disamping memiliki nilai ibadah, haji juga memiliki
banyak sekali hikmah dan fadilah yang terkandung di dalamnya. Melalui ibadah
ini, umat Islam seluruh dunia, dengan berbagai latar belakang budaya, corak
pemikiran, dan lapisan masyarakat berkumpul bersama menjadi tamu Allah
dirumah-Nya. Mereka dapat bertukar fikiran, saling membantu, dan bekerjasama.
Untung msing-masing pribadi, haji akan membuat orang itu
merasa dekat kepada Allah, sehingga ia bertekat untuk selalu berbuat kebajikan,
terutama kelak jika telah kembali ke negerinya.
Kewajiban haji di-taklifkan mereka yang memenuhi
syarat wajib berikut[7]:
a)
Islam
b)
Baligh
c)
Berakal
d)
Merdeka, dan
e)
mampu [8]
Bagi mereka yang lumpuh, tidak mampu melaksanakan haji
sendiri, dan dia dalam keadaan mampu, maka wajib baginya mewakilkan hajinya
kepada anaknya. Dengan haji tersebut, maka gugurlah kewajiban orang itu untuk
berhaji.[9]
Aksiologi Haji
c)
Aksiologi Haji
Suatu ketika seorang ahli sufi, Ibrahim bin Adham,
bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. ”Tahun ini ada berapa
orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat
kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, ”Dari sekian ribu orang
jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.”
Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran
mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud.
Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab
pertanyaan itu, ”Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana.
Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi,
saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku
kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku
batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong
mereka.”[10]
Kisah teladan tersebut sangat relevan
dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam
Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan
jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan
untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih
muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka
juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.
Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika lalu mengemuka wacana ”pengharaman” haji
ulang (lebih dari sekali). Munculnya ”gugatan moral” ini terkait antusiasme
sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi
sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama
kita seolah-olah ”buta” terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama
berlangsung di negeri kita.
Pada dasarnya, aksiologi haji tidaklah berbeda jauh
dengan apa yang digambarkan pada cerita sufi di atas: menujui kesalehan
individu dan sosial. Kita tentunya masih ingat, tentang kisah Nabi Ibrahim yang
penuh dengan pengorbanan, bagai mana perjuangan Siti Hajar untuk membebaskan
anaknya dari penderitaan[11], dan semestinya
kita juga masih ingat betul, pakaian ihram yang sederhana dan serba
putih menunjukkan kesetaraan derajat di mata Allah. Kesetaraan inilah yang
mengharuskan kita untuk peka social, saling menolong, tidak masa bodoh dengan
penderitaan orang lain.
d)
Haji Semu
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku
orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu
dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka
tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak
apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama
terhadap ahl al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau
perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.
Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat
pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil
jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai
dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala
prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara
memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib
dipikul bersama (fardhu kifayah).
Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah ”bagi yang mampu” (istitha’ah) yang menjadi alasan atau ’illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.[12]
Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah ”bagi yang mampu” (istitha’ah) yang menjadi alasan atau ’illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.[12]
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana
haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan
sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan
berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk
kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.
e)
Penentuan Prioritas:
Antara Haji Berulang dan Mengentaskan Penderitaan Rakyat
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau
melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).
Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun
haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk
menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus
ditunaikan.
Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang
haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan
etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ’illat (alasan) hukum berupa
kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan
kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik
ditinggalkan), bahkan haram.[13]
Dalam kaidah fiqhiyyah dikatakan:
االلمتعدي افضل منالقاصر
Artinya: “Ibadah yang memiliki kontribusi kepada orang lain itu
lebih diutamakan dari pada ibadah yang sebatas bermanfaat bagi diri sendiri”
Dalam konteks ini,
tentulah membantu mereka yang membutuhkan lebih baik dan diutamakan dari pada
haji berulang kali yang hanya akan memnberi kepuasan pada diri seseorang. Juga
ada kaidah:
اذا جأ المفسدتان روعي اخفهماالضراربارتكاب اخفّّهمما
Artinya: “Jika ada dua resiko yang datang bersamaan, maka resiko yang terbesar dihindarkan, dengan mengambil
resiko yang terkecil”
Aplikasinya, resiko meninggalkan haji sunnah adalah
begitu kecil, hanya terkait dengan sesosok person. Sementara resiko
menelantarkan kemiskinan begitu besar dan
berbahaya. Maka, yang diambil adalah resiko terkecil: meninggalkan haji
sunnah, dengan senantiasa menghindari resiko yang lebih besar: penderitaan dan kesengsaraan orang lain.
Selain bertolak dari kaidah tersebut, banyak teks-teks hujjah
yang menyatakan begitu pentingnya kepekaan dan solidaritas sosial. Al-Qur’an
mengisyaratkan:
ليس البرّ ان تولّوا وجوهكم قبل االمشرق والمّغرب
ولكنّ البرّ من أمن بالّلّه واليوم الاخر
المليٍكة والكتاب والنّبيين واتي المال علي خبّه ذواللقربي واليتمي والمسكين وابن
االسّبيل....[14]
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)…” (Al-Baqarah 2:
177)
Kebijakan pelarangan haji sunnah demi pengentasan
kemiskinan pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek
maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu,
Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa
bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia
tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat
Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas.
Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda
keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia
(menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.
Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik
berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah
menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.
Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan
gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan
mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa ”haram” ini
sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam
Indonesia.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang
makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji
yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang
tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah
kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.
f)
Penutup
Haji sunnah (haji
berulang kali) yang selama ini masih begitu banyak kita temukan, harus mendapat
perhatian dan kajian serius. Di tengah
kondisi perekonomian masyarakat yang masih memperihatinkan, haji berulang kali
tidak lebih dari ibadah yang pincang: buta realitas.
Sudah saatnya, nilai-nilai kesalehan individual yang
selama ini telah terbangun untuk ditransformasikan pada kesalehan sosial.
Karena, diakui maupun tidak semua ibadah pada dasarnya berorientasi pada
kesalehan total: baik individual maupun sosial. Egoisme beribadah haruslah
segera dikritik dan ditinggalkan, karena hal itu menyalahi prinsip fundamental
islam: rahmatan lil-‘Alamin.
Bibliografi
Al-Ghazaly, Ihya’ Ulum ad-Din juz III, Surabaya:
al-Hidayah, tt.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang:
Asy-Syifa’, 1993.
Muhammad bin Qasim, Abu Abdillah, Tausyh ‘ala Ibn
Qasi, Surabaya: Darul Ilmi,tt.
Lahmuddin Nasution, Fiqh Ibadah, Jakarta:
Logos Pustaka Ilmu,1999.
Shidiqy, Hasby
ash, Kuliah Ibdah Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikma, Jakarta:
Bulan Bintang, 1954.
Sirin, Khairon, Etika Berhaji, dalam Kompas,
edisi kamis 13 November 2008
Syirazi, Abu
Ishaq Asy, al-Muhaddzab fi fiqhi Imam Syafi’i,, Bandung: al-Ma’arif,tt.
Syari’aty, Ali
Makna Haji terjemah: Burhan Wirasubrata, Jakarta: Zahra Publising House,
2006.
Waid, Abdul, Tafsir
Haji Mabrur Dalam Kehjidupan Bernegara, Kampus Islam: Cakrawala Ilmu
Pengetahuandan Informasi Islam edisi 27 November 2008.
* Makalah ini disusun sebagai pengganti makalah: Neo-Sufisme:
Rekonstruksi
Pemikiran Sufistik Menuju
Rekonsiliasi Lahiri dan Bathin. Guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam.
Dosen pengampu: Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA,. Ph.D.
[1] Abdul Waid, Tafsir
Haji Mabrur Dalam Kehjidupan Bernegara, dalam Kampus Islam: Cakrawala Ilmu
Pengetahuandan Informasi Islam edisi 27 November 2008.
[2] Banyak hujjah asy-Syar’iyyah yang menekankan atas wajibnya
membantu yang lemah, memberi pertolongan bagi yang membutuhkan, dan bersedekah
pada fakir miskin Lihat misalnya surat al-Maidah (5:2) dan al-Baqarah (1:177).
[3] Haby ash-Shidiqy, Kuliah Ibdah Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum
dan Hikmah (Jakarta: Bulan Bintang,
1954) hlm.189.
[4] Lahmuddin Nasution, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Logos Pustaka
Ilmu,1999). Hlm 213
[5] Haby ash-Shidiqy, Kuliah Ibdah Ibadah. Hlm.190
[6] Hadis ini bercerita tentang sahabat yang bertanya pada Nabi tentang
apakah setiap tahun haji itu diwajibkan, kemudian rasul menjawab: apabila haji
adalah wajib di setiap tahun niscaya engkau tidak akan sanggup melakukannya.
[7] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim, Tausyh ‘ala Ibn Qasim (Surabaya:
Darul Ilmi,tt) 118.
[8] Mampu disini mencakup: biaya, kendaraan, aman di perjalanan, dan
nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan.
[9]Abu Ishaq Asy-syirazi, al-Muhaddzab fi fiqhi Imam Syafi’i (Bandung:
al-Ma’arif,tt) hlm198.
[10] Khairon Sirin, Etika Berhaji, dalam kompas, edisi kamis 13
November 2008
[11]Ali Syari’aty, Makna Haji terjemah burhan Wirasubrata ( Jakarta: Zahra Publising
House, 2006) hlm. 77.
[12] Khairon Sirin, Etika Berhaji, dalam kompas, edisi kamis 13
November 2008.
[14] Q.s. al-Baqarah (2:177)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar