Rabu, 26 Maret 2014

haji

Fiqh Prioritas:
 Kajian Kritis  Haji Sunnah (Haji Berulang)*
Oleh: Ahmad Z. Anam / 08.231.476

a)      Pendahuluan
Fenomena meningkatnya calon jemaah haji—khususnya Indonesia—adalah hal yang pantas mendapatkan acungan jempol. Hal ini mengindikasikan tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia dan perkembangan standar perekonomian masyarakat. Tingginya minat berhaji tidak hanya dimiliki oleh jamaah yang belum pernah melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu, bahkan, banyak diantara mereka adalah orang yang yang telah ataupun berkali-kali berhaji (hujjaj).

Di sisi lain, realita kemiskinan, keterbelakangan, dan rendahnya tingkat pendidikan  yang selalu menggelayuti perjalanan bangsa ini tak kunjung reda. Hampir setiap hari kita disajikan peristiwa-peristiwa mengenaskan yang berawal dari rendahnya tingkat perekonmomian masyarakat. Gizi buruk, kelaparan, perebutan jatah sembako, dan pengemis di jalanan merupakan contoh bagus untuk merepresentasikan fakta ini.
Sebuah kesenjangan yang luar biasa. Di satu wajah, Indonesia adalah pengirim jemaah haji terbanyak[1], namun pada wajah lain, masih begitu banyak masyarakat yang berada di bawah standar kehidupan layak.
            Pelaksanaan haji berulang kali harus mendapat kajian serius—terutama dalam konteks ke-Indonesiaan—. Karena, haji tersebut tidak wajib hukumnya, meskipun seseorang memiliki harta yang melimpah. Adapun membantu terhadap yang lebih lemah, menolong yang membutuhkan, dan mengentaskan penderitaan adalah suatu hal yang wajib[2]. Nabi Muhammad, sebagi sentral panutan umat Islam hanya berhaji sekali seumur hidupnya[3]. Namun sepanjang hayatnya beliau selalu memperhatikan mereka yang lemah dan tertindas.
            Paper ini mencoba menelusuri ruang ontologi, epistemologi, dan aksiologi haji. Kemudian, ketiganya akan di bumikan dalam realitas social kemasyarakatan.  Proses pengejawantahan makna ini akan membuktikan bahwa haji merupakan embrio dan tuntunan kesalehan social, bukanlah  sebagai entitas yang “buta” realitas—seperti yang selama ini kita saksikan.

b)     Ontologi dan Epistemologi Haji
Haji (al-hajju) dalam bahasa Arab berarti al-Qasdu yaitu menyengaja atau menuju. Dalam istilah syara’ haji bermakna: sengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan ibadah tertentu[4].
Seperti halnya salat, haji juga difardlukan bagi orang Islam—sebatas bagi mereka ayang mampu. Orientasinya, ta’abud pada Allah dan menyambungkan rahmat dan belas kasuhan kepada sesama manusia, sebagai mana Allah memfardlukan zakat untuk mensucikan harta benda sebagai bentuan kepada orang-orang fakir: sebagai mana juga salat berjamaah agar satu diantara mereka saling bersosialisasi dengan yang lain.
Landasan normativ haji yaitu firman Allah:
وللّه علي الناّس حجّالبيت من استطاع اليه سبيلا<ال عمران:97>
Artinya: “Dan untuk Allah segenap manusia mengunjungi baitullah, yakni yang mempunyai kesanggupan pergi kepadanya” (ali Imran 9: 97)
            Allah memerintahkan kepada Ibrahim dan Isma’il supayamendirikan Baitullah di Makkah. Setelah selesai dibina, Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengumumkan pada umatnya: bahwa tempat itu didirikan untuk beribadah, dan bagi mereka wajib mengunjunginya. Kemudian Ibrahim dan Isma’il memohon kepada Allah untuk diberikan pelajaran tentang manasik-manasik haji.[5]
            Dalam al-Qur’an Allah telah menerangkan tentang tata cara berhaji. Baik manasik, msya’ir, hukum-hukum, maupun hal-hal yang diperintah dan dilarang selama berhaji.
            Rasulullah telah menjelaskan tentang kaifiyyah yang tertera dalam al-Qur’an. Beliau telah menjelaskan: miqat, hitungan sa’i, wukuf di ‘Arafah dan muzdalifah, jama’ shalat ditempat-tempat itu, melempar jumrah, denda, dan lain sebagainya.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan bagi mereka yang mampu sekali seumur hidup. Pendapat ini disarikan dari dalil-dalil syar’iyyah, baik al-Qur’an—seperti surat Ali Imran 97—maupun al-hadis—yaitu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.[6]
Disamping memiliki nilai ibadah, haji juga memiliki banyak sekali hikmah dan fadilah yang terkandung di dalamnya. Melalui ibadah ini, umat Islam seluruh dunia, dengan berbagai latar belakang budaya, corak pemikiran, dan lapisan masyarakat berkumpul bersama menjadi tamu Allah dirumah-Nya. Mereka dapat bertukar fikiran, saling membantu, dan bekerjasama.
Untung msing-masing pribadi, haji akan membuat orang itu merasa dekat kepada Allah, sehingga ia bertekat untuk selalu berbuat kebajikan, terutama kelak jika telah kembali ke negerinya.
Kewajiban haji di-taklifkan mereka yang memenuhi syarat wajib berikut[7]:
a)      Islam
b)      Baligh
c)      Berakal
d)     Merdeka, dan
e)      mampu            [8]
Bagi mereka yang lumpuh, tidak mampu melaksanakan haji sendiri, dan dia dalam keadaan mampu, maka wajib baginya mewakilkan hajinya kepada anaknya. Dengan haji tersebut, maka gugurlah kewajiban orang itu untuk berhaji.[9]
Aksiologi Haji
c)      Aksiologi Haji
Suatu ketika seorang ahli sufi, Ibrahim bin Adham, bermimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. ”Tahun ini ada berapa orang jemaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab, ”Dari sekian ribu orang jemaah, tak satu pun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.”
Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya itu. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu dengan Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, ”Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana. Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.”[10]
           Kisah teladan tersebut sangat relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia. Bayangkan, ratusan ribu umat Islam Indonesia setiap tahun pergi ke Mekkah untuk berhaji. Ada ratusan bahkan ribuan jemaah yang sudah pernah menunaikan haji. Mereka rela membelanjakan jutaan untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Bahkan, anak-anak mereka yang masih muda pun ikut dibawa menunaikan haji. Bahkan, di luar musim haji pun, mereka juga amat antusias menunaikan umrah hingga puluhan kali.
            Mereka tak menyadari bahwa di belakang mereka banyak orang tua yang antre untuk memperoleh jatah pergi haji. Mereka juga tak menyadari bahwa di sekitar mereka banyak orang miskin dan anak yatim yang menghadapi persoalan kemiskinan. Mereka pun lalai, jika dikumpulkan dan digunakan untuk membantu orang-orang miskin, dana haji itu akan lebih bermakna dan berpengaruh positif.
Wajar jika lalu mengemuka wacana ”pengharaman” haji ulang (lebih dari sekali). Munculnya ”gugatan moral” ini terkait antusiasme sebagian umat Islam untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali di saat kondisi sosial masyarakat terpuruk dalam kemiskinan. Sayangnya, pemerintah dan ulama kita seolah-olah ”buta” terhadap fenomena yang sebenarnya sudah lama berlangsung di negeri kita.
Pada dasarnya, aksiologi haji tidaklah berbeda jauh dengan apa yang digambarkan pada cerita sufi di atas: menujui kesalehan individu dan sosial. Kita tentunya masih ingat, tentang kisah Nabi Ibrahim yang penuh dengan pengorbanan, bagai mana perjuangan Siti Hajar untuk membebaskan anaknya dari penderitaan[11], dan semestinya kita juga masih ingat betul, pakaian ihram yang sederhana dan serba putih menunjukkan kesetaraan derajat di mata Allah. Kesetaraan inilah yang mengharuskan kita untuk peka social, saling menolong, tidak masa bodoh dengan penderitaan orang lain.

d)     Haji Semu     
Jauh sebelumnya, para ulama mengkritik keras perilaku orang yang berkali-kali naik haji (ahlu al-hajj) sebagai orang yang tertipu dalam beribadah. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebut ibadah haji yang mereka tunaikan itu adalah haji ghurur atau haji semu karena tidak punya dampak apa-apa bagi dirinya ataupun orang lain. Kritik keras yang dilontarkan ulama terhadap ahl al-hajj didasarkan pada kondisi riil atau perilaku orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji.
Alih-alih meneladani tapak tilas Nabi Ibrahim yang sarat pengorbanan dan keikhlasan, banyak umat Islam yang bergelar haji mengambil jarak dengan orang miskin dan anak yatim. Ciri kemabruran haji sering dimaknai dengan meningkatnya kesalehan ritual tanpa memedulikan kesalehan sosial.
Padahal, dalam beribadah, semestinya ada skala prioritas. Ibadah haji yang kedua kali dan seterusnya hanyalah sunah, sementara memedulikan orang miskin dan anak yatim merupakan kebutuhan publik yang wajib dipikul bersama (fardhu kifayah).
           Oleh karena itu, sebelum menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, umat Islam harus berpikir ulang, apakah sudah tidak ada lagi orang kelaparan di sekitarnya. Sebab, istilah ”bagi yang mampu” (istitha’ah) yang menjadi alasan atau ’illat wajibnya menunaikan ibadah haji dalam Al Quran tak sekadar kesiapan materi dan mental, tetapi juga menyangkut kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.[12]
Dengan kata lain, menyerahkan dan mendayagunakan dana haji ulang untuk kepentingan fakir miskin, anak yatim, ataupun kepentingan sosial lainnya merupakan maslahat atau amal kebaikan yang jelas dan berimplikasi positif bagi dinamika sosial masyarakat ketimbang berhaji untuk kedua, ketiga, atau kesekian kalinya.

e)      Penentuan Prioritas: Antara Haji Berulang dan Mengentaskan Penderitaan Rakyat
Dalam ajaran Islam, seseorang dibolehkan mengulang atau melakukan ibadah haji lebih dari sekali karena dua alasan syar’i (hukum).
Pertama, tidak terpenuhinya salah satu syarat dan rukun haji saat melaksanakan haji sehingga harus mengulang; dan kedua, untuk menghajikan orang lain (yang sudah meninggal) sebagai amanat yang harus ditunaikan.
Selain kedua alasan syar’i tersebut, hukum mengulang haji terbilang sunah. Namun, dalam kondisi tertentu, dengan mempertimbangkan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ’illat (alasan) hukum berupa kebutuhan yang bersifat mendesak di saat masyarakat kita di landa krisis dan kemiskinan, hukum mengulang haji bisa bergeser menjadi makruh (lebih baik ditinggalkan), bahkan haram.[13]
Dalam kaidah fiqhiyyah dikatakan:
االلمتعدي افضل منالقاصر
Artinya: “Ibadah yang memiliki kontribusi kepada orang lain itu lebih diutamakan dari pada ibadah yang sebatas bermanfaat bagi diri sendiri
            Dalam konteks ini, tentulah membantu mereka yang membutuhkan lebih baik dan diutamakan dari pada haji berulang kali yang hanya akan memnberi kepuasan pada diri seseorang. Juga ada kaidah:
اذا جأ المفسدتان روعي اخفهماالضراربارتكاب اخفّّهمما
Artinya: “Jika ada dua resiko  yang datang bersamaan, maka resiko  yang terbesar dihindarkan, dengan mengambil resiko yang terkecil”
Aplikasinya, resiko meninggalkan haji sunnah adalah begitu kecil, hanya terkait dengan sesosok person. Sementara resiko menelantarkan kemiskinan begitu besar dan  berbahaya. Maka, yang diambil adalah resiko terkecil: meninggalkan haji sunnah, dengan senantiasa menghindari resiko yang lebih besar: penderitaan  dan kesengsaraan orang lain.
Selain bertolak dari kaidah tersebut, banyak teks-teks hujjah yang menyatakan begitu pentingnya kepekaan dan solidaritas sosial. Al-Qur’an mengisyaratkan:
 ليس  البرّ ان تولّوا وجوهكم قبل االمشرق والمّغرب ولكنّ  البرّ من أمن بالّلّه واليوم الاخر المليٍكة والكتاب والنّبيين واتي المال علي خبّه ذواللقربي واليتمي والمسكين وابن االسّبيل....[14]
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)…” (Al-Baqarah 2: 177)
Kebijakan pelarangan haji sunnah demi pengentasan kemiskinan pernah berlaku pada masa pemerintahan Bani Umayah mengingat aspek maslahat dan kondisi sosial ketika itu. Bahkan, untuk mendukung kebijakan itu, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, ulama yang pada masa itu, mengeluarkan fatwa bahwa sedekah itu lebih baik ketimbang berhaji untuk kedua kalinya.
Berkaca dari sejarah tersebut, para ulama Indonesia tentunya dapat pula mengeluarkan fatwa yang melarang, setidaknya membatasi umat Islam untuk menunaikan haji lebih dari sekali tanpa alasan hukum yang jelas. Hal ini didasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam kondisi obyektif masyarakat yang dilanda keprihatinan, mengulang ibadah haji merupakan pekerjaan sia-sia (menghambur-hamburkan uang) dan mengabaikan kepedulian sosial.
Kedua, mengulang haji dalam konteks kepentingan politik berarti telah mengambil tempat atau kesempatan orang lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji karena terbatasnya kuota jemaah haji.
Ketiga, mengulang haji cenderung menyuburkan egoisme dan gengsi beribadah bagi pelakunya dan menafikan ibadah sosial sekaligus akan mempertajam tingkat kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Fatwa ”haram” ini sangat penting untuk menumbuhkan etika berhaji di kalangan umat Islam Indonesia.
Sudah semestinya, di tengah kondisi kemiskinan yang makin menggunung, kita harus menahan diri untuk tak melaksanakan ibadah haji yang kedua kali atau kesekian kalinya. Kita alihkan saja dana haji mengulang tersebut untuk membantu saudara kita yang miskin dan kelaparan. Di sinilah kemabruran haji yang pernah berhaji, akan teruji.

f)       Penutup
            Haji sunnah (haji berulang kali) yang selama ini masih begitu banyak kita temukan, harus mendapat perhatian  dan kajian serius. Di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang masih memperihatinkan, haji berulang kali tidak lebih dari ibadah yang pincang: buta realitas.
Sudah saatnya, nilai-nilai kesalehan individual yang selama ini telah terbangun untuk ditransformasikan pada kesalehan sosial. Karena, diakui maupun tidak semua ibadah pada dasarnya berorientasi pada kesalehan total: baik individual maupun sosial. Egoisme beribadah haruslah segera dikritik dan ditinggalkan, karena hal itu menyalahi prinsip fundamental islam: rahmatan lil-‘Alamin.










Bibliografi

Al-Ghazaly, Ihya’ Ulum ad-Din juz III, Surabaya: al-Hidayah, tt.

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Asy-Syifa’, 1993.

Muhammad bin Qasim, Abu Abdillah, Tausyh ‘ala Ibn Qasi, Surabaya: Darul Ilmi,tt.
Lahmuddin Nasution, Fiqh Ibadah, Jakarta: Logos Pustaka Ilmu,1999.

Shidiqy, Hasby ash, Kuliah Ibdah Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikma, Jakarta: Bulan Bintang,  1954.

Sirin, Khairon, Etika Berhaji, dalam Kompas, edisi kamis 13 November 2008

Syirazi, Abu Ishaq Asy, al-Muhaddzab fi fiqhi Imam Syafi’i,, Bandung: al-Ma’arif,tt.

Syari’aty, Ali Makna Haji terjemah: Burhan Wirasubrata, Jakarta: Zahra Publising House, 2006.

Waid, Abdul, Tafsir Haji Mabrur Dalam Kehjidupan Bernegara, Kampus Islam: Cakrawala Ilmu Pengetahuandan Informasi Islam edisi 27 November 2008.





                                * Makalah ini disusun sebagai pengganti makalah: Neo-Sufisme: Rekonstruksi Pemikiran Sufistik Menuju Rekonsiliasi Lahiri dan Bathin. Guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam. Dosen pengampu: Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA,. Ph.D.

[1] Abdul Waid, Tafsir Haji Mabrur Dalam Kehjidupan Bernegara, dalam Kampus Islam: Cakrawala Ilmu Pengetahuandan Informasi Islam edisi 27 November 2008.

[2] Banyak hujjah asy-Syar’iyyah yang menekankan atas wajibnya membantu yang lemah, memberi pertolongan bagi yang membutuhkan, dan bersedekah pada fakir miskin Lihat misalnya surat al-Maidah (5:2) dan al-Baqarah (1:177).
 
[3] Haby ash-Shidiqy, Kuliah Ibdah Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah (Jakarta: Bulan Bintang,  1954) hlm.189.

[4] Lahmuddin Nasution, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Logos Pustaka Ilmu,1999). Hlm 213

[5] Haby ash-Shidiqy, Kuliah Ibdah Ibadah. Hlm.190
[6] Hadis ini bercerita tentang sahabat yang bertanya pada Nabi tentang apakah setiap tahun haji itu diwajibkan, kemudian rasul menjawab: apabila haji adalah wajib di setiap tahun niscaya engkau tidak akan sanggup melakukannya.

[7] Abu Abdillah Muhammad bin Qasim, Tausyh ‘ala Ibn Qasim (Surabaya: Darul Ilmi,tt) 118.

[8] Mampu disini mencakup: biaya, kendaraan, aman di perjalanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan.

[9]Abu Ishaq Asy-syirazi, al-Muhaddzab fi fiqhi Imam Syafi’i (Bandung: al-Ma’arif,tt) hlm198.

[10] Khairon Sirin, Etika Berhaji, dalam kompas, edisi kamis 13 November 2008
[11]Ali Syari’aty, Makna Haji terjemah  burhan Wirasubrata ( Jakarta: Zahra Publising House, 2006) hlm. 77.

[12] Khairon Sirin, Etika Berhaji, dalam kompas, edisi kamis 13 November 2008.

[13] Ibid.
[14] Q.s. al-Baqarah (2:177) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar