Senin, 21 Desember 2015

MENAGIH JANJI CAPRES;
Meneguhkan Pesantren Sebagai Garda Depan Kontrol Sosial-Politik
Oleh; Kg. Ach. Z. Anam

Delapan Juli 2009 mendatang bukanlah akhir perjalanan demokrasi. Terpilihnya presiden dan wakil presiden yang paling diinginkan rakyat tidak serta merta mengindikasikan keparipurnaan negara dalam menggelar ‘hajat’nya. Permadani sejarah masih terhampar begitu luas untuk mewujudkan Indonesia menuju bangsa demokratis dan mukti wibowo. Bukan pekerjaan mudah, memang. Namun, dengan partisipasi aktif seluruh komponen bangsa, narasi agung itu bukan tidak mungkin terwujud.

TAFSIR KIDUNG LIR-ILIR
(Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.)
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekna belimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo mbasuh dodod iro
Dodod iro, dodod iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana, jlumatana
Kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak ’a, surak “hiyoo”

Tadarus Risalah Al-Qadha' Umar ibn Khattab
(Kajian Asas Peradilan Perdata Islam)

Ahmad  Z. Anam[1]

Kita terlalu terbiasa menutur dan menulis istilah keinggris-inggrisan, juga kebelanda-belandaan dalam setiap terminologi hukum, termasuk dalam asas peradilan. Misal: audi et alteram partem, equality under the law, pact sunt servanda, dan lex superior derograt legi inferiori. Terlihat lebih keren? Mungkin. Ini sah-sah saja; tak ada yang melarang.
Terlepas dari itu semua, sebaiknya kita tidak tercerabut dari akar. Dalam khazanah keilmuan (hukum) Islam sendiri, asas peradilan telah lama dicetuskan, kisaran 1400 tahun yang lalu. Salah satunya adalah asas peradilan yang termaktub dalam Risalah Al-Qadha' Umar ibn Khattab. Inilah tema tadarus kita pada tulisan ini.
Sebelum jauh mengkaji, ada baiknya kita baca risalah tersebut:
Menyikapi Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan
Oleh:
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pratama Muda PA Mentok)
MUI memfatwakan bahwa BPJS Kesehatan tak sesuai syari’ah. Istilah fikihnya: haram. Hal ini disebabkan karena pengelolaannya dinilai mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (pertaruhan), dan riba. Fatwa itu kini jadi polemik. Ada pihak yang pro, kontra, bahkan bingung.
Setelah Promosi dan Mutasi, Mari Bicara Soal Kode Etik
Oleh: Ahmad Z. Anam[1]
Sekapur Sirih
            Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Desember 2015, hampir seluruh sorot mata warga peradilan agama tertuju pada suhu­f muntadzor (lembar yang dinantikan) berjudul Hasil Rapat Tim Promosi Mutasi Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Tahun 2015. Suka-cita (ada juga duka) tumpah-ruah dalam khidmat pembacaan suhuf itu.
            Berdasarkan pengamatan sederhana, Tim Promosi Mutasi (TPM) telah berusaha maksimal untuk membumikan promosi dan mutasi yang berperikemanusiaan. Simpelnya begini: Tim mendengar aspirasi (usulan) tujuan mutasi dan Tim banyak memutasi hakim ke pengadilan di wilayah yang dekat kampung halaman.
            Dalam fenomena hakim “balik kampung” tersebut, tentu telah berjajar-antri sederet persoalan baru, salah satunya: kemungkinan lahirnya konflik kepentingan. Banyaknya sanak-keluarga, sahabat, serta kolega di kawasan kampung halaman dan sekitarnya dapat berpotensi memantik konflik kepentingan dalam menangani sebuah perkara.
            Lantas, jika memang seperti itu realitasnya, apa kita harus gamang dan meragu dalam menghadapi persoalan tersebut? jurus-jurus apa yang harus kita keluarkan agar terbebas dari cengkeraman konflik kepentingan itu? Meski tak sempurna, artikel ini berusaha untuk menjawabnya.
Hakim [Masih] Wakil Tuhan?
Oleh:
Ahmad Z. Anam
(Hakim Pratama Muda PA Mentok)
Wajah korps hakim kembali tercoreng. 10 Juli 2015 kemarin, KPK menangkap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Keempat pejabat peradilan tersebut dicokok KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). Inilah “parcel pahit” dunia peradilan, jelang perayaan Idul Fitri 1436 H.
Tiga hakim yang tertangkap dalam operasi tersebut adalah Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Amir Fauzi (Hakim Anggota), Dermawan Ginting (Hakim Anggota), serta seorang panitera, Syamsir Yusfan. Turut digelandang pula dalam operasi tersebut seorang pengacara dari kantor advokat ternama, O.C. Kaligis & Associates, M Yagari Bhastara Guntur alias Gerry.
Belakangan diketahui, KPK menetapkan status tersangka kepada nama-nama tersebut atas dugaan suap terkait pengurusan perkara dana Bansos di PTUN Medan, yang diajukan oleh Achmad Fuad Lubis, Kabiro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam penyidikan KPK. Buntut panjangnya, O.C. Kaligis dan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho pun telah ditetapkan sebagai tersangka.
Meski belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht) atas kasus penyuapan hakim PTUN tersebut, namun setidaknya kasus ini telah menodai wibawa peradilan Tanah Air, khususnya korps hakim. Konsekuensinya, Visi Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan Indonesia yang agung, tampaknya harus ditunda terlebih dahulu.
Hakim, Masih Wakil Tuhan?